Dukacita : Perubahan peran: Pengasuhan anak Tekanan sosial Analisis Kehidupan Informan 3 sebagai Orang Tua Tunggal

informan juga merasakan bahwa selama ia berperan sebagai ayah tunggal selama kurang lebih 4,5 tahun tidak membuatnya merasa harus mencari pasangan hidup. Meskipun ia tidak menutup kemungkinan akan menikah kembali, tetapi informan tidak terburu-buru dalam mencari pasangan. Hal ini dibuktikan bahwa informan meyakini bahwa segala sesuatu akan mudah pada waktunya. Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi Laki-laki Dewasa Madya Kehilangan istri karena sakit Masalah yang menekan :

1. Dukacita :

I : Shock dan Menolak II : Marah dan Depresi III : Dukacita dan kesedihan IV : Menerima dan memahami

2. Perubahan peran: Pengasuhan anak

3. Tekanan sosial

a. Tuntutan menikah lagi b. Tergoda pada wanita c. Ketidakpercayaan pada orang lain untuk membantu mengatasi masalah Pengalaman Proses Resiliensi : a. Penerimaan diri yang positif istri yang meninggal b. Kemampuan bertahan menghadapi masalah c. Kemampuan mengatasi masalah d. Memiliki rencana untuk kehidupan selanjutnya Faktor-faktor yang mempengaruhi proses resiliensi ayah tunggal : a. Kehadiran anak b. Tingkat religiusitas yang tinggi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7. Analisis Hasil Wawancara Informan 3

