Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi
Laki-laki Dewasa Madya
Pengalaman kehilangan istri akibat sakit kanker
Masalah yang menekan :
1. Dukacita
I : Shock dan Menolak II : Marah dan Depresi
III : Dukacita dan kesedihan IV : Menerima dan memahami
2 . Perubahan Peran :
a. Pengasuhan anak b. Mengurus keperluan rumah tangga
3. Ekonomi : Sumber pendapatan seorang diri
4. Tekanan sosial Stigma negatif dari orang lain
Pengalaman Proses Resiliensi a.
Penerimaan diri yang positif istri yang meninggal
b. Kemampuan bertahan menghadapi
masalah c.
Kemampuan mengatasi masalah melalui bantuan orang lain
d. Memiliki rencana untuk kehidupan
selanjutnya Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses resiliensi ayah tunggal :
1. Kehadiran anak
2. Dukungan sosial dan
hadirnya figur pengganti ibu : kakak
wanita informan dan pembantu rumah
tangga
3.
Tingkat religiusitas yang tinggi
5. Analisis Hasil Wawancara Informan 2
a. Gambaran Pengalaman Kehilangan
Informan berusia 58 tahun, ayah dari tiga orang anak. Anak pertamanya seorang laki-laki berusia 21 tahun, saat ini sedang
menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi. Anak kedua berusia 20 tahun, saat ini juga sedang menempuh pendidikan
diperguruan tinggi semester 4. Sedangkan anak ketiga berusia 16 tahun, saat ini sedang menempuh pendidikan sekolah menengah
atas. Informan adalah seorang sarjana pendidikan yang berkerja sebagai guru di salah satu instansi pendidikan. Setiap harinya
selain bekerja, informan berkegiatan untuk mengurus keperluan anak dan menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi dengan
masyarakat tempat ia tinggal. Informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal
sejak 4,5 tahun yang lalu semenjak kematian almarhumah istrinya. Istri informan meninggal akibat menderita kanker payudara yang
diketahuinya setelah dilakukan pemeriksaan pada april 2011. Istri informan meninggalkan tiga orang anak yang pada saat itu yang
masih duduk dibangku sekolah dan masih berusia remaja.
“Pertengahan April 2011 itu almarhumah memberi tahu saya kalau badannya, terutama payudaranya sebelah kiri tu,, ee
rasa sakit dan ada benjolan. Kemudian, ee tiga hari berikutnya itu saya periksakan di dokter ternyata hasil
diagnosanya dokter itu memang positif kena kanker.” Informan 2, 3-7
Terdiagnosa bahwa istrinya menderita kanker payudara dirasakan sebagai sesuatu hal yang mengejutkan bagi informan.
Hal ini disebabkan karena istrinya yang jarang mengeluhkan sakit. Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan guna mendapatkan
kesembuhan bagi istri informan. Setelah mendapatkan hasil dan berkonsultasi dengan dokter, istri informan memutuskan untuk siap
menjalani operasi pengangkatan sel kanker.
“Istri saya siap untuk dioperasi, menerima keadaan apapun. Itu sekitar tanggal berapa ya, kalau gak salah tanggal 27 Mei
eh April, 20 April. Jadi pertengahan April, jadi 20 April operasi. Setelah dioperasi itu kan diangkat karena stadiumnya
2b jadi harus diangkat.” Informan 2, 10-13
Kematian istri informan akibat kanker payudara tidak dirasakan sebagai sesuatu yang mengejutkan bagi informan. Hal
ini karena informan sudah mencurigai kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada istrinya. Tindakan medis yang dilakukan secara
ekstra dan itensif diberikan dari pihak dokter dan rumah sakit, menambahkan keyakinan informan untuk semakin siap dengan
segala kemungkinan terburuk.
“Itu kemoterapi yang pertama, terus itu kami sambil izin “pak, nanti yang kedua boleh kami kembalikan di kota
Madiun kan ?, karena saran dari dokter Madiun gitu. Tapi kata dokter tidak boleh, akhirnya dokter tu gini, apa bapak
yakin kalau ibu dibawa pulang ke Madiun bisa sembuh ?, ya ndak dok. Ya sudahlah akhirnya kami nurut dokter.
