Wawancara II Rumah Informan
23 Oktober 2015 17.00-20.20 WIB
b. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2
c. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3
3. Analisis Hasil Wawancara Informan 1
a. Gambaran Pengalaman Kehilangan
Informan merupakan seorang pria berusia 53 tahun. Ia adalah seorang ayah dari kedua anak. Anak pertamanya seorang
laki-laki yang saat ini berusia 18 tahun. Sedangkan anak keduanya saat ini berusia 16 tahun, dan sedang menempuh pendidikan di
kelas 2 sekolah menengah atas. Informan berperan sebagai orang tua tunggal selama 4 tahun, sejak istrinya meninggal akibat
penyakit kanker otak. Pada saat istri informan meninggal pada
KETERANGAN
TEMPAT TANGGAL
WAKTU
Wawancara I Rumah Informan
21 Oktober 2015 17.00-17.50 WIB
Wawancara II Rumah Informan
24 Oktober 2015 15.30-16.30 WIB
Wawancara III Rumah Informan
13 Januari 2015 09.00
–09.30 WIB
KETERANGAN TEMPAT
TANGGAL WAKTU
Wawancara I Rumah Informan
18 Oktober 2015 16.25-17.25 WIB
Wawancara II Rumah Informan
26 Oktober 2015 16.00-17.30 WIB
Wawancara III Rumah Informan
27 Oktober 2015 16.00-18.30 WIB
Tabel 2.2 Pelaksanaan Wawancara Informan
Tabel 2.3 Pelaksanaan Wawancara Informan
tanggal 19 bulan 11 tahun 2012, anak pertamanya masih berusia 14 tahun dan anak keduanya berusia 12 tahun.
Selama menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, informan tinggal bersama kedua anaknya dan seorang keluarga dekatnya,
yaitu kakak wanita dari informan. Dalam mendukung perannya sebagai ayah sebagai orang tua tunggal, informan dibantu oleh
kakak wanita dan seorang pembantu rumah tangga. Menggunakan jasa pembantu rumah tangga diputuskan oleh informan karena ia
merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurus keperluan rumah dan tidak memiliki keterampilan yang baik untuk
mengurus keperluan rumah tangga. Keseharian informan dihabiskan dengan bekerja sebagai seorang guru Sekolah
Menengah Pertama di Madiun. Hubungan informan dengan istrinya bermula dari
pertemuan keduanya di kota Madiun. Setelah beberapa kali menjalin komunikasi dan hubungan yang dekat, informan beserta
istri memutuskan untuk menikah. Saat itu, informan masih bertugas di Kota Madiun, sedangkan istrinya bekerja di Blitar.
Kondisi tersebut mengharuskan informan untuk bolak-balik kota Madiun ke Blitar. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk
tinggal menetap di kota Madiun bersama-sama. Informan mengaku hidup bahagia bersama istrinya hingga memiliki dua anak. Dalam
menjalani kehidupan berumah tangga, informan tidak mengetahui bahwa istrinya akan mengalami sakit keras.
Setelah memiliki dua anak, istri informan mulai memperlihatkan
gejala-gejala sakit.
Kejang-kejang selama
beberapa kali dialami oleh istri informan. Kondisi tersebut memaksa informan untuk memeriksakan kondisi istrinya. Setelah
hasil pemeriksaan keluar, istri informan didiagnosa menderita kanker otak. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menyarankan
untuk dilakukan penanganan.
“Jadi dia itu sakitnya kami baru tahu setelah dia kambuh pertama. Ini kenapa ya, seperti kejang gitu. Setelah diperiksa
ternyata, dia gak ada gangguan kanker otak. Disini dia gak kerja, terus dia mulai mencoba untuk kerja di luar negeri,
Terus disana kambuh, terus diperiksa dan disarankan operasi
disana.” Informan 1, 15-19
Setelah hasil pemeriksaan keluar, istri informan diharuskan untuk melakukan operasi. Proses operasi yang berjalan dengan
lancar di rumah sakit di luar negeri tempat istrinya bekerja, istri informan masih melanjutkan operasi untuk kedua kalinya di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena istri informan mengalami kesakitan yang berulang di bagian kepala pada saat kembali ke
Indonesia. Setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis, informan beserta istri memutuskan untuk dilakukan operasi kembali di
Surabaya. Proses operasi yang dijalani membuka kesempatan bagi istri untuk dapat hidup lebih lama dan dapat menjalani kehidupan
rumah tangga dengan bahagia selama 5 tahun. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Setelah proses berjalan dengan baik, dia saya suruh pulang kesini. Ternyata setelah dia kambuh lagi lalu dioperasi di
rumah sakit Internasional Surabaya. Terus, ya itu dari proses operasi itu kita masih 5 tahunan bisa bersama-sama
membesarkan anak-anak, tetapi ya memang itu sudah Tuhan
yang menghendaki njih.”Informan 1, 19-23
Kematian istri informan dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat mendadak dan mengejutkan bagi informan, keluarga dan
kerabat dekat. Hal tersebut ditunjukkan dari kambuhnya sakit di bagian kepala almarhumah yang tidak bisa tertahankan hingga
akhirnya istri informan meninggal sebelum dilakukan tindakan pertolongan medis. Kondisi tersebut membuat informan tidak
percaya, karena pada saat istrinya mengalami kambuh dan menjalani operasi sebelumnya masih tetap bertahan dan menjalani
kehidupannya seperti biasa. Hal ini sempat membuat informan mengalami pertentangan batin yang disebabkan tidak menerima
kenyataan bahwa istrinya meninggal.
