Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

(1)

i

RADIONUKLIDA ALAM

238

U DAN

232

Th DI PERAIRAN

SEKITAR KAWASAN PLTU-BATUBARA

(Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

SABAM PARSAORAN SITUMORANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU- Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Sabam Parsaoran Situmorang C551080231


(3)

iii

SABAM PARSAORAN SITUMORANG. Pollutant Level of Natural Radionuclides 238U and 232Th in Waters Surrounding the Area of the Coal Fired Power Plant (Case Study Waters of Pulau Panjang and Coastal of Lada Bay, Banten). Under supervision of HARPASIS SELAMET SANUSI and JUNE MELLAWATI.

This study had been carried out by collecting sample of the surficial sediments, sea water, seaweeds, fishs (Stolephorus) and mussels (Codakia) from 4 locations in waters of Pulau Panjang and coastal of Lada Bay (as control/comparison site), Banten in June-July 2010. Natural radionuclide (238U and 232Th) concentrations in samples were measured using neutron activation analysis (NAA) method. The results showed that total radionuclide concentrations in sediment (238U: 18,6160– 35,0013 Bq/kg; 232Th: 11,2020-35,6685 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0790-0,1299 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 3,6735-4,8345 Bq/kg), natural seaweeds (238U: 3,6851-48,0430 Bq/kg; 232Th: 3,9941-9,0788 Bq/kg), Stolephorus (238U: undetected; 232Th: 3,3078 Bq/kg) and Codakia

(238U: 6,8903 Bq/kg; 232Th: 3,6023 Bq/kg) in Pulau Panjang, Banten around Suralaya coal fired power plant (PLTU) higher than control site that were around the Labuan coal fired power plant, namely in sediments (238U: 10,4253 Bq/kg; 232

Th: 16,5952 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0671 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 2,3005 Bq/kg), natural seaweeds (238U:19,5367 Bq/kg; 232Th: 2,6729 Bq/kg) and Stolephorus (238U: undetected; 232

Th: 2,0603 Bq/kg). This means the coal fired power plant has an impact on natural radionuclides pollution in the waters. The internal radiation exposured (via consumed of Codakia and Stolephorus) that received by inhabitant who live in Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten are between range 0,00047-0,01984 mSv/year. This value was considered less than limitation of effective doses that recomended by IAEA for public (1 mSv/year).

Keywords: natural radionuclides, neutron activation analysis (NAA), coal fired power plant, the internal radiation exposure


(4)

iv

Alam U dan Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian Di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten). Dibimbing oleh HARPASIS SELAMET SANUSI dan JUNE MELLAWATI.

Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang), bottom ash dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang. Radionuklida alam dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen, sehingga dengan adanya interaksi antara komponen biotik dengan abiotik dapat terjadi akumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan. Melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia sehingga dapat menimbulkan paparan radiasi interna dan pada tingkat konsentrasi tertentu menimbulkan kerusakan biologis misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Penelitian dengan topik tingkat cemaran unsur radionuklida alam di perairan sekitar kawasan PLTU-batubara ini bertujuan mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th dalam air laut (total, terlarut dan tersuspensi), sedimen, rumput laut (alami dan budidaya), ikan teri (Stolephorus dan Anchoa) dan kerang (Codakia) di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten, kemudian menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara, serta memperkirakan dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten.

Pengambilan contoh air, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 dari 4 stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang dan pesisir Teluk Lada (sebagai lokasi pembanding), Banten. Preparasi dan pengukuran kandungan radionuklida alam dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Proses aktivasi neutron contoh dan standar menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten. Pengukuran parameter muatan padatan tersuspensi total (TSS) dan identifikasi jenis kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB. Bahan organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIK-IPB sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia.

Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen abiotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0790–0,1299 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0623–0,0951 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0167–0,0433 Bq/l;


(5)

v

yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0671 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0333 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0338 Bq/l; sedimen total: 10,4253 Bq/kg dan 16,5952 Bq/kg. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen biotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu rumput laut alami: 3,6851–48,0430 Bq/kg dan 3,9941–9,0788 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 3,6735–4,8347 Bq/kg; ikan teri (Stolephorus): tidak terdeteksi dan 3,308 Bq/kg; kerang

(Codakia): 6,8903 Bq/kg dan 3,6023 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding

berturut-turut yaitu rumput laut alami: 19,5367 Bq/kg dan 2,6729 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 2,3005 Bq/kg; ikan teri (Anchoa): tidak terdeteksi dan 2,0603 Bq/kg. Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami berturut-turut yaitu Gracilaria salicornia: 0,1397 dan 0,1221; Sargassum duplicatum: 0,9719 dan 0,1695; Padina australis: 0,4622 dan 0,1385; Ulva lactuca: 1,3750 dan 0,2598, dan pada biota yaitu ikan teri

(Stolephorus) tidak teridentifikasi dan 0,7831; kerang (Codakia): 0,20 dan 0,32.

Perkiraan dosis interna melalui konsumsi ikan teri (Stolephorus) dan kerang laut

(Codakia) dari perairan Pulau Panjang, Banten yang diterima penduduk Kampung

Peres, Pulau Panjang, Banten usia dewasa (≥18 tahun) yaitu 0,0025–0,0461 mSv/tahun.

Aktivitas PLTU-batubara memberikan dampak terhadap perairan di sekitarnya, ada indikasi peningkatan konsentrasi radionuklida alam (baik dalam komponen abiotik maupun biotik) di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya yang telah beroperasi selama 27 tahun bila dibandingkan lokasi pembanding (sekitar PLTU Labuan yang baru beroperasi ±1 tahun). Tingkat akumulasi 238U dan 232Th pada rumput laut alami berturut-turut lebih tinggi pada jenis algae hijau, algae coklat dan algae merah. Ikan teri Stolephorus

memiliki kemampuan mengabsorpsi 232Th lebih baik daripada kerang Codakia.

Dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten belum melebihi batas dosis efektif yang direkomendasikan oleh IAEA untuk masyarakat yaitu 1 mSv/tahun.


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB


(7)

vii

SEKITAR KAWASAN PLTU-BATUBARA

(Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

SABAM PARSAORAN SITUMORANG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(8)

viii


(9)

ix

Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) Nama : Sabam Parsaoran Situmorang

NRP : C551080231

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc Ketua

Dr. June Mellawati, B.Sc, S.Si, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

x

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah (tesis) dengan judul “Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis Selamet Sanusi, M.Sc dan Ibu Dr. June Mellawati, S.Si, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan anggota pembimbing atas kesabaran, perhatian, bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi yang memberikan bantuan dan saran selama menempuh pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Kelautan IPB.

4. Pak Ali Arman Lubis, M.Sc, Pak Suripto dan Bu Niken, S.Si (Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta) atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama preparasi dan perhitungan radionuklida alam. Pak Kowkab (Center for Multiporpuse Reactor, BATAN, Puspiptek, Serpong) atas pelatihan singkat, penjelasan mengenai intalasi nuklir dan bantuan saat irradiasi sampel.

5. I. M. Royn S. Pasek, S.Pi, Synthesa P.Y.K, S.Pi, Lalu Aktidar Hakim, S.Pi, Ilham Rizki, S.Pi, Yohan Sony N., S.Pi, Abie Aryo D, S.Pi, Astrid S.P, Andhita Triwahyuni, S.Pi, Putri Mudhlika Lestarina, M.Si, Liston Siringo-ringo, M,Si dan Maria Ulfa, S,Kel atas bantuannya saat survey lapangan, pengambilan sampel maupun preparasi sampel.

6. Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah atas bantuan melalui beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran tahun 2010.

7. Rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Kelautan angakatan 2008 dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.

Bogor, Juli 2011


(11)

xi

Penulis dilahirkan di Tumbang Jutuh (Kalimantan Tengah) pada tanggal

9 Oktober 1984 sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Marusaha Situmorang dan Setiara Manullang. Pendidikan dimulai di SDN

Palangka-4 Palangkaraya (1991-1998) dilanjutkan ke SMPN-3 Palangkaraya (1998-2000) dan SMUN-5 Plus Palangkaraya (2000-2003). Tahun 2003-2008 menempuh pendidikan S-1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)-IPB. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011.

Selama mengikikuti program S-2, penulis mengabdi sebagai asisten pada bagian Oseanigrafi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB sejak tahun 2008 sampai sekarang dan aktif dalam keanggotaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (Watermass-IKL) pada tahun 2008-2009. Penulis juga memperoleh Beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010.

Dua buah karya ilmiah telah dipresentasikan pada pertemuan ilmiah yaitu Geokimia Logam Berat (Pb, Cr dan Cu) dalam Sedimen dan Potensi Ketersediaannya pada Biota Bentik di Perairan Delta Berau, Kalimantan Timur pada Seminar PIT ISOI VI di Bogor pada bulan November 2009 dan Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) pada Seminar Keselamatan Nuklir (SKN) 2011 Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) di Jakarta pada bulan Juni 2011. Dua buah jurnal telah diterbitkan dengan judul Geochemistry of heavy metals (Pb, Cr and Cu) in

sediments and benthic communities of Berau Delta, Indonesia pada jurnal Coastal

Marine Science, The University of Tokyo tahun 2010 dan Geokimia Logam Berat (Pb, Cr dan Cu) dalam Sedimen dan Potensi Ketersediaannya pada Biota Bentik di Perairan Delta Berau, Kalimantan Timur pada jurnal Ilmu Kelautan, UNDIP tahun 2010. Artikel berjudul Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) akan diterbitkan pada prosiding SKN 2011 BAPETEN, serta artikel Prakiraan Paparan Radiasi 238U dan 232Th yang Diterima Penduduk Pulau Panjang Sekitar Calon Tapak Potensial PLTN Banten akan diterbitkan pada jurnal Pengembangan Energi Nuklir pada tahun 2011.


