Deskripsi pengalaman ayah sebagai orang tua tunggal dalam melalui proses resiliensi.

(1)

DESKRIPSI PENGALAMAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MELALUI PROSES RESILIENSI

Astrid Rosaria Christieny

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi pengalaman ayah sebagai orang tua tunggal dalam melalui proses resiliensi. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengalaman proses resiliensi seorang ayah sebagai orang tua tunggal melalui proses kondisi yang menekan dengan kondisi yang menekan dengan kondisi terbarunya sebagai seorang duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan analisis fenomenologi sebagai analisis data penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa laki-laki berusia maksimal 60 tahun, yang sudah pernah menikah dan saat ini berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal minimal selama 1 tahun. Syarat lain dalam penelitian ini adalah informan memiliki anak kandung dengan usia maksimal 21 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ketiga informan yang memiliki pengalaman atas kematian istrinya, mengalami beberapa masalah yang menekan. Dukacita yang mendalam atas kematian istrinya, masalah kepengurusan anak, pekerjaan rumah tangga, ekonomi, hingga masalah tekanan sosial. Melalui masalah-masalah tersebut, ketiga informan memiliki kemampuan resiliensi sehingga bisa bertahan atas masalah yang menekan tersebut serta bisa mengatasinya. Beberapa cara dan alasan yang membuat informan bisa bangkit terhadap tekanan tersebut. Kemampuan untuk tenang dan pasrah, kepercayaan akan Tuhan, mendapat dukungan sosial dari anak dan keluarga mendasari informan bisa melalui masalah-masalah ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal.


(2)

DESCRIPTION OF FATHERS AS SINGLE PARENT EXPERIENCE THROUGH THE PROCESS OF RESILIENCE

Astrid Rosaria Christieny

ABSTRACT

This research aims to determine the description of the experience of a father as aingle parent in the process of resilience. Questions to be asked in the study was how a father experienced in the process of resilience through suppressive conditions with a new condition as a single parent. This research is a qualitative research using phenomenology as the analysis of research data analysis. The subjects in this study were some men aged up to 60 years, who had been married and currently served as single parent for at least a year. Another requirement in this study was that informant had a biological child with a maximum of 21 years old. Data were collected by distributing questionnaires and conducted semi-structured interviewes. The results of this study describe some of pressing issues. Deep grif over the death of his wife, the management problems of children, housework, economics, and social pressure problems. Through these problems, informants had resiliency capabilities so that he could survive on such pressing issues as well as to get over it. These are some of the ways and reasons that made the informant could rise up against the pressure. The ability to calm and resign, believe in God, social support of his children and his big families could underlie the informant to pass the problem as single parent.


(3)

DESKRIPSI PENGALAMAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MELALUI PROSES RESILIENSI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Astrid Rosaria Christieny

109114024

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

DESKRIPSI PENGALAMAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MELALUI PROSES RESILIENSI

Disusun oleh: Astrid Rosaria Christieny

NIM : 109114024

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing,


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

DESKRIPSI PENGALAMAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MELALUI PROSES RESILIENSI

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Astrid Rosaria Christieny

NIM : 109114024

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 28 April 2016

dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Susunan Panitia Penguji :

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Penguji 1 : Debri Pristinella, M.Si ... 2. Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M.Psi ... 3. Penguji 3 : Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si ...

Yogyakarta, ... Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(6)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan”

(Roma 5 : 4)

“I will fight till the end & never give up” ~Merry Riana

“Everything will be okay in the end. If it’s not okay, it’s not the end”


(7)

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku, Almarhumah mama Caecilia Heny Sri S dan teristimewa bapak Ignatius Adi Subowo yang memberikan inspirasi, dan motivasi dalam setiap

langkah ku.

Terimakasih untuk cinta yang tak terhingga, dukungan, dan doa yang selalu kalian berikan.


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 April 2016 Peneliti,


(9)

DESKRIPSI PENGALAMAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MELALUI PROSES RESILIENSI

Astrid Rosaria Christieny

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi pengalaman ayah sebagai orang tua tunggal dalam melalui proses resiliensi. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengalaman proses resiliensi seorang ayah sebagai orang tua tunggal melalui proses kondisi yang menekan dengan kondisi yang menekan dengan kondisi terbarunya sebagai seorang duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan analisis fenomenologi sebagai analisis data penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa laki-laki berusia maksimal 60 tahun, yang sudah pernah menikah dan saat ini berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal minimal selama 1 tahun. Syarat lain dalam penelitian ini adalah informan memiliki anak kandung dengan usia maksimal 21 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ketiga informan yang memiliki pengalaman atas kematian istrinya, mengalami beberapa masalah yang menekan. Dukacita yang mendalam atas kematian istrinya, masalah kepengurusan anak, pekerjaan rumah tangga, ekonomi, hingga masalah tekanan sosial. Melalui masalah-masalah tersebut, ketiga informan memiliki kemampuan resiliensi sehingga bisa bertahan atas masalah yang menekan tersebut serta bisa mengatasinya. Beberapa cara dan alasan yang membuat informan bisa bangkit terhadap tekanan tersebut. Kemampuan untuk tenang dan pasrah, kepercayaan akan Tuhan, mendapat dukungan sosial dari anak dan keluarga mendasari informan bisa melalui masalah-masalah ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal.


(10)

DESCRIPTION OF FATHERS AS SINGLE PARENT EXPERIENCE THROUGH THE PROCESS OF RESILIENCE

Astrid Rosaria Christieny

ABSTRACT

This research aims to determine the description of the experience of a father as aingle parent in the process of resilience. Questions to be asked in the study was how a father experienced in the process of resilience through suppressive conditions with a new condition as a single parent. This research is a qualitative research using phenomenology as the analysis of research data analysis. The subjects in this study were some men aged up to 60 years, who had been married and currently served as single parent for at least a year. Another requirement in this study was that informant had a biological child with a maximum of 21 years old. Data were collected by distributing questionnaires and conducted semi-structured interviewes. The results of this study describe some of pressing issues. Deep grif over the death of his wife, the management problems of children, housework, economics, and social pressure problems. Through these problems, informants had resiliency capabilities so that he could survive on such pressing issues as well as to get over it. These are some of the ways and reasons that made the informant could rise up against the pressure. The ability to calm and resign, believe in God, social support of his children and his big families could underlie the informant to pass the problem as single parent.


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Astrid Rosaria Christieny

Nomor Mahasiswa : 109114024

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Deskripsi Pengalaman Ayah sebagai Orang Tua Tunggal dalam Melalui Proses Resiliensi”

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan Demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pertanyaan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 28 April 2016 Yang menyatakan,


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kritus, atas berkat dan kasih-Nya yang tak pernah berkesudahan peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini, membuat peneliti mengalami berbagai pengalaman suka dan duka serta berbagai pelajaran berharga yang pada akhirnya dapat membuat peneliti semakin berkembang. Sebagai pribadi yang belum terampil dalam melakukan penelitian, peneliti menerima banyak dukungan dan bimbingan, baik secara moral ataupun material yang begitu berharga dari significant others penulis. Oleh karena itu, dengan segala hormat peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. P. Eddy Suhartanto, M.Si, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Debri Pristinella, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi, yang selalu sabar dalam memberikan bantuan atas segala kesulitan yang dihadapi penulis. 4. P. Henrietta P. D. A. D. S., MA., selaku dosen pembimbing akademik, yang

selalu memotivasi kami, para anak bimbingan akademiknya untuk segera lulus.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang memberikan berbagai pengalaman berharga selama 4 tahun ini.

6. Seluruh anggota keluarga terutama untuk, almarhumah mama, dan bapak yang selalu tak pernah lelah memberikan dukungan moral-material dan doa yang senantiasa memberikan semangat.

7. Para informan penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan dan keterbukaan kalian untuk menceritakan pengalaman yang berharga, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 8. Para sahabat dan pejuang road to S.Psi : Sondra, Sheilla, Anin, Tari, Rosari

dan Rika atas kebersamaan dan dukungan, dan bantuan nyata dalam perkuliahan dan pengerjaan skripsi.


(13)

9. Komunitas PIA yang selalu memberikan doa, dukungan dan menularkan keceriaan setiap saat.

10.Teman-teman kos yang juga mejadi sahabat dan keluarga : Martina Novi, Karinca Claudya, Hilarya Sintia; yang telah setia menjadi sumber kenyamanan serta berbagi keceriaan.