Sebetulnya dari situ saya sudah curiga, biasanya kalau memang boleh, yang kedua dan ketiga dan seterusnya itu
dikembalikan ke kota Madiun. Tapi itu ndak boleh, berarti kan saya menduga apa yang dialami oleh alamarhumah itu harus
ditangani secara intens oleh dokter-dokter ahli. Karena memang yang menangani, ahli semua itu. Ahli penyakit
dalam, dosen semua itu dok
ter dan dosen.” Informan 2, 20- 30
Peningkatan stadium kanker yang semula 2b menjadi stadium 4 semakin mempertegas kemunduran kesehatan istri
informan. Tanda-tanda kesehatan yang memburuk semakin ditunjukkan oleh istri informan. Muntah yang berulang hingga
harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, setelah itu istri informan 2 tidak sadarkan diri selama 1 hari sebelum meninggal.
“Setelah kemo yang keduabelas, itu muntah-muntah akhirnya saya bawa ke merpati rumah sakit Madiun. Terus ya sudah,
masuk hari kedua itu, hari ketiga itu sudah ndak sadar. Meninggalnya itu sabtu malam minggu jadi ndak sadarnya tu
dua hari.” Informan 2, 41-45
Kemunduran kesehatan istri informan, membuatnya semakin siap dan pasrah dengan kemungkinan terburuk yang akan
menimpa istrinya. Meskipun demikian, informan mengaku sudah mengupayakan pengobatan yang terbaik bagi istrinya. Begitu juga
dengan kegiatan religius seperti berdoa yang juga dilakukan sebagai upaya penunjang kesembuhan istrinya. Meskipun usaha
yang sudah dilakukannya tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkannya, hal tersebut tidak lantas membuat informan tidak
menerima kematian istrinya. Kondisi sebaliknya, informan merasa kalah dengan kuasa Tuhan hingga pada akhirnya mengikhlaskan
yang sudah diputuskan oleh Tuhan. “
Itu jadi memang intinya kami sekeluarga sudah secara medis juga sudah berdoa tapi memang semua kalah oleh yang
maha kuasa. Ya akhirnya ya mengikhlaskan.” Informan 2, 45-47
Mengikhlaskan kepergian istrinya tidak lantas membuat informan merasa tidak sedih atas istrinya yang meninggal.
Informan mengaku hanya memendam perasaan sedihnya dan tidak menceritakan maupun menunjukkan kepada orang lain terutama
pada keluarga dan anak-anaknya. Kesiapan diri akan hilangnya peran istri ditunjukkan dengan tidak banyak menangis saat istri
meninggal. Hal ini diyakini oleh informan bahwa dengan tidak menangis yang berlebihan bukan berarti dirinya tidak merasakan
kesedihan. Kesiapan diri untuk mendapatkan kemungkinan yang terburuk dapat dilakukan informan dengan baik. Hal ini
ditunjukkan melalui ungkapan sayang yang diwujudkan dengan memberikan pendampingan dan rencana tindakan perawatan yang
baik untuk istrinya.
“Sebetulnya ketika dioperasi ketika saya omong-omong itu di Surabaya dan di Madiun di Madiun itu ee sebulan setelah
dioperasi saya sudah mendapat info dari dokter, tapi saya pendam sendiri. Dan itu tidak saya ceritakan pada siapa-
siapa termasuk pada anak seperti ini, jadi ketika almarhumah itu meninggal, saya tidak banya menangis. Saya sudah siap
betul, saya harus pikirkan saya sudah pikirkan, sebetulnya. Kalau almarhumah kemanapun saya tu sayangnya luar biasa.
Kemana saja saya antar tanpa mendahului kehendak Tuhan ya. Karena kan sudah diagnose dokter itu, tingkat
signifikannya kan tinggi sekali karena penalaman sakit sakit ini dengan kondisi ini penyakit pendampingnya ini, kanada
gula dan sebagainya kan sudah bisa mendiagnosa. Jadi begitu almarhumah meninggal itu, ya tetep jadi menangis tapi tidak
seperti anak-anak saya. Tidak berarti tidak sedih, ya sedih
maka saya kan harus sendiri, sendiri dan sendiri.”Informan 2, 239-252
b. Pengalaman Berperan sebagai Orang Tua Tunggal
Bersamaan dengan berlanjutnya masa dukacita yang dialami, informan juga mengalami beberapa reaksi lain pada awal
istrinya meninggal. Kesedihan akan menghilangnya peran istri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hingga penerimaan diri untuk hidup sendiri dan menjalankan peran ganda turut dirasakan oleh informan. Meskipun demikian, ia tetap
berusaha beradaptasi mengatasi rasa tidak percaya akan kondisi terbarunya tersebut.