(12)

xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv DAFTAR LAMPIRAN ... xvii 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida ... 7

2.2 Unsur Radionuklida Alam ... 9

2.2.1 Uranium ... 10

2.2.2 Thorium ... 11

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara ... 12

2.3.1 Batubara ... 15

2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara ... 16

2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara ... 21

2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara ... 21

2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir ... 25

2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan sedimen peraiaran ... 25

2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan tumbuhan) ... 27

a. Kerang ... 29

b. Rumput laut ... 30

2.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Manusia ... 33

3 METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2 Alat dan Bahan ... 38

3.2.1 Alat ... 38

3.2.2 Bahan ... 38

3.3 Komponen dan Parameter Lingkungan yang Diukur ... 39

3.4 Teknik Pengambilan dan Preparasi Contoh ... 40

3.4.1 Air laut ... 40


(13)

xiii

3.4.5 Tumbuhan (rumput laut) ... 42

3.5 Pengukuran Radionuklida Alam 238U dan 232Th ... 43

3.5.1 Proses aktivasi ... 43

3.5.2 Proses pengukuran ... 43

3.6 Analisis Data ... 44

3.6.1 Analisis parameter fisik dan kimia air serta sedimen perairan pesisir ... 44

3.6.2 Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada biota dan tumbuhan perairan pesisir ... 45

3.6.3 Prakiraan dosis interna yang diterima penduduk melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut ... 45

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 47

4.1.1 Letak geografis, administratif dan topografi Pulau Panjang, Banten ... 47

4.1.2 Kondisi perairan (potensi, kedalaman, pasang surut dan arus) ... 47

4.1.3 Klimatologi (curah hujan, arah dan kecepatan angin) ... 51

4.1.4 Lokasi pembanding ... 57

4.2 PLTU-Batubara Suralaya ... 58

4.2.1 Transportasi bahan bakar ... 58

4.2.2 Boiler dan turbin ... 59

4.2.3 Emisi abu hasil pembakaran batubara ... 59

4.3 Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten .... 60

4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS ... 60

4.3.2 Tekstur dan bahan organik total sedimen ... 64

4.4 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Air dan Sedimen ... 66

4.2.1 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam air ... 66

4.2.2 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen ... 69

4.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Rumput Laut ... 71

4.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Biota (Ikan Teri Genus Stolephorus dan Kerang Genus Codakia) ... 75

4.7 Paparan Radiasi Interna Melalui Konsumsi Ikan Teri (Genus Stolephorus) dan Kerang (Genus Codakia) ... 78

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(14)

xiv

Halaman

1. Unit-unit dalam radiologi ... 9 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami ... 10 3. Jenis-jenis batubara ... 15 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya ... 22 5. Kandungan radionuklida dalam batubara... 22 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTU-batubara di beberapa negara ... 24 7. Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami ... 32 8. Komponen lingkungan, parameter, satuan dan metode pengukuran ... 40 9. Nilai dissolved transport indice (DTI) dan kapasitas adsorpsi (KA)

dari 232Th di lokasi pengamatan pada Juni-Juli 2010 ... 68 10. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut beberapa perairan Indonesia

dan kisaran rata-ratanya di dunia ... 69 11. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia ... 71 12. Rumput laut yang ditemukan di lokasi pengamatan ... 72 13. Rata-rata faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ... 75 14. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri (Stolephorus) dan

kerang (Codakia) serta nilai faktor konsentrasinya di perairan

Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ... 76 15. Konsentrasi 238U dan 232Th pada produk olahan hasil laut

(dodol rumpu laut dan ikan teri) di Pulau Panjang dan

Kampung Kemuning, Citeureup, Banten, Juni-Juli 2010 ... 77 16. Rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh

melalui konsumsi kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten ... 79


(15)

xv

Halaman

1.Diagram kerangka pemikiran··· 6

2.Deret peluruhan radionuklida alam 238U ··· 13

3.Deret peluruhan radionuklida alam 232Th ··· 14

4.Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003 ··· 16

5.Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ··· 17

6.Lokasi PLTU-batubara di Indonesia ··· 20

7.Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia ··· 33

8.Peta lokasi penelitian ··· 37

9.Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ··· 48

10.Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaann (m/s) di Utara dan Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia (a. musim barat, b. musim peralihan 1, c. musim timur dan d. musim peralihan 2) ··· 51

11.Curah hujan bulanan (mm) dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang, Banten ··· 52

12.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 53

13.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 54

14.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim timur berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim timur di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 55

15.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 2 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 2 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 56

16.Persentase arah dan kecepatan angin di perairan Pulau Panjang, Banten selama 10 tahun (Januari 2000-Desember 2009) ··· 57

17.Nilai salinitas (‰) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 61

18.Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 62

19.Nilai suhu perairan (oC) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 62


(16)

xvi

Juni-Juli 2010 ··· 65 23.Kandungan TOM (%) dalam sedimen pada stasiun pengamatan,

Juni-Juli 2010 ··· 66 24.Konsentrasi 232Th (Bq/l) total, tersuspensi dan terlarut dalam air laut

di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 67 25.Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) total dalam sedimen pada lokasi

pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 70 26.Konsentrasi 238U (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan,

Juni-Juli 2010 ··· 73 27.Konsentrasi 232Th (Bq/kg) tubuh rumput laut di lokasi pengamatan,


(17)

xvii

Halaman

1. Prosedur analisis muatan padatan tersuspensi/TSS ... 90

2. Prosedur analisis kandungan bahan organik total (TOM) sedimen ... 90

3. Analisis tekstur sedimen (metode pemipetan) ... 91

4. Peta lokasi stasiun 4 (lokasi pembanding) di Teluk Lada, Banten ... 93

5. Peta topografi Pulau Panjang, Banten ... 94

6. Data elevasi muka laut selama 15 hari dari Dishidros ... 95

7. Perhitungan bilangan Formzahl ... 96

8. Konversi satuan bobot (gram) ke aktivitas (Bq) ... 97

9. Batas deteksi alat (detection limits) dari 238U dan 232Th ... 98

10. Curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang ... 99

11. Tekstur sedimen ... 99

12. Rata-rata konsumsi kerang dan ikan teri oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten ... 100

13. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 238U melalui ingesti kerang ... 102

14. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti kerang ... 104

15. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti ikan teri ... 106

16. Total asupan radionuklida alam 238U dan 232Th... 108

17. Dosis efektif terikat (intakes of commited effctive dose) per tahun dari konsumsi kerang dan ikan teri ... 110

18. Gambar sampel rumput laut ... 112

19. Nilai kualitas perairan dan konsentrasi radionuklida alam dalam air laut, sedimen dan rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010... 113


(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut mempunyai peran yang sangat penting, baik ditinjau dari segi ekologis maupun ekonomis (Dahuri 2003). Lingkungan laut (pesisir dan estuaria) merupakan suatu ekosistem yang khas karena menjadi tempat akumulasi berbagai kontaminan (alami dan antropogenik). Sumber kontaminan tersebut ialah masukan dari daratan melalui sistem sungai, jatuhan dari atmosfir dan aktivitas di perairan itu sendiri (pelabuhan, wisata dan industri). Di era industrialisasi, kawasan pesisir menjadi prioritas utama untuk mengembangkan berbagai kegiatan industri sehingga wilayah tersebut beresiko tinggi untuk berbagai kasus pencemaran. Beberapa kegiatan industri “non-nuklir” seperti tambang timah, tambang batuan fosfat, tambang batuan bauksit, minyak dan gas bumi, tambang emas, pabrik pupuk fosfat, pabrik penyekat dinding dari fosfogipsum dan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara serta pemanfaatan hasil limbahnya, tanpa disadari akan menaikkan tingkat radionuklida alam di lingkungan dan pada tahap berikutnya akan menaikkan paparan radiasi alam terhadap kehidupan di lingkungannya. Dua industri dari beberapa industri “non-nuklir” tersebut menurut laporan UNSCEAR yang mempunyai potensi besar sebagai pencemar radionuklida ke lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998).

Listrik sangat diperlukan untuk berbagai keperluan. Kebutuhan setiap tahunnya terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, usaha peningkatan kesejahteraan manusia dan peningkatan perekonomian. Guna memenuhi kebutuhan listrik di dunia dan di Indonesia khususnya, pemerintah terus berupaya membangun PLTU-batubara dan PLTN. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama yang umum digunakan pada berbagai kegiatan industri, termasuk industri pembangkit listrik, karena dari segi ekonomis batubara jauh lebih murah dibandingkan jenis bahan bakar lainnya. Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia, karena


(19)

jumlahnya sangat berlimpah mencapai hampir puluhan milyar ton. PLTU menggunakan batubara sebagai bahan bakar yang berasal dari alam dan mengandung material radioaktif (NORM = Naturally Occuring Radioactive

Material), sehingga dapat menimbulkan terjadinya pemekatan radionuklida alam

yang dinamakan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring

Radioactive Material).

