Pembahasan Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan

Gambar 20, menunjukkan bahwa laju mortalitas total Z ikan julung- julung betina sebesar 4,41 per tahun, dengan memasukkan suhu rata-rata di perairan Kayoa sebesar 28 C maka diperoleh laju mortalitas alami M sebesar 1,21 per tahun. Nilai laju mortalitas karena penangkapan F yang diperoleh sebesar 3,20 per tahun. Dengan mengetahui nilai mortalitas tersebut maka laju eksploitasi E ikan julung-julung di perairan Kayoa diketahui sebesar 0,73 per tahun. Untuk mengetahui umur relatif ikan julung-julung yang mati karena penangkapan tertangkap dapat dilihat pada tiga titik yang berwarna hitam, sehingga populasi yang umur relatif diatas 1,0 tahun. Gambar 20 Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan julung-julung betina di perairan Kayoa.

4.4 Pembahasan

Nisbah kelamin suatu organisme perairan penting untuk dikaji, karena terkait dengan kemampuan dan potensi reproduksi organisme tersebut ke depan. Apabila keseimbangan alamiah nisbah kelamin terganggu, maka kesinambungan stok alamiahnya dapat terganggu. Dengan mengetahui perbandingan jenis kelamin dapat diduga keseimbangan populasi yang ada dengan asumsi bahwa perbandingan jantan dan betina dalam suatu sediaan di alam adalah 1 : 1 dengan demikian populasi dinyatakan dalam keadaan seimbang Cristina 2003. Tabel 8 menunjukan adanya perbedaan jenis kelamin dimana jantan lebih banyak dari pada kelamin betina. Hasil penelitian yang sama telah dilaporkan oleh Talwar 1967; Talwar 1962, yang menemukan bahwa ikan julung-julung Hemirhamphus marginatus di Teluk Mandapan India memiliki proporsi jumlah tangkapan jantan lebih banyak dibandingkan betina. Secara umum proporsi julung-julung jantan dan betina dapat dianalogkan bahwa setiap 10 ekor julung- julung akan ditemukan 4 ekor betina. Kecuali bulan Juli dan Oktober dimana betina lebih banyak. Angka nisbah kelamin tersebut juga mengindikasikan bahwa ada kecenderungan julung-julung jantan pada umumnya memiliki pasangan lebih dari satu. Hal ini memungkinkan pada saat musim perkawinan, julung-julung betina akan diikuti julung-julung jantan lebih dari satu ekor. Tersedianya betina yang lebih sedikit, memungkinkan rekrutmen yang terjadi juga sedikit sehingga berpengaruh pada jumlah penambahan individu baru di alam. Menurut Turkmen et al. 2002 penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1 : 1 dapat terjadi dari faktor yang meliputi perbedaan distribusi, aktifitas dan gerakan ikan. Agar pengelolaan sumberdaya ikan julung-julung berkelanjutan, perlu diatur aktivitas penangkapan yang berlangsung di waktu penangkapan dimana jumlah betinanya lebih sedikit, karena dengan sedikitnya jumlah betina berarti kemampuan untuk menghadirkan individu baru pada waktu tersebut tidak seoptimal di waktu penangkapan yang jumlah betinanya lebih banyak. Menurut Hails dan Abdullah 1982 ikan yang hidup di daerah tropis cenderung mempunyai periode pemijahan yang panjang atau bahkan memijah sepanjang tahun, yang biasanya berkesesuaian dengan curah hujan. Tingkat kematangan gonad TKG merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu organisme seperti ikan julung-julung. Kematangan gonad dapat digunakan sebagai penduga status reproduksi ikan, penentu ukuran dan umur pada saat pertama kali matang gonad, proporsi atau jumlah populasi yang secara reproduktif matang dan pemahaman tentang siklus reproduksi bagi suatu populasi atau spesies. Jika ditinjau TKG-nya, ikan julung-julung yang tertangkap di perairan Kayoa pada TKG III dan IV ditemukan tersebar hampir setiap bulan, yang mengambarkan waktu pemijahan. Jika TKG IV dijadikan dasar untuk menduga waktu pemijahan, maka terlihat julung-julung yang tertangkap dengan giob di perairan Kayoa membentuk dua fase puncak pemijahan yaitu fase pertama pada bulan Januari, Februari, Maret dan fase kedua yaitu pada bulan September, Oktober, November. Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Talwar 1967, bahwa ikan julung-julung Hemirhamphus marginatus di Teluk Mandapan India memiliki periode pemijahan yang pendek dan waktu tertentu saja yaitu November-Desember dan nampaknya spesies ini tidak melakukan kegiatan bertelur lebih dari sekali dalam setahun. Selain itu diinformasikan pula bahwa kawasan bertelur bagi spesies ini berada di garis pantai pada kawasan yang berbatu dan mengandung rumput laut. Jika dugaan fase pemijahan tersebut dihubungkan dengan produksi bulanan giob yang dikumpulkan selama satu tahun dimana produksi tertinggi pada bulan Agustus-Oktober, maka dapat dipastikan bahwa puncak musim penangkapan julung-julung bertepatan dengan musim pemijahan