“Ya memang, untuk adaptasi saya bisa tegar sendiri itu sekitar 7 bulan, baru tegar itu saya. Bulan itu saya seperti
ndak percaya, tapi setelah tujuh bulan itu karena ditempa oleh mau ndak mau harus nerima kondisi seperti ini saya harus
nerima. Jadi tujuh bulan, jadi istilahnya tu ya sudahlah mau
diapakan.” Informan 2, 252-257
Berperan sebagai orang tua tunggal selama kurang lebih 4,5 tahun tidak dirasakan sebagai sesuatu hal yang menegangkan bagi
informan. Ia mengaku menerima dengan ikhlas perubahan peran yang dijalaninya tersebut. Hal tersebut dilakukannya sebagai upaya
dari kepeduliannya terhadap anak-anaknya.
“Ya dibawa santai aja mbak, kalau sepaneng kan saya sadar mbak kalo nanti kan kasian anak-anak masih butuh biasa
semua.” Informan 2, 279-280
Dalam menerima keputusan Tuhan menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal, tidak membuat informan mampu
menjalani peran tersebut dengan mudah. Hal ini dirasakan informan dengan munculnya beberapa perubahan dan masalah
ketika menjalani peran ayah sebagai orang tua. Masalah utama yang dialami informan ketika menjalankan peran barunya yaitu
ayah sebagai orang tua tunggal ialah masalah menangani keperluan anak. Ia mengaku bahwa salah satu anaknya tersebut seringkali
membuat masalah terutama dengan hal keuangan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Masalah yang paling muncul tu, anak saya yang nomor satu. Anak saya yang nomor satu itu memang sejak sekolah, itu
sering membuat masalah kan masalah itu hubungannya terutama dengan uang.” Informan 2, 100-102
Memenuhi kebutuhan secara finansial dan psikologis anak dirasakan sebagai sesuatu tekanan ketika menjadi ayah sebagai
orang tua tunggal. Perasaan akan ketidakpercayaan bahwa orang lain mampu memahami psikologis anak menjadi perasaan dominan
yang sering muncul. Informan merasa tidak mampu merelakan anaknya kepada orang lain. Ketakutan yang dirasakan informan ini
ketika anak wanitanya harus menikah nanti. Ia tidak merasa yakin untuk melepaskan anak wanitanya kepada mertuanya. Ketakutan
akan masalah psikologis anak dirasakannya ketika anaknya akan menikah. Ia memikirkan perasaan anaknya jika harus dititipkan
kepada orang yang bukan merupakan ibu kandungnya.
“Ya itu tadi, jadi perasaan dominan yang sering muncul itu yang paling sering saya pikirkan itu ketika nanti anak saya
yang ragil itu kan cewek, kan harus menikah. Nah, dalam menikah itu nek wong jowo kan kudu gak bisa ngeculne cul
opo omongane morotuwo, calon morotuwo kan mbak. Kan saya harus ini loh yang saya pikir bukan hanya masalah
biaya, tapi masalah psikologis yang saya pikirkan. Nanti saya harus minta ibunya, tapi bukan ibunya sendiri ini nanti
bagaimana perasaannya.” Informan 2, 118-204
Menangani permasalahan terkait dengan kebutuhan anak- anak terasa semakin sulit tanpa kehadiran istrinya. Kehadiran
istrinya yang selama ini dirasakan sebagai teman untuk berbagi pengalaman suka maupun duka tidak lagi bisa dirasakan olehnya.
Begitu juga dengan kondisi dimana informan diharuskan untuk memutuskan suatu pertimbangan. Keadaan tersebut memaksanya
untuk bisa secara mandiri memecahkan permasalahan yang dirasakannya seorang diri. Beberapa perubahan menjadi ayah
sebagai orang tua tunggal tersebut harus dijalaninya seorang diri bersama dengan ketiga orang anaknya.
“Ya, ya repotnya kalau dulu masih ada ibunya kan berbagi rasa berbagi cerita memecahkan masalah barang-bareng.
Sekarang kan sudah ndak bisa. Informan 2, 218-220
Kecemasan dalam memikirkan pendapat orang lain juga menjadi hal yang menjadi tekanan bagi informan. Informan
memikirkan pendapat orang lain ketika ia harus mengadakan acara pernikahan anaknya seorang diri. Ketiadaan seorang istri dalam
mengadakan acara pernikahan dinilai sebagai sesuatu yang tidak pantas bagi informan. Meskipun demikian, ia tidak merasa
mendapatkan masalah ketika harus menjalaninya sendiri tanpa adanya pasangan..