Masalah perlindungan lingkungan hidup sekarang semakin banyak diperdebatkan dalam kaitannya dengan kesehatan manusia. Hal ini mendorong evolusi signifikan dalam bidang radioproteksi. Setelah sebelumnya penekanan ditempatkan langsung pada kesehatan manusia dan sukses, radioproteksi memperluas ruang lingkup dan perhatian untuk juga mempertimbangkan fauna, flora dan komponen abiotik lingkungan, dimana diketahui bahwa kesehatan manusia memerlukan lingkungan yang sehat pula.

Isu lingkungan sangat penting untuk pengembangan PLTU-batubara yang baru. Pelepasan hasil produk pembakaran batubara yang tidak terkontrol dapat meningkatkan konsentrasi logam toksik dan radionuklida alam di lingkungan, oleh karena itu evaluasi terhadap jumlah zat radioaktif dalam batubara sangat penting (Flues et al. 2006). Bahan tambang mengandung sejumlah radionuklida alam karena bahan tersebut berasal dari kerak bumi yang umumnya diperoleh manusia melalui penggalian. Batubara merupakan bahan tambang yang mengandung unsur-unsur radioaktif/radionuklida alami berumur paruh panjang. Batubara mengandung uranium-238 (238U), thorium-232 (232Th), radium-226 (226Ra) dan kalium-40 (40K) yang kadarnya cukup bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Kandungan radionuklida alam di dalam batubara bervariasi bergantung pada jenis dan lokasi penambangan batubara. Konsentrasi radionuklida alam di dalam abunya juga akan bervariasi dan cenderung lebih kaya dibandingkan unsur radionuklida alam yang terkandung di dalam batubara. Laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kira-kira 10% dari volume batubara. Lebih dari 90% abu yang dihasilkan terdiri dari 20% berupa bottomash dan slag, lainnya 80% berupa fly ash (Sukandarrumidi 2009).

Undang-undang RI No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,


(20)

dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Radionuklida alam dapat digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun, hal ini karena sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bapedal 1999). Jika unsur radionuklida alam terlepas ke lingkungan perairan, maka hasil interaksinya dengan komponen biotik perairan tersebut dapat menimbulkan keadaan abnormal dari biota perairan (ikan dan biota lain). Kontak langsung dengan komunitas tanaman juga menyebabkan penurunan produksi biomassa dan hambatan pertumbuhan serta kematian (Connel dan Miller 1995). Radionuklida alam sebagai unsur pencemar yang masuk ke dalam ekosistem akan mengikuti lintas rantai makanan dan dapat berujung pada jaringan tubuh manusia (Thayib 1990). Kasus pencemaran radionuklida alam di negara maju telah diketahui sejak lama, akan tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, kasus ini masih belum banyak diketahui sebagian besar masyarakat.

Pulau Panjang, Provinsi Banten dengani luas area 7,26 km2 memiliki jumlah penduduk sekitar 3000 orang dengan mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah sebagai nelayan. Produk utama dari kegiatan perikanan di Pulau Panjang adalah rumput laut dan ikan teri yang menjadi produk unggulan di provinsi Banten. Banyak juga ditemukan kerang yang hidup di perairan Pulau Panjang dan dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Pulau Panjang berdekatan dengan kawasana industri yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar sehingga dapat mencemari perairan tersebut salah satunya zat radioaktif/radionuklida alam yang dihasilkannya. Industri tersebut diantaranya PLTU-batubara Suralaya, dengan jarak kurang lebih 12 km diduga aktivitas PLTU-batubara tersebut mempengaruhi perairan Pulau Panjang, stockpile

batubara dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara menggunakan kapal-kapal tongkang yang melewati perairan tersebut. Selain itu, adanya rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Pulau Panjang, Banten juga merupakan isu yang menarik dalam hal pencemaran zat radioaktif di perairan Pulau Panjang, Banten.


(21)

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu dilakukan kajian dampak lepasan radionuklida alam 238U dan 232Th dari PLTU-batubara ke lingkungan. Penelitian ini dimaksudkan menentukan status dan sebaran radionuklida alam 238U dan 232Th di kawasan pesisir sekitar industri non-nuklir.

1.2 Perumusan Masalah

Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ash, selain itu aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang juga memberikan kontribusi terhadap pelepasan radionuklida alam ke perairan. Adanya rencana pemerintah membangun PLTU-batubara guna memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dalam mendorong pembangunan nasional, secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya emisi radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya. Beberapa PLTU- batubara yang direncanakan kebanyakan berlokasi di pesisir. Radionuklida alam tersebut dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen sehingga dapat mempengaruhi kehidupan komponen biotik di perairan pesisir tersebut. Radionuklida alam tersebut akan terakumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan sehingga melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia. Asupan terhadap biota dan tumbuhan yang mengandung 238U dan 232Th oleh manusia dapat menimbulkan paparan radiasi interna dalam tubuh manusia. Kerusakan biologis yang timbul akibat terpapar radiasi ini misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Kasus pencemaran radionuklida alam primordial 238U dan 232Th oleh industri “non-nuklir” khususnya PLTU-batubara masih belum banyak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kasus tersebut dapat dianggap penting karena dampak yang diakibatkannya serius.


(22)

1.3 Kerangka Pemikiran

Pembangunan pembangkit listrik (PLTU-batubara) dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional guna mendorong peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan pelepasan sejumlah radionuklida alami 238U dan 232Th ke lingkungan perairan di sekitarnya. Pelepasan sejumlah radionuklida alam ke lingkungan dapat meningkatkan paparan radiasi yang membahayakan komponen di lingkungan.

Sebagai komponen abiotik perairan, air, padatan tersuspensi dan sedimen adalah media perantara berpindahnya radionuklida alam ke tanaman dan biota perairan, melalui mekanisme akumulasi. Dampak radiologi akibat kegiatan PLTU-batubara terhadap manusia yaitu meningkatnya paparan radiasi interna melalui konsumsi hasil laut (ikan, kerang dan rumput laut) yang terkontaminasi radionuklida alam. Skema alur kerangka pemikiran ditunjukkan pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan abiotik (air, padatan tersuspensi dan sedimen) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

2. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan biotik yaitu rumput laut, ikan teri (Stolephorus sp.) dan kerang (Codakia) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

3. Menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

4. Memperkirakan dosis interna yang berpotensi diterima penduduk melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten. Manfaat penelitian ini adalah sebagai data dasar yang memberikan informasi tentang seberapa jauh kontribusi PLTU-batubara terhadap bahan pencemar


(23)

radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir. Informasi ini dapat digunakan sebagai pengetahuan bagi para pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan dengan mempertimbangkan masalah lingkungan (kemampuan lingkungan dalam menerima kontaminan radionuklida) dalam regulasi tentang zonasi atau rencana tata ruang kawasan, sehingga kegiatan-kegiatan yang tak terelakkan keberadaannya dalam pembangunan tersebut dapat ditata lebih baik dan tidak saling mempengaruhi untuk mengurangi dampak dan melestarikan lingkungan perairan.

Keterangan: = langsung

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran Pengoperasian PLTU-Batubara

Pelepasan Radionuklida Alam 238

U dan 232Th

Komponen Perairan Pesisir

Peningkatan Paparan Radiasi

Air Sedimen

Tersebar Terdeposisi

Hewan dan Tumbuhan Akumulasi

Laju pemanfaatan (konsumsi)

Manusia (Efek Kesehatan) Padatan tersuspensi

= ruang lingkup penelitian = tidak langsung


(24)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida

Dari lambang nuklida , dapat ditentukan jumlah proton dan neutron dalam inti atom, dan sekaligus juga jumlah elektron yang mengitari inti. Jumlah proton (nomor atom) adalah Z, jumlah neutron adalah massa atom (A) dikurangi dengan nomor atom (Z). Nuklida-nuklida dengan jumlah proton sama tetapi jumlah neutron berbeda disebut isotop. Menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran, radioisotop (radionuklida) adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan radiasi pengion, dimana radiasi pengion itu sendiri adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu meng-ionisasi media yang dilaluinya. Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency).

Proses peluruhan zat radioaktif sebenarnya adalah proses alami dari suatu zat radioaktif atau radioisotop dalam rangka keseimbangan menuju energi dasarnya. Peluruhan radioaktif (radioactive decay) adalah emisi partikel-partikel secara spontan atau radiasi elektromagnetik dari atom yang tidak stabil yang mengakibatkan transformasi (perubahan bentuk) dalam nukleus/intinya. Hasil dari transformasi ini yaitu alpha, beta dan partikel neutron dapat dikeluarkan dari inti, kadang-kadang disertai dengan emisi partikel positron, sinar gamma, dan sinar – X. Atom berubah menjadi elemen baru, yang dapat bersifat radioaktif atau stabil (Morrison dan Murphy 2006). Partikel alpha, beta dan positron memiliki waktu paruh yang sangat pendek dan tidak stabil di dalam lingkungan. Sinar gamma dan sinar – X merupakan foton (Morrison dan Murphy 2006).