a. Gambaran Pengalaman Kehilangan

Informan berusia 42 tahun, memiliki seorang anak laki-laki yang saat ini berusia 14 tahun, saat ini duduk di kelas 2 sekolah menengah pertama. Keseharian informan bekerja sebagai penjual makanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia melakukan pekerjaan tersebut semenjak ia keluar dari pekerjaannya sebelumnya disalah satu instansi keuangan ditempat tinggalnya. Alasan informan memilih pekerjaan yang saat ini ia lakukan karena pekerjaannya yang bersifat fleksibel. Alasan lain adalah ia lebih bisa meluangkan waktu untuk mengasuh anaknya. Informan berperan sebagai orang tua tunggal sejak 7 tahun yang lalu. Istri informan meninggal pada tanggal 4 bulan Juli 2008 dengan meninggalkan satu orang anak yang masih sangat kecil. Pada saat itu, anak informan masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini. Penyebab kematian istri informan dianggap sebagai sesuatu hal yang mendadak. Istri informan mengalami kecelakaan lalu lintas, ketika ia sedang dalam perjalanan menengok anaknya yang sedang berada di rumah pamannya di Wonogiri. “Nah poin ini kejadian jadi memori aku. Itu seminggu atau setelahnya, kejadian dan meninggal kecelakaan. Pas posisi bulan Juli kenaikan, anak saya masih TK besar ke kelas 1 kan liburan di Wonogiri dibawa pamannya terus liburan hari libur.” Informan 3, 19-22 Reaksi awal terhadap kematian yang dialami oleh informan adalah perasaan tidak percaya. Ketidakpercayaan informan diungkapkannya ketika ia mengkonfirmasi kematian istrinya. Meskipun demikian, ia memiliki kemampuan kontrol diri yang cukup baik pada saat istrinya meninggal. Ia mengaku tenang dalam mengurus keperluan pemakaman istrinya. Ia menanamkan bahwa istrinya yang sudah meninggal merupakan keadaan terbaik yang diterimanya dari Tuhan. “Saya tu gak ada pengen nangis atau gak, itu saya masih jalan normal lah. Terus saya lihat di UGD, bersih gak ada luka saya kaget, kok meninggal ? Ternyata disini mungkin, pake helm kebentur jadi dekok. Terus mau dicucian, mau dibersihan disini diperut tu dipompa, ini masih hidup gak kok kayak bernafas ?terus kata dokter gak, ini udah meninggal. Ya udah pokoknya yang terbaik mungkin ini yang terbaik terus saya cium keningnya.” Informan 3, 48-54 “Terus hubungin warga disini nyiapin tempat. Saya koordinasi saudara-saudara saya, saya tu gak ada tangis, gak ada. Tuhan ini yang terbaik terus saya tegar gak ada nangis- nangisnya gak ada bleng-blengnya Informan 3, 64-67 Reaksi lain yang juga dialami oleh informan adalah kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang mendalam menyebabkan dirinya memiliki perasaan tidak terima akan kematian istrinya. Selain itu, ingatan akan istri yang masih selalu muncul hingga sekarang terkadang membuatnya masih meyakini bahwa istrinya masih ada. “Ya ada, kan posisi gak terimanya gini, saya punya anak, terus ini saya hutang dan hutang atas nama gaji saya, angsurannya sebesar gaji saya. Nah kalau untuk makan, gaji bundanya, saya masih gak terimanya itu. Saya posisi tidak pandai cari uang, kalau istri almarhum itu kan pedagang pinter cari uang. Terus terang, jujur aja ekonominya yang lebih gede istri karena sambilannya okeh. Posisinya gini waktu itu setelah kejadian Tuhan, kok istri saya yang diambil, kok gak saya duluan. Saya mikirnya anak, pikir saya itu yang mampu menghidupi dalam arti uang itu buat saya itu hanya orang bekerja. Orang kerja itu ya gajinya berapa sih. Protesnya sama Tuhan itu, kok jadi mikirnya kok bukan saya duluan, kenapa istri duluan.” Informan 3, 94-104 “Ya kadang masih suka angotan, masih suka kelingan kalo lha itu sulit, kadang kalo sekarang masih suka inget, tapi gak sampe mem bebani.” Informan 3, 107-109 Ada beberapa reaksi dukacita yang dialami oleh informan yang masih dialaminya sampai sekarang. Hal ini dibuktikan informan melakukan beberapa aktivitas yang biasa dilakukannya bersama istrinya dulu. Kondisi tersebut membuat penderitaan tersendiri bagi informan, karena ia masih menganggap istrinya masih hidup. “Perasaaan kangen masih ada, saya menganggap dia masih ada. Contoh, saya menganggap dia masih hidup. Contohnya, saya kalau mau jualan setelah doa minta pendampingan Tuhan, saya selalu dulu kan kalau suami istri kalau tidur kan ada dua bantal. Nah, sampai saat ini masih ada dua bantal. Kalau aku mau berangkat jualan, saya pasti cium bantal, habis doa minta pendampingan Tuhan karena apa, 1 hari sebelum bunda meninggal itu kan kebetulan Centro di kantornya, ada acara ulang tahun kantornya atau apa ya, bunda seneng masak. Dia masak bikin nasi kuning rombongan sama temennya lembur di rumah sampe malam untuk besok paginya. Terus dia tidur, kan saya watu masih ngantor, dia masih tidur. Tidur kok kayak mayit saya bilang gitu, gene anteng, terus tenang. Itu awal-awal saya kalau mau berangkat kerja jualan, saya cium keningnya. Ya itu, tidur kok kayak mayit, saya gak bangunkan terus berangkat kantor. Nah sampe sekarang masih suka begitu, suka cium bantal kalo mau berangkat kantor, walaupun kantornya udah pindah tetep saya lakukan itu.” Informan 3, 206-221 Dalam mendukung perannya sebagai orang tua tunggal, informan tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Ia hanya dibantu oleh ibunya yang juga turut tinggal bersama.

