1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehilangan pasangan mulai banyak dijumpai oleh pasangan suami istri saat ini. Pengalaman kehilangan pasangan terbagi menjadi dua
berdasarkan alasannya yaitu, akibat perceraian dan kematian. Kematian menjadi salah satu realitas dalam kehidupan manusia yang tidak dapat
terelakan Aprilia, 2013. Permasalahan akan dialami semua orang, terutama pada kehidupan setelah pasangan meninggal. Beberapa
permasalahan yang dialami antara lain, masalah pengasuhan anak, tekanan sosial, masalah ekonomi, pekerjaan dan masalah seksual. Pada laki-laki,
kehilangan pasangan lebih berat daripada wanita. Bennett, Smith, Hughes, 2005; Pinquart dalam Berk, 2012 menjelaskan bahwa laki-laki
lebih memiliki banyak masalah dalam hal kesehatan baik fisik maupun mental yang memiliki resiko kematian dengan adanya beberapa alasan
dibandingkan perempuan. Beberapa alasan tersebut antara lain pertama, bahwa laki-laki mengandalkan istrinya dalam hal ketersambungan sosial,
tugas rumah tangga, dorongan perilaku hidup sehat, dan penanggulangan stress, mereka kurang siap dalam menghadapi tantangan sebagai duda.
Kedua, karena pengharapan peran gender, laki-laki merasa kurang bebas dalam mengungkapkan emosi mereka atau meminta pertolongan tentang
makanan, rumah tangga, dan hubungan sosial Benner, 2007; Lud PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Caserta, 2004b. Ketiga, kurangnya keterlibatan laki-laki dalam aktivitas
keagamaan.
Kehilangan pasangan menjadi fenomena hidup yang menyedihkan bagi banyak orang, tidak terkecuali bagi kaum laki-laki. Selain itu,
kehilangan pasangan karena kematian dinilai sebagai peristiwa yang mampu menimbulkan stress dibandingkan kehilangan pasangan karena
bercerai Aprilia, 2013. Hal tersebut terjadi karena individu yang bercerai masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah
putus dengan pasangannya dan masih mengharapkan bantuan dari pasangannya, terkait masalah keperluan sekolah anak, pernikahan anak,
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak Mitchell dalam Aprilia, 2013.
Fenomena kehilangan pasangan akibat meninggal menjadi fenomena yang traumatik bagi laki-laki, sebab dapat menimbulkan
tekanan seperti halnya perasaan dukacita yang mendalam akibat kehilangan orang yang memiliki hubungan yang intim dimana suami
terbiasa membagi perasaan dan cerita keseharian bersama istri. Laki-laki yang sedang mengalami tahap dukacita akan melalui beberapa tahapan
sebagai reaksi dari kehilangan tersebut. Ortigos dalam Partasari, 2004 mengungkapkan tahap-tahap tersebut diuraikan sebagai berikut : 1 tahap
shock dan menolak, 2 tahap marah dan depresi, 3 tahap dukacita dan kesedihan, 4 tahap menerima dan memahami, 5 tahap kesembuhan dan
pertumbuhan, serta 6 tahap meraih keluar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain mengalami tekanan mengenai perasaan dukacita, seorang laki-laki juga mengalami tekanan dari lingkungan sekitar. Laki-laki yang
mendapatkan status barunya sebagai duda, seringkali mendapat stigma negatif kehidupan dalam kehidupannya sepeninggal pasangannya. Tidak
sedikit yang mengemukakan bahwa laki-laki yang ditinggal pasangannya akan dengan mudah untuk menemukan pasangan yang baru karena tidak
terbiasa menjalani hidup sendiri. Hasil penelitian Zulfiana 2013 menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita dengan status janda,
biasanya pria dengan status duda akan lebih cepat untuk menikah lagi, sebab hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung
menilai suami dengan sangat positif sehingga tidak bisa tergantikan, merasa khawatir dengan masalah ekonomi akan bertambah jika ia
memutuskan untuk menikah kembali, serta tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Selain itu, duda karena bercerai ataupun ditinggal
meninggal relatif mudah untuk memutuskan menikah kembali karena banyak wanita yang lebih muda atau seusia yang siap dan memiliki
keinginan untuk menikah dengan seorang duda Hurlock, 1980. Stigma yang diterima dan melekat pada pria yang kehilangan pasangan hidupnya,
memunculkan perasaan yang tidak nyaman dan mampu menimbulkan perubahan sikap ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat. Stigma
yang diberikan oleh masyarakat tersebut menurut Parkes dalam, Partasari 2004 akan memunculkan reaksi fisik maupun psikologis yang lebih buruk
setelah kematian pasangan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain harus mengatasi rasa dukacita mendalam terhadap kehilangan istri dan mendapatkan stigma, laki-laki juga harus
menggantikan peran sebagai istri yang dinilai sebagai tekanan hidup yang masih harus diterima. Kehilangan istri bagi seorang laki-laki menurut
Parkes dalam Partasari, 2004 tidak hanya bermakna sebagai kehilangan “sosok istri” saja, tetapi juga kehilangan peran yang selama ini sudah
dijalankan oleh istri, seperti mengurus rumah tangga, mengatur ekonomi keluarga, penghibur, pasangan seksual, dan pasangan emosional. Sebagian
laki-laki yang ditinggal meninggal oleh pasangannya tidak hanya mendapatkan status baru sebagai duda tetapi juga ayah sebagai orang tua
tunggal, dimana mereka harus menjalankan peran ganda yaitu peran sebagai ibu dan ayah. Para ayah tidak terbiasa menjalani hidup sendiri dan
menjalankan tugas lain seperti mengurus keperluan rumah tangga serta keperluan anak secara bersamaan yang biasa dilakukan oleh ibu. Hal ini
terjadi karena dalam pandangan keluarga Asia khususnya Indonesia masih menganut konsep perkawinan yang tradisional, dimana terjadi pembagian
tugas dan peran yang jelas antara suami dan istri. Glenn dalam Lestari, 2012 menjelaskan bahwa di dalam konsep ini lebih mudah dilakukan
karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak akan menjadi tanggung jawab istri, sedangkan suami bertugas untuk mencari nafkah.
Menurut Parkes dalam Partasari, 2004 kebutuhan orang tua tunggal untuk segera menguasai peran barunya sebagai ibu dan ayah
secara bersamaan dalam mendampingi serta memenuhi kebutuhan anak- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak serta mengatasi perasaan kehilangan dan dukacitanya tanpa adanya dukungan dari pasangan, dapat menimbulkan tekanan yang sangat berat.
Hal tersebut memunculkan beberapa reaksi psikologis dan fisik yang negatif seperti halnya sulit untuk menerima keadaan baru, merasa tertekan,
hingga menarik diri dari lingkungan sosial atau bahkan tidak bisa melanjutkan hidup dikarenakan tidak tahu apa yang akan dilakukan
selanjutnya. Meskipun demikian, para suami harus tetap menjalani kehidupannya yang selanjutnya agar dapat menjalankan perannya sebagai
orang tua tunggal. Dalam menjalankan kehidupan yang selanjutnya, sebagai orang tua tunggal diharapkan memiliki kemampuan untuk
menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya sepeninggal pasangan dalam menerima peran baru yang dikenal sebagai
resiliensi Grotberg, dalam Aprilia 2013. Keberadaan orang terdekat penting adanya untuk membangun
dukungan sosial bagi ayah sebagai orang tua tunggal. Terutama, keberadaan anak dalam keluarga dirasa penting untuk bisa membuat ayah
bertahan dan bangkit dari kondisi terpuruknya. Rasa tanggung jawab dan keterlibatan ayah dalam mengurus anak dirasa mampu menjadi alasan
utama ayah sebagai orang tua tunggal untuk bertahan hidup. Seperti yang diungkapkan dari rangkuman penelitian Hanson dalam Partasari, 2004
bahwa motivasi utama para ayah mampu menjalani peran sebagai orang tua tunggal adalah karena mereka mencintai anak-anaknya dan merasa
mampu berperan sebagai orang tua yang baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hubungan ayah dalam keterlibatan pengasuhan anak dirasa memiliki dampak yang positif bagi ayah dan anak. Heath dalam Hidayati
dkk, 2011 mengungkapkan bahwa keterlibatan ayah dengan anak memiliki manfaat yang positif bagi ayah, dimana ayah memiliki
kemampuan untuk memahami diri dan berempati terhadap orang lain serta mengelola emosi dengan baik. Manfaat dari keterlibatan ayah terhadap
pengasuhan anak tidak saja bermanfaat bagi ayah, tetapi juga bagi anak, yaitu membuat hubungan antara keduanya menjadi semakin erat. Selain
itu, berkorelasi positif dengan kepuasan hidup anak, kebahagiaan Flouri, 2005 dan rendahnya pengalaman represi Dubowits, dkk, 2001;
Formonso, dkk, 2007. Melalui kehadiran anak, ayah sebagai orang tua tunggal dirasa
mampu bertahan dan bangkit dari kondisi terpuruknya. Hal tersebut disebabkan adanya rasa memiliki dan tanggung jawab ayah untuk terlibat
dalam kehidupan anak. Kondisi mampu bertahan dan bangkit dari keterpurukan disebut dengan kemampuan resiliensi. Reivich dan Shatte
dalam Aprilia, 2013 mengemukakan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian
ataupun masalah yang berat dalam kehidupan. Berdasarkan definisi tersebut, orang yang resilien adalah orang yang mampu bertahan dalam
keadaan terpuruk terhadap perasan duka cita atas meninggalnya istri sebagai pasangan hidup dan mampu menjalani rutinitas kehidupan seperti
biasanya. Sebagai contoh, ketika seorang duda mampu menerima keadaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan mampu berinteraksi dengan lingkungan serta tidak mengurung diri. Selain itu, para suami mampu untuk menjalankan peran baru yaitu ayah
sebagai orang tua tunggal. Bekerja mencari nafkah, mengurus keperluan sendiri, keperluan rumah tangga, mengatur ekonomi keluarga hingga
mengurus keperluan keseharian anak. Kehilangan pasangan merupakan suatu hal yang sering dijumpai
dan bahkan sudah menjadi salah satu fase yang tidak mampu dihindari dalam kehidupan seseorang. Setiap individu, melalui perasaan yang sedih
dan kondisi terpuruk sepeninggal pasangan hidup, baik meliputi perasaan dukacita, mendapatkan stigma tertentu dari status duda, hingga harus
kehilangan peran istri dan berkewajiban untuk menggantikan peran istri. Kondisi tersebut, tidak dapat disangkal mampu membuat individu merasa
depresi. Oleh karena itu, penting adanya kemampuan resiliensi bagi ayah sebagai orang tua tunggal untuk bisa bangkit dari kondisi terpuruknya.