11.Mas Pepe, Mbak Yanti, dan Mas Albertus Harimurti yang bersedia membantu peneliti untuk mencari informan yang sesuai dnegan skripsi dan bersedia memberikan waktu dan tenaga untuk mendampingi peneliti selama proses pembuatan skripsi untuk bertukar pikiran.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 28 April 2016 Peneliti,


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Praktis ... ... 11

2. Teoritis ... ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi ... 12

2. Teori Resiliensi ... 16

3. Faktor Resiliensi ... 19

B. Ayah sebagai Orang Tua Tunggal 1. Definisi Orangtua Tunggal ... 21


(15)

3. Masalah yang dialami Ayah sebagai Orangtua Tunggal ... 23

C. Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal 1. Deskripsi Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal ... 28

2. Skema ... 33

D. Pertanyaan Penelitian ... 34

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Fokus Penelitian ... 36

C. Informan Penelitian ... 36

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian ... 36

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian ... 37

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

E. Metode Analisis Data ... 40

F. Verifikasi Penelitian ... 41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan ... 41

1. Alat Penelitian ... 41

2. Informan ... 41

B. Pelaksanaan penelitian ... 43

1. Deskripsi ... 43

C. Waktu dan Tempat pelaksanaan... 45

1. Pelaksanaan Wawancara Informan 1 ... 47

2. Pelaksanaan wawancara Informan 2 ... 48

3. Pelaksanaan Wawancara Informan 3 ... 48

D. Analisis Hasil Wawancara Informan 1 ... 48

E. Analisis Kehidupan Informan 1 sebagai Orangtua Tunggal ... 61

F. Analisis Hasil Wawancara Informan 2 ... 70

G. Analisis Kehidupan Informan 2 sebagai Orangtua Tunggal ... 83


(16)

I. Analisis Kehidupan Informan 3 sebagai Orangtua Tunggal ... 99

J. Hasil Analisis ketika Informan Ayah sebagai Orang Tua Tunggal dalam Melalui Proses Resiliensi ... 108

K. Pembahasan Hasil Penelitian ... 112

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Kelemahan Penelitian... ... 132

C. Saran ... 132

1) Bagi Pihak Informan ... 132

2) Bagi Pihak Keluarga ... 133

3) Bagi Peneliti Lain ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135


(17)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Proses Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal ... 33

Skema 2.1 Pengalaman Informan 1 dalam Melalui Proses Resiliensi ... 69

Skema 2.2 Pengalaman Informan 2 dalam Melalui Proses Resiliensi ... 89


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ... 39

Tabel 2 Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Seluruh Informan ... 47

Tabel 2.1 Pelaksanaan Wawancara Informan 1 ... .47

Tabel 2.2 Pelaksanaan Wawancara Informan 2 ... 48

Tabel 2.3 Pelaksanaan Wawancara Informan 3 ... 48


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 142

Lampiran 2 Verbatim Wawancara Informan 1 ... 146

Lampiran 3 Daftar Tema Utama Informan 1 ... 171

Lampiran 4 Verbatim Wawancara Informan 2 ... 174

Lampiran 5 Daftar Tema Utama Informan 2 ... 188

Lampiran 6 Verbatim Wawancara Informan 3 ... 191


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehilangan pasangan mulai banyak dijumpai oleh pasangan suami

istri saat ini. Pengalaman kehilangan pasangan terbagi menjadi dua

berdasarkan alasannya yaitu, akibat perceraian dan kematian. Kematian

menjadi salah satu realitas dalam kehidupan manusia yang tidak dapat

terelakan (Aprilia, 2013). Permasalahan akan dialami semua orang,

terutama pada kehidupan setelah pasangan meninggal. Beberapa

permasalahan yang dialami antara lain, masalah pengasuhan anak, tekanan

sosial, masalah ekonomi, pekerjaan dan masalah seksual. Pada laki-laki,

kehilangan pasangan lebih berat daripada wanita. Bennett, Smith, &

Hughes, 2005; Pinquart (dalam Berk, 2012) menjelaskan bahwa laki-laki

lebih memiliki banyak masalah dalam hal kesehatan baik fisik maupun

mental yang memiliki resiko kematian dengan adanya beberapa alasan

dibandingkan perempuan. Beberapa alasan tersebut antara lain pertama,

bahwa laki-laki mengandalkan istrinya dalam hal ketersambungan sosial,

tugas rumah tangga, dorongan perilaku hidup sehat, dan penanggulangan

stress, mereka kurang siap dalam menghadapi tantangan sebagai duda. Kedua, karena pengharapan peran gender, laki-laki merasa kurang bebas

dalam mengungkapkan emosi mereka atau meminta pertolongan tentang


(21)

Caserta, 2004b). Ketiga, kurangnya keterlibatan laki-laki dalam aktivitas

keagamaan.

Kehilangan pasangan menjadi fenomena hidup yang menyedihkan

bagi banyak orang, tidak terkecuali bagi kaum laki-laki. Selain itu,

kehilangan pasangan karena kematian dinilai sebagai peristiwa yang

mampu menimbulkan stress dibandingkan kehilangan pasangan karena

bercerai (Aprilia, 2013). Hal tersebut terjadi karena individu yang bercerai

masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah

putus dengan pasangannya dan masih mengharapkan bantuan dari

pasangannya, terkait masalah keperluan sekolah anak, pernikahan anak,

dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak (Mitchell

dalam Aprilia, 2013).

Fenomena kehilangan pasangan akibat meninggal menjadi

fenomena yang traumatik bagi laki-laki, sebab dapat menimbulkan

tekanan seperti halnya perasaan dukacita yang mendalam akibat

kehilangan orang yang memiliki hubungan yang intim dimana suami

terbiasa membagi perasaan dan cerita keseharian bersama istri. Laki-laki

yang sedang mengalami tahap dukacita akan melalui beberapa tahapan

sebagai reaksi dari kehilangan tersebut. Ortigos (dalam Partasari, 2004)

mengungkapkan tahap-tahap tersebut diuraikan sebagai berikut : (1) tahap

shock dan menolak, (2) tahap marah dan depresi, (3) tahap dukacita dan kesedihan, (4) tahap menerima dan memahami, (5) tahap kesembuhan dan


(22)

Selain mengalami tekanan mengenai perasaan dukacita, seorang

laki-laki juga mengalami tekanan dari lingkungan sekitar. Laki-laki yang

mendapatkan status barunya sebagai duda, seringkali mendapat stigma

negatif kehidupan dalam kehidupannya sepeninggal pasangannya. Tidak

sedikit yang mengemukakan bahwa laki-laki yang ditinggal pasangannya

akan dengan mudah untuk menemukan pasangan yang baru karena tidak

terbiasa menjalani hidup sendiri. Hasil penelitian Zulfiana (2013)

menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita dengan status janda,

biasanya pria dengan status duda akan lebih cepat untuk menikah lagi,

sebab hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung

menilai suami dengan sangat positif sehingga tidak bisa tergantikan,

merasa khawatir dengan masalah ekonomi akan bertambah jika ia

memutuskan untuk menikah kembali, serta tidak mendapatkan dukungan

dari keluarga. Selain itu, duda karena bercerai ataupun ditinggal

meninggal relatif mudah untuk memutuskan menikah kembali karena

banyak wanita yang lebih muda atau seusia yang siap dan memiliki

keinginan untuk menikah dengan seorang duda (Hurlock, 1980). Stigma

yang diterima dan melekat pada pria yang kehilangan pasangan hidupnya,

memunculkan perasaan yang tidak nyaman dan mampu menimbulkan

perubahan sikap ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat. Stigma

yang diberikan oleh masyarakat tersebut menurut Parkes (dalam, Partasari

2004) akan memunculkan reaksi fisik maupun psikologis yang lebih buruk


(23)

Selain harus mengatasi rasa dukacita mendalam terhadap

kehilangan istri dan mendapatkan stigma, laki-laki juga harus

menggantikan peran sebagai istri yang dinilai sebagai tekanan hidup yang

masih harus diterima. Kehilangan istri bagi seorang laki-laki menurut

Parkes (dalam Partasari, 2004) tidak hanya bermakna sebagai kehilangan

“sosok istri” saja, tetapi juga kehilangan peran yang selama ini sudah

dijalankan oleh istri, seperti mengurus rumah tangga, mengatur ekonomi

keluarga, penghibur, pasangan seksual, dan pasangan emosional. Sebagian

laki-laki yang ditinggal meninggal oleh pasangannya tidak hanya

mendapatkan status baru sebagai duda tetapi juga ayah sebagai orang tua

tunggal, dimana mereka harus menjalankan peran ganda yaitu peran

sebagai ibu dan ayah. Para ayah tidak terbiasa menjalani hidup sendiri dan

menjalankan tugas lain seperti mengurus keperluan rumah tangga serta

keperluan anak secara bersamaan yang biasa dilakukan oleh ibu. Hal ini

terjadi karena dalam pandangan keluarga Asia khususnya Indonesia masih

menganut konsep perkawinan yang tradisional, dimana terjadi pembagian

tugas dan peran yang jelas antara suami dan istri. Glenn (dalam Lestari,

2012) menjelaskan bahwa di dalam konsep ini lebih mudah dilakukan

karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak akan menjadi

tanggung jawab istri, sedangkan suami bertugas untuk mencari nafkah.

Menurut Parkes (dalam Partasari, 2004) kebutuhan orang tua

tunggal untuk segera menguasai peran barunya sebagai ibu dan ayah


(24)

anak-anak serta mengatasi perasaan kehilangan dan dukacitanya tanpa adanya

dukungan dari pasangan, dapat menimbulkan tekanan yang sangat berat.

Hal tersebut memunculkan beberapa reaksi psikologis dan fisik yang

negatif seperti halnya sulit untuk menerima keadaan baru, merasa tertekan,

hingga menarik diri dari lingkungan sosial atau bahkan tidak bisa

melanjutkan hidup dikarenakan tidak tahu apa yang akan dilakukan

selanjutnya. Meskipun demikian, para suami harus tetap menjalani

kehidupannya yang selanjutnya agar dapat menjalankan perannya sebagai

orang tua tunggal. Dalam menjalankan kehidupan yang selanjutnya,

sebagai orang tua tunggal diharapkan memiliki kemampuan untuk

menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya

sepeninggal pasangan dalam menerima peran baru yang dikenal sebagai

resiliensi (Grotberg, dalam Aprilia 2013).

Keberadaan orang terdekat penting adanya untuk membangun

dukungan sosial bagi ayah sebagai orang tua tunggal. Terutama,

keberadaan anak dalam keluarga dirasa penting untuk bisa membuat ayah

bertahan dan bangkit dari kondisi terpuruknya. Rasa tanggung jawab dan

keterlibatan ayah dalam mengurus anak dirasa mampu menjadi alasan

utama ayah sebagai orang tua tunggal untuk bertahan hidup. Seperti yang

diungkapkan dari rangkuman penelitian Hanson (dalam Partasari, 2004)

bahwa motivasi utama para ayah mampu menjalani peran sebagai orang

tua tunggal adalah karena mereka mencintai anak-anaknya dan merasa


(25)

Hubungan ayah dalam keterlibatan pengasuhan anak dirasa

memiliki dampak yang positif bagi ayah dan anak. Heath (dalam Hidayati

dkk, 2011) mengungkapkan bahwa keterlibatan ayah dengan anak

memiliki manfaat yang positif bagi ayah, dimana ayah memiliki

kemampuan untuk memahami diri dan berempati terhadap orang lain serta

mengelola emosi dengan baik. Manfaat dari keterlibatan ayah terhadap

pengasuhan anak tidak saja bermanfaat bagi ayah, tetapi juga bagi anak,

yaitu membuat hubungan antara keduanya menjadi semakin erat. Selain

itu, berkorelasi positif dengan kepuasan hidup anak, kebahagiaan (Flouri,

2005) dan rendahnya pengalaman represi (Dubowits, dkk, 2001;

Formonso, dkk, 2007).