b. Pengalaman Berperan sebagai Orang Tua Tunggal

Kepergian istrinya yang mendadak, memaksanya untuk menerima segala perubahan yang mendadak pula. Salah satu perubahan yang diterimanya setelah kematian istrinya adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tuntutan perubahan peran ganda. Kondisi tersebut memaksanya untuk bisa menjadi ayah, ibu dan teman untuk anaknya dalam waktu yang bersamaan. “Ya perubahan peran, kalo peran, jujur aja iya. Karena saya ada anak satu. Saya harus bisa menjadi ayah, bisa jadi ibu bisa jadi temennya anak saya ya kadang-kadang berantem juga.” Informan 3, 223-225 Pada awal istrinya meninggal, informan mengalami kesukaran dalam menjalani perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal. Perubahan peran menjadi peran ganda tidak bisa diterima dengan baik hingga beberapa sumber dukungan datang untuk membantunya dalam menjalani perubahan tersebut. Kehadiran sumber dukungan dari keluarga besar datang untuk membantu mengasuh anak informan. Selama kurang lebih enam tahun, anak informan berada di Wonogiri untuk diasuh oleh kakak dari istri informan. Hal tersebut tampaknya merupakan keputusan yang ia ambil dengan mempertimbangkan kurangnya kemampuan informan bekerja untuk melunasi hutang dan mengasuh anak secara bersamaan. “Kan sejak istri saya meninggal, anak diasuh karena saya merasa gak mampu masih kerja kantor kan. Anak saya masih kecil, kan wira-wiri dalam arti kan antar jemput. Terus saya kan masih hutang, saya gak sanggup. Jadi selama 6 tahun di Wonogiri tapi setiap 1 minggu sekali saya pasti pulang, saya ajak nyekar ke makam ibunya.” Informan 3, 112-116 Perubahan lain yang dirasakan sebagai masalah selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal oleh informan adalah masalah ekonomi. Informan merasa kesulitan dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI melakukan penyesuaian ekonomi keluarga. Kebiasaan yang selama ini diterapkan adalah keduanya secara bersama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, hal ini sudah tidak bisa dilakukannya lagi semenjak istrinya meninggal. Oleh karena itu, ia mengalami masa penyesuaian ekonomi yang cukup berat hingga terkadang memunculkan ingatannya akan almarhum istrinya. “Kalau uang pasti, tapi uang itu pasti tapi masih bisa dicari. Dulu ekonomi dipegang dua orang sekarang satu orang jadi ya sekarang harus dimepetin. Anak itu masih ada ibunya, kalo pendidikan memang dipegang saya. TK sebelum TK bisa baca udah saya ajarin baca kalau ekonomi, jajakne itu ibunya. Kalo main ke timezone itu. Ya itu, saya masih suka mikir ibunya kalo seandainya masih ada ibunya bisa main kesana kesini kalo sekarang saya jualan saya dulu waktu kerja kan dunia hiburannya itu terbatas.” Informan 3, 235-242 Seiring menjalani perannya yaitu menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama 7 tahun, informan seringkali memunculkan reaksi yang khas dalam menerima perubahan dan masalah tersebut. Reaksi marah muncul ketika ia tidak mendapatkan hal yang sesuai dengan yang ia inginkan. Hal ini ia terapkan terutama kepada anaknya, yang terkadang tidak melakukan sesuai dengan yang ia harapkan. Meskipun demikian, informan mengungkapkan reaksi marahnya guna memberikan rasa disiplin pada diri anak. “Saya itu tipe orang tua yang suka segera, ya itu kelemahan saya kalau saya minta apa gak sesuai dengan keinginan saya terus anak lelet biasanya saya mara h.” Informan 3, 246-256 “Iya, disipilin harus diajarkan ke anak, segala sesuatu harus di planning. Saya gak suka nunda-nunda istilahnya mepet gak suka, kalau grusa- grusu saya gak, tapi saya panik.” Informan 3, 281-283 “Saya bukan gak marah-marah, marahnya kalau semuanya gak konsisten tadi. Saya orangnya pemarah jangan salah. Misalkan anak waktu tidur kok gak tidur harus ada peraturan dan hiburan. Informan 3, 303-306