Kuantitas dari radionuklida diuraikan oleh aktivitasnya sesuai dengan persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006):


(25)

A= λ N ... (1) dimana:

A = aktivitas (Bq)

λ = konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)

N = jumlah atom (1 × )

Aktivitas pada waktu tertentu diuraikan oleh persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006):

A = A0 e- λ t ... (2) dimana:

A = aktivitas (Bq)

A0 = aktivitas awal pada t=0

λ = konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1) t = waktu sejak t = 0 (dalam detik)

Waktu paruh dari suatu isotop radioaktif adalah selang waktu yang dibutuhkan agar aktivitas radiasi berkurang setengah dari aktivitas semula. Waktu paruh juga dapat didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan agar setengah dari inti radioaktif yang ada meluruh. Ketika t = T1/2 maka = sehingga waktu paruh kita peroleh dengan cara:

A = A0 e- λ t = e- λ t

= 0,5 atau 0,5 = e- λ t1/2

Ln 0,5 = - λt1/2 atau -0,693 = - λt1/2 sehingga, t1/2 =

,

(detik) (Morrison dan Murphy 2006).

Dalam sistem internasional, satuan aktivitas radiasi dinyatakan dalam

Becquerel (disingkat Bq) sesuai dengan nama penemu radioaktivitas, dimana 1 Bq

= 1 peluruhan/detik. Tabel 1 menunjukkan unit-unit yang digunakan dalam ilmu radiologi.


(26)

Tabel 1. Unti-unit dalam radiologi

Kuantitas

Unit SI baru dan

simbol Definisi

Unit lama dan

simbol Definisi Konversi data

Radioaktivitas

Becquerel

(Bq) peluruhan/detik Curie (Ci)

3,7 X 1010 peluruhan

per detik 1 Ci = 3,7 X 1010 Bq

1 Bq = 2,7 X 10-11 Ci = 27pCi

Catatan: 1. Tera Becqurel (TBq) umum digunakan untuk buangan radioaktif:

1 TBq = 1012 Bq = 27 Ci

2. Konsentrasi radioaktivitas diberikan dalam Becquerel per kilogram (Bq/kg):

1 Bq/kg = 1 mBq/g = 27 pCi/kg

1 pCi/g = 37 Bq/kg

Dosis yang

diabsorpsi Gray (Gy) J/kg rad (rad) 10-2 J/kg 1 rad = 10-2 Gy

1 Gy = 102 rad

Dosis equivalen Sievert (Sv) J/kg X (modifying

factor) rem (rem)

10-2 J/kg X

(modifying

factor)

1 rem = 10-2 Sv = 10mSv

1 Sv = 102 rem

Sumber: Laws (1993)

2.2 Unsur Radionuklida Alam

Unsur radionuklida alam adalah unsur yang mempunyai konfigurasi unsur kimia tidak mantap, senantiasa meluruh sambil memancarkan radiasi α (alpha), β

(beta) dan γ (gamma). Berdasarkan sumbernya, unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur radionuklida kosmogenik dan unsur radionuklida primordial (dari dalam kerak bumi). Berbagai bahan yang berasal dari alam dan mengandung materi radioaktif dikenal dengan istilah Naturally Occuring

Radioactive Materials (NORM).

Radionuklida alam primordial yaitu unsur radionuklida alam yang terbentuk dalam kerak bumi, yang telah ada sejak terbentuknya bumi beberapa milyar tahun. Unsur tersebut terdapat dalam mineral-mineral batuan dan tanah, dapat terkonsentrasi atau meningkat kadarnya akibat penggunaan ada kegiatan industri (Mellawati 2004). Radionuklida alam primordial terdiri atas 2 kelompok, yaitu radionuklida alam primordial yang tidak membentuk deret (singly occuring

primordial radionuclida) seperti 40K, 87Rb, dan 204Pb dan yang membentuk deret


(27)

thorium (232Th) (Gambar 3) (UNSCEAR 1993 dan Bennet 1995 in Mellawati 2004).

2.2.1 Uranium

Uranium adalah salah satu unsur radioaktif yang terjadi secara alami di lapisan kerak bumi. Uranium merupakan logam dengan densitas yang tinggi (18,9 g/cm3). Radionuklida uranium termasuk kelompok aktinida yang mempunyai nomor atom 92, bobot massa 238,02891, titik cair 1135 oC dan titik didih 4131 oC. Uranium dalam bentuk murninya adalah logam berat berwarna perak dengan densitas hampir dua kali timbal (Pb). Batuan bumi mengandung rata-rata 3 ppm (= 3 mg/kg) uranium, dan di air laut diperkirakan 3 ppb (= 3 µg/kg). Kathren (1998) menyebutkan bahwa hampir semua jenis batuan mengandung uranium rata-rata 33 Bq/kg. Uranium yang berasal secara alami terdiri dari tiga isotop yang semuanya merupakan zat radioaktif yaitu 238U, 235U, dan 234U (Tabel 2). 238

U dan 235U merupakan nuklida induk (parent) yang memiliki deret luruh sendiri, sedangkan 234U merupakan produk peluruhan dari deret 238U (Argonne National Laboratory 2005). Uranium yang terdapat dalam perairan alami adalah uranium heksavalen, berupa ion uranil (UO22-).

Tabel 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami

Isotop Uranium

Isotop

Persentase dalam uranuim

alamiah

Nomor proton

Nomor neutron

Waktu paruh ( tahun)

Uranium-238 99.284 92 146 146 milyar

Uranium-235 0.711 92 143 704 juta

Uranium-234 0.0055 92 142 245000

Sumber: IEER (2005)

Peluruhan uranium sangat lambat dengan memancarkan partikel alfa. Waktu paruh uranium-238 adalah 4,5 miliar tahun, yang berarti tidak sangat radioaktif seperti ditunjukkan oleh spesific abundance yang rendah (0,00000034 Ci/g). Sejumlah kecil uranium alam dapat ditemukan hampir di setiap tempat, di tanah, batuan bumi, dan air, sementara bijih uranium ditemukan hanya di beberapa


(28)

tempat, biasanya dalam batuan keras atau batuan pasir, depositnya biasanya ditutupi oleh tanah dan vegetasi (Argonne National Laboratory 2005).

Selama bertahun-tahun, uranium digunakan untuk mewarnai gelas keramik, menghasilkan warna yang berkisar dari merah jingga sampai kuning lemon. Uranium juga digunakan untuk pewarnaan pada masa awal fotografi. Sifat radioaktif uranium tidak diketahui sampai tahun 1896, dan potensinya untuk digunakan sebagai sumber energi tidak pahami sampai pertengahan abad ke-20. Dalam reaktor nuklir, uranium berfungsi baik sebagai sumber neutron (melalui proses fisi) dan bahan target untuk menghasilkan plutonium. Plutonium-239 dihasilkan ketika uranium-238 menyerap neutron. Saat ini, penggunaan utamanya adalah sebagai bahan bakar pada reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir. Uranium juga digunakan dalam reaktor nuklir kecil untuk memproduksi isotop untuk keperluan medis dan industri. Pengayaan uranium yang tinggi merupakan komponen utama senjata nuklir tertentu (Argonne National Laboratory 2005). Dalam kondisi alami, uranium terbentuk sebagai bijih oksida, U3O8. Senyawa tambahan yang mungkin terdapat juga di dalamnya oksida yang lain (UO2, UO3) maupun fluorida, karbida atau karbonat, silikat, vanadates, dan fosfat. USEPA menetapkan tingkat kontaminan maksimum (MCL) untuk uranium dalam air minum yaitu 0,030 miligram per liter (mg/l) atau setara dengan sekitar 27 picocuries (pCi) per liter (Argonne National Laboratory 2005).

2.2.2 Thorium

Thorium adalah salah satu unsur radioaktif yang terbentuk secara alami di lapisan kerak bumi dan tanah dengan konsentrasi rendah, dimana kelimpahannya sekitar tiga kali lebih banyak daripada uranium. Tanah pada umumnya mengandung thorium dengan rata-rata sekitar 6 ppm. Peluruhan Thorium-232 (232Th) sangat lambat (waktu paruhnya sekitar tiga kali usia bumi) tetapi isotop thorium yang lain terbentuk dari hasil peluruhan dan berada dalam rantai peluruhan uranium. Sebagian besar dari uranium tersebut berumur pendek dan lebih radioaktif daripada 232Th, walaupun jika didasarkan pada massanya mereka tidak berbeda signifikan (World Nuclear Association 2009).

Ketika dalam bentuk murninya, thorium merupakan logam berat dengan warna putih perak yang akan tetap berkilau selama beberapa bulan. Tetapi, ketika


(29)

terkontaminasi oleh oksida, thorium akan memudar dengan perlahan-lahan di udara, menjadi berwarna abu-abu dan dapat menjadi hitam. Thorium oksida (ThO2), yang disebut juga thoria, memiliki titik didih tertinggi dari semua jenis oksida yang lain (3300 oC). Ketika dipanaskan di udara, logam thorium akan kembali terbakar dan terbakar sempurna dengan sinar putih. Karena sifat-sifat tersebut, thorium ditemukan pada aplikasinya yaitu elemen bola lampu, pembungkus lentera, arc-light lamp, sambungan (las) elektroda, dan keramik tahan panas. Gelas (kaca) yang mengandung thorium oksida memiliki indeks refraksi dan penyebaran yang tinggi dan digunakan dalam lensa yang berkualitas tinggi untuk kamera dan peralatan ilmiah (World Nuclear Association 2009). Sumber utama thorium adalah mineral fosfat (monazite), yang mengandung sampai 12% thorium fosfat, dengan rata-rata 6-7%. Monazite ditemukan pada hasil solidifikasi magma (igneous) dan batuan lainnya tetapi konsentrasi terbesar dalam deposit sedimen yang mengandung mineral-mineral berharga (placer

deposit), terkonsentrasi oleh gaya gelombang dan arus bersama logam berat yang

lain. Sumber monazite di bumi diperkirakan sekitar 12 juta ton. Thorium dibebaskan dari monazite biasanya melibatkan proses leaching menggunakan

sodium hydroxide pada suhu 140 oC diikuti dengan proses kompleks untuk

mengendapkan ThO2 murni. Mineral lain yang mengandung thorium yaitu torite (ThSiO4) (World Nuclear Association 2009).

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara

Di dunia saat ini terdapat berbagai jenis pembangkit listrik, dan berdasarkan klasifikasi penggunaan jenis bahan bakarnya, terdapat pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara), air, nuklir, dan terbarukan (gas, panas bumi, biogas, matahari, dan lain-lain). Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil salah satunya adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLTU ada yang menggunakan batubara, bahan bakar minyak, dan gas sebagai bahan bakar dalam operasi pembangkit tenaga listrik. PLTU-batubara adalah pembangkit listrik yang menggunakan uap air untuk memutar turbin dan menggerakan generator, serta akhirnya menghasilkan listrik. PLTU menghasilkan tenaga listrik melalui pembakaran batubara di boiler untuk memansakan air untuk


(30)

menghasilkan uap air. Uap air, pada tekanan yang tinggi, mengalir menuju turbin, yang mana akan memutar generator untuk menghasilkan tenaga listrik. Uap air kemudian menjadi lebih dingin, dan dikembalikan ke boiler untuk memulai proses seperti di atas.


(31)

(32)

2.3.1 Batubara

Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, dengan komposisi utama terdiri dari cellulosa. Proses pembentukkan batubara dikenal sebagai proses coalification. Faktor fisik dan kimia yang ada di alam akan mengubah

cellulosa menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksi

pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut (Sukandarrumidi 2009):

5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO ... (3) Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan terendah) yaitu: antrasit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Penggolongan tersebut menekankan pada kandungan relatif antara kandungan unsur C dan H2O yang terdapat dalam batubara.

Tabel 3. Jenis-jenis batubara

Jenis

batubara Penampakan dan karakteristik

Kadar C dan H2O

(%)

Antrasit

Warna hitam sangat mengkilat (luster) metalik, berat jenis tinggi, kandungan abu rendah, mudah dipecah, nilai kalor sekitar 8300 kkal/kg

Kadar C 86 - 98%, kadar air (H2O) < 8%

Bituminus

Warna hitam mengkilat, kandungan abu rendah, nilai kalor antara 7000-8000 kkal/kg

Kadar C 68 - 86%, kadar air 8 - 10%

Sub-bituminus

Menyerupai bituminus, sumber panas yang kurang efisien

Kadar sedikit , H2O banyak

Lignit

Warna coklat, sangat lunak, bila dibakar menghasilkan kalor 1500-4500 kkal/kg

Kadar H2O 35 - 75%

Gambut Berpori, nilai kalor 1700-3000 kkal/kg Kadar H2O > 75% Sumber: Sukandarrumidi (2009); Mellawati (2009)

Perkiraan jumlah dan lokasi cadangan sumberdaya alam batubara di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 4 (Mellawati 2009). Jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik adalah yang berkualitas tinggi maupun rendah. Umumnya batubara yang kualitasnya tinggi menghasilkan sedikit sekali unsur pengotor (impurities) yang bersifat berbahaya, sehingga tidak begitu mencemari lingkungan, sedangkan yang berkualitas rendah menghasilkan banyak

gas metan


(33)

unsur pengotor (Mellawati 2009). Bila jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU-batubara tergolong batubara muda atau brown coal

(lignite) yang memiliki kadar air diatas 55% maka perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan alat pengering (Pre-Drying System) seperti yang dilakukan pada PLTU Mulut Tambang Simpang Belimbing.

Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil yang penting bagi Indonesia, karena jumlahnya berlimpah mencapai jutaan ton. Akan tetapi perlu penghematan pemaikaiannya sehingga juga dapat menekan lepasan polutannya (CO2, SO2, NOx, CxHy, logam berat, dan radionuklida) ke lingkungan (Mellawati 2009).

Gambar 4. Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003

2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara

Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ditunjukkan pada Gambar 5 (Canadian Clean Power Coaltion 2004).


(34)

Gambar 5. Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik Keterangan:

1. Suplai/pasokan batubara

§ Batubara dari pertambangan dikirim ke gerbong/kontainer batubara, dimana batubara tersebut digiling/dihancurkan sampai berukuran 5 cm (2 inch).

§ Batubara diproses dan dikirim menggunakan ban berjalan (conveyor belt) menuju instalasi pembangkit.

2. Mesin penghancur/penggiling (pulverizer)

§ Batubara kemudian dihancurkan sampai menjadi bubuk yang halus, dicampurkan dengan udara dan dialirkan menuju ketel uap (bioler), atau tungku (furnace) untuk pembakaran.

3. Ketel uap (boiler)

§ Campuran batubara/udara dibakar pada boiler.

§ Jutaan liter air murni dipompa melewati pipa di dalam boiler.

§ Panas yang sangat kuat dari hasil pembakaran batubara mengubah air murni dalam tabung boiler menjadi uap, yang akan memutar turbin (lihat nomor 4) untuk menghasilkan energi listrik.

4. Presipitator, tiang silinder (stack)

§ Pembakaran batubara menghasilkan gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).


(35)

§ Abu dasar, yang membentuk fragmen-fragmen kasar yang jatuh ke dasar boiler, dibuang/dibersihkan.

§ Abu terbang, yang sangat ringan, keluar dari boiler bersama dengan gas-gas bersuhu panas.

§ Presipitator elektrostatik (saringan udara yang sangat besar) memisahkan 99,4% abu terbang sebelum gas-gas dalam cerobong disebar ke atmosfer. 5. Turbin, generator

§ Air dalam tabung boiler membawa panas dari boiler dan bergerak dalam bentuk uap.

§ Uap dengan tekanan tinggi dari boiler dilewatkan ke dalam turbin (drum pejal dengan ribuan lempeng baling-baling).

§ Ketika uap menabrak plat baling-baling, maka akan mengakibatkan turbin berputar dengan cepat.

§ Putaran turbin mengakibatkan tongkat rotating silinder panjang bergerak/menyala di dalam generator, menghasilkan arus listrik.

6. Kondensor (pendingin uap) dan sistem pendingin air

§ Air pendingin dibawa (dialirkan) ke dalam pembangkit dan disirkulasikan melewati kondensor , dimana uap dingin dilepaskan dari bagian turbin.

§ Uap dari bagian turbin juga dilewatkan melewati kondensor dalam pipa yang terpisah dari air pendingin.

§ Air dingin dipanasakan dengan penguap, dimana uap kembali ke dalam air murni dan disirkulasikan kembali ke boiler untuk memulai proses pembangkitan energi listrik kembali.

§ Air pendingin, yang telah menjadi hangat karena pertukaran panas di kondensor, dilepas/dibuang dari pembangkit.

7. Instalasi pengelolaan air (water treatment plant): pemurnian air

§ Untuk mengurangi korosi, air harus benar-benar murni untuk dapat digunakan dalam tabung boiler.

§ Sistem air limbah lain di dalam instalasi mengumpulkan air yang digunakan untuk membersihkan pipa-pipa dan peralatan lain, dan endapan (lumpur) hasil dari proses pemurnian air dan proses lainnya.


(36)

§ Air limbah dipompa ke luar dari instalasi/pembangkit dan menuju kolam penampungan.

8. Presipitator, sistem pengelolaan abu

§ Abu yang terbentuk pada lempengan presipitator dibersihkan/dijatuhkan dan dikumpulkan dalam bak besar.

§ Abu terbang dan abu dasar dibuang dari pembangkit dan dipindahkan dengan truk ke lokasi pembuangan (ash lagoon).

§ Tergantung pada permintaan pasar, abu terbang yang dihasilkan dari

TransAlta's three plants dijual kepada industri semen untuk bahan

konstruksi.

9. Substasiun, transformer, kabel transmisi

§ Ketika energi listrik dibangkitkan, transformer meningkatkan volt/tegangan listrik sehingga energi listrik dapat dibawa melalui kabel transmisi.

§ Ketika energi listrik terkirim ke substasiun di kota-kota, volt/tegangan yang ada dalam kabel transmisi dikurangi, dan dikurangi lagi ketika energi listrik didistribusikan ke pelanggan.