“Kami sendiri tidak, tidak apa ya tidak berpikir kalau itu memang, memang kambuhnya semacam itu sampai tidak
tertolong dulu pada waktu itu di Surabaya aja kambunya semacam itu aja dia masih bisa tertolong.”Informan 1, 72-
75 “Saat dia gak sakit atau gak kambuh ya gak ada masalah.
Jadi foto itu, saat minggu sebelum meninggal sambil menunjuk kearah foto istrinya, jadi gemuk, seger, lha wong
dia masih menjadi saksi mantenan di gereja. Jadi minggunya jadi saksi, tanggal berepa ya, tanggal 19 itu meninggal jadi
selangnya tiga hari tok.”Informan 1, 28-32
Kematian almarhumah istri informan yang mendadak tampaknya membuat informan mengalami pertentangan batin,
yaitu kondisi dirinya tidak menerima kematian istri. Pertentangan batin informan ditunjukkan dengan berkurangnya tingkat
religiusitas terhadap Tuhan yang ia percayai, yang berlangsung selama kurang lebih 1 bulan. Proses pertentangan yang dihadapi
membuat hidupnya jauh dari ritual religiusitas keagamaan yang selama ini dijalaninya. Keengganan informan untuk ke gereja, dan
berkurangnya frekuensi berdoa diungkapkan sebagai wujud protesnya kepada Tuhan.
“Saya menentang, apa itu Tuhan katanya maha segalanya, maha ini maha ini. Kenapa istri saya gak, saya tentang setiap
malam. Akhirnya denganromo saya gak boleh doa, istilahnya doanya tu gak boleh lama-lama. Kalau lama, mesti saya
seperti orang ini menunjuk peneliti yang sedang berhadapan dengan informan. Saya pasti debat sampai pagi, itu
berlangsung hampir 1 bula
n jadi gejolak hati saya.” Informan 1, 98-104
Setelah kurang lebih 1 bulan informan mengalami proses pertentangan batin akibat kematian istrinya, secara perlahan ia
mulai menerima kondisi tersebut. Rutinitas kembali dilakukannya, hubungan dengan kedua anaknya juga kembali dengan baik hingga
kepercayaan akan kuasa Tuhan mulai kembali dirasakannya. Kesulitan untuk menerima kematian istrinya secara perlahan dapat
diterima sebagai sesuatu yang positif.
“Tapi lama-kelamaan saya sadar, kamu saya beri yang terbaik untuk istrimu nah baru sekarang saya nangis. Dulu
saya menentang, sekarang gak berani. Jadi, dulu saya menentang betul, saya gak mau ke gereja, gak mau kemana-
mana karena ya itu, tentang batin.” Informan 1, 104-107 “Kami menyadari iya ya akhirnya kami merenung, bahwa
sudah dapat yang terbaik. Kenapa, misalkan kita tarik ulur lagi, misalkan istrimu tetep hidup apa kamu gak kasian, dia
tersiksa pada saat ini. Sedangkan dia sudah dinyatakan seperti itu sakitnya. Mengapa saya memberikan yang terbaik
? Apakah kehidupan sudah yang terbaik ?. Lha ini akhirnya ya nanti kami lam
a kelamaan menyadari.”Informan 1, 200- 206
Informan mulai mampu menilai bahwa rasa kecewa, dan marah yang diungkapkan kepada Tuhan dirasakan sebagai wujud
penolakan akan kehilangan istrinya. Pertentangan terhadap kematian istrinya pada Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang wajar
karena kematian istrinya dianggap sebagai sesuatu yang mendadak dan mengejutkan.
“Karena apa, menurut kami kata orang-orang itu wajar karena kamu shock ditinggal istrimu jadi mau ndak mau itu
wajar. Ya itu saya tentang saya ndak mau. Untung lama kelamaan sudah.” Informan 1, 212-214
b. Pengalaman Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal