dengan  menggunakan  coal  feeder  untuk  digiling  menjadi  serbuk  halus  lebih kurang 70 lolos ayakan 200 mesh.  Serbuk batubara yang halus dibakar dalam
ruang bakar burner dengan tekanan udara panas PT Indonesia Power 2010. 4.2.2
Boiler dan turbin
Bahan  baku air ketel boiler  berasal  dari  laut  yang diolah  menjadi air tawar dengan  menggunakan  instalasi  desalinasi.    Air  produk  desalinasi  sebelum
dialirkan  ke  ketel  uap  diolah  dahulu  di  water  treatment  plant.    Pada  proses pembuatan  uap,  diperlukan  batubara  sekitar  170  tonjamunit  untuk  Unit  1-4,
sedangkan  untuk  Unit  5-7  memerlukan  batubara  sebanyak  255  tonjamunit, sehingga  menghasilkan  uap  kering  sejumlah  1.200  tonjamunit  dengan
temperatur sekitar 538
o
C dan tekanan 169 kgcm
2
.  Uap tersebut dimasukkan ke turbin  sebagai  pemutar  poros,  dan  selanjutnya  poros turbin  disambung  langsung
dengan poros generator, sehingga menghasilkan daya listrik.  Air kondensat yang dihasilkan dapat digunakan kembali sebagai air ketel PT Indonesia Power 2010.
Pendingin kondensor digunakan air laut secara langsung sedangkan pendingin peralatan  mekanik  menggunakan  air  laut  tidak  secara  langsung.    Diperlukan  air
laut sekitar 57.700 m
3
jamunit untuk keperluan pendinginan.  Beberapa hal yang dilakukan dalam proses pendinginan yaitu pemasangan saringan, menginjeksikan
Chlor dengan kadar 1 ppm dan pembuatan saluran terbuka sepanjang 1,5 km agar temperatur  air  buangan  tidak  terlalu  banyak  berbeda  dengan  temperatur  ambien
air laut PT Indonesia Power 2010.
4.2.3 Emisi abu hasil pembakaran batubara
Proses pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu abu dasarbotom  ash  dan  abu  terbangfly  ash,  ampas  slag  dan  pirit  pyrities.
Banyaknya  ampas  yang  dihasilkan  dapat  mencapai  5,07  tonjam.    Ampas dipindahkan  dari  bawah  tungku  pembakar  kemudian  dihancurkan  menjadi
butiran-butiran yang lebih kecil.  Setelah melalui beberapa proses ampas diangkut dengan truk ke tempat pembuangan abu PT Indonesia Power 2007.
Kandungan abu hasil pembakaran batubara sekitar 10 dari volume batubara yang terpisah  menjadi abu dasar 20 dan abu terbang 80 yang akan keluar
melalui  cerobong  asap.    Alat  pengendali  lingkungan  PLTU  Suralaya  terkait  abu tersebut berupa cerobong asap setinggi 200 meter Unit 1-4 dan 275 meter Unit
5-7 dan diameter 6,5 meter.  Cerobong dipasang Electrostatic Precipitator EP yang  berfungsi  untuk  menyaringmenahan  abu  hasil  pembakaran  batubara
sebelum  diemisikan  ke  udara  terbuka  ambien  dengan  efisiensi  99,5  PT Indonesia Power 2007.
Bila  diketahui  diameter  cerobong  asap  6,5  m,  kecepatan  udara  di  dalam cerobong  20  ms  maka  laju  alir  udara  Q  adalah  663,4  m
3
s.    Kandungan  abu terbang sebesar 8, maka laju emisi gas buangan dari cerobong asap:
= ×
.................  13
= 8  × 10 × 255
= 20.499 = 2585,5
=
.................................................................  14
=
, ,
= 3,8973 = 3897,3
Jika  efisiensi  electrostatic  precipitator  sebesar  99,5  maka  abudebu  yang diemisikan  ke  udara  terbuka  sebesar  19,4865  mgm
3
tiap  jam  sedangkan  PLTU beroperasi  24  jam  per  hari.    Nilai  emisi  tersebut  berada  di  bawah  baku  mutu
emisi yang diizinkan sebesar 150 mgm
3
SK Men LH No.1395.  Gas SO
2
, NO
2
dan  debu  yang  teremisi  dari  cerobong  asap  akan  menyebar  di  atmosfer  udara ambien  tergantung  dari  arah  dan  kecepatan  angin,  stabilitas  atmosfer,  tinggi
cerobong dan tinggi kepulan asap plume rise PT Indonesia Power 2007.