Melalui kehadiran anak, ayah sebagai orang tua tunggal dirasa

mampu bertahan dan bangkit dari kondisi terpuruknya. Hal tersebut

disebabkan adanya rasa memiliki dan tanggung jawab ayah untuk terlibat

dalam kehidupan anak. Kondisi mampu bertahan dan bangkit dari

keterpurukan disebut dengan kemampuan resiliensi. Reivich dan Shatte

(dalam Aprilia, 2013) mengemukakan resiliensi sebagai kemampuan yang

dimiliki seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian

ataupun masalah yang berat dalam kehidupan. Berdasarkan definisi

tersebut, orang yang resilien adalah orang yang mampu bertahan dalam

keadaan terpuruk terhadap perasan duka cita atas meninggalnya istri

sebagai pasangan hidup dan mampu menjalani rutinitas kehidupan seperti


(26)

dan mampu berinteraksi dengan lingkungan serta tidak mengurung diri.

Selain itu, para suami mampu untuk menjalankan peran baru yaitu ayah

sebagai orang tua tunggal. Bekerja mencari nafkah, mengurus keperluan

sendiri, keperluan rumah tangga, mengatur ekonomi keluarga hingga

mengurus keperluan keseharian anak.

Kehilangan pasangan merupakan suatu hal yang sering dijumpai

dan bahkan sudah menjadi salah satu fase yang tidak mampu dihindari

dalam kehidupan seseorang. Setiap individu, melalui perasaan yang sedih

dan kondisi terpuruk sepeninggal pasangan hidup, baik meliputi perasaan

dukacita, mendapatkan stigma tertentu dari status duda, hingga harus

kehilangan peran istri dan berkewajiban untuk menggantikan peran istri.

Kondisi tersebut, tidak dapat disangkal mampu membuat individu merasa

depresi. Oleh karena itu, penting adanya kemampuan resiliensi bagi ayah

sebagai orang tua tunggal untuk bisa bangkit dari kondisi terpuruknya.

Menurut Grotberg (dalam Aprilia, 2013), resiliensi bukanlah hal yang

berkaitan dengan magicdan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu

saja dan bukan pemberian dari sumber yang diketahui. Dengan kata lain,

resiliensi tumbuh dari diri sendiri. Resiliensi tumbuh dari keinginan diri

sendiri untuk bisa bangkit dari keterpurukan atau masa-masa yang

menyulitkan. Meskipun demikian, munculnya resiliensi dapat dipicu oleh

beberapa alasan atau dorongan diri seperti rasa akan kepemilikan anak dan

keterlibatan dalam mengasuh anak. Hal tersebut didukung dengan


(27)

resiliensi pada seseorang tidak terlepas dari faktor protektif yang

mempengaruhinya antara lain (1) Caring Relationship, mengarah kepada

pemberian cinta kasih (afeksi) yang didapatkan dari keluarga ataupun

komunitas yang diikutinya. Salah satu perilaku yang ditampilkan dapat

menjalankan tugas sebagai orang tua tunggal, (2) High Expectation,

mengarah kepada harapan yang jelas, positif dan terpusat pada individu,

kepercayaan dan keyakinan bahwa dirinya berharga dan mampu melalui

tugas dalam hidup, (3) Opportunities for participation and contribution

mengarah pada adanya kesempatan untuk individu berpartisipasi dan

memberikan kontribusi dalam kegiatan bermakna, menarik, dan

menantang yang didapatkan dari keluarga dan komunitas yang diikuti.

Penelitian ini dirasa penting karena kemampuan resiliensi sangat

dibutuhkan bagi setiap ayah sebagai orang tua tunggal agar memiliki

pandangan yang positif dan mampu menerima kondisi sekarang sebagai

duda dan ayah sebagai orang tua tunggal. Selain itu, kemampuan resiliensi

akan menentukan bagaimana kelak ia berada di lingkungan sekitar dan

beradaptasi terhadap status baru sebagai ayah sebagai orang tua tunggal.

Seperti yang diungkapkan oleh Brooks dan Goldstein (dalam Susanto,

2013) mengenai karakteristik individu yang mampu resilien antara lain :

(1) Mampu memiliki kontrol, (2) Mampu mengetahui cara-cara

membentengi diri dari stress, (3) Mampu memiliki empati, (4) Mampu

berkomunikasi secara efektif dan memiliki kemampuan interpersonal, (5)


(28)

Memiliki tujuan dan harapan yang realistis, (7) Mampu belajar dari

kegagalan maupun kesuksesan, (8) Memiliki peran dalam

kegiatan-kegiatan sosial, (9) Memiliki tanggung jawab terhadap nilai yang dianut,

(10) Merasa dirinya berharga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian ini karena penelitian ini dirasa penting untuk

membantu ayah sebagai orang tua tunggal dalam menghadapi kondisinya

yang terpuruk sepeninggal istri.

Di samping itu, penelitian ini dirasa memiliki keunikan karena

minimnya penelitian tentang ayah sebagai orang tua tunggal, yang

disebabkan karena sebagian besar ayah sebagai orang tua tunggal

memutuskan untuk menikah kembali. Penelitian ini akan menunjukkan

bahwa terdapat ayah sebagai orang tua tunggal tunggal yang bertahan

dengan status duda dan tidak menikah kembali.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan,

maka dapat dirumuskan kembali dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pengalaman proses resiliensi seorang

ayah sebagai orang tua tunggal melalui proses kondisi yang

menekan dengan kondisi terbarunya sebagai seorang duda dan

orang tua tunggal ?

2. Komponen resiliensi apa saja yang menjadi alasan ayah sebagai


(29)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah

untuk menggali secara lebih mendalam mengenai pengalaman ayah

sebagai orang tua tunggal yang mendapatkan status duda dan peran ganda,

bagaimana pikiran dan perasaan informan terkait peran barunya tersebut,

dan bagaimana informan mampu bertahan dan bangkit terhadap tekanan

yang dihadapinya serta apa yang melatarbelakangi informan mampu

bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu manfaat

praktis dan manfaat teoritis.

1. Manfaat praktis :

a) Bagi informan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

pengetahuan bagi ayah sebagai orang tua tunggal yang mengalami

berbagai tekanan sepeninggal pasangannya, seperti perasaan

dukacita, tekanan sosial berupa stigma sebagai duda, dan

menjalankan peran ganda, sehingga ke depannya mereka mampu

memiliki kemampuan resiliensi supaya mereka tetap berfungsi

optimal sebagai seorang individu serta diharapkan dapat menyikapi


(30)

b) Bagi keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

pengetahuan bagi keluarga besar ayah sebagai orang tua tunggal.

Diharapkan pihak keluarga mampu mengerti tahapan yang sedang

dialami oleh ayah sebagai orang tua tunggal dan mampu

memberikan dukungan sosial bagi ayah sebagai orang tua tunggal.

c) Bagi peneliti lain

Mengingat bahwa hasil penelitian mengenai resiliensi pada

ayah sebagai orang tua tunggal sangat jarang diteliti di Indonesia,

maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi

penelitian yang tertarik untuk meneliti topik yang berkaitan

dengan resiliensi ayah sebagai orang tua tunggal.

2. Manfaat teoritis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber

pengetahuan dan sumbangan ilmiah yang berarti dalam ilmu

psikologi, terutama dalam bidang psikologi perkembangan serta

psikologi keluarga. Dimana hal ini terkait dengan pengalaman dan


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Poerwadarminta (dalam Aprilia, 1993) mendefinisikan resiliensi

secara etimologis sebagai daya lenting atau kemampuan seseorang untuk

kembali dalam bentuk semula. Reivich dan Shatter (dalam Aprilia, 2013)

menjelaskan resiliensi dalam sebagai kemampuan yang digunakan untuk

mengatasi dan beradaptasi dari kejadian yang berat seperti masalah

keuangan yang terjadi dalam kehidupan. Individu yang memiliki

resiliensi mampu bertahan dalam keadaan yang menekan, dan mampu

berhadapan dengan kesengosaraan (adversity) atau trauma yang dialami

dalam kehidupannya. Holaday (dalam Lestari, 2007) menggambarkan

bahwa individu yang memiliki kemampuan resiliensi secara cepat akan

kembali ke kondisi sebelum trauma. Individu akan terlihat kebal dari

berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan negatif, dan dapat beradaptasi

terhadap stress yang ekstrem dan kesengsaraan. Selain itu, Hildayani

(dalam Dipayanti dan Chairani, 2012) mendefinisikan resiliensi sebagai

kemampuan individu untuk bertahan dan berkembang secara sehat serta

mampu menjalani kehidupan secara positif dari situasi yang kurang


(32)

Sementara itu, menurut Grotberg (dalam Aprilia, 2013) resiliensi

bukanlah hal yang berkaitan dengan magic dan tidak ditemui hanya pada

orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang

diketahui. Resiliensi terbentuk dari sebuah proses, bukan atribut bawaan

yang tetap. Resiliensi lebih tepat jika dilihat sebagai bagian dari

perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat

ditingkatkan dalam sikulus kehidupan seseorang (Masten dkk, dalam

Lestari, 2007). Sedangkan, Soderstrom dkk, (dalam Susanto, 2013)

menjelaskan bahwa resiliensi merupakan faktor bawaan yang dimiliki

seseorang yang mengalami perubahan, seseorang mampu dikatakan

memiliki resiliensi jika ia berhasil dalam menghadapi, mengatasi,

diperkuat oleh dan bahkan dibentuk oleh kesulitan-kesulitan hidup yang

dialaminya. Resiliensi dijelaskan sebagai salah satu tipe dalam

kepribadian yang memiliki ciri-ciri kemampuan penyesuaian yang baik,

percaya diri, mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu,

dan berpusat pada tugas (Block dalam Lestari, 2007).