c. Cara Informan Menangani Masalah

Seiring dengan rasa dukacita dan masa sulitnya menjalani perubahan baru menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan mulai bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap perannya. Komitmennya dalam memberi kesejahteraan kepada anak ia buktikan dengan bekerja guna memenuhi keperluan anak dan memberikan pengasuhan yang baik kepada anak. Meskipun demikian, informan tidak lepas dari pihak lain yang berlaku sebagai sumber dukungan. Dalam hal ini, ibu dari informan turut serta tinggal bersamanya dengan anaknya untuk membantu mengurus keperluan yang informan tidak bisa lakukan. “Tunggal itu, ya semua harus dikerjakan sendiri kayak cari uang bagaimana menciptakan anak itu betah di rumah kecuali masak, kalau masak ada ibu. Jadi, apa ya kalau saya marah sama anak cuma verbal, gak pernah bentak atau apa jadi gak pernah dalam arti kasar. Jadi orang tua tunggal harus pinter- pinter jadi pendamping anak.” Informan 3, 227-231 Berbeda dengan masalah kepengurusan anak, informan memiliki kepercayaan diri yang baik untuk melakukan pekerjaan rumah, namun dalam menjalankan perannya tidak lepas dari sumber yang mendukungnya. Dalam hal ini, ibu dari informan dan anaknya turut serta bekerja sama dalam mengurus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. “Kalau masalah rumah tangga, biasanya saya bagi tugas sama anak. Anak saya nyapu, tugasnya sebelum berangkat sekolah itu nyapu. Kalau ibu saya nyuci, kalau saya saya nyapu cuma sore kalau beres-beres rumah saya masih sanggup, cuma kalau saya nyuci saya gak pernah, soalnya ada mesin cuci.” Informan 3, 242-246 Dalam menangani beberapa perubahan yang menjadi masalah, informan tidak hanya mengandalkan diri sendiri, melainkan membuka diri untuk meminta bantuan kepada orang lain. Sehingga membuatnya ia percaya diri bahwa segala masalah yang dihadapi akan mendapatkan jalan keluar. Selain itu, tingkat religiusitas kepada Tuhan yang cukup tinggi menambah kekuatannya untuk mampu menyelesaikan masalah. “Kalo keuangan yang membantu pasti ada, Tuhan memberi rejeki lewat siapa saja. Contoh, anak dari kelas 1sd sampai kelas 2 smp beasiswa terus itu rejeki Tuhan, saya gak menyombongkan. Jadi uang buat sekolah bisa saya alokasikan buat yang lain misalnya saya belikan sesuatu harus nomor satu.” Informan 3, 286-290 “Terus terang saja, ujian saya beruntun tahun 2008 istri meninggal, 2009 saya kecelakaan itu keuangan juga gak masalah. Saya dipen 3, skrups 17, kelemahan saya juga disini saya gak bisa nekuk kakinya. Itu keuangan juga gak masalah, 2008-2009 kan saya wira wiri terus mungkin saya kecapekan, kecelakaan itu habis 58 juta untuk ukuran saya kerja, gak mungkin tapi karena ada jamsostek kasih 12 juga, jasa raharja 6 juta, kuasa Tuhan. Saya dari kantor dapat 6 juta, saya di rumah sakit 3 bulan kira-kira, sepersenpun saya istilahnya gak kebeban karena apa Tuhan beri rejeki beri dari orang- orang.” Informan 3, 294-303 “Kekuatan saya Tuhan, kalau Tuhan kasih ujian pasti Tuhann kasih jawaban kalau lewat doa. Makanya, saya gak kebeban, ibu juga nemenin bantu memasak.” Informan 3, 309-311 Dalam menyeimbangkan kebutuhan dengan status ekonomi yang tidak tetap, informan memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Ia menggunakan prioritas sebagai salah satu cara untuk menghemat pengeluaran keluarga. Sistem prioritas juga ia terapkan pada anaknya untuk mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan. Hal tersebut dilakukan oleh informan bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mendidik anak agar memiliki rasa prihatin. “Kadang saya gini, ini keinginan atau kebutuhan, kalo dia menjawabnya kebutuhan saya segerakan tapi kalau keinginan, saya tunda.. Jadi, saya poin keinginan atau kebutuhan, kalau memang kebutuhan memang berat berapapun saya carikan. Butuh e hape opo ? komunikasi uangnya sekian tak carikan, tapi kalau kancane ini, ini, ini oh itu keinginan. Oh ingin mu ini, yo sok nek ayah punya rejeki tak tukokne. Kalo sekolah kan dipanti rini smp Kanisius, itu kan tak suruh nyepeda intel meskipun ada motor tak belike motor sama tak belike sepede tapi tak suruh sepeda ontel. Meskipun ada motor tak belike motor sama tak belike sepeda tapi tak suruh sepeda ontel. Motor gak boleh dipake kalo sekolah, kalau kegiatan gereja boleh dipake jadi biar anak itu ada prihatine, ada olahragane. Kalau olahraga kan ada kecerdasane, ya itu keinginan atau kebutuhan gitu aja. Saya tu bukan orang kaya, tapi tidak kekurangan jadi pengen ini bisa, pengen itu bisa.” Informan 3, 262-274