“Nanti kalau saya punya gawe sendiri, dilihat orang itu kok dhewe opo. Tapi sebetulnya sendiri pun ndak
masalah.” Informan 2, 206-207
Meskipun ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan merasakan adanya beberapa tekanan dalam hal
finansial dan urusan anak. Namun, tidak sama halnya dengan urusan rumah tangga. Informan merasa mampu untuk mengurus
keperluan hariannya seorang diri. Ia mengaku memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah rumah tangga seperti
memasak, mencuci, hingga membersihkan rumah. Ketrampilan melakukan pekerjaan rumah tersebut ia sudah miliki sejak dirinya
duduk di bangku sekolah dasar. Sehingga tidak sulit baginya untuk menyesuaikan perubahan terutama pada urusan rumah tangga yang
harus dijalaninya seorang diri.
“Oh ndak, ndak masalah rumah tanga saya hadapi sendiri. Sejak SD saya sudah diajari masak dengan bapak ibu saya. Apalagi sekarang ada rice
cooker, ada kompor gas, halah sipil. Kok ada masalah keluarga yang menyangkut keperluan rumah tangga, menyangkut kebersihan rumah,
menyangkut macem-macem itu saya kira insyallah gak ada.Informan 2, 104- 108
c. Cara Informan Menangani Masalah
Hari-hari setelah kematian istrinya, informan berhadapan dengan beberapa perubahan dan masalah yang terkait dengan peran
barunya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal. Masalah dukacita akan meninggalnya istri, masalah kepengurusan anak hingga
masalah finansial juga dirasakan oleh informan. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak membuatnya terpuruk dan pasif.
Keadaan yang sebaliknya dilakukan oleh informan bahwa ia berusaha untuk bangkit dan mengatasi masalah yang ia dapatkan.
Kemampuan untuk tenang dan mengontrol diri ia terapkan dalam menghadapi masalah. Sehingga, ketika ia menerima hasil yang
tidak sesuai dengan usaha yang ia dapatkan, informan mampu memiliki kontrol diri yang cukup baik untuk meresponnya.
“Dalam menghadapi hidup itu, harus tenang dan kalau orang jawa mengatakan sumeleh artinya sumeleh itu ya pasrah. Jadi
kalau kita sudah berusaha dan ketika dan usaha itu sudah kita lakukan dengan maksimal dan gak menggapai hasil yang
maksimal kan ya sudah sehingga tidak menyebabkan perang batin, kan ketika orang itu sudah perang batin susah
menderita kan ujung-ujungnya kan ya sakit. Informan 2, 88- 94
Meskipun demikian, bukan berarti informan tidak merasa terganggu atas masalah yang dimilikinya. Beberapa kali ketika
menghadapi masalah dirasakan oleh informan sebagai sesuatu yang mengganggu. Namun, ia mengakui bahwa dalam menghadapi
masalah, informan membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi dan mengatasinya.
“Iya mengganggu tapi tidak lama. Namanya kena masalah kan harus kembali ke kenangannya, sebab ketika menghadapi
masalah itu kan ada fasenya kan perlu waktu kan. Ketika sudah selesei ya sudah, normal.” Informan 2, 228-230
Kemampuannya untuk menangani masalah ketika berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal ditunjukkan dengan
mengurus segala keperluannnya dan rumah tangga seorang diri. Meskipun pada awal ia beradaptasi menjalani peran barunya, ia
menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk membantu. Secara berulang dalam wawancara, informan menekankan
kemampuannya untuk menangani kebutuhannya sehari-hari dapat ia lakukan sendiri.
“Ndak ada, kalau dulu pernah punya dua tahun tapi kalau pembantu itu kan kalau jam empat pulang ke rumahnya.
Sekarang sudah dua setengah tahun ndak saya pakai, yak arena saya bisa sendiri, bisa sendiri.”Informan 2, 112-115
Kemampuan informan untuk secara mandiri mengatasi keperluan rumah tangga secara baik juga diterapkan pada masalah-
masalah lain yang ia alami. Begitu juga dengan kemampuannya untuk memecahkan masalah seorang diri tanpa adanya bantuan dari
orang lain. Meskipun ia kehilangan teman berbagi, kondisi tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak lantas membuatnya secara bebas mampu mencari sosok lain untuk berbagi cerita. Informan membatasi dirinya untuk berbagi
cerita dan permasalahan kepada teman maupun pihak keluarga. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakpedulian informan dengan
lingkungan sekitar, namun lebih disebabkan karena kurangnya rasa percaya terhadap orang lain.