Kemampuan resiliensi dirasa penting dimiliki oleh individu dari

segala rentang usia untuk membantu mendapatkan hasil perkembangan

yang baik meskipun berada dalam kondisi yang menekan. Seperti yang

diungkapkan oleh Werner (1995) yang menyatakan bahwa banyak

penelitian resiliensi pada anak-anak yang dibesarkan dalam kemiskinan,

terkena gejala gangguan psikis orang tua, atau mengalami pecahnya


(33)

dalam penelitiannya yang berjudul Resilience in Development dengan

anak-anak yang memiliki kemampuan resiliensi, konsisten dengan

beberapa hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa anak-anak dengan

kemampuan koping yang baik dalam kondisi yang sulit memiliki

karakteristik emosi yang memperoleh respon yang positif dari berbagai

para pengasuh. Sedangkan, menurut Garmezy dkk, (dalam Ungar, 2008)

mengungkapkan bahwa penelitian resiliensi melibatkan anak-anak,

remaja dan keluarga yang telah berusaha mengeskplorasi kesehatan untuk

meningkatkan kapasitas individu, keluarga dan sumber daya masyarakat

serta jalur perkembangan anak-anak dan pemuda yang rapuh.

Sementara banyaknya penelitian resiliensi yang melibatkan

anak-anak dan remaja, berbeda halnya dengan penelitian resiliensi pada usia

dewasa. Penelitian yang mempelajari resiliensi pada orang dewasa jarang

dilakukan (Netuveli dkk, 2008). Meskipun demikian, terdapat dua

penelitian yang menunjukkan bahwa resiliensi dapat memprediksi

kesehatan mental pada orang dewasa akhir (Nygten dkk, dalam Gooding,

2011). Selain itu, Netuveli dkk, (2008) melakukan penelitian resiliensi

pada tahapan usia dewasa madya yang bertujuan untuk mengidentifikasi

para anggota dari suveri panel yang menunjukkan ketahanan, dan untuk

mengidentifikasi karakteristik individu yang resilien serta prediktor dari

resiliensi mereka. Dalam hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

resiliensi dalam penelitian tersebut meningkat berdasarkan bertambahnya


(34)

Selain itu Hardy (dalam Paula, dkk, 2011) melakukan penelitian

yang bertujuan untuk mengidentifikasi peristiwa kehidupan orang-orang

yang lebih tua yang punya pengalaman sebagai orang yang paling

tertekan dan juga persepsi mereka tentang konsekuensi dari peristiwa

tersebut dalam hidupnya. Empat jenis peristiwa yang sangat membuat

tertekan yaitu, kematian dari saudara atau teman, sakit saudara atau

teman, sakit dari seseorang dan kejadian non medis. Walaupun sebagian

besar yang terlibat itu telah mengalami keempat kejadian yang sangat

membuat tertekan, tapi konsekuensinya sangat berbeda. Sebagian orang

menunjukkan konsekuensi negatif, dan positif. Berbagai jawaban

mengenai konsekuensi baik yang negatif atau positif dari peristiwa

kehidupan yang penuh tekanan menunjukkan adanya perbedaan tingkat

resiliensi yaitu satu faktor penting untuk penuaaan yang sukses.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai resiliensi, maka dapat

disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk

kembali ke kondisi semula sebelum mengalami peristiwa yang membuat

trauma atau tertekan. Individu yang resilien dapat ditandai dengan

munculnya perilaku mampu beradaptasi atau bertahan dalam mengatasi

masalah tersebut, sehingga mampu berkembang secara lebih positif dalam

kehidupannya seperti halnya memiliki rasa kepedulian, kemandirian serta

mampu menyelesaikan tugasnya guna menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Munculnya berbagai macam penelitian resiliensi


(35)

kemampuan resiliensi agar mampu bertahan di setiap kejadian atau

masalah dan mampu melewati setiap tahapan usia perkembangan dengan

baik.

2. Teori Resiliensi

Wagnild dan Young (1993) mendeskripsikan beberapa komponen

resiliensi sebagai berikut :

1) Meaningfulness

Meaningfulness atau kebermaknaan adalah sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga diperlukan

usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki

meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu,

individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau

kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang

sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain.

2)Equanimity

Equanimity adalah perspektif yang seimbang antara kehidupan dan pengalaman seseorang, serta kemampuan untuk santai dalam

menerima apapun yang terjadi dalam hidup. Meskipun demikian,

individu tetap mampu untuk menangani kesulitan atau perubahan


(36)

3) Perseverance

Perseverance atau ketekunan adalah tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal

ini, ketahanan menunjukkan adanya keinginan meneruskan

perjuangan untuk membangun kembali kehidupan serta untuk tetap

terlibat dan mempraktikkan disiplin diri.

4) Self Reliance

Self Reliance adalah sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang percaya diri mampu mengenali kekuatan dan

keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan

mengatasi masalahnya sendiri.

5) Existential Alonenes

Existential Alonenes adalah kesadaran yang dimiliki individu bahwa setiap orang memiliki jalan kehidupan yang bersifat unik

meskipun beberapa pengalaman dapat dibagikan dengan orang

lain, dan ada pengalaman-pengalaman yang harus dihadapi sendiri.

Hal tersebut menunjukkan kesendirian eksistensial yaitu adanya

perasaaan akan kebebasan dan rasa keunikan.

Dengan mempertimbangkan bahwa subjek penelitian adalah ayah

sebagai orang tua tunggal dalam melalui proses resiliensi, maka

komponen resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild dan Young

(1993) dianggap cukup sesuai digunakan dalam pembahasan penelitian


(37)

membentuk resiliensi (Wagnild dan Young, 1993). Sehingga, mampu

menggambarkan dengan cukup jelas karakteristik individu yang

mampu bangkit dari keterpurukan dan mampu menghadapi kesulitan.

Selain itu, melalui kelima komponen resiliensi tersebut pengalaman

ayah sebagai orang tua tunggal dalam melalui proses resiliensi

terhadap pengalaman yang menekan dapat dijabarkan melalui

kemampuan yang disampaikan dalam komponen resiliensi tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa individu

yang resilien memiliki lima komponen dalam dirinya yaitu

meaningfulness, equanimity, perseverance, self reliance, dan existential aloneness. Meaningfulness atau kebermaknaan adalah kesadaran individu memiliki tujuan dalam hidup serta diperlukan

usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Equanimity adalah perspektif

yang seimbang antara kehidupan dan pengalaman. Individu diharapkan

mampu belajar dan mengambil hal baru dari pengalaman yang dialami

di masa yang lalu, sekarang dan di masa depan serta mampu bereaksi

dengan baik ketika menghadapi kesulitan. Perseverance adalah

ketekunan individu dalam bertahan untuk menghadapi kesulitan. Self

Reliance merupakan kepercayaan diri yang dimiliki individu untuk dapat mengenali kemampuan dan keterbatasannya serta mampu

mengandalkan dirinya dalam mengatasi masalah. Sedangkan

Existential Alonenes adalah perasaan akan kebebasan dan rasa keunikan.


(38)

3. Faktor Resiliensi

Neill dan Dias (dalam Alimi, 2005) menjabarkan faktor-faktor

yang mempengaruhi resiliensi yang terbagi menjadi faktor risiko dan

faktor protektif. Adapun penjabarannya sebagai berikut :

a) Faktor Risiko

Faktor risiko merupakan faktor yang dapat memperbesar

potensi terjadinya risiko bagi individu yang nantinya akan

meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya

hidup maladaptif. Faktor-faktor tersebut antara lain : (1)

kejadian yang bersifat katastropik, yaitu malapetaka besar yang

datang secara tiba-tiba (KBBI, 2005). Kejadian tersebut seperti

bencana alam, kematian anggota keluarga, dan perceraian, (2)

latar belakang kondisi sosial ekonomi keluarga yang kurang

mendukung, (3) hidup di lingkungan negatif atau lingkungan

yang rawan terjadi tindak kekerasan, dan (4) akumulasi dari

beberapa faktor risiko (Rosyani, 2012).

b) Faktor Protektif

Sementara itu, faktor protektif merupakan keterampilan dan

kemampuan yang sehat dalam diri individu, yang mendorong

terbentuknya resiliensi. Faktor-faktor protektif tersebut antara

lain : (1) karakteristik individu, seperti jenis kelamin, tingkat

inteligensi, karakteristik kepribadian, (2) karakteristik keluarga,


(39)

ketersediaan sistem dukungan sosial di luar individu dan

lingkungan keluarga, seperti sahabat (Rosyani, 2012)

Menurut Bernard (dalam Rosyani, 2012) membagi faktor

protektif menjadi dua, yaitu : (1) faktor protektif internal,

merupakan faktor yang ada di dalam diri individu, meliputi

keterampilan sosial seperti berkomunikasi, kemampuan

menyelesaikan masalah, kecenderungan atribusi sosial (locus of

control) dalam menilai penyebab masalah, memiliki kontrol atas diri sendiri, dan tujuan hidup, dan (2) faktor protektif eksternal

yakni segala karakteristik lingkungan yang dapat mempengaruhi

berkembangnya faktor protektif internal, seperti keikutsertaan

individu dalam suatu komunitas yang mendukung, memiliki

hubungan akrab dengan lingkungan sekitar.