Menurut Grotberg dalam Aprilia, 2013, resiliensi bukanlah hal yang berkaitan dengan magicdan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu
saja dan bukan pemberian dari sumber yang diketahui. Dengan kata lain, resiliensi tumbuh dari diri sendiri. Resiliensi tumbuh dari keinginan diri
sendiri untuk bisa bangkit dari keterpurukan atau masa-masa yang menyulitkan. Meskipun demikian, munculnya resiliensi dapat dipicu oleh
beberapa alasan atau dorongan diri seperti rasa akan kepemilikan anak dan keterlibatan dalam mengasuh anak. Hal tersebut didukung dengan
pernyatan Bernard dalam Riasnugrahani, 2011 bahwa kemampuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
resiliensi pada seseorang tidak terlepas dari faktor protektif yang mempengaruhinya antara lain 1 Caring Relationship, mengarah kepada
pemberian cinta kasih afeksi yang didapatkan dari keluarga ataupun komunitas yang diikutinya. Salah satu perilaku yang ditampilkan dapat
menjalankan tugas sebagai orang tua tunggal, 2 High Expectation, mengarah kepada harapan yang jelas, positif dan terpusat pada individu,
kepercayaan dan keyakinan bahwa dirinya berharga dan mampu melalui tugas dalam hidup, 3 Opportunities for participation and contribution
mengarah pada adanya kesempatan untuk individu berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalam kegiatan bermakna, menarik, dan
menantang yang didapatkan dari keluarga dan komunitas yang diikuti. Penelitian ini dirasa penting karena kemampuan resiliensi sangat
dibutuhkan bagi setiap ayah sebagai orang tua tunggal agar memiliki pandangan yang positif dan mampu menerima kondisi sekarang sebagai
duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Selain itu, kemampuan resiliensi akan menentukan bagaimana kelak ia berada di lingkungan sekitar dan
beradaptasi terhadap status baru sebagai ayah sebagai orang tua tunggal. Seperti yang diungkapkan oleh Brooks dan Goldstein dalam Susanto,
2013 mengenai karakteristik individu yang mampu resilien antara lain : 1 Mampu memiliki kontrol, 2 Mampu mengetahui cara-cara
membentengi diri dari stress, 3 Mampu memiliki empati, 4 Mampu berkomunikasi secara efektif dan memiliki kemampuan interpersonal, 5
Mampu mengambil keputusan dan mampu menyelesaikan masalah, 6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Memiliki tujuan dan harapan yang realistis, 7 Mampu belajar dari kegagalan maupun kesuksesan, 8 Memiliki peran dalam kegiatan-
kegiatan sosial, 9 Memiliki tanggung jawab terhadap nilai yang dianut, 10 Merasa dirinya berharga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian ini karena penelitian ini dirasa penting untuk membantu ayah sebagai orang tua tunggal dalam menghadapi kondisinya
yang terpuruk sepeninggal istri. Di samping itu, penelitian ini dirasa memiliki keunikan karena
minimnya penelitian tentang ayah sebagai orang tua tunggal, yang disebabkan karena sebagian besar ayah sebagai orang tua tunggal
memutuskan untuk menikah kembali. Penelitian ini akan menunjukkan bahwa terdapat ayah sebagai orang tua tunggal tunggal yang bertahan
dengan status duda dan tidak menikah kembali.
B. Rumusan Masalah