4.3 Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten 4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS
Kegiatan riset yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010 menunjukkan bahwa parameter perairan seperti salinitas, pH, suhu dan padatan tersuspensi total TSS
umumnya  berada  dalam  kondisi  alami  untuk  perairan  pesisir  di  Indonesia. Pengukuran di perairan Pulau Panjang dilakukan pada jam 11-13 WIB sedangkan
lokasi pembanding pada  jam 15  WIB.  Kedalaman perairan  lokasi  studi  yaitu 10 meter  pada  Stasiun  1,    12  meter  pada  Stasiun  2,  7  meter  pada  Stasiun  3  dan  3
meter  pada  Stasiun  pembanding. Nilai  kualitas  perairan  dapat  dilihat  pada
Gambar 17 sampai 21 dan Lampiran 19. Gambar  17  menyajikan  nilai  kadar  garam  atau  salinitas  pada  tiap  stasiun
pengamatan.    Salinitas  perairan  Pulau  Panjang,  Banten  relatif  konstan  dengan kisaran    30,2‰–30,7‰  rata-rata  30,4‰  sedangkan  lokasi  pembanding  27‰.
Lokasi  pengamatan  berada  di  pesisir  laut  sehingga  memiliki  kisaran  salinitas  air laut  17‰.    Lokasi  stasiun  pembanding  berdekatan  dengan  sungai  yang
bermuara  Sungai  Ci  Jedang  sehingga  menurunkan  nilai  salintias  karena
masukkan air tawar.
S ta s iu n
S t.   1 S t.  2
S t.  3 S t.  k o n t r o l
Salini tas
o oo
0 .0 5 .0
1 0 . 0 1 5 . 0
2 0 . 0 2 5 . 0
3 0 . 0 3 5 . 0
3 0 .2 3 0 .3
3 0 .7 2 7 .0
Gambar 17.  Nilai salinitas ‰ pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 Gambar  18  menyajikan  nilai  derajat  keasaman  pH  di  lokasi  studi.    pH
perairan  Pulau  Panjang,  Banten  dan  pembanding  adalah  bersifat  alkali  basa berkisar  antara  7,56-8,33  rata-rata  8,01  dan  7,91  di  lokasi  pembanding.
Sebagian  besar  biota  akuatik  sensitif  terhadap  perubahan  pH  dan  menyukai  pH sekitar  7-8,5  Effendi,  2007.    pH  sangat  mempengaruhi  kelarutan  ion  logam
maupun zat radioaktif dalam perairan, dimana kelarutannya akan tinggi pada pH rendah.  Perairan  yang  bersifat basa dan  netral cenderung  memiliki produktifitas
lebih  tinggi  daripada  yang  bersifat  asam.    Penurunan  nilai  pH  dapat  disebabkan oleh penambahan pengotoran perairan yang terus-menerus baik yang berasal dari
limbah domestik dan industri.
Salinitas alami air laut 17‰ Valikangas in Nontji 1987
St. 4 pembanding
S t a s i u n
S t .   1 S t .   2
S t .   3 S t .   k o n t r o l
pH
0 . 0 0 2 . 0 0
4 . 0 0 6 . 0 0
8 . 0 0 1 0 . 0 0
8 . 1 5 8 . 3 3
7 . 5 6 7 . 9 1
Gambar 18.  Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
Gambar  19  menyajikan  nilai  suhu
o
C  pada  lokasi  pengamatan.    Suhu perairan Pulau Panjang, Banten berkisar antara 29,5
o
C-30,1
o
C rata-rata 29,8
o
C dan  31
o
C  di  lokasi  pembanding.  Suhu  perairan  wilayah  Indonesia  dikategorikan pada perairan relatif  hangat karena terkait dengan kondisi geografis  yang  berada
di daerah tropis.  Suhu air permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 28-31
o
C  Nontji,  1987.    Berdasarkan  uraian  di  atas,  hasil  pengamatan  suhu  di  lokasi pengamatan  masih dalam kondisi  normal.  Peningkatan suhu perairan cenderung
menaikkan  akumulasi  dan  toksisitas  dari  logam  berat  dan  zat  radioaktif,  hal  ini terjadi akibat meningkatnya laju metabolisme dari organisme akuatik.