PLTU-batubara kini menjadi sumber daya energi pembangkit listrik alternatif yang akan dikembangkan di Indonesia. PLTU juga merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU. Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005, penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun (Tim Kajian Batubara Nasional 2006).

PLTU-batubara merupakan sistem pembangkit listrik yang relatif murah dengan biaya operasi sekitar 30 % lebih murah dibandingkan dengan sistem pembanglkit listrik dengan bahan bakar yang lain dan dapat memberikan energi listrik cukup besar. Keunggulan PLTU-batubara adalah harga bahan bakarnya


(37)

lebih murah dibandingkan minyak dan cadangan yang tersedia di Indonesia masih relatif banyak (Mellawati 2009; Sutarman 2007).

Hingga tahun 2005 telah dibangun sebanyak 11 unit PLTU yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yaitu PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU Tanjung Enim, PLTU Tarahan, PLTU Suralaya, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati, PLTU Paiton, PLTU Asam-Asam, PLTU Lati, dan PLTU Amurang seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Mellawati 2009).

PLTU Suralaya berkapasitas 3.400 MW, berfungsi untuk menyediakan energi listrik 50% produksi PT. Indonesia Power atau 25% dari kebutuhan energi listrik se Jawa - Bali. Untuk membangkitkan energi listrik tersebut PLTU Suralaya memerlukan batubara kurang lebih 32.000 ton/hari. Batubara tersebut sebanyak 50% berasal dari daerah Sumatera Selatan dan 50% lagi berasala dari Kalimantan. PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).


(38)

2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara

Berbagai industri “non nuklir” memakai bahan baku yang mengandung bahan radioaktif alam, terutama bahan baku yang berasal dari perut bumi. Pada Tabel 4 disajikan jumlah radionuklida alam yang terkandung di dalam hasil proses industri “non-nuklir”, antara lain industri timah, fosfat, minyak dan gas, semen, PLTU-batubara, dan bauksit, sekaligus termasuk limbahnya. Dari beberapa industri “non-nuklir” tersebut ada 2 industri yang menurut laporan UNSCEAR mempunyai potensi yang besar sebagai pencemar lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Pengoperasian PLTU- batubara memiliki konsekuensi yaitu dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan berupa gas beracun (SOx, NOx, COx) yang dapat menyebabkan hujan asam, abu terbang (fly ash) yang mengandung logam-logam berat (Pb, Hg, Ag, dan Cd) dan radionuklida alam yang berasal dari kerak bumi, yaitu deret uranium (238U), thorium (232Th), dan potasium-40 (40K) (Sutarman 2007).

2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan

PLTU-batubara

Mineral batubara tersusun dari sekitar 1% elemen kelumit dan radionuklida. Menurut UNSCEAR (2000), rata-rata konsentrasi radionuklida alam dalam batubara adalah untuk 238U sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 16–110 Bq/kg), 226Ra sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 17–60 Bq/kg), 232Th sebesar 30 Bq/kg (kisaran: 11–64 Bq/kg) dan 40K sebesar 400 Bq/kg (kisaran: 140–850 Bq/kg).

USEPA menyatakan bahwa di dalam batubara kandungan rata-rata uranium adalah 1,3 ppm dan kandungan thorium rata-rata 3,2 ppm. Kadar radionuklida primordial di dalam batubara bervariasi, bergantung pada jenis batubara dan lokasi asal-usul batubara (Susiati, 2006). Hasil analisis kandungan radionuklida dalam batubara berikut jenis radiasi yang dipancarkan oleh radionuklida-radionuklidanya ditunjukkan pada Tabel 5 (Mellawati 2009).


(39)

Tabel 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya.

Jenis

Industri Jenis Hasil

Kadar radionuklida alam (Bq/kg)

238

U 232Th 225Ra 40K 210Po

Timah Timah < 100 < 200 - - -

Monasit < 30000 326000 31000 - -

Zirkon 16000 43000 16000 - -

Timah-ore < 300 < 1000 < 200 < 200 200000

Fume - - - -

Pupuk fosfat Fosfat-ore 1400 16 1200 100 -

Asam fosfat 1900 20 300 270 -

TSP 1050 28 700 20 -

Gip 160 21 1010 300 -

Minyak dan

gas Air 2 4 290 - -

Lumpur 10 33 393 - -

Kerak air - - > 69000 - 1500

Semen Gip 160 21 1010 - 300

Abu semen 64 1,5 81 273 -

PLTU Batubara 1,2 1,5 1,2 10 -

Abu terbang 98 191 98 595 -

Bauksit Bauksit 27 – 129 32 – 165 27 – 129 - 1 – 48

Tailing 85 208 122 - 43

Sumber: Bunawas dan Pujadi (1998)

Tabel 5. Kandungan radionuklida dalam batubara.

No. Radionuklida Lambang Jenis radiasi

Waktu paruh (tahun)

1 Uranium-238 238U Radiasi α 4,50x109

(dan turunannya)

Radium-226 226Ra Radiasi α 3,43x104

Timbal-210 210Pb Radiasi β 19,40

Polonium-210 210Po Radiasi α 138,30

2 Thorium-232 232Th Radiasi α 1,39x1010

(dan turunannya)

Thorium-228 228Th Radiasi α 1,90

Radium-228 228Ra Radiasi β 6,70


(40)

Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu yang cukup besar jumlahnya. Abu hasil pembakaran batubara dikenal sebagai ash content

(kandungan abu). Abu ini tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau yang dioksidasi oleh oksigen. Laju produksi abu batubara pada sistem PLTU kira-kira 10% dari volume batubara (Susiati 2006). Kadar abu batubara Indonesia berkisar 5% - 20% (Sukandarrumidi 2009).

Apabila batubara dipakai untuk PLTU, abu yang ada akan terpisah menjadi abu dasar/abu tinggal (bootom ash) (10-20%) yang terkumpul di dasar tungku dan abu terbang (fly ash) (80-90%) yang keluar melalui cerobong asap (Sukandarrumidi 2009). Abu dasar biasanya terkumpul di dasar atau di sekitar tungku pembakar karena terlalu berat untuk dibawa oleh gas buang. Abu dasar biasanya berwarna gelap dan ukuran butirannya bervariasi dari ukuran pasir hingga kerakal. Dermata dan Meng (2003) in Jumaeri et al. (2007) menyatakan abu terbang/layang adalah residu halus yang dihasilkan dari pembakaran batu bara gilingan (grounded) atau serbuk (powdered) yang dipindahkan dari tungku pembakaran melalui boiler oleh aliran gas buang. Abu terbang/layang adalah abu batubara yang berupa serbuk halus yang tidak dapat terbakar dengan distribusi ukuran 1-100 μm dan relatif homogen (Maulbetch dan Muraka 1983 in Jumaeri et al. 2007) dan berwarna lebih terang (keabu-abuan) bila dibandingkan dengan abu dasar. Berat jenisnya berkisar antara 1,95–2,95 g/cm3. Abu terbang ditangkap dengan menggunakan presipitator elektrostatik, filter atau silikon. Efisiensi dari penyaringan abu terbang dapat mencapai 99,9% (dengan presipitator elektrostatik) dan sisanya, berupa butiran yang sangat halus, terbang ke udara (Prijatama 1996). Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batubara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3).

Ketika batubara dibakar, sejumlah radionuklida berpotensi juga terlepas ke lingkungan melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ashnya (abu tinggal). Hal ini terjadi karena ketika batubara dibakar akan mengalami pemecahan molekul-molekul batubara berukuran besar menjadi molekul-molekul-molekul-molekul berukuran lebih kecil, sehingga radionuklida yang terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta


(41)

tahun (sebagai impurities) akan keluar bersama-sama dengan hasil emisi batubara lainnya melalui fly ash dan bottom ash (Mellawati 2009). Lepasnya zat radioaktif melalui abu ketika batubara dibakar akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi radioaktivitas per unit berat sehingga dapat meningkatkan paparan radiasi di lingkungan (Meij dan Winkel 2001). PLTU Suralaya menghasilkan abu layang ± 750.000 ton per tahun (Nasrul dan Utama 1995 in Jumaeri et al. 2007). Konsentrasi unsur radioaktif dalam abu terbang yang dihasilkan dalam pengoperasian PLTU-batubara di beberapa negara (Bq/kg) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTU- batubara di beberapa negara.

