57
7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
Untuk penerimaan dan pendapatan usahatani diasumsikan bahwa seluruh petani baik konvensional maupun organik memiliki lahan sendiri. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah dalam membandingkan dengan menggunakan uji t. Penerimaan dan pendapatan masing-masing petani dapat dilihat pada Lampiran
2. Berikut hasil perhitungan dengan uji t dan analisis usahatani untuk mengetahui jumlah penerimaan antara metode konvensional dan SRI organik.
Tabel 16. Distribusi Rata-Rata Penerimaan dengan Metode Konvensional dan
Metode SRI Organik 1 Ha
Metode Volume kg
Harga Rpkg Nilai Rp
p. Value Konvensional
2.189 5.000
10.928.664 0,023
SRI Organik 2.306
8.000 18.453.495
Tabel 16 memperlihatkan bahwa rata-rata penerimaan metode konvensional adalah Rp 10.928.644, sedangkan metode SRI organik adalah Rp
18.453.495. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik adalah Rp 466.109,700. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,023 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerimaan petani menggunakan metode
konvensional dan SRI organik. Output akhir produk yang dijual pada kenyataannya berbeda, yaitu petani
konvensional menjual produk akhirnya berupa gabah, sedangkan petani SRI organik berupa beras. Dengan demikian, perlu adanya penyetaraan hasil produk
akhir yang dijual yaitu beras. Pemilihan produk beras yang dijadikan perbandingan kedua metode tersebut didasarkan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya bias dalam perhitungan. Sebab, petani SRI organik Desa Ringgit tidak pernah menjual hasil produksinya berupa gabah. Dengan demikian, tidak ada
harga jual gabah untuk padi organik. Untuk pertanian konvensional, petani lebih sering menjual hasil panennya
berupa gabah kering panen GKP kepada tengkulak dengan kisaran harga antara Rp 330.000
– Rp 465.000 per kwintal gabah kering sesuai dengan harga yang berlaku saat itu. Selain itu pula sebagian petani juga ada yang menjual hasil
58 panennya dengan cara tebasan ditebas di sawah dengan harga yang telah
disepakati bersama. Kisaran harga tebasan yaitu Rp 2.500.000 – Rp 3.750.000 per
iring 2000 m
2
berdasarkan pada varietas padi yang ditanam, kondisi lahan banyak gulma atau tidak terawat akan menyebabkan harga yang diberikan rendah.
Petani organik menjual hasil panennya berupa beras yang dikumpulkan di kelompok, walaupun yang diberikan kepada kelompok juga berupa GKP yang
nantinya diproses lebih lanjut oleh kelompok dari mulai penggilingan hingga pengemasan. Harga jual beras organik yang di tawarkan yaitu Rp 9.100 per kg,
namun harga yang diterima oleh petani dari kelompok yaitu Rp 8.000 per kg. Selisih harga Rp 1.100 merupakan biaya yang dikeluarkan kelompok untuk biaya
penggilingan, biaya pensortiran beras, biaya kemasan, serta kas yang digunakan untuk pemasukan kelompok.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan petani SRI organik lebih tinggi dari petani konvensional yang disebabkan oleh tingginya
harga jual beras organik yaitu Rp 8.000,- dan jumlah beras yang dihasilkan metode SRI organik lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional.
Pada perhitungan pendapatan usahatani, antara petani pemilik dan petani penggarap terdapat perbedaan sebesar 50 persen. Persentase tersebut didasarkan
atas kesepakatan bersama antara pemilik lahan dengan penggarap lahannya. Oleh karena jumlah responden sebagai petani penggarap tidak banyak, maka dalam
perhitungan uji beda t diasumsikan bahwa seluruh petani responden merupakan petani pemilik. Hal lain yang menjadi alasan untuk tidak dibedakannya antara
petani penggarap dan petani pemilik yaitu, biaya pajak dan biaya sewa dikeluarkan pada MT I, sedangkan penelitian dilakukan pada MT II. Dengan
demikian, kedua biaya tersebut termasuk ke dalam biaya diperhitungkan.
59
Tabel 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional ha
Metode Konvensional
Volume Harga
Rpvol Nilai Rp
A. Penerimaan 2.189 kg
5.000 10.928.664
B. Biaya Tunai : 1. Pajak
2. Bensin 3. Pupuk Kimia
4. Benih 5. Pestisida
6. Tenaga Kerja Luar Keluarga 7. Panen
3 L 521,33 kg
14,18 kg 679,33 L
385,22 HOK 2.972 kg
5.000 1.799
7.759 799,95
7.663,45 320
4.583 15.000
937.872 100.467
749.023 2.892.014
951.343 C. Biaya diperhitungkan :
1. Pajak 2. Sewa Lahan
3. Penyusutan 4. Benih
5. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 14,18 kg
72,03 HOK 7.945
7.864,49 74.350
212.500 1.123.415
32.867 564.895
D. Total Biaya 7.587.505
E. Pendapatan 3.341.159
Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159, dengan penerimaan sebesar Rp 10.928.664. Bentuk ouput produk yang
digunakan dalam perhitungan ini yaitu beras. Hal tersebut dilakukan untuk menyetarakan perbandingan yang dilakukan. Volume beras yang dihitung telah
dikurangi dengan biaya panen, penyusutan yang terjadi pada saat proses penjemuran gabah yaitu sebesar 15 persen, serta nilai rendemen sebesar 35 persen
karena adanya proses penggilingan gabah menjadi beras. Pada biaya yang dikeluarkan, biaya tunai memiliki nilai lebih besar yaitu
sebesar Rp 5.650.302, sedangkan untuk biaya diperhitungkan sebesar Rp 2.008.027. Besarnya jumlah biaya tunai yang dikeluarkan dikarenakan adanya
penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan untuk kegiatan budidaya seperti menanam dan matun. Kegiatan menanam padi di Desa Ringgit dilakukan
oleh wanita dengan sistem borongan. Sistem borongan yang diterapkan yaitu pembayaran dilakukan setara dengan upah 12-24 hari kerja wanita HKW,
walaupun jumlah tenaga kerja dapat berjumlah 12 orang setiap iringnya. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menanam padi
dengan lahan seluas satu hektar yaitu 62,82 HKW.
60 Matun merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada proses
budidaya seperti membersihkan gulma atau menyiangi, membersihkan pematang, dan melakukan penyulaman. Kegiatan matun pada pertanian konvensional hanya
dilakukan 2-3 kali, bahkan terdapat beberapa petani yang tidak melakukan kegiatan matun tersebut. Matun dalam pertanian konvensional dapat dilakukan
dalam tiga cara yaitu menggunakan alat yang disebut dengan gosrok, menggunakan tangan dengan mencabut gulma, dan dengan menggunakan
pestisida atau obat penghilang gulma. Matun dengan menggunakan gosrok biasa dilakukan oleh tenaga kerja pria, karena alat tersebut cukup berat digunakan oleh
wanita. Jumlah penggunaan tenaga kerja pria yang digunakan untuk lahan seluas satu hektar yaitu 53,50 HKP dan tenaga kerja wanita yaitu 49,67 HKW. Untuk
perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Tabel 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik ha
Metode SRI Organik
Volume Harga
Rpvol Nilai Rp
A. Penerimaan 2.306kg
8.000 18.453.494
B. Biaya Tunai : 1. Pajak
2. Bensin 3. Pupuk Kandang
4. Benih 5. Tenaga Kerja Luar Keluarga
6. Panen 0,33 L
4.543,05 kg 1,04 kg
679,33 L 289,29 HOK
3.075,41 kg 5.000
199 7.933,33
799,95 7.663,45
320 5.833
1.667 872.413
8.226,67 749.023
2.892.014 984.130
C. Biaya diperhitungkan : 1. Pajak
2. Sewa Lahan 3. Penyusutan
4. Benih 5. Pupuk Kandang
6. MOL 7. Tenaga Kerja Dalam Keluarga
5,11 kg 7.466 kg
88,33L 131HOK
7.669 166
2.280 7.735,63
40.343 212.500
1.040.733 39.787
1.091.087 201.400
1.040.582 D. Total Biaya
7.894.219 E. Pendapatan
10.559.276
Pendapatan petani SRI organik pada lahan seluas satu hektar sebesar Rp 10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494. Perbedaan pendapatan
antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu sebesar Rp 7.218.117.
61 Perbedaan jumlah pendapatan tersebut dikarenakan harga jual beras organik lebih
tinggi Rp 3.000 dibandingkan dengan harga beras konvensional sebesar Rp 5.000 per kilogram.
Pada Tabel 18 dapat diketahui pula bahwa pengeluaran dari biaya tunai lebih tinggi dibandingkan biaya diperhitungkan, dengan total biaya tunai sebesar
Rp 4.227.288 serta biaya diperhitungkan sebesar Rp 3.666.431. Penyumbang besar pada komponen biaya tunai yaitu tenaga kerja luar keluarga yang berada
pada kegiatan tanam dan matun. Matun pada pertanian SRI organik dilakukan 3-4 kali. Walaupun pada setiap pelaksanaannya rata-rata hanya membutuhkan 23,88
HOK, lebih sedikit dari pertanian konvensional dengan 26,88 HOK, pertanian SRI organik membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan.
Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
7.3. Efisiensi Usahatani