tidak lantas membuatnya secara bebas mampu mencari sosok lain untuk berbagi cerita. Informan membatasi dirinya untuk berbagi
cerita dan permasalahan kepada teman maupun pihak keluarga. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakpedulian informan dengan
lingkungan sekitar, namun lebih disebabkan karena kurangnya rasa percaya terhadap orang lain.
“Kalau sekarang ada masalah anak saya mau saya ceritakan pada siapa ?. Pada kakak kandung saya, iya kalau bisa
menerima, ngko malah diseneni ya ti, saya ceirtakan pada temen saya, curhat ya kalau dia bisa nerima. Iya nanti kalau
diomong-omongkan ke orang lain malah dadi gak menguntungkan diri saya sendiri, ya saya atasi sendiri
semampu saya. Informan 2, 220-225
Kemampuan informan dalam mengontrol diri dilkukan dengan baik saat menangani masalah selama berperan menjadi
ayah sebagai orang tua tunggal. Ia menyatakan tidak pernah meluapkan emosi secara berlebihan, seperti marah pada saat
mengalami masalah.
Ia cenderung
untuk bersabar
dan menyelesaikan masalah dengan baik.
“Saya tu, masalah seberat apapun saya gak pernah marah apalagi pada anak saya nomor dua, nomor tiga itu blas gak
pernah saya marahi. Saya tu kueras, tapi sabar pada anak. Betul, dulu tu pernah, tapi tu ketika nah gini mbak sesuai
dengan perjalanan waktu yang itu akan menemukan jati diri. Ternyata kalau saya musti harus marah, saya harus bentak
harus ini kan endingnya hanya ingin memperbaiki kenapa harus dengan marah kalau samama bisa dengan baik. Jadi
akhirnya bisa jadi orang yang sabar. “ informan 2,283-290
d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya
Menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal selama 4,5 tahun tidak membuatnya untuk tergesa-gesa dalam mencari
pasangan baru. Hal ini dinyatakan oleh informan, karena selama PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjalani status barunya banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil sebuah tindakan. Salah satunya adalah
kemungkinan bagi informan untuk menikah kembali. Keberadaan anak dirasa menjadi alasan utama untuk menunda rencananya
dalam mencari calon pendamping. Ketakutan akan perbedaan prinsip antara anak dengan ibu barunya dirasa menjadi bahan
pertimbangan ketika menikah nantinya. Selain itu, informan menyatakan bahwa keberadaaan anak menjadi prioritas utama
dalam hidupnya.
“Beda lagi kalau nanti, misalnya itu nanti maaf mungkin itu ibu yang kedua dari anak-anak saya kan apa yang saya
harapkan kan tidak sesuai dengan anak-anak saya harapkan. Itu yang saya pegang, karena ada perbedaan prinsip. “
Informan 2, 67-70 “Tapi bagaimanapun juga, yang namanya anak itu nomor
satu bagi saya.” Informan 2, 80-81
Informan menyatakan kesulitannya dalam mengambil suatu keputusan ketika diharuskan untuk hidup sendiri yaitu menjadi
ayah sebagai orang tua tunggal. Selain disebabkan oleh ketakutan akan terjadinya perbedaan prinsip, alasan lain yang dirasa
memperkuat pernyataan informan adalah keberadaan anaknya yang masih menempuh pendidikan. Pendidikan dirasa sangat penting
bagi kehidupan informan, oleh karena itu ia ingin semua anaknya bisa lulus dalam pendidikan dengan baik. Ia menyatakan bahwa
ketika seseorang berhasil menempuh pendidikan, berarti ia sudah mampu untuk menyelesaikan hampir seluruh perjalanan hidupnya.
Meskipun informan memutuskan untuk tidak menikah, akan tetapi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hal tersebut tidak lantas membuat dirinya untuk membatasi diri untuk menemukan calon pendamping yang tepat bagi dirinya.
“Kami bertahan sampai empat setengah tahun itu, sebetulnya kan untuk menyelamatkan anak saya yang kuliah ini. Jadi
kalau sebagai ketika saya hidup sendiri itu berpikir sebagai seorang bapak maka tidak mudah untuk menikah lagi. Jadi
tidak berarti untuk tidak menikah lo ya, tau tidak mudah untuk menikah kembali karena mikirnya seorang bapak yang masih
punya anak perlu lolos dalam studi dulu. Minimal, ini kan sudah kuliah maka perjalanan
nya sudah hampir 90.“ Informan 2, 71-78
Kepercayaan akan kuasa Tuhan sangat melekat dalam hidup informan. Ia mempercayai bahwa izin Tuhan akan
membawanya pada kehidupan yang baru. Hal ini ia terapkan dengan menunjukkan sikap pasrah atas kemungkinannya untuk
menikah kembali. Ia menyatakan akan menerima dengan ikhlas, takdir untuk menikah ataupun melakukan tangggung jawab sebagai
seorang ayah tanpa adanya pendamping.
“Lha nanti kalu anak saya sudah lulus, ya insyallah kalau Tuhan mengizinkan ya kami akan menata kehidupan yang
baru. Tidak berarti saya itu apa namanya melawan takdir tidak, kalaupun diberi jodoh ya saya terima kalau saya tetep
harus membesarkan anak dalam kesendirian ya saya terima. Yang penting, yang penting anak saya sudah bisa lolos dari
pendidikan dan punya kerja nantinya. Jadi siapa sih yang mau ditinggal sama istrinya, kan gak ingin, tapi kalau tidak takdir
yang kita harus menerima ya asalkan dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab. Saya kira itu, yang saya jadikan filosofi
hidup
itu harus
apa namanya
harus seneng
bersyukur.”Informan 2, 78-88
Berbeda dengan pertimbangan dirinya untuk menunda rencana pernikahan, keluarga besar informan maupun keluarga istri
memintanya untuk segera memiliki pendamping hidup. Sikap terbuka yang dimiliki oleh keluarga istri informan, justru
membuatnya dalam kondisi yang tidak nyaman. Desakan dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pihak keluarga yang memintanya untuk segera menikah membuat ia merasa tidak mampu menjalankan perannya seorang diri.
Informan merasa bahwa dirinya mampu dan terhadap segala perubahan dan masalah yang ia dapatkan setelah berperan sebagai
seorang duda dan orang tua tunggal.
“Oh ndak, malah saya disuruh ndang menikah. Betul, kasihan dengan saya katanya wong saya gak perlu dikasihani loh. Tapi
kakak saya, ibu saya mbak ip saya, termasuk ibu mertua saya itu sudah menyuruh. Betul itu, tapi kan ndak tau apa yang
harus saya hadapi itu lo, betul gak tau apa yang saya harus hadapi. Ibu saya, itu masih ingat sembilan bulan setelah istri
saya meninggal, kan saya dekat dengan ibu mertua kan belakang itu dia kan tau apa-apa yang saya lakukan tiap hari,
adik-adik istri saya kan tau. Pengawasan langsung, oleh KPK langsung kan mereka tau apa yang saya lakukan. Sudah dua
kali, tiga kali pokoknya nek mertua saya itu pokoknya kalai panggilnya kan nak, nak ndak kromo, aku selak ngesakne tapi
saya ya nggih ngono tok ae. Ya gitu mbak artinya tidak semudah apa yang dibayangkan orang. Tidak mudah, tapi
pada saatnya akan menjadi mudah kalau memang sudah
waktunya.” Informan 2, 329-337
e. Makna Pengalaman Informan Terkait Menjalani Peran