46
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II
Tahun 2011
No. Jenis pupuk
Harga Satuan Rpkg
Penggunaan Pupuk kg Petani
Konvensional Petani SRI
Organik 1.
Urea 1.600
214,83 Ponskha
2.300 156,50
SP 36 2.200
109,17 Za
1.200 40,83
2. Kotoran Ayam
120 3.662,5
Kotoran Sapi 177,78
5.593,05 Kotoran Kambing
200 2.733,33
6.1.4. Pestisida Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani
organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu,
untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau
menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis
tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air
sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu pekat.
Berbeda dengan SRI organik, petani konvensional melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti
Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa
petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20
– 30 ml dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit
disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.
47
6.1.5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya
petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga TKDK dan tenaga kerja luar keluarga TKLK.
TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya yaitu delapan jam.
Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat
kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja 1
HKWHKP = 2 jam kerja sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja 1 HOK = 8
jam kerja dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk pria.
Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja
SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan
penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup
besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh
sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000 per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang
mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK
dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.
48
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II
No. Jenis Tenaga Kerja
Penggunaan Tenaga Kerja Petani Konvensional
Petani SRI Organik 1.
Dalam Keluarga : Pria
12,84 HKP 24,73 HKP
Wanita 7,5 HKW
13,57 HKW 2.
Luar Keluarga : Pria
36,86 HKP 35,66 HKP
Wanita 40,33 HKW
31,78 HKW Total
457,25 HOK 420,29 HOK
Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK
lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak
tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang
dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih
menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan.
6.1.6. Peralatan Pertanian