53 Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya
tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi
ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat
menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri pupuk sintetis.
6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan
Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit dilakukan sebagai berikut :
1. Ketika padi mencapai umur 1 – 8 hari sesudah tanam HST, keadaan air
di lahan adalah “macak-macak”. 2.
Sesudah padi mencapai umur 9 – 10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2
– 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama.
3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai
umur 18 HST. 4.
Pada umur 19 – 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua.
5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 – 2 cm dan kondisi
ini dipertahankan sampai padi “masak susu” ± 15 – 20 hari sebelum panen. Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.
Kegiatan penyiangan watun dilakukan sebanyak 2 – 4 kali setiap 10 hari
sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut.
Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada
ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut. Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan
cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1
– 2 kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada
54 kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional
sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 – 24 orang dalam
satu hari kerja.
6.2.6. Panen dan Pasca Panen
Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk
metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga TKLK yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih.
Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi
apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah
bagi tenaga kerja yang memanen. Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi
dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar
harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi
ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas
menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di
sawahnya sudah tidak menjadi miliknya. Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang
sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang,
sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi, dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke
lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen N, Phosfor P,
Kalium K, Kalsium Ca, Magnesium Mg, serta Silikat Si yang berfungsi sebagai imun bagi tanaman padi.
BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI
7.1. Produktivitas Usahatani
Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada lahan untuk menghasilkan keluaran yang
optimal. Maka semakin besar nilai produktivitas yang dicapai, maka usahatani tersebut semakin efisien. Nilai produktivitas yang tinggi akan berdampak pula
pada tingginya daya saing produk. Untuk mengetahui nilai produktivitas pada kasus ini, maka dibutuhkan jumlah produksi per satuan luas lahan kgha.
Pada penelitian ini produktivitas padi dibandingkan antara metode konvensional dan metode SRI organik. Pada metode konvensional terdapat jenis
pemanenan dengan cara tebasan. Hasil panen dengan cara tebasan diasumsikan sama dengan pemanenan biasa, yang disesuaikan dengan varietas padi yang
digunakan.
Tabel 15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode Konvensional dan
Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha
Metode Mean
Selisih Mean p. Value
N Konvensional
4.550 kg -95,433
0,106 30
SRI Organik 4.790 kg
Tabel 15 memperlihatkan bahwa rata-rata produktivitas padi metode konvensional adalah
4.550 kg per hektar
, sedangkan metode SRI organik adalah 4.790 kg per hektar. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode
konvensional dan SRI organik adalah
-95,433
kgiring. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,106 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara hasil produktivitas metode konvensional dan SRI organik.
Perbedaan yang tidak terlalu besar ini dapat disebabkan karena di Desa Ringgit pada dasarnya hanya melakukan dua kali penanaman, yaitu MT I yang
dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II yang dilakukan pada bulan April hingga Juli. Akan tetapi, beberapa petani konvensional ada yang