“Kalau sekarang ada masalah anak saya mau saya ceritakan pada siapa ?. Pada kakak kandung saya, iya kalau bisa
menerima, ngko malah diseneni ya ti, saya ceirtakan pada temen saya, curhat ya kalau dia bisa nerima. Iya nanti kalau
diomong-omongkan ke orang lain malah dadi gak menguntungkan diri saya sendiri, ya saya atasi sendiri
semampu saya. Informan 2, 220-225
Kemampuan informan dalam mengontrol diri dilkukan dengan baik saat menangani masalah selama berperan menjadi
ayah sebagai orang tua tunggal. Ia menyatakan tidak pernah meluapkan emosi secara berlebihan, seperti marah pada saat
mengalami masalah.
Ia cenderung
untuk bersabar
dan menyelesaikan masalah dengan baik.
“Saya tu, masalah seberat apapun saya gak pernah marah apalagi pada anak saya nomor dua, nomor tiga itu blas gak
pernah saya marahi. Saya tu kueras, tapi sabar pada anak. Betul, dulu tu pernah, tapi tu ketika nah gini mbak sesuai
dengan perjalanan waktu yang itu akan menemukan jati diri. Ternyata kalau saya musti harus marah, saya harus bentak
harus ini kan endingnya hanya ingin memperbaiki kenapa harus dengan marah kalau samama bisa dengan baik. Jadi
akhirnya bisa jadi orang yang sabar. “ informan 2,283-290
d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya
Menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal selama 4,5 tahun tidak membuatnya untuk tergesa-gesa dalam mencari
pasangan baru. Hal ini dinyatakan oleh informan, karena selama PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjalani status barunya banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil sebuah tindakan. Salah satunya adalah
kemungkinan bagi informan untuk menikah kembali. Keberadaan anak dirasa menjadi alasan utama untuk menunda rencananya
dalam mencari calon pendamping. Ketakutan akan perbedaan prinsip antara anak dengan ibu barunya dirasa menjadi bahan
pertimbangan ketika menikah nantinya. Selain itu, informan menyatakan bahwa keberadaaan anak menjadi prioritas utama
dalam hidupnya.
“Beda lagi kalau nanti, misalnya itu nanti maaf mungkin itu ibu yang kedua dari anak-anak saya kan apa yang saya
harapkan kan tidak sesuai dengan anak-anak saya harapkan. Itu yang saya pegang, karena ada perbedaan prinsip. “
Informan 2, 67-70 “Tapi bagaimanapun juga, yang namanya anak itu nomor
satu bagi saya.” Informan 2, 80-81
Informan menyatakan kesulitannya dalam mengambil suatu keputusan ketika diharuskan untuk hidup sendiri yaitu menjadi
ayah sebagai orang tua tunggal. Selain disebabkan oleh ketakutan akan terjadinya perbedaan prinsip, alasan lain yang dirasa
memperkuat pernyataan informan adalah keberadaan anaknya yang masih menempuh pendidikan. Pendidikan dirasa sangat penting
bagi kehidupan informan, oleh karena itu ia ingin semua anaknya bisa lulus dalam pendidikan dengan baik. Ia menyatakan bahwa
ketika seseorang berhasil menempuh pendidikan, berarti ia sudah mampu untuk menyelesaikan hampir seluruh perjalanan hidupnya.
Meskipun informan memutuskan untuk tidak menikah, akan tetapi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hal tersebut tidak lantas membuat dirinya untuk membatasi diri untuk menemukan calon pendamping yang tepat bagi dirinya.
“Kami bertahan sampai empat setengah tahun itu, sebetulnya kan untuk menyelamatkan anak saya yang kuliah ini. Jadi
kalau sebagai ketika saya hidup sendiri itu berpikir sebagai seorang bapak maka tidak mudah untuk menikah lagi. Jadi
tidak berarti untuk tidak menikah lo ya, tau tidak mudah untuk menikah kembali karena mikirnya seorang bapak yang masih
punya anak perlu lolos dalam studi dulu. Minimal, ini kan sudah kuliah maka perjalanan
nya sudah hampir 90.“ Informan 2, 71-78
Kepercayaan akan kuasa Tuhan sangat melekat dalam hidup informan. Ia mempercayai bahwa izin Tuhan akan
membawanya pada kehidupan yang baru. Hal ini ia terapkan dengan menunjukkan sikap pasrah atas kemungkinannya untuk
menikah kembali. Ia menyatakan akan menerima dengan ikhlas, takdir untuk menikah ataupun melakukan tangggung jawab sebagai
seorang ayah tanpa adanya pendamping.
“Lha nanti kalu anak saya sudah lulus, ya insyallah kalau Tuhan mengizinkan ya kami akan menata kehidupan yang
baru. Tidak berarti saya itu apa namanya melawan takdir tidak, kalaupun diberi jodoh ya saya terima kalau saya tetep
harus membesarkan anak dalam kesendirian ya saya terima. Yang penting, yang penting anak saya sudah bisa lolos dari
pendidikan dan punya kerja nantinya. Jadi siapa sih yang mau ditinggal sama istrinya, kan gak ingin, tapi kalau tidak takdir
yang kita harus menerima ya asalkan dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab. Saya kira itu, yang saya jadikan filosofi
hidup
itu harus
apa namanya
harus seneng
bersyukur.”Informan 2, 78-88
Berbeda dengan pertimbangan dirinya untuk menunda rencana pernikahan, keluarga besar informan maupun keluarga istri
memintanya untuk segera memiliki pendamping hidup. Sikap terbuka yang dimiliki oleh keluarga istri informan, justru
membuatnya dalam kondisi yang tidak nyaman. Desakan dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pihak keluarga yang memintanya untuk segera menikah membuat ia merasa tidak mampu menjalankan perannya seorang diri.
Informan merasa bahwa dirinya mampu dan terhadap segala perubahan dan masalah yang ia dapatkan setelah berperan sebagai
seorang duda dan orang tua tunggal.
“Oh ndak, malah saya disuruh ndang menikah. Betul, kasihan dengan saya katanya wong saya gak perlu dikasihani loh. Tapi
kakak saya, ibu saya mbak ip saya, termasuk ibu mertua saya itu sudah menyuruh. Betul itu, tapi kan ndak tau apa yang
harus saya hadapi itu lo, betul gak tau apa yang saya harus hadapi. Ibu saya, itu masih ingat sembilan bulan setelah istri
saya meninggal, kan saya dekat dengan ibu mertua kan belakang itu dia kan tau apa-apa yang saya lakukan tiap hari,
adik-adik istri saya kan tau. Pengawasan langsung, oleh KPK langsung kan mereka tau apa yang saya lakukan. Sudah dua
kali, tiga kali pokoknya nek mertua saya itu pokoknya kalai panggilnya kan nak, nak ndak kromo, aku selak ngesakne tapi
saya ya nggih ngono tok ae. Ya gitu mbak artinya tidak semudah apa yang dibayangkan orang. Tidak mudah, tapi
pada saatnya akan menjadi mudah kalau memang sudah
waktunya.” Informan 2, 329-337
e. Makna Pengalaman Informan Terkait Menjalani Peran
sebagai Orang Tua Tunggal
Informan cenderung melihat dan memaknai pengalamannya terkait menjalankan peran sebagai orang tua tunggal pengalaman
untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Dalam usahanya menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal, ia ingin di
masa akhir hidupnya bisa membantu orang lain meskipun kadang juga merasa disakiti.
“Jadi gini mbak, saya berusaha dalam akhir masa hidup saya itu saya harus bermakna bagi siapapun. Bagi siapapun,
jangankan bagi diri saya sendiri, bagi orang lain harus bermakna tidak lagi bagai anak-anak saya, bagi siapapun
saya harus bermakna. Jadi ya itu, saya dengan tetangga bagaimana saya bermakna bagi tetangga saya, apa yang bisa
saya berikan kepada dia. Saya di sekolahan, apa yang bisa
saya berikan pada anak didik saya. Jadi hidup harus bermakna, nah untuk memaknai hi itu kan berbeda-beda.
Kalau orangnya, kadang kala orang itu secara material berkecukupan, kalau saya dari mana ? tapi kan yang penting
baik, suka berbagi rasa, suka membantu apa yang bisa saya bantu. Pokoknya dengan siapapun harus baik, harus baik
walaupun kadang-kadang saya disakiti. Disakiti kan macem- macem, kene ki apik kono kok gak, tetep harus baik. Itulah
memaknai hidup tu. “ Informan 2, 303-316.
