Analisis Kehidupan Informan 1 sebagai Orang Tua Tunggal

ya memang itu keluarga saya kira setuju semua mendukung. Kalau yang memilihkan anak, saya siap. Itu aja hidup saya, anak saya. Tujuan hidupnya anak, ya sekarang itu saja, kasih saya itu entuk e loro kui.” Informan 1, 521-526

e. Makna Pengalaman Informan terkait Menjalani Peran sebagai

Orang Tua Tunggal Informan menyatakan bahwa selama ini pengalamannya terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal merupakan pengalaman yang positif. Hal ini karena selama menjalankan perannya, ia berkeinginan untuk memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Oleh karena itu, informan memaknai peran ayah sebagai orang tua tunggal sebagai sesuatu yang menantang untuk bisa berperan sebagai ayah yang baik bagi anak- anaknya. emm begini njih mbak, ini kan peran, tugas yang harus dilalui saat ini njih mbak sebagai ayah. Jadi saya tu merasa ada tantangan kudu bisa hantar anak-anak saya ke jenjang dewasa dan sukses sendiri nantinya tanpa bantuan orang lain. Jadi saya kepingin jadi ayah yang baik buat mereka. Sebisa mungkin sing dibutuhkan saya sediakan, tapi ya itu tadi tetep dimengertikan jerih payah orang tua.Informan 1, 531-536

4. Analisis Kehidupan Informan 1 sebagai Orang Tua Tunggal

Ada lima komponen resiliensi menurut Wagnild dan Young 1993, komponen pertama adalah meaningfulness. Kemampuan meaningfulness diterima informan melalui pengalaman kehilangan istri akibat kematian. Pengalaman tersebut membuat kondisi informan menjadi tertekan karena kehilangan dukungan emosional sebagai partner hidup. Sejarah penikahan harmonis yang dibangun oleh informan dan istrinya bersama-sama seperti mendidik anak, mengurus keperluan rumah tangga hingga berdiskusi untuk memutuskan suatu pertimbangan. Beberapa kebiasaan tersebut tidak lagi dapat dirasakannya hingga membuatnya merasa terkejut akan situasi barunya tersebut dan merasa adanya kekosongan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak lantas membuat informan berdiam diri. Ia memiliki keinginan untuk hidup dengan baik meskipun tanpa kehadiran istrinya. Informan menjadikan anak sebagai tujuan dan prioritas dalam hidupnya. Keinginan untuk sukses dalam mendidik anak mulai diterapkan informan setelah ia mampu menerima kematian istrinya. Tidak hanya dirinya saja yang mampu mengatasi dukacita, namun informan juga berusaha untuk membantu anaknya mengatasi dukacita atas kematian ibu mereka. Wagnild dan Young 1993 menjelaskan bahwa meaningfulness atau kebermaknaan adalah sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain. Kemampuan untuk memaknai dengan baik apa yang sudah diputuskan oleh Tuhan dilakukannya sebagai pembuktian bahwa ia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memiliki komponen meaningfulness. Informan menerima sesuatu yang baik dari kondisi yang tidak baik. Kondisi yang tidak baik tersebut adalah kondisi dimana istri informan meninggal. Ia menilai bahwa Tuhan telah menyampaikan yang terbaik melalui istrinya yang meninggal sebelum dioperasi. Ia meyakini bahwa muka istrinya akan hancur dan anaknya akan memiliki trauma jika dilakukan operasi. Melalui pernyataan informan tersebut, membuktikan bahwa dirinya mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun Tuhan dengan tidak menyesali istrinya sudah meninggal tanpa dilakukan operasi. Komponen kedua adalah Equanimity yang meliputi perspektif yang seimbang antara kehidupan dengan pengalaman. Pada komponen ini informan menunjukkan sikap penerimaan diri akan kematian istrinya. Ia merasa bahwa ketika istrinya masih hidup, maka belum tentu akan bisa menikmati hidup karena tersiksa akan penyakit kanker. Hal tersebut dirasakan informan karena ia menyadari keterbatasan dirinya yang tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menolong ketika istrinya kambuh. Selain itu, komponen equanimity juga meliputi kemampuan untuk santai dalam menerima kesulitan dan mampu menangani tanpa menunjukkan sikap yang ekstrem. Selama informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal, ia mampu menyelesaikan beberapa masalah dengan baik. Masalah-masalah tersebut antara lain menyelesaikan masalah dengan anak dan mampu merespon tanggapan negatif terkait status duda yang didapatkan dari teman-temannya. Ketidakhadiran peran istri menuntut informan untuk bisa menjalankan semua tugasnya seorang diri termasuk tugas yang selama ini istrinya jalankan. Ia mengaku merasa kesulitan dalam menjalankan semua tugas yang seharusnya dilakukan oleh wanita seperti memenuhi keperluan anak dan mengasuh anak seorang diri, serta mengurus keperluan rumah tangga. Pengakuan tersebut menuntut informan untuk mendapatkan sosok pengganti peran istri akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dilakukannya karena terhalang oleh adanya beberapa alasan. Alasan tersebut antara lain adalah ketakutannya akan kehilangan istri untuk kedua kalinya, dan kehadiran anak yang menjadi fokus utama dalam hidupnya. Tujuan hidupnya saat ini adalah untuk mendidik anak dan menjaga kebersamaan dengan anak. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Hanson dalam Partasari, 2004 dalam rangkuman penelitiannya yang menyatakan bahwa motivasi utama para ayah mampu menjalani peran sebagai orang tua tunggal adalah karena mereka mencintai anak-anaknya dan merasa mampu berperan sebagai orang tua yang baik. Kebutuhan informan untuk mendapatkan peran pengganti tidak diimbangi dengan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun demikian, informan tetap berusaha untuk menjalankan kesulitan tanpa adanya pasangan yang membantu. Hal tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI semakin menegaskan bahwa informan memiliki kemampuan equanimity yang diungkapkan oleh Wagnild dan Young 1993. Equanimity merupakan perspektif yang seimbang antara kehidupan dan pengalaman seseorang, serta kemampuan untuk santai dalam menerima apapun yang terjadi dalam hidup. Meskipun demikian, individu tetap mampu menangani kesulitan atau perubahan dengan tidak menunjukkan sikap yang ekstrem. Komponen yang ketiga adalah Perseverance. Komponen tersebut melihat kemampuan informan dalam menghadapi kesulitan ketika menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal. Kematian istri informan yang dirasakan sebagai sesuatu yang mendadak, membuat informan merasa tidak siap untuk kehilangan istrinya. Informan mengaku merasa kesulitan ketika harus menjalankan peran sebagai seorang isri. Selain itu, perasaan dukacita atas kehilangan istri juga dirasakan sebagai suatu tekanan tersendiri bagi informan. Meskipun ketika informan merasa kesulitan ketika beradaptasi dengan kematian istrinya dan melakukan perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal, informan tetap berusaha untuk mengatasi yang menjadi tekanannya tersebut. Beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi rasa dukacitanya adalah dengan refleksi dan berkonsultasi dengan tokoh agama. Begitu juga dengan pengasuhan anak dan mengurus keperluan rumah tangga yang selama ini menjadi tekanan, informan mengatasinya dengan menggunakan jasa pembantu rumah tangga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk mengurus keperluan rumah. Sedangkan, untuk keperluan anak, informan bekerja sama dengan kakak wanitanya yang turut tinggal bersama untuk memenuhi keperluan anak. Kehadiran kakak wanita informan dirasakan sebagai dukungan sosial yang sangat membantu informan dalam menjalankan perannya saat ini. Hal ini didukung oleh pernyataan Bennertt, Smith, Hughes, 2005; Pinquart dalam Berk, 2012 bahwa laki-laki mengandalkan istrinya dibandingkan perempuan lebih memiliki resiko kematian dengan adanya beberapa alasan. Alasan tersebut adalah laki-laki mengandalkan istrinya dalam hal ketersambungan sosial, tugas rumah tangga, dorongan perilaku hidup sehat, dan penanggulangan stress mereka kurang siap dalam menghadapi tantangan sebagai duda. Usaha informan untuk mengatasi rasa dukacita, tetap bersemangat dalam menghidupi kedua anaknya, berbagi peran mengurus anak, hingga tidak menghiraukan pendapat negatif yang diterimanya dari teman-teman menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan dan tetap meneruskan perjuangan serta membangun kehidupan. Wagnild dan Young 1993 menjelaskan bahwa perseverance adalah tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal ini, ketahanan menunjukkan adanya keinginan meneruskan perjuangan untuk membangun kembali serta untuk tetap terlibat dan mempraktikkan disiplin diri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Komponen keempat adalah self reliance. Self reliance merupakan sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang percaya diri mampu mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan mengatasi masalahnya sendiri Wagnild dan Young, 1993. Dalam waktu yang singkat informan beradaptasi dengan semua perubahan barunya. Tidak dengan mudah informan menjalankan perannya, akan tetapi ia memiliki kemampuan untuk bisa mengatasi beberapa masalah terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Informan mengandalkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah dengan kedua anaknya tanpa ada bantuan dari kakak dan orang lain. Meskipun selama ini informan tidak terbiasa menangani masalah anak seorang diri, akan tetapi saat ini ia merasa dituntut untuk bisa menyelesaikannya seorang diri. Mengatasi penyesuaian diri dan bagaimana pola asuh yang tepat dijelaskan sebagai masalah pengasuhan anak oleh Ortigas dalam Partasari, 2004. Laki-laki selama ini tidak dituntut untuk mengembangkan kemampuan nurturing. Selama ini laki-laki khususnya di Indonesia, dibesarkan dalam keluarga tradisional. Kondisi tersebut menuntut laki-laki berperan sebagai seorang ayah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, laki-laki diharapkan mampu menegakkan kedisiplinan serta tidak bertanggung jawab dalam nurturing atau pengasuhan anak. Meskipun demikian, informan mengakui kelemahannya dalam pekerjaan yang selama ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dilakukan oleh istrinya sehingga ia membutuhkan bantuan dari kakak dan jasa pembantu rumah tangga. Pengakuan atas kelemahan dan kelebihannya tersebut menunjukkan bahwa informan memiliki kemampuan self reliance yang cukup baik. Komponen yang kelima adalah Existential Alonenes. Setelah kehilangan istri dan berada pada masa penolakan akan kematian istri, informan menunjukkan penerimaan yang baik akan kematian istrinya. Penerimaan tersebut menunjukkan bahwa informan sudah menyadari bahwa mendapatkan yang terbaik dari kondisi yang tidak baik yaitu kematian istrinya. Kesadaran mendapatkan yang terbaik tersebut dinilai sebagai sesuatu jalan hidup yang unik. Kesadaran yang dimiliki individu bahwa setiap orang memiliki jalan kehidupan yang bersifat unik meskipun beberapa pengalaman dapat dibagikan dengan orang lain, dan ada pengalaman-pengalaman yang harus dihadapi sendiri. Hal tersebut menunjukkan kesendirian eksitensial yaitu adanya perasaan akan kebebasan dan rasa keunikan Wagnild dan Young, 1993. Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi Laki-laki Dewasa Madya Pengalaman kehilangan istri akibat sakit kanker Masalah yang menekan :

1. Dukacita