keyakinan saya punya prinsip sendiri. Jadi prinsipmu harus sama dengan saya jelas gak mungkin, karena kamu beda
dengan saya, mungkin kalau buat kamu sah-sah aja, tapi buat saya yang gak sah, karena pandangannya ini yang beda, sudut
pandangnya. Saya nanti harus pengakuan ning romo malah yo isin dewe kalau saya berbuat hal-hal yang aneh-aneh. Lah ini
lho, karena sudut pandangnya yang sudah berbeda, dan dia gak menyakini. Makanya kenapa harus dipermasalahkan, njih
ora enek gunane.” Informan 1, 486-500
Keterbatasan informan dalam menjalankan peran ayah sebagai orang tua tunggal, membuat keluarga besarnya tergerak
untuk memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial cukup dirasakan sebagai sesuatu yang menopang informan seperti
kehadiran kakak wanitanya yang turut membantu tugas-tugas rumah tangga yang biasa dilakukan oleh istri informan. Selain itu,
dukungan sosial tidak kurang dirasakan oleh informan dengan mendapatkan dukungan dari pihak keluarga dimana ia
berkomitmen untuk mengurus dan membesarkan anak seorang diri tanpa adanya pendamping dan menunda untuk menikah kembali.
“Terlebih disini masih ada budhe, kakak saya. Jadi itu yang sepertinya kita masih apa ya dalam keluarga itu masih bisa
saling bantu, bisa saling menopang, jadi gitu.” Informan 1, 321-324
“Kalau dari keluarga gak ada. Saya pilih anak semua setuju, semuanya mendukung, tapi ya nanti yang memilihkan anak
saya siap. Keluarga juga setuju, ya memang itu keluarga saya kira setuju semua mendukung.” Informan 1, 521-523
c. Cara Informan Menangani Masalah
Perasaan dukacita yang mendalam, hilangnya peran istri, perubahan peran mengasuh anak, hingga stigma negatif menjadi
masalah yang menekan bagi informan 1. Beberapa masalah yang dirasakannya selama menjalankan peran ayah sebagai orang tua
tunggal tersebut tidak lantas membuat informan menyerah dengan semua tanggung jawabnya. Secara berlawanan, informan justru
memilih untuk mencari cara agar mampu melewati masalah yang ia rasakan. Informan menerapkan sistem komunikasi dalam
menyelesaikan masalah yang ia rasakan baik terhadap anak maupun dari pihak lain. Meskipun demikian, informan tetap
merasakan terbeban dalam menjalani segala tanggung jawab dan beberapa perubahan yang menjadi masalah dalam kehidupannya.
“Ya, otomatis yang namanya beban ya pasti kebeban njih. Tetapi selama kita, ya itu kunci kata kunci kita bisa saling
berkomunikasi di
keluarga itu
kuncinya banyak
berkomunikasi. Kita saling apa ya, walaupun itu anak tapi kalau itu diajak ngomong bersama, diajak berkomunikasi
yang baik saya kira beban itu juga mau gak mau juga bisa teratasi.”Informan 1, 436-446
Beban yang ia rasakan tersebut tidak lantas membuat informan 1 memunculkan perilaku ekstrem setiap kali menghadapi
masalah. Meskipun jarang dilakukannya, perilaku ekstrem pernah muncul ketika informan menangani masalah dalam perannya yaitu
ayah sebagai orang tua tunggal. Perilaku ekstrem yang pernah ia tunjukkan ialah marah dan menangis.
“Ya jarang njih, tapi ya pernah ya karena ekstrem ya pernah saya dengan anak sampe nangis pernah tapi saya lupa karena
juarang. Terus akhirnya kita saling komunikasi.” Informan 1, 459-461
“Marah ya pernah nangis iya pernah, tapi yawes duer duer yawes tetapi harus selesei. Makanya orang mengatakan, apa
gak pernah padu ya padu rumangsane rumah tangga kok gak padu kie pie, ya padu.” Informan 1, 475-477
Selain berkomunikasi, informan juga seringkali melakukan refleksi ketika mendapatkan masalah. Bagi informan, refleksi
dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan emosi. Ketika proses refleksi, ia bisa secara bebas menangis dan menunjukkan
amarahnya. Dalam pengalamannya menjadi ayah sebagai orang tua tunggal, refleksi seringkali dilakukannya pada masa pertentangan
setelah istrinya meninggal. Refleksi digunakan sebagai salah satu proses penerimaan akan kehilangan almarhumah istrinya tersebut.
Proses refleksi informan dilakukannya di kapel, yaitu sebuah ruangan doa.
“Ketika mendapatkan masalah, biasanya saya sih refleksi mbak. Saya punya ruangan doa sendiri, kapel. Makanya pada
saat saya pertentangan itu saya nangis hanya di kapel. Karena apa, nyuwun sewu saudara kita yang lain aja di
rumah mesti punya ruangan sendiri untuk shalat. Saya harus punya, makanya saya nangisnya pada waktu, perangnya pada
waktu di kapel itu, bukan kapel ya istilahnya di ruang doa untuk saya sendiri. Memang dulu saya khususkan njih dengan
istri saya. Saya punya ruang khusus untuk doa.” Informan 1, 419-425
Dalam menghadapi masalah pengasuhan anak, informan berusaha menyelesaikan masalah sendiri tanpa adanya keterlibatan
dengan pihak lain. Terutama apabila masalahnya terkait dengan perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua. Berperan ayah
sebagai orang tua tunggal selama 4 tahun membuat informan belajar memiliki kemampuan untuk menangani masalah sendiri.
Bersama dengan
kedua anaknya,
informan berusaha
menyelesaikan masalahnya tanpa meminta bantuan orang.
“Saya kira gak, saya biasanya seleseikan sendiri sama anak- anak. Biasanya sistem kami pada saat makan, saya berikan
penjelasannya kalo ini seperti ini hasilnya, kalo milih ini ya itu gak, bagaimana ?”Informan 1, 403-405
Kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik juga diterapkan informan ketika ia menghadapi beberapa masalah
selama menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Hal ini dilakukannya terutama dalam mendapatkan stigma negatif dari
orang lain terkait perannya sebagai orang tua tunggal yang berkomitmen untuk belum menikah. Kemampuan untuk tetap
tenang dalam menyikapi tanggapan negatif dapat dilakukannya dengan baik.
“Ya saya gak usah mengambil pusing aja lah mbak. Kalau itu apakah ada tanggapan negatif, ya ada. Bahkan ada yang ini,
ini ya ada otomatis.” Informan 1, 519-520
d. Rencana Informan untuk Kehidupan Selanjutnya