Negara 40 K (Bq/kg) 226 Ra (Bq/kg) 238 U (Bq/kg) 210 Pb (Bq/kg) 210 Po (Bq/kg) 232 Th (Bq/kg) 228 Th (Bq/kg) 228 Ra (Bq/kg) Australia td 520 td td td td td td Jerman td 70-300 70-300

200-3000

300-5500 30-100 td td

India td 100 td td td td td 130

Italia: I

80-1000 44-330 40-70 td td 300 td td II - 37-74 - - - 333

III - 999 - - - -

Hungaria td 20-560 td td td td td td USA: I

260-270 15 200

160-630 250-700 100-160 100-120 100-160

II - 161 - - - 84

III - 137 - - - 67

Rumania 500 113 71 206 240 59 70 - Baoji, Cina

261,5– 520,8

76,1–

165,7 - - -

118,7–

195,6 - - Hong

Kong, Cina 178 140 - - - 155 - -

Shanghai, Cina

176,5– 278,6

136,5–

189,8 - - -

123,6–

202,4 - - Beijing,

Cina

213– 699

56,9–

160 - - -

50,2–

162 - -

Lodz, Polandia

448,5– 758,0

54,2–

119,3 - - -

47,5–

91,5 - - India

148,0– 840,1

40,7–

151,7 - - -

96,2–

177,7 - - Sumber: Lu et al. (2006); Mellawati (2009)


(42)

2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir

PLTU-batubara di Indonesia sebagian besar berlokasi di daerah pesisir sehingga radionuklida alam primordial seperti 238U dan 232Th yang terlepas dari proses pengoperasiannya dapat masuk ke perairan laut (pesisir) salah satunya melalui jatuhan abu terbang dari atmosfer. Radionuklida tersebut akan tersebar dalam ekosistem perairan dan yang tidak melarut secara cepat (senyawa karbonat) akan terakumulasi pada sedimen di sekitar instalasi pembangkit (Connel dan Miller 1995). Peningkatan radionuklida di perairan laut mengakibatkan perubahan dalam latar (beckground) lingkungan laut, di air laut, padatan tersuspensi, sedimen, dan biota (Strezov dan Nonova 2009).

Secara umum, perairan pesisir laut memiliki kedalaman yang lebih dangkal dan beban materi tersuspensi yang lebih besar, bila dibandingkan dengan di laut lepas. Oleh karena itu, proses scavenging dari radionuklida atau unsur-unsur lain melalui asosiasi dengan materi partikulat dan deposisi ke dasar perairan dapat terjadi dengan lebih intensif dalam kawasan pesisir. Massa air fluvial dan materi partikulat yang keluar melalui sistem sungai dapat mempengaruhi persediaan dan distribusi radionuklida di wilayah pesisir (Nagaya dan Nakamura 1992).

2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan

sedimen perairan

Ketika radionuklida alam masuk ke kolom perairan laut (pesisir) maka proses fisik di kolom perairan tersebut memainkan peranan utama dalam mengontrol perilaku kontaminan di lingkungan air. Proses-proses ini dapat menentukan secara langsung distribusi spasial polutan melalui pergerakan/perpindahan massa air (arus, gelombang, turbulensi) dan dapat mempengaruhi kondisi ekologi sistem akuatik (Monte et al. 2009). Radionuklida juga akan dipartisi antara fase padat dan terlarut. Berbagai proses yang mungkin terlibat dalam partisi ini, termasuk diantaranya penyerapan (sorption) oleh material organik maupun non organik dari partikel tersuspensi, presipitasi dan disolusi, koloid agregasi dan disagregasi, aktivitas mikroba, dan uptake maupun release kembali oleh biota. Partisi berupa padatan dan larutan dari suatu radionuklida merupakan parameter yang sangat penting dan menggambarkan perilakunya, kecuali untuk pengambilan secara


(43)

biologis (biological uptake), hal ini dapat didefinisikan dengan koefisien distribusi (Kd) yang diperkenalkan oleh NEA/ OECD (1983) in Warner dan Harrison (1993).

=

... (4)

Keterangan:

As = ℎ ℎ ( / )

c = ℎ ℎ ( / )

Penggunaan Kd secara umum adalah untuk menggambarkan parameter sederhana yaitu distribusi padatan/larutan untuk tujuan pemodelan distribusi biogeokimia radionuklida. Konsep Kd menggambarkan keseimbangan (equilibrium) dan reversible. Karakteristik kimia air penting dalam penentuan perilaku radionuklida dan Kd. Spesiasi radionuklida dalam larutan mungkin tergantung pada komposisi ionik dan ionic strength dalam air, kehadiran ligan organik, potensial redoks (Eh) dan keasaman (pH); perbedaan penting dalam perilaku radionuklida adalah pengamatan pada kondisi air yang aerobik dan non aerobik. Perbedaan utama komposisi ionik dan kekuatan ionik (ionic strength) ada antara air asin dan air tawar, dan di antara air basa dan asam, memainkan peran penting dalam menentukan spesiasi dan perilaku radionuklida (Warner dan Harrison 1993). Akan tetapi, kelarutan beberapa jenis radionuklida alam dalam air sangat rendah, sehingga biasanya mudah tersedimentasi. WHO (2001) menyatakan bahwa ada potensi ion-ion 238U dengan densitas 19 g/cm3 dan 232Th dengan densitas 11 g/cm3 membentuk senyawa tidak terlarut dan akan berada pada fase padat yang kemudian turun ke dasar perairan.

Migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen dan sebaliknya merupakan proses yang kompleks melibatkan interaksi antara fase terlarut dan padat dari kontaminan dan sedimantasi dan resuspensi materi partikulat. Proses interaksi radionuklida terlarut dengan partikel padat yang tersuspensi maupun terdeposit, biasanya dimodelkan berdasarkan konsep Kd. Nilai Kd untuk beberapa radionuklida baik untuk air laut maupun tawar telah dilaporkan oleh IAEA (1982, 2001). Proses fisik utama yang terlibat dalam migrasi radionuklida ke dan dari sedimen adalah settling dari partikel tersuspensi yang terkontaminasi radionuklida dan resuspensi dari partikel sedimen yang terkontaminasi radionuklida.


(44)

- Fluks kontaminan dari kolom air ke dasar sedimen:

Fws = vws Cw ; ... (5)

- Fluks kontaminan dari dasar sedimen ke kolom air:

Fsw = Ksw Ds. ... (6) Dimana vws adalah kecepatan migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen; Ksw adalah tingkat migrasi radionuklida dari sedimen ke kolom air; Cw adalah konsentrasi radionuklida di kolom air; Ds adalah radionuklida yang terdeposisi ke sedimen (Bq/m2) (Monte et al. 2009).

Beberapa hasil investigasi melaporkan bahwa radionuklida lebih banyak terkonsentrasi dalam sedimen dengan ukuran butiran halus (fine-grained) daripada di sedimen dengan ukuran butiran lebih kasar (coarse-grained). Radionuklida di sedimen juga berasosiasi dengan komponen geokimia sedimen seperti karbonat, Mn dan Fe oksida, dan berikatan kuat dengan clay mineral tertentu. Proses-proses yang menyebabkan penyerapan radionuklida di partikel sedimen dipengaruhi oleh fisik-kimia dan kondisi biologi sedimen seperti pH, kondisi redoks, zeta-potensial, dan aktivitas bakteri (Duursma dan Gross 1971).

Baku mutu yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir untuk aktivitas 238U yaitu 104 Bq/L dan 232Th yaitu 700 Bq/L sebagai senyawa terlarut (BATAN 1995). Kandungan uranium yang dianggap dapat menimbulkan dampak pada organisme perairan laut adalah 1,24 Bq/L.

2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan

tumbuhan)

Telah diketahui dengan baik bahwa organisme laut dapat mengkonsentrasi beberapa radionuklida alam sehingga dapat diperoleh informasi penting yang sangat bermanfaat bagi studi dalam bidang radioekologi. Limbah dari hasil produk industri yang masuk ke lingkungan perairan laut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap organisme perairan. Selain logam berat, bahan pencemar lain yang masuk ke perairan laut yaitu radionuklida yang berasal dari limbah industri, apabila bahan tersebut diserap oleh organisme perairan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel-sel dalam tubuh yang menyebabkan kematian atau pengaruh mutagen. Unsur radionuklida alam dapat masuk ke


(1)

Lampiran 17. Dosis efektif terikat (intake of commited effective dose) per tahun dari konsumsi kerang dan ikan teri

Nama Dosis efektif terikat (Sv/tahun) Total dosis efektif terikat (mSv/tahun) 238

U 232Th

Fauziah 4,346E-07 2,106E-06 0,0025

Risma 5,215E-07 4,228E-06 0,0047

Irma 1,956E-06 2,176E-05 0,0237

Ramah 2,173E-07 2,470E-06 0,0027

Royati 1,956E-06 8,061E-06 0,0100

Rusli 3,911E-06 1,675E-05 0,0207

Imah 6,085E-07 2,098E-06 0,0027

Sultonah 1,304E-06 6,004E-06 0,0073

Samroh 1,304E-06 5,846E-06 0,0072

Junenah 1,738E-06 9,370E-06 0,0111

Saifullah 8,692E-06 3,740E-05 0,0461

Arfad 3,911E-06 1,281E-05 0,0167

Mariati 6,085E-06 1,705E-05 0,0231

Nurhayati 8,692E-07 5,157E-06 0,0060

Jahena 2,608E-06 1,405E-05 0,0167

Halyah 5,215E-06 1,866E-05 0,0239

Sayuni 2,608E-06 9,488E-06 0,0121

Munawiyah 4,346E-07 2,106E-06 0,0025

Sanati 2,608E-06 2,681E-05 0,0294

Nurhayati 9,127E-06 3,289E-05 0,0420

Rindiantika 1,304E-06 6,319E-06 0,0076

Imas 2,173E-07 3,415E-06 0,0036

Kamsari 2,173E-06 1,683E-05 0,0190

Unedan 4,346E-07 3,051E-06 0,0035

Masturoh 5,215E-06 1,583E-05 0,0210

Ratna 5,215E-06 2,386E-05 0,0291

Siti 2,608E-06 9,803E-06 0,0124

Rasinah 2,608E-06 8,858E-06 0,0115

Hawariah 1,738E-06 6,535E-06 0,0083

Aslihah 4,346E-07 2,579E-06 0,0030

Rumsiah 1,565E-06 4,889E-06 0,0065

Hadaroh 1,738E-06 6,063E-06 0,0078

Nurhasanah 1,304E-06 2,002E-05 0,0213

Sarmunah 2,608E-06 1,453E-05 0,0171

Hasnah 2,434E-06 1,280E-05 0,0152

Sartiah 3,477E-06 1,921E-05 0,0227


(2)