ikan. Puncak musim penangkapan ikan julung-julung di perairan Kayoa, tidak jauh berbeda dengan di perairan Selat Bangka, Sulawesi Utara yang terbagi dalam dua fase utama, yaitu bulan Maret-Juni dan bulan September- November Reppie dan Sitanggang 2011. Puncak penangkapan julung-julung yang bertepatan dengan musim pemijahan dapat diinterpretasikan bahwa kehadiran gerombolan julung-julung yang melimpah di perairan pesisir pada waktu tertentu diduga melakukan pemijahan, dimana kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa pada bulan-bulan tersebut sebaiknya aktivitas penangkapan dikontrol secara ketat baik jumlah tangkapan maupun ukuran ikan dengan harapan dapat memberi kesempatan ikan untuk memijah terlebih dahulu sebelum tertangkap sehingga tidak mengganggu proses rekruitmen individu baru di daerah penangkapan tersebut. Kondisi ini perlu diantisipasi karena pengoperasian giob dilakukan di perairan kawasan selat diantara pulau-pulau kecil. Informasi tentang makan dan kebiasaan makan akan sangat penting untuk memahami sejarah hidup, termasuk pertumbuhan, migrasi, dan untuk pengelolaan perikanan secara komersial. Pengetahuan tentang sumber makanan dari stok ikan komersial memberi pengalaman berharga bagi nelayan dalam menentukan daerah penangkapan secara lebih menguntungkan. Nikolsky 1963 mengklasifikasikan makanan menjadi 4 kategori yaitu makanan utama adalah makanan yang dimakan dalam jumlah besar, makanan pelengkap adalah makanan yang dimakan dalam jumlah sedikit, makanan tambahan adalah makanan yang dimakan dalam jumlah sangat sedikit, dan makanan pengganti yang hanya dimakanan jika makanan utama tidak tersedia. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa makanan ikan julung-julung dari kelompok fitoplankton memiliki nilai terbesar 52,80. Hal ini mengindikasikan bahwa fitoplankton merupakan makanan utama julung-julung di peraian Kayoa. Serasah merupakan makanan urutan kedua dengan nilai sebesar 31,36 diduga merupakan makanan pelengkap. Krustasea dan zooplankton masing-masing dengan proporsi 12,04 dan 3,73 diduga merupakan makanan tambahan. Ditemukannya makanan jenis sisik dalam lambung ikan, diduga julung-julung dalam kondisi panik saat diburu hingga terkurung didalam kantong jaring menyebabkan tidak terkontol sehingga sisik masuk ke dalam rongga mulut. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberpa faktor antara lain habitat hidup, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, dan umur ikan Lagler 1956. Jenis makanan ikan julung-julung berupa serasah dalam jumlah yang besar mengindikasikan bahwa habitat yang senang dikunjungi ikan ini adalah daerah sekitar mangrove. Realitas menunjukkan bahwa daerah penangkapan julung-julung di Kayoa merupakan daerah pulau-pulau kecil dengan jenis tumbuhan peisir adalah mangrove dan lamun. Sebagaimana pernyataan Lagler 1956; Kagwade 1967; Holden Raitt 1975, bahwa komposisi dari makanan ikan akan membantu, menjelaskan kemungkinan habitat yang dikunjungi. Kaitan makanan dengan waktu penangkapan, dimana kehadiran ikan julung- julung di perairan pada sore hari diduga karena mengejar pergerakan makanan yang terbawa oleh arus. Jumlah sediaan ikan di suatu lokasi merupakan fungsi dari potensialitas makanan, sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antar ikan dengan organisme makanan sangat penting untuk prediksi dan eksploitasi dari sediaan ikan tersebut Nikolsky 1963; Rao 1974. Berkurangnya kelimpahan ikan dalam sutu kelompok umur pada satu kurun waktu tertentu disebabkan oleh faktor alami maupun penangkapan digambarkan oleh koefisien kematian. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai dugaan koefisien kematian total Z sebesar 2,09 per tahun. Besarnya nilai koefisien kematian total ini tergantung dari besarnya nilai koefisien kematian alami M dan nilai koefisien kematian akibat penangkapan F. Kematian alami umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan kondisi perairan, predator, penyakit, kekurangan pakan dan mati karena tua. Koefisien kematian akibat penangkapan pada umumnya dipengaruhi oleh jumlah alat tangkap dan intensitas penangkapan. Semakin banyak jumlah alat tangkap dan intensitas penangkapan maka koefisien kematian akibat penangkapan semakin besar. Nilai status pemanfaatan E ikan julung-julung yang tertangkap di perairan Kayoa, Halmahera Selatan adalah sebesar 65. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan ikan julung-julung di perairan Kayoa telah melewati tingkat pemanfaatan optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa hasil berimbang adalah optimal bila E = 0,50 Gulland 1971 diacu dalam Pauly 1984.

4.5 Kesimpulan