6. Analisis Kehidupan Informan 2 sebagai Orang Tua Tunggal
Ada 5 komponen resiliensi yang mempengaruhi resiliensi menurut Wagnild dan Young 1993. Beberapa komponen tersebut dialami oleh
informan dalam menjalani pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Komponen pertama adalah meaningfulness, dalam
komponen tersebut menyampaikan bahwa kebermaknaan adalah sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan memiliki tujuan, sehingga
diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki meaningfulness tinggi akan terus menerus berusaha
melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya selama ia hidup. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan meaningfulness atau
kebermaknaan, juga mampu menghargai dan memaknai apa yang sudah dilakukan oleh dirinya maupun orang lain. Komponen tersebut
ditunjukkan dalam kehidupan informan ketika ia memiliki tujuan hidup yaitu memikirkan masa depan anak. Tidak berhenti pada
memiliki tujuan hidup saja, akan tetapi informan melakukan beberapa usaha untuk mewujudkannya yaitu dengan cara menunda rencana
untuk mencari pendamping hidup sehingga ia tetap fokus pada tujuannya tersebut dan bekerja keras mencari nafkah. Selain memiliki
tujuan dan usaha, komponen ini berfokus pada kemampuan menghargai dan memaknai pekerjaan yang dilakukannya maupun
orang lain. Informan menunjukkan perilaku dengan selalu berusaha dapat bermakna bagi orang lain walaupun terkadang ia merasa disakiti.
Komponen yang kedua adalah equanimity yang meliputi perspektif yang seimbang antara kehidupan dengan pengalaman. Kematian istri
informan tidak membuatnya merasakan dukacita lebih dalam. Hal ini dikarenakan informan sudah memiliki dugaan bahwa sakit yang
diderita oleh istrinya harus ditangani oleh dokter yang ahli. Hal ini diduga oleh informan bahwa penyakit tersebut sulit untuk diobati.
Kemampuan tersebut juga ditunjukkan oleh informan dengan memikirkan masalah psikologis anak. Ia tidak memiliki kepercayaan
yang cukup kepada orang lain untuk memikirkan masalah psikologis anak sama seperti yang ia pikirkan. Selain itu, informan menggunakan
kemampuan tersebut dengan cara mewaspadai wanita yang selama ini menjadi godaan utama ketika menjadi ayah sebagai orang tua tunggal.
Hal ini ia terapkan pada hidupnya karena informan belum memutuskan untuk mencari pasangan hidup dan masih berfokus pada masa depan
anak. Selain itu, komponen equanimity juga meliputi kemampuan untuk
santai dalam menerima kesulitan dan mampu menangani tanpa menunjukkan sikap yang ekstrem. Kemampuan informan dalam
menerima kondisi terbarunya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan duda ditunjukkan dengan menerima kematian istrinya sebagai sesuatu yang baik. Meskipun informan mengalami beberapa tahapan
dukacita, ia tetap memiliki penerimaan yang baik atas kematian istrinya. Hal ini ditunjukkan ketika ia tidak menunjukkan ungkapan
marah dan menangis yang berlebihan ketika istrinya meninggal. Informan mengakui bahwa ia merasa tenang dan pasrah dalam
menghadapi hidup meskipun tidak menggapai hasil yang maksimal. Meskipun ia sudah berusaha untuk memberi pengobatan yang terbaik
bagi istrinya dan tidak mendapatkan kesembuhan seperti yang ia inginkan, akan tetapi informan tetap menerimanya dengan baik.
Selain itu, informan dengan santai menerima peran barunya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Meskipun tanpa adanya
latihan dan persiapan, informan mampu menjalani perannya untuk mengurus keperluan rumah tangga dan mendidik anak seorang diri.
Walaupun dalam kesendiriannya, ia tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga informan tidak terburu-buru dalam mencari pasangan.
Informan tidak melawan takdir dengan cara menerima jodoh jika diberi atau tetap membesarkan anak dalam kesendirian.
Komponen yang ketiga adalah Perseverance. Komponen tersebut melihat kemampuan informan dalam menghadapi kesulitan ketika
berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Perasaan dukacita atas meninggalnya istrinya dianggap sebagai sebuah tekanan.