Berdasarkan berbagai faktor yang dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya

resiliensi yaitu faktor yang membentuk dan meningkatkan individu

terkena risiko perilaku yang kurang baik, dan faktor protektif yang

membantu individu menjadi pribadi yang sehat seperti,

karakteristik individu, seperti jenis kelamin, tingkat inteligensi,

karakteristik kepribadian, kemampuan individu dalam meregulasi

emosi, optimis, menganalisis penyebab masalah. Selain itu


(40)

dukungan sosial dapat membantu individu dalam membentuk

resiliensi dalam dirinya.

B. Ayah sebagai Orang Tua Tunggal 1. Definisi Orang Tua Tunggal

Ortigas (dalam Partasari, 2004) mendefinisikan orang tua tunggal

sebagai seorang individu yang membesarkan seorang atau lebih dari satu

anak secara mandiri, dalam hal ini orang tua tunggal yang dimaksudkan

adalah suami atau istri yang membesarkan anak dalam kurun waktu yang

cukup lama. Menurut Sager (dalam Aprilia, 2013) orang tua tunggal

adalah orang tua yang hidup sendiri membesarkan anak-anaknya tanpa

kehadiran, dukungan atau tanggung jawab dari pasangannya baik istri

maupun suami. Sedangkan, Sirley, dkk (dalam Weniyanti, 2010)

mendefinisikan orang tua tunggal sebagai orang tua yang berkewajiban

untuk melaksanakan kedua fungsi dalam keluarga yaitu mendidik anak

dan mencari nafkah seorang diri.

Ortigas (dalam Partasari, 2004) membagi jenis orang tua tunggal

dalam beberapa kategori antara lain : (1) orang tua tunggal yang

disebabkan oleh kematian pasangan, (2) orang tua tunggal yang

disebabkan berdasarkan keputusan seperti perceraian, perpisahan,

ditinggalkan pasangan atau meninggalkan pasangan, (3) orang tua tunggal

yang disebabkan oleh pilihan, misalkan memutuskan tidak menikah

setelah melahirkan, mengadopsi anak, atau mengasuh anak kerabat, (4)


(41)

tempat yang terpisah untuk sementara waktu, (5) orang tua tunggal karena

selibat, seperti rohaniawan yang mengasuh anak baik atas pribadi

institusi, (6) orang tua yang disebabkan adanya kondisi yang khusus

seperti akibat perkosaan dan pelacuran, (7) orang tua karena peran

stereotip yaitu salah satu pasangan yang memegang peranan utama dalam

pengasuhan anak.

Berdasarkan berbagai definisi dan jenis orang tua tunggal yang

telah dijabarkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua tunggal

merupakan pria maupun wanita yang dapat disebabkan oleh beberapa

alasan yaitu perceraian, pasangan meninggal, tidak menikah, perpisahan

karena alasan pekerjaan, rohaniwan, dan kondisi khusus seperti perkosaan

serta dikarenakan peran stereotip. Dalam hal ini, apapun latar belakang

yang menyebabkan kondisi menjadi orang tua tunggal, secara penuh

bertanggung jawab atas pengasuhan anak tanpa adanya dukungan dan

kehadiran pasangan.

2. Definisi Ayah sebagai Orang Tua Tunggal

Ayah sebagai orang tua tunggal didefinisikan sebagai laki-laki

yang secara fisik mempunyai kewajiban untuk memelihara anak-anak

mereka tanpa bantuan dari orang lain di rumahnya baik yang hidup

terpisah atau hidup sendiri karena perceraian atau orang tua angkat yang

secara umum hidup sendiri karena perceraian (Hanson, dalam Partasari,

2004). Seorang laki-laki yang menjadi ayah sebagai orang tua tunggal


(42)

menjaga, mendidik, membesarkan serta menjadi wali bagi anak-anaknya

sendiri tanpa adanya orang yang membantu baik pasangan atau pengasuh

(Wilson dalam Septiningsih dan Cahyanti, 2014). Dalam hal ini,

keterlibatan ayah untuk memelihara anak-anak lebih dari melakukan

interaksi yang positif dengan anak-anak mereka, akan tetapi juga ikut

memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Sementara itu, Olson dan

Defrain (dalam Septiningsih dan Cahyanti, 2014) menyatakan bahwa

ayah sebagai orang tua tunggal merupakan situasi yang tidak diharapkan

dan dianggap merepotkan bagi seorang ayah. Hal ini dibuktikan dengan

sedikitnya jumlah laki-laki yang bertahan untuk berperan menjadi ayah

sebagai orang tua tunggal di tengah-tengah masyarakat kita.

Berdasarkan uraian diatas, maka ayah sebagai orang tua tunggal

merupakan suatu kondisi yang dialami seorang laki-laki dewasa yang

memiliki anak dan bertanggung jawab penuh untuk memelihara

anak-anak seperti menjaga, dan merawat anak-anak baik secara fisik maupun

psikologis. Selain itu, ayah yang berperan sebagai orang tua tunggal juga

berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang formal ataupun

nonformal, hingga melakukan interaksi yang positif seperti memiliki

kelekatan yang baik tanpa adanya peran serta dari pasangan atau seorang

istri karena meninggal dunia.

3. Masalah yang Dialami oleh Ayah sebagai Orang Tua Tunggal

Dalam kehidupannya sebagai orang tua tunggal, para ayah


(43)

Kimmel dan Walsh (dalam Partasari, 2004) menyatakan beberapa

permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tua

tunggal baik wanita maupun laki-laki. Masalah tersebut antara lain : (a)

merasakan kesepian, (b) perasaan terjebak dengan tanggung jawab dalam

mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, (c) kekurangan waktu

untuk mengurus diri dan kehidupan seksualnya, (d) merasa kelelahan

dalam membesarkan anak sendirian, (e) mengatasi hilangnya hubungan

dengan partner special, (f) memiliki jam kerja yang lebih panjang karena

lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, (g) menghadapi perubahan

hidup yang lebih menekan, (h) kurangnya dukungan sosial dalam

melakukan perannya sebagai orang tua dan (i) memiliki kondisi fisik

yang rentan terhadap penyakit dan rentan terkena depresi.

Selain masalah yang dijabarkan di atas, menurut Ortigas (dalam

Partasari, 2004) terdapat empat masalah yang dialami ayah sebagai orang

tua tunggal antara lain :

a) Masalah Pengasuhan Anak

Masalah pengasuhan anak merupakan masalah yang juga

dialami oleh para orang tua tunggal. Beberapa masalah yang

berkaitan dengan pengasuhan anak antara lain :

1) Mengatasi proses kehilangan yang dialami oleh anak, tidak hanya ayah sebagai orang dewasa yang mengalami

tahap kehilangan, anak-anak juga mengalami beberapa


(44)

untuk protes yang ditunjukkan dengan menangis dan

marah, tahapan kesunyian dan ketidakberdayaan, tahapan

dukacita, dimana anak berharap orang tuanya dapat

bersatu kembali, tahap detachment, dimana anak

menampakkan tidak adanya minat, dan tidak menyadari

perpisahan. Saat tersebut anak mulai membentuk

pertahanan terhadap rasa sakit akibat kehilangan.

2)Mengatasi proses identifikasi seksual. Masalah proses identifikasi seksual anak perempuan dianggap menjadi

salah satu masalah yang menjadi perhatian khusus ayah

sebagai orang tua tunggal. Mereka khawatir anak

perempuan mereka menjadi tomboy atau tidak

berperilaku seperti wanita pada umumnya, yang

merupakan hasil modeling terhadap figur ayah.

3)Mengatasi penyesuaian diri dan bagaimana pola asuh yang tepat. Laki-laki selama ini tidak dituntut untuk

mengembangkan kemampuan nurturing. Selama ini

laki-laki khususnya di Indonesia, dibesarkan dalam keluarga

tradisional. Kondisi tersebut menuntut laki-laki berperan

sebagai seorang ayah yang berkewajiban memenuhi

kebutuhan keluarga. Selain itu, laki-laki diharapkan

mampu menegakkan kedisiplinan serta tidak bertanggung


(45)

b) Masalah Tekanan Sosial

Menurut Ortigas (dalam Partasari, 2004) tekanan sosial

berkaitan dengan persepsi lingkungan terhadap orang tua

tunggal. Banyak orang tua tunggal yang diminta untuk menikah

kembali oleh keluarganya. Orang tua tunggal juga merasakan

kebutuhan akan pasangan hidup namun terbentur oleh kendala

dari calon pasangannya untuk bisa menerima menjadi ibu atau

ayah bagi anak-anaknya.

Salah satu masalah yang juga dialami oleh ayah sebagai

orang tua tunggal adalah kurangnya dukungan sosial. Hal ini

berkaitan dengan kecenderungan pria untuk tidak mencari

dukungan emosional dalam hubungan sosial. Lingkungan juga

tampaknya tidak memberikan dukungan sebanyak dukungan

yang diberikan kepada ibu sebagai orang tua tunggal (Hanson,

dalam Partasari, 2004).

Beberapa penelitian terkait orang tua tunggal di Filipina,

membuktikan beberapa sumber dukungan bagi orang tua

tunggal dalam mengelola stresnya yaitu dengan adanya sikap

pribadi yang positif, dukungan profesional, dukungan dari

anggota keluarga, dukungan dari kekerabatan atau keluarga,

dukungan dari kekerabatan atau keluarga besar dan beberapa

mekanisme kompensasi seperti adanya figur yang dapat


(46)

c) Masalah Ekonomi

Menurut Ortigas (dalam Partasari, 2004) masalah ekonomi

merupakan hal yang berkaitan dengan kesukaran dalam

membiayai kehidupan. Kondisi keuangan yang baik akan

memungkinkan laki-laki yang berperan sebagai ayah sebagai

orang tua tunggal untuk menyewa orang lain sebagai pengasuh

anak dan membantu mengurus keperluan rumah tangga.

Meskipun demikian, tidak semua laki-laki yang berstatus duda

memiliki keuangan yang baik, sehingga akan cukup sulit bagi

para laki-laki untuk beradaptasi jika tidak berada dalam kondisi

keuangan yang baik (Kissman dan Alen dalam Partasari, 2004).

d) Masalah Pekerjaan

Masalah Pekerjaan merupakan usaha untuk

menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan keluarga.

Masalah pekerjaan seringkali dianggap menjadi salah satu

masalah yang penting. Seringkali tuntutan pekerjaan tidak

mendukung perannya sebagai ayah sebagai orang tua tunggal.

Pekerjaan di luar rumah, di luar kota, atau jadwal yang melebihi

jam kerja kerap kali dijumpai dalam dunia kerja. Apabila ayah

tinggal terlalu mementingkan rumah tangga dan pengasuhan

anak, maka akan berdampak pada hubungan sosial dikantor dan


(47)

seorang laki-laki, dinilai sebagai sumber identitas yang utama

(Kissman dan Alen dalam Partasari, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

terdapat beberapa masalah yang dihadapi ayah sebagai orang

tua tunggal. Masalah tersebut adalah masalah kehilangan akibat

kematian istri, masalah pengasuhan anak, masalah tekanan

sosial, masalah ekonomi, serta masalah kurangnya waktu untuk

mengurus diri dan kehidupan sosialnya. Dalam menghadapi

masalah-masalah tersebut yang muncul akibat peran sebagai

orang tua tunggal, membuat ayah memiliki kondisi fisik yang

rentan terhadap penyakit dan rentan terkena depresi.

C. Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal

1)Deskripsi Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal

Sebagian besar orang yang menginjak usia dewasa tengah memiliki

kebutuhan untuk mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya

(Santrock, 1995). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Rhodes dan

Tamir (dalam Santrock, 1995) yang menyatakan bahwa laki-laki dan

perempuan mengalami peningkatan akan kepuasan kerja yang stabil

sepanjang kehidupan kerja dari rentang usia 20 hingga 60 tahun, baik

orang dewasa yang berpendidikan tinggi, maupun yang tidak

berpendidikan tinggi.

Di sisi lain, Erikson (dalam Santrock, 1995) mengungkapkan


(48)

yang signifikan. Persoalan hidup tersebut mencakup rencana-rencana

orang dewasa atas apa yang diharapkan untuk dikerjakan. Selanjutnya,

individu dapat meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi

selanjutnya, yang disebut dengan tahap bangkit versus mandeg

(generativity vs stagnasi). Individu usia dewasa tengah mengembangkan

generativitas dengan beberapa cara yang berbeda-beda. Generativitas

biologi dapat ditunjukkan dengan memberikan asuhan dan bimbingan

kepada anak-anak, melalui generativitas kerja. Orang dewasa

mengembangkan keahlian yang diturunkan kepada orang lain, dan melalui

generativitas kultural orang dewasa menciptakan, merenovasi atau

memelihara aspek tertentu dari kebudayaan yang akhirnya bertahan

(Kontre dalam Santrock, 1995).

Di masa ini, laki-laki dewasa yang sudah menikah dan memiliki

anak dihadapkan pada peran dengan tahap generativitas seperti, bekerja

untuk menanggung kebutuhan keluarga dan mempunyai tanggung jawab

untuk memberikan pengasuhan dan bimbingan kepada anak-anaknya

sebagai orang tua. Lestari (2012) juga menyatakan bahwa terdapat

pembagian tugas dan peran dalam konsep perkawinan yang tradisional.

Konsep ini lebih mudah dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan

pengasuhan anak akan menjadi tanggung jawab istri, sedangkan suami

akan bertugas untuk mencari nafkah. Hal tersebut didukung dengan

pernyataan Hidayati, dkk (2011) bahwa laki-laki yang berperan sebagai


(49)

keluarga, sedangkan wanita yang berperan sebagai ibu memiliki tanggung

jawab pada pengasuhan dasar.

Lamb, Pleck, Charnov dan Levine (dalam McBridge, Schoppe, dan

Rane, 2002) membagi keterlibatan ayah dalam 3 komponen antara lain :

a) Interaction (Parent interaction) yaitu pengalaman seorang ayah dalam pengasuhan secara langsung. Interaksi satu lawan satu

dengan anak, mempunyai waktu untuk sekedar bersantai atau

bermain bersama.

b) Accessibility yaitu bentuk keterlibatan seorang ayah kepada anak yang lebih rendah. Orang tua ada di dekat anak akan tetapi , ayah

tidak ikut berinteraksi secara langsung dengan anak.

c) Responsibility yaitu bentuk keterlibatan yang mencakup tanggung jawab dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan dan

pengaturan.

Meskipun demikian, dalam menjalankan peran dan

tanggung jawab sebagai seorang ayah, laki-laki akan mengalami

kekacauan ketika mengalami perubahan peran. Hal tersebut dapat

terjadi ketika istri sebagai pasangan hidup meninggal. Hurlock

(1980) menyatakan bahwa masa dewasa madya merupakan masa

yang penuh stress. Selain itu, sebagian besar laki-laki di usia

dewasa madya akan mengalami stress psikologis ketika istri

sebagai pasangan hidup meninggal. Kehilangan istri bagi seorang


(50)

sosok istri dan mengalami tahap dukacita serta kehilangan peran

yang selama ini dijalankan oleh istri, seperti mengurus keperluan

rumah tangga, mengatur ekonomi keluarga, penghibur, pasangan

seksual dan pasangan emosional. Bagi individu yang tidak mampu

untuk menghadapi peran barunya yaitu ayah sebagai orang tua

tunggal maka, akan mengalami keterpurukan hingga tidak lagi

mampu untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Hal tersebut

didukung dengan laporan Finner (dalam Aprilia, 2013) bahwa

keluarga dengan orang tua tunggal akan dihadapkan dengan

banyak sekali masalah seperti isolasi dan kesepian, kesukaran

finansial dan tekanan pada anak untuk menjadi lebih cepat dewasa

dan bertanggung jawab melebihi kapasitas sesungguhnya.

Meskipun individu menerima berbagai permasalahan atas

perasaan dukacita seusai ditinggal meninggal pasangannya dan

menjalani perubahan peran baru sebagai orang tua tunggal, tak

jarang individu harus berhadapan dengan kenyataan hidup yang

pahit dan dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan. Individu

yang berhasil mengatasi permasalahan dalam hidup mereka, dan

mampu bangkit menjadi individu yang lebih kuat dan menemukan

kehidupan yang lebih baik dikatakan sebagai individu yang resilien

(Siebert dalam Wijayani, 2008). Pada saat individu memiliki

kemampuan resiliensi, maka individu tersebut akan menjadi


(51)

lingkungan dan terus bergerak maju dengan berbagai perubahan

dan permasalahan hidup yang terjadi (Siebert dalam Wijayani,

2008). Selain itu, resiliensi yang dimiliki individu akan

mempengaruhi kinerja dalam lingkungan kerja, atau lingkungan

sekolah, memiliki efek terhadap kesehatan secara fisik maupun

mental, serta menentukan keberhasilan dalam berhubungan serta

berinteraksi dengan lingkungannya. Hal itu semua merupakan

faktor dasar akan tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup

seseorang (Reivich dan Shatte dalam Wijayani, 2008). Dengan

begitu, laki-laki sebagai orang tua tunggal yang memiliki

kemampuan resiliensi akan mampu menjalankan perannya yaitu

ayah sebagai orang tua tunggal dan melewati tahapan di usia


(52)

2) Skema Proses Resiliensi pada Ayah sebagai Orang Tua Tunggal Laki-laki Dewasa Madya

Kehilangan pasangan akibat ditinggal meninggal

Menghadapi Tekanan :

a. Dukacita (Kehilangan pasangan) b. Ekonomi

c. Pekerjaan d. Tekanan Sosial e. Perubahan Peran

Pengalaman Proses Resiliensi : a. Kesadaran memiliki tujuan

hidup (Meaningfulness) b. Keseimbangan hidup

(Equanimity)

c. Ketahanan menghadapi perubahan (Perseverance) d. Kemampuan mengendalikan

diri sendiri (self reliance) e. Kebebasan dan keunikan


(53)

D. Pertanyaan Penelitian

Menurut Cresswell (2003) menjelaskan bahwa pertanyaan penelitian

dalam suatu penelitian kualitatif terdiri dari dua bentuk, yaitu :

1) Central Question

Central Question merupakan pertanyaan utama dari suatu penelitian yang bersifat sangat umum. Central question dalam

penelitian ini adalah bagaimana gambaran pengalaman proses

resiliensi seorang yang tunggal melalui proses kondisi yang menekan

dengan kondisi terbarunya sebagai duda dan orang tua tunggal.

2) Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan utama yang berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada

pertanyaan utama dalam penelitian. Subquestion dalam penelitian ini

adalah :

2.1. Apa yang dirasakan dan dipikirkan ayah sebagai orang tua

tunggal dalam proses resiliensi yang menghadapi tekanan.

2.2. Apa yang melatarbelakangi ayah sebagai orang tua


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan jenis penelitian

kualitatif fenomenologi interpretif karena dapat memahami fenomena

yang dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan seterusnya, secara holistik dan mendalam, dengan cara

mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata serta bahasa, pada konteks

khusus yang alamiah dan menggunakan berbagai metode yang alamiah

pula (Moleong, 2006). Pada penelitian kualitatif juga memungkinkan

diperolehnya informasi yang detil terkait orang ataupun kasus yang

mampu meningkatkan pemahaman terhadap kasus atau situasi yang diteliti

langsung dari informan penelitian (Patton, 1990), yaitu ayah sebagai orang

tua tunggal dalam prosesnya mencapai resiliensi. Dalam metode ini

nantinya informan diberikan keluasan dalam mengungkapkan kehidupan

nyata sehari-hari sehingga memungkinkan siapa mendapatkan deskripsi

terkait perilaku yang tampak maupun kondisi internal manusia, seperti

pandangan dalam kehidupan, nilai-nilai yang dipegang, pemahaman

tentang diri dan lingkungan, serta bagaimana informan dalam


(55)

B. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah deskripsi pengalaman ayah sebagai

orang tua tunggal yang menjalankan peran ganda dan status barunya dalam

melalui proses mencapai resiliensi. Resiliensi ayah sebagai orang tua

tunggal dapat diketahui dengan cara meminta informan untuk

menceritakan ulang pengalamannya pasca istri meninggal dan kondisi

awal beserta tekanan yang dialaminya dalam berperan sebagai orang tua

tunggal hingga kondisi terbaru saat ini.

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Pada penelitian yang berfokus pada ayah sebagai orang tua tunggal

yang melalui proses mencapai resiliensi ini, informan penelitian akan

ditentukan dengan menggunakan metode non-random sampling atau

non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Dalam teknik purposive sampling, pemilihan informan dapat dipilih

berdasarkan kriteria khusus yang sudah direncanakan oleh peneliti

yang dapat membantu peneliti dalam memahami masalah dan

pertanyaan penelitian (Creswell, 2009). Meskipun demikian, peneliti

tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik snowball

sampling, yaitu bentuk dari purposive sampling. Pada umumya, teknik ini dilakukan untuk meminta rekomendasi orang lain yang sesuai


(56)

dengan ciri dan kriteria untuk menjadi informan selanjutnya dari

informan sebelumnya (Creswell, 2012).

Peneliti memiliki beberapa kriteria dalam memilih dan menentukan

informan penelitian, seperti :

a) Informan penelitian berjenis kelamin laki-laki.

b) Informan penelitian berperan sebagai orang tua tunggal, dimana

status ayah sebagai orang tua tunggal disebabkan oleh pasangan

yang meninggal baik sakit maupun tidak.

c) Informan penelitian berusia maksimal 60 tahun.

d) Informan penelitian berperan sebagai orang tua tunggal minimal

selama 1 tahun

e) Memiliki anak minimal 1 berusia maksimal 21 tahun

f) Informan penelitian adalah seorang pekerja yang aktif.

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian

Prosedur yang dilakukan peneliti untuk seleksi informan meliputi

beberapa langkah berikut ini :

a) Menyusun kuesioner yang berkaitan dengan proses resiliensi

b) Melakukan seleksi terhadap calon informan sesuai dengan

ciri-ciri atau kriteria yang sudah dibuat untuk pada informan

penelitian.


(57)

d) Melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan wawancara,

memastikan kesediaan informan untuk terlibat dalm penelitian,

dan wawancara awal kepada informan penelitan.

e) Meminta informan penelitian untuk menandatangani informed

consent dan membuat jadwal wawancara. D. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua metode

pengumpulan data, yaitu :

1) Kuesioner Penelitian

Kuesioner penelitian digunakan sebagai alat untuk

mendapatkan data awal calon informan penelitian. Melalui

hasil tersebut, peneliti mendapatkan data sementara atau

pemetaan dari calon informan sehingga dapat melakukan

tahap seleksi yang sesuai dengan kriteria yang sudah

ditentukan dalam penelitian ini.

2) Wawancara Semi Terstruktur

Wawancara semi terstruktur digunakan untuk memfasilitasi

terbentuknya hubungan atau empati antara peneliti dengan

informan. Peneliti juga mendapatkan keluwesan untuk

memasuki area pembicaraan yang baru pada diri informan

sehingga dapat mendapatkan data yang beragam (Smith,

2013). Dalam wawancara semi terstruktur, peneliti menyusun


(58)

dalam mendapatkan informasi yang menarik dan penting

terkait pengalaman informan.

1. Sudah berapa lama ibu sudah meninggal ?

2. Saya tertarik untuk mendengarkan pengalaman bapak ketika ditinggalkan istri bapak, bagaimana ceritanya saat itu pak ?

3. Apa yang bapak rasakan saat itu ?

4. Apakah ada perbedaan dengan apa yang dirasakan bapak saat ini ? 5. Selama beberapa tahun ini, apakah ada perubahan-perubahan yang bapak alami, bisakah bapak menceritakan pengalaman bapak saat ini ?

6. Perasaan apa saja yang muncul ketika bapak mulai merasakan adanya perubahan-perubahan tersebut ?

7. Apakah perasaan tersebut dirasa mendalam sehingga mengganggu dalam menjalani kehidupan bapak, bisakah bapak menceritakan pengalaman bapak?

8. Bagaimana cara bapak mengatasinya ?

9. Apakah bapak bisa membagi pengalaman bapak terkait berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal ?

10.Seperti apa masalah-masalah yang seringkali muncul selama berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal ?

11.Apa yang kemudian bapak lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut?

12.Hal-hal apa sajakah yang mendorong bapak untuk tetap menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal ?

13.Dalam menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal, apakah ada anggota keluarga atau kerabat yang turut membantu ?

14.Bagaimana respon keluarga dan kerabat mengenai keadaan bapak Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara


(59)

setelah istri meninggal ?

15.Setelah mendapat respon dari keluarga atau kerabat dekat, bagaimana bapak melihat diri bapak sendiri ?

16.Apakah setelah istri meninggal, bapak pernah terpikirkan untuk menikah kembali atau tidak ?

17. Bagaimana bapak menindaklanjuti keputusan bapak tersebut ? 18.Menurut bapak, apa artinya menjalani peran ayah sebagai orang

tua tunggal ?

E. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, data akan dilakukan analisis menggunakan

metode analisis data dari interpretative (AFI) Smith (2009). Beberapa

tahap tersebut meliputi :

1) Mencari tema-tema dalam setiap kasus setelah membaca data

transkrip verbatim secara keseluruhan.

Pada tahap yang pertama, peneliti diminta untuk membuat

tabel yang terdiri dari tiga kolom. Kolom yang pertama berisi

transkrip wawancara dengan informan. Kolom yang kedua

berisi komentar atau meringkas transkrip wawancara.

Sedangkan kolom yang ketiga, digunakan untuk menuliskan

judul-judul tema yang muncul atau mentrasformasikan

ungkapan-ungkapan singkat yang bermaksud untuk menangkap

kualitas inti dari transkrip hasil wawancara.

2) Mengkaitkan tema-tema yang sudah terkumpul dan mencari


(60)

a. Mengurutkan tema-tema yang muncul secara

kronologis berdasarkan urutan kemunculannya dalam

transkrip verbatim wawancara.

b. Mengurutkan tema-tema secara analitis atau teoritis

untuk memahami hubungan antara tema yang muncul

dan mengelompokkan tema yang serupa.

c. Melakukan pemeriksaan terhadap transkrip dan tema

yang telah dibuat.

d. Membuat tabel tema-tema dengan susunan yang

koheren dan mengidentifikasi kelompok tema yang

paling kuat, kemudian memberi nama kategori tema.

3) Melanjutkan membuat analisis pada kasus-kasus lain.

F. Verifikasi Penelitian

Menurut Creswell (2012) ada beberapa cara yang dapat digunakan

untuk mendapatkan validasi atau keakuratan hasil penelitian kualitatif,

seperti :

a) Member checking; merupakan proses mengecek akurasi data dengan cara konfirmasi terkait hasil penelitian. Peneliti akan

kembali menemui informan serta membawa laporan akhir yang

berisikan tema maupun deskripsi yang sudah ada dan

menanyakan apakah deskripsi yang sudah dibuat oleh peneliti


(61)

b) Menyediakan Membuat deskripsi yang kaya dan padat (rich

and thick description) tentang hasil penelitian. Deskripsi tersebut menyajikan terkait setting penelitian dan elemen

beberapa pengalaman dari informan penelitian serta

menyajikan banyak perspektif mengenai tema, sehingga

mendapatkan hasil yang lebih realistis dan kaya.

c) Validitas Argumentatif yaitu peneliti melakukan diskusi

dengan dosen pembimbing untuk mencapai validitas


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Alat Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan beberapa

persiapan terkait dengan proses penelitian. Salah satu proses tersebut

yaitu dengan mempersiapkan kuesioner yang berisikan 25 item

terpakai berkaitan dengan proses resiliensi. Kuesioner dipilih sebagai

salah satu alat penelitian guna mencari dan melakukan seleksi terhadap

informan penelitian. Hasil dari data kuesioner digunakan peneliti

sebagai pemetaan dan merupakan pengambilan data awal terhadap

para informan.

Setelah melakukan tahap seleksi awal dengan menggunakan

kuesioner, peneliti mempersiapkan beberapa pertanyaan untuk

memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Metode

wawancara dipilih oleh peneliti sebagai metode utama dalam

mendapatkan data utama tanpa membatasi informasi yang didapatkan

oleh peneliti terhadap informan penelitian. Beberapa sarana

dipersiapkan oleh peneliti guna mendukung kelancaran proses

wawancara seperti : alat perekam, buku untuk membuat catatan kecil


(63)

informan dalam mengisi kuesioner dan juga membantu peneliti dalam

membuat catatan.

2. Informan

Informan yang terlibat pada proses penelitian ini, merupakan

informan yang sudah melewati proses seleksi di awal yaitu

menggunakan kuesioner. Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang

informan dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam

hal ini, peneliti melakukan beberapa tahapan persiapan terhadap

informan yang sudah terpilih sesuai dengan kriteria pada bab III.