d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya

Menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal tidak lantas membuat informan tergesa-gesa dalam mencari pasangan. Hal tersebut terbukti dengan 7 tahun informan meyandang status duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Meskipun demikian, informan tidak menutup diri dan membuka kesempatan untuk menikah kembali. “Saya hamba Tuhan, saya gak menutup diri saya tetap membuka semua kesempatan yang Tuhan berikan ada kata tidak. Jadi dalam arti monggo kerso gusti. Tapi saya tidak mencari.”Informan 3, 338-340 Dalam menyandang status dudanya, informan memiliki alasan yang memotivasinya untuk bisa bertahan selama 7 tahun. Alasan tersebut adalah kepemilikan anak, yang membuatnya untuk berusaha memberikan yang terbaik. Menyediakan kebutuhan jasmani maupun rohani kepada anak, seperti bersedia untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berperan ganda yaitu sebagai seorang ayah dan ibu. Alasan tersebut juga yang melatarbelakangi informan untuk menunda pernikahannya karena masih memposisikan sebagai ayah, dimana ia memikirkan perasaan anak ketika harus memiliki pendamping baru. Alasan lain yang membuatnya untuk menunda pernikahannya adalah kecintaanya pada almarhum istrinya yang masih melekat hingga sekarang. “Pertama anak, saya tipe orang tua yang gak mau buat anak kecewa. Kalau anak kecewa sama orang tua, imbasnya panjang. Kecewa itu maksudnya gak konsisten, jadi kalau sudah berumah tangga itu gak berdiri sendiri harus memposisikan menjadi tiga, ayah, laki-laki dan suami buat istrinya. Ketiga-tiganya harus jadi satu. Kalau laki-laki itu kan masih apa. Saya memposisikan jadi ayah karena saya masih memikirkan anak. Saya masih sesuai walaupun sudah di KTP cerai mati saya mati saya masih cinta.”Informan 3, 318- 325 Keputusan informan untuk membuka diri untuk menikah tampaknya tidak mendapatkan dukungan yang positif dari anaknya. Sehingga membuat informan untuk tidak tergesa-gesa dalam mencari pendamping hidup. Meskipun demikian, dukungan sosial didapatkan informan dari keluarga Wonogiri untuknya yang akan mencari pasangan baru. “Ya anak kan berkembang, anak tu waktu tinggal di Wonogiri tau harus dapet masukan keluarga Wonogiri kalau apa ya anak tu berkembang dan saya mengikuti perkembangannya gak tau nanti seperti apa. Tapi nek itu, kalau Tuhan menghendaki. Kalau semuanya mudah berarti Tuhan menghendaki, tapi kalau itu sulit berarti Tuhan tidak menghendaki gitu aja.” Informan 3, 342-347 Keinginannya dalam memberikan yang terbaik bagi anak informan adalah dengan cara tidak ingin membuat anak kecewa dengan dirinya. Ia selalu menyeimbangkan ego diri dan anak pada saat ia akan memilih calon untuk pendamping hidupnya. “Harus menanamkan bahwa ayah itu seperti, kalau soal saya senang sama wanita, itu liat pribadi anak. Orang itu kan harus liat anak, harus memikirkan ego anak harus seimbang.” Informan 3, 334-336

e. Makna Pengalaman Informan Terkait Menjalani Peran

sebagai Orang Tua Tunggal Bagi Informan selama ini pengalamannya terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal merupakan pengalaman yang positif. Hal ini karena selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia banyak berperilaku yang berguna bagi orang lain terutama anaknya. Keinginannya untuk selalu memberikan contoh yang baik dan memperhatikan masa depan anak dinilai sebagai sesuatu tugas utama sebagai seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Oleh karena itu, informan memaknai perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi kehidupan orang lain. “Saya menjadi contoh yang baik bagi anak, saya gak boleh meski saya orang tua terus saya bebas, saya memperhatikan masa depan dia, menanamkan nilai-nilai yang saya harapkan. Saya harus istilahnya sesuai keinginan saya, dan saya sesuai keinginan saya.”