Stasiun
St. 1 St. 2
St. 3 St. kontrol
S uhu
o C
0.0 5.0
10.0 15.0
20.0 25.0
30.0 35.0
30.1 29.8
29.5 31.0
Gambar 19.  Nilai suhu perairan
o
C  pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
Baku mutu 7-8,5 Kepmen LH  No. 51 Th. 2004
St. 4 pembanding
St. 4 pembanding
Alami atau berkisar 28-31
o
C Nontji 1987
1 2
3 4 pembanding
D O
m g
l
1 2
3 4
5 6
Stasiun
2,23 1,68
0,72
Kadar oksigen terlarut DO perairan Pulau Panjang berkisar antara 0,72 mgl- 2,23  mgl.    Dengan  DO  terendah  pada  Stasiun  3  dan  tertinggi  pada  Stasiun  1
Gambar 20.   Kadar DO minimum peruntukan kehidupan organisme akuatik 5,0- 9,0 mgl Kanada, 1992 in Effendi, 2007.  Pada Stasiun 1, 2 dan 3  kadar oksigen
terlarutnya  kurang  dari  5  mgl,  namun  ikan  masih  dapat  bertahan  hidup  dengan kisaran  oksigen  terlarut  1,0  mgl-5,0  mgl  walaupun  ada  potensi  terganggu
pertumbuhannya.
Gambar 20.  Nilai DO mgl perairan pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
Total  Suspended  Solid TSS  di  perairan  Pulau  Panjang  berkisar  antara  15,2
mgl-17,2  mgl  rata-rata  16,2  mgl  dan  pada  lokasi  pembanding  19,7  mgl Gambar 21.  Dari nilai tersebut dapat disebutkan bahwa perairan tersebut masih
layak  untuk  kehidupan  organisme  akuatik.    Kadar  TSS  peruntukkan  kehidupan organisme akuatik adalah 25 mgl European Community, 1992 in  Effendi, 2007.
Faktor  kedalaman  ikut  mempengaruhi  proses  resuspensi,  dimana  pada  perairan dangkal  memungkinkan  terjadinya  resuspensi  yang  lebih  tinggi  karena  pengaruh
pengadukan  arus.    Resuspensi  mengakibatkan  bertambahnya  kandungan  TSS  di kolom  perairan.    Selain  itu,  lokasi  yang  lebih  dekat  dengan  daratan  di  wilayah
pesisir  juga  pada  umunya  memiliki  kandungan  TSS  yang  tinggi.    Pada  stasiun yang lebih dangkal memiliki nilai TSS yang tinggi stasiun pembanding.  Stasiun
3  di  perairan  Pulau  Panjang,  Banten  memiliki  nilai  TSS  tertinggi  diduga  karena
Baku Mutu ≥
5 mgl Kepmen LH  No. 51 Th. 2004
lokasi berada pada daerah yang memiliki gelombang yang relatif lebih tinggi dan kedalaman  yang  lebih  dangkal.  Kondisi  pasut  ikut  mempengaruhi  nilai  TSS.
Kondisi perairan dalam keadaan pasang menyebabkan massa air di daerah pesisir diencerkan  oleh  massa  air  laut  yang  datang,  sehingga  konsentrasi  TSS  yang
terukur lebih kecil. Zat  padat  tersuspensi  mempengaruhi  keberadaan  radionuklida  alam  dalam
kolom perairan, dimana semakin banyak zat padat tersuspensi maka semakin luas permukaan partikel dalam  mengadsorbsi  ion-ion radionuklida alam dalam kolom
perairan  sehingga  konsentrasi  radionuklida  primordial  terlarut  dalam  air  laut berkurang. Radionuklida yang teradsorpsi zat padat tersuspensi tersebut kemudian
dideposisikan  ke  sedimen  perairan  sehingga  konsentrasinya  meningkat  di sedimen.
S ta s iu n
1 2
3 4  p e m b a n d in g
T SS
m g
l
2 0 8 0
1 6 ,2 1 5 ,2
1 7 ,2 1 9 ,7
Gambar 21.  Nilai TSS mgl pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
4.3.2 Tekstur dan bahan organik total sedimen