111

Lampiran 17. (Lanjutan)

Nama Dosis efektif terikat (Sv/tahun) Total dosis efektif terikat (mSv/tahun) 238

U 232Th

Ana 1,738E-06 1,031E-05 0,0121

Haryati 2,434E-06 9,653E-06 0,0121

Hajanah 1,738E-06 7,795E-06 0,0095

Dawiyan 1,738E-06 5,905E-06 0,0076

Naah 1,956E-06 8,061E-06 0,0100

Munirah 1,304E-06 5,374E-06 0,0067

Rosihah 2,173E-06 8,956E-06 0,0111

Masturoh 1,304E-06 7,894E-06 0,0092

Rami 8,692E-07 3,583E-06 0,0045

Nurhalimah 6,085E-06 1,909E-05 0,0252

Jahuri 9,127E-06 2,628E-05 0,0354

Saidi 3,911E-06 1,329E-05 0,0172

Suhiyah 1,956E-06 2,176E-05 0,0237

Maisarah 1,304E-06 9,153E-06 0,0105

Robiyah 4,346E-06 1,224E-05 0,0166

Rosmawati 7,823E-07 5,870E-06 0,0067

Rofiko 4,694E-06 1,916E-05 0,0239

Sarbiah 7,823E-07 5,870E-06 0,0067

Harjanah 6,519E-07 1,025E-05 0,0109

Rajab 5,215E-07 5,646E-06 0,0062

Asiyah 3,260E-06 1,438E-05 0,0176

Dahrona 4,346E-07 3,051E-06 0,0035

Ibrohim 6,519E-07 4,577E-06 0,0052

Mastuah 6,519E-07 2,214E-06 0,0029

Wasiah 1,304E-06 4,744E-06 0,0060

Salehah 1,304E-06 1,671E-05 0,0180

Eliah 2,608E-06 1,689E-05 0,0195

Hasbulah 3,042E-07 4,593E-06 0,0049

Luthfi 1,956E-06 2,176E-05 0,0237

Jupri 4,563E-06 1,786E-05 0,0224

Rata-rata 2,450E-06 1,156E-05 0,0140


(3)

Lampiran 18. Gambar sampel rumput laut.

E. alvarezii (Doty) di Pulau Panjang, Banten E. alvarezii (Doty) di Citeureup, Banten

Sargassum duplicatum di Pulau Panjang dan Citeureup, Banten

Gracilaria salicornia

Ulva lactuca Padina australis


(4)

113

St.

Posisi

Kedalaman (meter)

Nilai Kualitas Perairan Radionuklida Alam dalam Air Laut (Bq/l) Radionuklida Alam

dalam Sedimen (Bq/kg)

Lintang Bujur Salinitas

pH Suhu DO TSS Total Tersuspensi Terlarut

(Selatan) (Timur) (‰) (oC) (mg/l) (mg/l) 238U 232Th 238U 232Th 238U 232Th 238U 232Th

1 5o56’24,7” 106o08’16,7” 10 30,2 8,15 30,1 2,23 16,2 ttd 0,1299 ttd 0,0433 ttd 0,0866 186,160 214,601

2 5o55’18,1” 106o08’14,5” 12 30,3 8,33 29,8 1,68 15,2 ttd 0,1220 ttd 0,0269 ttd 0,0951 350,013 356,685

3 5o56’09,2” 106o10’12,8” 7 30,7 7,56 29,5 0,72 17,2 ttd 0,0790 ttd 0,0167 ttd 0,0623 349,416 112,020

4 6o38’53,2” 105o38’40,4” 3 27,0 7,91 31,0 - 19,7 ttd 0,0671 ttd 0,0338 ttd 0,0333 104,253 165,952

Baku Mutu (Kepmen LH No. 51 Th. 2004): Alami 7-8,5 Alami 5≥ ≤08

Kisaran Alami (Michael 1994) 238

U: 0,023-0,058; 232Th: 0,0012-2

238

U: 10-50; 232

Th: 7-50

Jenis rumput laut Keterangan

238U (Bq/kg) 232Th (Bq/kg)

1 2 3 4 1 2 3 4

Eucheuma alvarezii (Doty) Budidaya (Algae merah)

ttd ttd ttd ttd 48,347 38,658 36,735 23,005

Gracilaria salicornia Alami (Algae merah)

- 36,851 60,847 - - 45,502 39,941 -

Sargassum duplicatum Alami (Algae coklat)

- 223,467 140,890 195,367 - 44,895 43,263 26,729

Padina australis Alami (Algae coklat)

- - 161,515 - - - 48,386 -

Ulva lactuca Alami (Algae hijau)

- - 480,430 - - - 90,788 -

L am p ir an 1 9 . N il ai ku alit as p er ai ra n d an kon se n tra si r ad ionuk li d a al am d al am a ir la u t, se d im en d an ru m pu t l au t d i l ok as i p eng am at an , Juni -J u li 2010 113


(5)

iv

SABAM PARSAORAN SITUMORANG. Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian Di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten). Dibimbing oleh HARPASIS SELAMET SANUSI dan JUNE MELLAWATI.

Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang), bottom ash dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang. Radionuklida alam dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen, sehingga dengan adanya interaksi antara komponen biotik dengan abiotik dapat terjadi akumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan. Melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia sehingga dapat menimbulkan paparan radiasi interna dan pada tingkat konsentrasi tertentu menimbulkan kerusakan biologis misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Penelitian dengan topik tingkat cemaran unsur radionuklida alam di perairan sekitar kawasan PLTU-batubara ini bertujuan mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th dalam air laut (total, terlarut dan tersuspensi), sedimen, rumput laut (alami dan budidaya), ikan teri (Stolephorus dan Anchoa) dan kerang (Codakia) di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten, kemudian menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara, serta memperkirakan dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten.

Pengambilan contoh air, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 dari 4 stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang dan pesisir Teluk Lada (sebagai lokasi pembanding), Banten. Preparasi dan pengukuran kandungan radionuklida alam dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Proses aktivasi neutron contoh dan standar menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten. Pengukuran parameter muatan padatan tersuspensi total (TSS) dan identifikasi jenis kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB. Bahan organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIK-IPB sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia.

Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen abiotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0790–0,1299 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0623–0,0951 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0167–0,0433 Bq/l;


(6)

v

sedimen total: 18,6160–35,0013 Bq/kg dan 11,2020–35,6685 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding (perairan pesisir Teluk Lada, Banten sekitar PLTU Labuan) yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0671 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0333 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0338 Bq/l; sedimen total: 10,4253 Bq/kg dan 16,5952 Bq/kg. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen biotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu rumput laut alami: 3,6851–48,0430 Bq/kg dan 3,9941–9,0788 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 3,6735–4,8347 Bq/kg; ikan teri (Stolephorus): tidak terdeteksi dan 3,308 Bq/kg; kerang (Codakia): 6,8903 Bq/kg dan 3,6023 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding berturut-turut yaitu rumput laut alami: 19,5367 Bq/kg dan 2,6729 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 2,3005 Bq/kg; ikan teri (Anchoa): tidak terdeteksi dan 2,0603 Bq/kg. Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami berturut-turut yaitu Gracilaria salicornia: 0,1397 dan 0,1221; Sargassum duplicatum: 0,9719 dan 0,1695; Padina australis: 0,4622 dan 0,1385; Ulva lactuca: 1,3750 dan 0,2598, dan pada biota yaitu ikan teri (Stolephorus) tidak teridentifikasi dan 0,7831; kerang (Codakia): 0,20 dan 0,32. Perkiraan dosis interna melalui konsumsi ikan teri (Stolephorus) dan kerang laut (Codakia) dari perairan Pulau Panjang, Banten yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten usia dewasa (≥18 tahun) yaitu 0,0025–0,0461 mSv/tahun.

Aktivitas PLTU-batubara memberikan dampak terhadap perairan di sekitarnya, ada indikasi peningkatan konsentrasi radionuklida alam (baik dalam komponen abiotik maupun biotik) di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya yang telah beroperasi selama 27 tahun bila dibandingkan lokasi pembanding (sekitar PLTU Labuan yang baru beroperasi ±1 tahun). Tingkat akumulasi 238U dan 232Th pada rumput laut alami berturut-turut lebih tinggi pada jenis algae hijau, algae coklat dan algae merah. Ikan teri Stolephorus memiliki kemampuan mengabsorpsi 232Th lebih baik daripada kerang Codakia. Dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten belum melebihi batas dosis efektif yang direkomendasikan oleh IAEA untuk masyarakat yaitu 1 mSv/tahun.