8. Analisis Kehidupan Informan 3 sebagai Orang Tua Tunggal

Terdapat 5 komponen resiliensi menurut Wagnild and Young 1993 yang dialami oleh informan yang mendukungnya dalam berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Komponen yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pertama adalah meaningfulness. Dalam komponen tersebut menjelaskan bahwa meaningfulness atau kebermaknaan adalah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain. Pada pengalaman informan yang berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia menunjukkan tujuan hidupnya yaitu tidak membuat anak kecewa. Ia mengakui bahwa keberadaan anak menjadi suatu hal yang memotivasi dirinya untuk bisa bertahan berperan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Motivasi utama para ayah mampu menjalani peran sebagai orang tua tunggal adalah karena mereka mencintai anak- anaknya dan merasa mampu berperan sebagai orang tua yang baik Hanson dalam Partasari, 2004. Oleh karena itu informan berusaha untuk konsisten yaitu dengan cara berperan sebagai tiga pelaku utama dalam keluarga. Informan berusaha untuk memposisikan dirinya menjadi ayah, laki-laki dan sebagai suami bagi istrinya. Ketika informan berusaha untuk menjadi suami bagi istrinya, berarti ia masih menganggap dirinya masih sebagai seorang suami meskipun dalam kehidupan nyata istri informan sudah meninggal dan tertera sudah cerai mati di KTP. Selain itu, ketika informan tidak memutuskan untuk mencari pendamping baru karena masih memikirkan keberadaan anaknya. Kemampuan meaningfulness lainnya juga ditunjukkan informan dengan menghargai dan memaknai pekerjaan yang dilakukannya maupun orang lain. Informan mengakui bahwa ketika ia berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal berarti ia merasa tidak boleh berperilaku dengan bebas. Ia mengakui bahwa selama ini ia menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Hal ini dilakukan informan karena ia memperhatikan masa depan anak, ia ingin menanamkan nilai-nilai yang baik sesuai dengan harapannya. Tidak hanya mampu memaknai hal yang ia lakukan, tetapi informan juga menghargai kemampuan anaknya yang tegar untuk menerima kondisi ibunya yang sudah meninggal. Komponen yang kedua adalah equanimity yang meliputi kemampuan untuk santai dalam menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. Kemampuan untuk santai ditunjukkan oleh informan ketika ia mampu merespon dengan santai pada saat istrinya meninggal karena kecelakaan. Ia menunjukkan sikap yang tenang sebagai wujud dari kepasrahannya. Meskipun terkadang dalam menghadapi proses dukacitanya, beberapa kali informan teringat akan sosok istrinya yang sering muncul, tetapi ia merasa tidak terbebani akan kemunculan ingatan akan istrinya tersebut. Kemampuan untuk santai juga mampu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ditunjukkan ketika informan sakit dan ia harus mengurus dirinya tanpa kehadiran istri sebagai partner hidup. Ia mengatakan bahwa Tuhan sebagai kekuatan yang diandalkan untuk bisa membantu atas pertanyaan dari masalah-masalah yang ia terima. Meskipun dalam menerima kenyataan bahwa istrinya sudah meninggal, informan mampu merespon dengan baik dan menyelesaikan semua urusan pemakaman istrinya dengan baik dan tidak mengeluarkan emosi yang menggebu-gebu. Sejak istrinya meninggal, segala tanggung jawab yang selama ini dilakukan berdua menjadi tanggung jawabnya seorang diri. Tanggung jawab tersebut antara lain bekerja memenuhi ekonomi keluarga, dan mengurus keperluan rumah tangga, serta mengurus keperluan keseharian anak. Dalam hal kepengurusan anak, ia dituntut bisa menjadi pendamping anak yang baik. Meskipun dalam praktek pengasuhannya, informan juga terkadang mengungkapkan emosi karena mendapatkan tindakan yang tidak sesuai dari anak dengan keinginannya. Namun, informan tidak pernah mengungkapkan emosinya sebagai rasa kekesalannya dengan membentak anaknya, ataupun melakukan tindakan yang kasar. Hal ini membuktikan kemampuan informan dalam menangani masalah hidup dengan sikap yang tidak ekstrem. Komponen yang ketiga adalah Perseverance. Komponen tersebut melihat kemampuan informan dalam menghadapi kesulitan. Kematian istri informan dirasakan sebagai sesuatu yang mendadak. Hal ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ditunjukkan dari sikap tidak percaya pada keadaan ketika ia mengetahui bahwa istrinya meninggal karena kecelakaan. Kondisi tersebut tidak lantas membuatnya tidak menerima kematian istrinya. Meskipun dalam masa adaptasinya berperan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal, ia mampu menghadapi kondisinya yang sulit. Kondisi tersebut antara lain adalah ketika istrinya meninggal mendadak, ia harus melunasi hutang dan pencari nafkah tunggal dalam keluarga, mengurus