Dalamnya relasi antara informan dengan istrinya diungkapkan melalui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
proses wawancara ketika ia menjelaskan dalamnya rasa sayang kepada istri dengan menunjukkan kesetiaannya untuk mengantarkan istrinya
kemanapun pergi selama istrinya masih hidup. Selain itu selama kurang lebih 4,5 tahun informan masih bertahan dalam menghadapi
beberapa perannya yaitu ayah sebagai orang tua tunggal seorang diri tanpa adanya dukungan sosial dari pihak keluarga ataupun
menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Kesulitan lain yang dirasakan Informan dengan berperan sebagai
orang tua tunggal adalah tergoda pada wanita akan tetapi tidak mudah baginya untuk menentukan untuk menikah kembali meskipun ia
mengakui tidak sulit baginya untuk menemukan pasangan hidup. Hal ini cukup menjelaskan bahwa kebutuhan informan untuk memiliki
pasangan hidup kembali, akan tetapi terbentur adanya alasan yaitu kepemilikan anak. Menurutnya anak adalah prioritas utama dalam
hidupnya sehingga ia harus memikirkan kondisi anaknya yang masih perlu sukses dalam studi. Selain itu, ketakutan akan perbedaan yang
terjadi antara anak dan istri barunya nanti. Kondisi yang menyulitkan tersebut tetap dijalankan dengan baik oleh informan dengan tetap
bertahan berperan menjadi ayah sebagai orang tua tunggal selama 4,5 tahun. Oleh karena itu, informan mengungkapkan kewaspadaannya
kepada wanita dan harus mengetahui tujuan wanita yang akan mendekatinya. Kesulitan dalam menentukan untuk menikah kembali,
tidak membuatnya membenci keberadaan anaknya. Hal tersebut cukup PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjelaskan bahwa informan menunjukkan ia memiliki komponen perseverance atau ketekunan yang dijelaskan oleh Wagnild dan Young
1993 sebagai suatu tindakan untuk tetap bertahan meskipun terdapat perubahan atau kesulitan. Dalam hal ini, ketahanan menunjukkan
adanya keinginan meneruskan perjuangan untuk membangun kembali kehidupan serta untuk tetap terlibat dan mempraktikkan disiplin diri.
Komponen keempat adalah self reliance. Self reliance merupakan sebuah kepercayaan dan kemampuan diri sendiri. Individu yang
percaya diri mampu mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sehingga mereka mampu untuk bergantung dan mengatasi masalahnya
sendiri Wagnild dan Young, 1993. Selama kurang lebih 4,5 tahun informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal dan
menjalankan peran dengan baik. Dalam mengurus keperluan dirinya sendiri dan ketiga anaknya tidak menjadi penghalang baginya untuk
berperan aktif menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Informan mengakui sempat menggunakan jasa pembantu rumah tangga, akan
tetapi tidak berlanjut hingga sekarang karena mendapatkan ketidaksesuaian jadwal dengan pembantu rumah tangga tersebut. Ia
mengakui dapat mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan baik. Hal ini dilakukannya karena semasa kecilnya ia sudah terlatih
untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik. Begitu juga dengan kemampuannya untuk menyelesaikan semua masalah terkait
anak. Ia tidak pernah mempercayakan kepada orang lain untuk turut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
serta dalam menyelesaikan masalahnya. Hal tersebut membuat dirinya semakin tertutup dengan orang lain karena ketidakpercayaan pada
orang lain yang akan membocorkan masalah yang sedang ia alami. Ketakutannya juga berlaku untuk orang tua dan saudaranya, ia tidak
ingin mendapatkan teguran ketika ia bercerita tentang dirinya. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Benner, 2007; Lud Caserta, 2004b
dalam Berk, 2012 bahwa laki-laki merasa kurang bebas dalam mengungkapkan emosi mereka atau meminta pertolongan tentang
makanan, rumah tangga dan hubungan sosial. Komponen kelima adalah Existential Alonenes. Existential
Alonenes merupakan sebuah kesadaran yang dimiliki individu bahwa setiap orang memiliki jalan kehidupan yang bersifat unik meskipun
beberapa pengalaman dpaat dibagikaan dengan orang lain, dan ada pengalaman-pengalaman yang harus dihadapi sendiri. Existential Alonenes
menunjukkan kesendirian eksistential yaitu adanya perasaan akan kebebasan dan rasa keunikan Wagnild dan Young, 1993. Informan
memiliki kesadaran bahwa dalam hidup tanpa adanya pasangan berarti menghadapi hidup tanpa adanya pendamping. Informan tidak merasa
terbebani, ia merasakan sisi positif dan negatif selama hidup sendiri setelah sepeninggal istri. Hal ini menunjukkan bahwa informan memiliki
perasaan akan kebebasan dan keunikan. Kondisi dimana ditinggalkan oleh orang terdekat akan menimbulkan keterpurukan, akan tetapi informan
dapat melihat pengalamannya sebagai sesuatu yang positif. Selain itu, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
informan juga merasakan bahwa selama ia berperan sebagai ayah tunggal selama kurang lebih 4,5 tahun tidak membuatnya merasa harus mencari
pasangan hidup. Meskipun ia tidak menutup kemungkinan akan menikah kembali, tetapi informan tidak terburu-buru dalam mencari pasangan. Hal
ini dibuktikan bahwa informan meyakini bahwa segala sesuatu akan mudah pada waktunya.
Skema Pengalaman Informan dalam Melalui Proses Resiliensi
Laki-laki Dewasa Madya Kehilangan istri karena sakit
Masalah yang menekan :
1. Dukacita :