Pencarian informan 1, 2 dan 3 pada awalnya dilakukan peneliti dengan

cara bertanya kepada beberapa teman dan keluarga peneliti yang

dikenal oleh peneliti. Teman ataupun keluarga peneliti dipastikan

sudah mengetahui kriteria informan yang sesuai dengan tujuan

penelitian.

Peneliti bertemu dengan informan 1 atas bantuan salah seorang

keluarga peneliti yang dikenalnya dari lingkungan gereja. Sama halnya

dengan informan 2 yang ditemukan berdasarkan bantuan dari keluarga

informan yang juga merupakan seorang ayah sebagai orang tua

tunggal. Tidak terlalu sulit bagi peneliti untuk bertemu dan melakukan

pendekatan atau rapport pada informan 2 karena peneliti sudah pernah

bertemu sebelumnya dengan informan tersebut. Sedangkan pada

informan 3, peneliti bertemu atas bantuan salah satu teman peneliti


(1)

287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305

Ea2

siapa saja. Contoh, anak dari kelas 1 sd sampai kelas 2 smp beasiswa terus itu rejeki Tuhan, saya gak menyombongkan. Jadi, uang buat sekolah bisa saya alokasikan buat yang lain misalnya saya belikan sesuatu, harus nomor 1. Sepeda, jadi kalau belikan apa, harus yang baik. Sepatu harus yang baik. Kalau saya belikan yang biasa pasti gampang rusak, udah buang uang gampang rusak. Untuk biaya sekolah, terus terang saya gak masalah, untuk jajan gak ada masalah cuma ya pas aja. Anak diajarin, keinginan atau kebutuhan, ya bisa disetel aja. Terus terang saja, ujian saya beruntun. Tahun 2008 istri meninggal, 2009 saya kecelakaan itu keuangan juga gak masalah. Saya dipen 3, skrups 17, kelemahan saya juga disini saya gak bisa nekuk kakinya. Itu keuangan juga gak masalah, 2008-2009 kan saya wira-wiri terus mungkin saya kecapekan, kecelakan ini habis 58 juta untuk ukuran saya kerja, gak mungkin tapi karena ada jamsostek kasih 12 juta, jasa raharja 6 juta, kuasa Tuhan, saya dari kantor dapaat 6 juta. Saya di rumah sakit 3 bulan kira-kira, sepeserpun saya istilahnya gak kebeban karena apa Tuhan beri rejeki beri dari orang-orang. Saya bukan gak marah-marah, marahnya kalau semuanya gak konsisten tadi. Saya orangnya pemarah jangan salah. Misakan anak waktunya tidur kok gak tidur haru ada peraturan dan

Mengajarkan disiplin pada anak.

Tuhan memberi rejeki lewat siapa saja.

Menjadi contoh bagi anak.

Tuhan memberi rejeki melalui banyak cara.


(2)

306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324

Sr2

Eq2

hiburan.

Selama bapak sakit, istri sudah meninggal lalu bagaimana bapak mengurus diri ?

Kekuatan saya Tuhan, kalau Tuhan kasih ujian pasti Tuhan kasih jawaban kalau lewat doa. Makanya, saya gak kebeban, ibu nemenin, juga bantu masak.

Ibu disini sejak kapan ?

Sejak bunda masih ada, tahun 2003an. Bapak sudah berapa lama menikah ?

Saya menikah tahun 2001, anak saya lahir 2001.

Menurut bapak hal apa saja yang mendorong dan memotivasi bapak samapi saat ini ?

Pertama anak, saya tipe orang tua yang gak mau buat anak kecewa. Kalau anak kecewa sama orang tua, imbasnya panjang. Kecewa itu maksudnya gak konsisten, jadi kalau sudah berumah tangga itu gak berdiri sendiri harus memposisikan menjadi tiga, ayah, laki-laki, dan suami buat istrinya. Ketiga-tiganya harus jadi satu. Kalau laki-laki itu kan masih apa, saya memposisikan jadi ayah karena saya masih memikirkan anak. Saya masih sesuai walaupun sudah berbeda tempat

Mudah marah pada hal yang tidak konsisten.

Kekuatan saya Tuhan, Tuhan kasih ujian dan jawaban lewat doa.

Kurangnya kemampuan mengontrol emosi.

Tuhan sumber ujian dan kekuatan.


(3)

325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 Mn1 Mn2 Mn3 Ea1

walaupun di KTP cerai mati saya masih cinta. Jadi bapak merasa masih terikat dengan ibu ya ? Iya

Menurut bapak, apa sih arti sebagai ayah tunggal ?

Saya menjadi contoh yang baik bagi anak, saya gak boleh meski saya orang tua terus saya bebas, saya memperhatikan masa depan dia, menanamkan nilai-nilai yang saya harapkan. Saya harus istilahnya sesuai keinginan saya, dan saya sesuai keinginan saya.

Apa contohnya biar anak gak kecewa sama bapak ?

Harus menanamkan bahwa ayah itu seperti, kalau soal saya seneng sama wanita, itu liat pribadi anak. Orang itu kan harus liat anak, harus memikirkan ego anak harus seimbang.

Apakah bapak ada rencana untuk menikah lagi ?

Saya hamba Tuhan, saya gak menutup diri saya tetep membuka semua kesempatan yang Tuhan berikan ada kata tidak. Jadi dalam arti monggo kerso gusti. Tapi saya tidak mencari.

Bagaimana tanggapan anak terhadap keputusan bapak ?

Ya anak kan berkembang, anak tu waktu tinggal di Wonogiri tau harus dapet masukan keluarga wonogiri kalau apa ya anak tu berkembang dan

Tidak mau membuat anak kecewa karena imbasnya panjang.

Rumah tangga itu adalah ayah, laki-laki, dan suami untuk istrinya.

Walau cerai mati, tetap masih cinta.

Menjadi contoh bagi anak dan memperhatikan masa depan

Menyeimbangkan ego diri dan anak pada saat senang dengan wanita.

Mengontrol perilaku untuk manfaat diri sendiri dan kebahagiaan orang lain.

-

Tidak adanya batas dalam mencintai.

Memperhatikan masa depan anak.

Tidak ingin

mengecewakan orang lain.


(4)

344 345 346 347 348 349 350 351

Ps1

Ea1

saya mengikuti perkembangannya gak tau nanti seperti apa. Tapi nek itu, kalau Tuhan menghendaki. Kalau semuanya mudah berarti Tuhan menghendaki, tapi kalau itu sulit berarti Tuhan tidak menghendaki gitu aja. Saya bukan tipe yang gak marah-marah, kalau marah kalau gak konsisten itu tadi. Tapi nek konsisten saya lebih tenang, tapi saya orang yang pemarah ya tadi anak waktunya tidur tapi gak tidur, ya itu saya marah. Saya kalau gak marah terus dibiarin ya gak mungkin jadi harus ada peraturan dan harus ada hiburan.

Tidak menutup diri, dan membuka kesempatan untuk menikah kembali.

Apabila semua yang dikerjakan terasa mudah

berarti Tuhan

menghendaki, kalau sulit, maka Tuhan tidak menghendaki apa yang sedang dikerjakan.

Keinginan untuk melanjutkan hidup.

Keputusan berada pada Tuhan.


(5)

206

DAFTAR TEMA UTAMA INFORMAN 3

Label Analitis Tema

Berdoa sebagai wujud kepasrahan. Cara menangani masalah

Tidak percaya pada keadaaan. Perasaan dukacita atas kehilangan Menerima keputusan yang Tuhan berikan Penerimaan diri istri yang meninggal Istri meninggal sebagai sarana

mengapresiasi anak dalam menghadapi keadaan berat.

Penerimaan diri istri yang meninggal

Pilihan perilaku pribadi Perasaan dukacita atas kehilangan Ungkapan perasaan kehilangan. Perasaan dukacita atas kehilangan Ungkapan perasan tidak terima pada

keadaan karena merasa memiliki keterbatasan.

Perasaan dukacita atas kehilangan.

Ada ingatan istri. Perasaan dukacita atas kehilangan. Perasaan akan ketidakmampuan. Masalah yang dihadap sebagai orang

tua tunggal Rasa rindu dingukapkan dengan mudah

emosi.

Perasaan dukacita atas kehilangan

Rasa rindu yang termanifestasi dalam emosi yang labil.

Perasaan dukacita atas kehilangan

Tuntutan perubahan peran ganda. Perubahan yang dialami sebagai orang tua tunggal

Tuntutan peran orang tua tunggal. Perubahan yang dialami sebagai orang tua tunggal

Merasakan tekanan ekonomi. Masalah yang dialami sebagai orang tua tunggal

Percaya diri akan kemampuan

menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Cara menangani masalah


(6)

tua tunggal

Punya prioritas. Cara menangani masalah

Peduli akan masa depan anak. Cara menangani masalah Mampu memenuhi kebutuhan. Cara menangani masalah Menjadi contoh bagi anak. Cara menangani masalah

Tuhan memberi rejeki melalui banyak cara. Cara menangani masalah

Kurangnya kemampuan mengontrol emosi. Masalah yang dialami sebagai orang tua tunggal

Tuhan sumber ujian dan kekuatan. Cara menangani masalah Mengontrol perilaku untuk manfaat diri

sendiri dan kebahagiaan orang lain.

Cara menangani masalah

Tidak adanya batas dalam mencintai. Perasaan dukacita atas kehilangan Memperhatikan masa depan anak. Makna pengalaman terkait menjalani

peran

Tidak ingin mengecewakan orang lain. Makna pengalaman terkait menjalani peran

Tidak ingin mengecewakan orang lain. Makna pengalaman terkait menjalani peran

Keinginan untuk melanjutkan hidup. Rencana untuk kehidupan selanjutnya

Keputusan berada pada Tuhan. Rencana untuk kehidupan selanjutnya