keperluan keseharian anak, serta mengurus keperluannya sendiri ketika ia sakit. Beberapa masalah yang dialaminya dapat dilalui dengan baik, meskipun dalam menghadapi kesulitannya tersebut ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Hal tersebut membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan hidupnya menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Tidak hanya mampu mengatasi masalah dengan baik, informan juga mampu menunjukkan perjuangannya dalam meneruskan kehidupan. Tuntutan perubahan peran ganda dilakukannya untuk meneruskan perjuangan dan membangun kehidupan. Dalam hal kepengurusan anak, ia mengakui bahwa keberadaannya untuk bisa menjadi seorang ayah, ibu dan temannya dalam satu waktu yang bersamaan menunjukkan kemampuan informan dalam meneruskan perjuangan. Hal tersebut cukup menjelaskan bahwa informan menunjukkan ia memiliki komponen perseverance atau ketekunan yang dijelaskan oleh Wagnild dan Young 1993 sebagai suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal ini, ketahanan menunjukkan adanya keinginan meneruskan perjuangan untuk membangun kembali kehidupan serta untuk tetap terlibat dan mempraktikkan disiplin diri. Komponen keempat adalah self reliance. Self reliance merupakan sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang percaya diri mampu mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan mengatasi masalahnya sendiri Wagnild dan Young, 1993. Selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, ia harus mengurus keperluan anaknya seorang diri. Meskipun dalam 6 tahun informan menitipkan anaknya pada kakaknya, namun setelah itu ia mampu untuk mengurus segala keperluan anaknya seorang diri. Selain itu, informan bekerja seorang diri untuk melunasi hutang dan menjadi pekerja utama dalam keluarga. Keputusan informan untuk menitipkan anaknya kepada kakaknya karena informan merasa tidak sanggup untuk mengurus anak yang berbarengan dengan bekerja keras untuk melunasi hutang dimana kondisi anaknya masih membutuhkan pengasuhan yang ketat. Kondisi tersebut cukup menjelaskan bahwa informan mengenali keterbatasan dirinya dalam berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Ia menyadari ia membutuhkan orang lain untuk mendukung perannya. Keterbatasan lain yang diakunya adalah ketika ia membutuhkan bantuan untuk mendukung perannya di rumah. Dalam kesehariannya, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI informan dibantu oleh ibunya untuk mengurus keperluan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah. Meskipun ibu membantunya dalam pekerjaan rumah, kondisi tersebut tidak lantas membuatnya merasa malas. Ia dan anaknya melakukan pembagian kerja seperti mencuci pakaian yang dilakukan informan, dan menyapu yang dilakukan oleh anaknya. Kerjasama dan pembagian peran yang dilakukan oleh anak dan ibu informan mendukung lancarnya ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Selain itu, kemampuannya untuk mengandalkan diri dalam mengatasi masalah dibuktikannya dengan cara ia bekerja keras untuk melunasi hutang yang ditinggalkan oleh istrinya. Komponen yang kelima adalah Existential Alonenes. Pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama kurang lebih 7 tahun membuktikan bahwa informan mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini dilakukannya dengan cara ia mampu mendidik anaknya dengan baik hingga mendapatkan beasiswa sebagai bukti mendapatkan prestasi yang cukup baik. Selain itu, ia mampu melunasi hutang yang ditinggalkan oleh istrinya dan mampu memenuhi ekonomi keluarga. Meskipun dalam kesendiriannya ia mampu berhasil mengatasi masalahnya, tetapi keinginan informan untuk meneruskan kehidupannya dengan menikah kembali juga sempat direncanakan olehnya. Ia tidak menutup diri dan membuka kesempatan untuk menikah kembali. Meskipun demikian, rencananya untuk melanjutkan hidup tidak membuatnya tergesa-gesa dalam mencari teman wanita. Ia menjelaskan bahwa ia tidak mencari calon pendamping, ia hanya menerima dan membuka semua kesempatan yang Tuhan berikan. Informan tidak merasa takut ataupun ragu dengan tidak adanya pasangan hidup. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan anaknya yang bisa dihadapinya seorang diri, begitu juga dengan masalah keuangan. Ia mempercayai bahwa ia akan bisa melalui masalah keuangan dengan baik. Kepercayaannya kepada Tuhan memberi rezeki melalui banyak cara seperti menunjukkan bahwa dirinya memiliki jalan hidup yang unik. Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi Laki-laki dewasa madya Pengalaman kehilangan istri akibat kecelakaan Menghadapi masalah yang menekan : 1. Dukacita : Tahap I : Shock dan Menolak Tahap II : Marah dan Depresi Tahap III : Tahap Dukacita dan Kesedihan Tahap IV : Tahap menerima dan memahami

2. Perubahan peran :