5. Analisis Hasil Wawancara Informan 2
a. Gambaran Pengalaman Kehilangan
Informan berusia 58 tahun, ayah dari tiga orang anak. Anak pertamanya seorang laki-laki berusia 21 tahun, saat ini sedang
menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi. Anak kedua berusia 20 tahun, saat ini juga sedang menempuh pendidikan
diperguruan tinggi semester 4. Sedangkan anak ketiga berusia 16 tahun, saat ini sedang menempuh pendidikan sekolah menengah
atas. Informan adalah seorang sarjana pendidikan yang berkerja sebagai guru di salah satu instansi pendidikan. Setiap harinya
selain bekerja, informan berkegiatan untuk mengurus keperluan anak dan menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi dengan
masyarakat tempat ia tinggal. Informan menjalani peran ayah sebagai orang tua tunggal
sejak 4,5 tahun yang lalu semenjak kematian almarhumah istrinya. Istri informan meninggal akibat menderita kanker payudara yang
diketahuinya setelah dilakukan pemeriksaan pada april 2011. Istri informan meninggalkan tiga orang anak yang pada saat itu yang
masih duduk dibangku sekolah dan masih berusia remaja.
“Pertengahan April 2011 itu almarhumah memberi tahu saya kalau badannya, terutama payudaranya sebelah kiri tu,, ee
rasa sakit dan ada benjolan. Kemudian, ee tiga hari berikutnya itu saya periksakan di dokter ternyata hasil
diagnosanya dokter itu memang positif kena kanker.” Informan 2, 3-7
Terdiagnosa bahwa istrinya menderita kanker payudara dirasakan sebagai sesuatu hal yang mengejutkan bagi informan.
Hal ini disebabkan karena istrinya yang jarang mengeluhkan sakit. Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan guna mendapatkan
kesembuhan bagi istri informan. Setelah mendapatkan hasil dan berkonsultasi dengan dokter, istri informan memutuskan untuk siap
menjalani operasi pengangkatan sel kanker.
“Istri saya siap untuk dioperasi, menerima keadaan apapun. Itu sekitar tanggal berapa ya, kalau gak salah tanggal 27 Mei
eh April, 20 April. Jadi pertengahan April, jadi 20 April operasi. Setelah dioperasi itu kan diangkat karena stadiumnya
2b jadi harus diangkat.” Informan 2, 10-13
Kematian istri informan akibat kanker payudara tidak dirasakan sebagai sesuatu yang mengejutkan bagi informan. Hal
ini karena informan sudah mencurigai kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada istrinya. Tindakan medis yang dilakukan secara
ekstra dan itensif diberikan dari pihak dokter dan rumah sakit, menambahkan keyakinan informan untuk semakin siap dengan
segala kemungkinan terburuk.
“Itu kemoterapi yang pertama, terus itu kami sambil izin “pak, nanti yang kedua boleh kami kembalikan di kota
Madiun kan ?, karena saran dari dokter Madiun gitu. Tapi kata dokter tidak boleh, akhirnya dokter tu gini, apa bapak
yakin kalau ibu dibawa pulang ke Madiun bisa sembuh ?, ya ndak dok. Ya sudahlah akhirnya kami nurut dokter.
Sebetulnya dari situ saya sudah curiga, biasanya kalau memang boleh, yang kedua dan ketiga dan seterusnya itu
dikembalikan ke kota Madiun. Tapi itu ndak boleh, berarti kan saya menduga apa yang dialami oleh alamarhumah itu harus
ditangani secara intens oleh dokter-dokter ahli. Karena memang yang menangani, ahli semua itu. Ahli penyakit
dalam, dosen semua itu dok
ter dan dosen.” Informan 2, 20- 30
Peningkatan stadium kanker yang semula 2b menjadi stadium 4 semakin mempertegas kemunduran kesehatan istri
informan. Tanda-tanda kesehatan yang memburuk semakin ditunjukkan oleh istri informan. Muntah yang berulang hingga
harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, setelah itu istri informan 2 tidak sadarkan diri selama 1 hari sebelum meninggal.
“Setelah kemo yang keduabelas, itu muntah-muntah akhirnya saya bawa ke merpati rumah sakit Madiun. Terus ya sudah,
masuk hari kedua itu, hari ketiga itu sudah ndak sadar. Meninggalnya itu sabtu malam minggu jadi ndak sadarnya tu
dua hari.” Informan 2, 41-45
Kemunduran kesehatan istri informan, membuatnya semakin siap dan pasrah dengan kemungkinan terburuk yang akan
menimpa istrinya. Meskipun demikian, informan mengaku sudah mengupayakan pengobatan yang terbaik bagi istrinya. Begitu juga
dengan kegiatan religius seperti berdoa yang juga dilakukan sebagai upaya penunjang kesembuhan istrinya. Meskipun usaha
yang sudah dilakukannya tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkannya, hal tersebut tidak lantas membuat informan tidak
menerima kematian istrinya. Kondisi sebaliknya, informan merasa kalah dengan kuasa Tuhan hingga pada akhirnya mengikhlaskan
yang sudah diputuskan oleh Tuhan. “
Itu jadi memang intinya kami sekeluarga sudah secara medis juga sudah berdoa tapi memang semua kalah oleh yang
maha kuasa. Ya akhirnya ya mengikhlaskan.” Informan 2, 45-47
Mengikhlaskan kepergian istrinya tidak lantas membuat informan merasa tidak sedih atas istrinya yang meninggal.
Informan mengaku hanya memendam perasaan sedihnya dan tidak menceritakan maupun menunjukkan kepada orang lain terutama
pada keluarga dan anak-anaknya. Kesiapan diri akan hilangnya peran istri ditunjukkan dengan tidak banyak menangis saat istri
meninggal. Hal ini diyakini oleh informan bahwa dengan tidak menangis yang berlebihan bukan berarti dirinya tidak merasakan
kesedihan. Kesiapan diri untuk mendapatkan kemungkinan yang terburuk dapat dilakukan informan dengan baik. Hal ini
ditunjukkan melalui ungkapan sayang yang diwujudkan dengan memberikan pendampingan dan rencana tindakan perawatan yang
baik untuk istrinya.
“Sebetulnya ketika dioperasi ketika saya omong-omong itu di Surabaya dan di Madiun di Madiun itu ee sebulan setelah
dioperasi saya sudah mendapat info dari dokter, tapi saya pendam sendiri. Dan itu tidak saya ceritakan pada siapa-
siapa termasuk pada anak seperti ini, jadi ketika almarhumah itu meninggal, saya tidak banya menangis. Saya sudah siap
betul, saya harus pikirkan saya sudah pikirkan, sebetulnya. Kalau almarhumah kemanapun saya tu sayangnya luar biasa.
Kemana saja saya antar tanpa mendahului kehendak Tuhan ya. Karena kan sudah diagnose dokter itu, tingkat
signifikannya kan tinggi sekali karena penalaman sakit sakit ini dengan kondisi ini penyakit pendampingnya ini, kanada
gula dan sebagainya kan sudah bisa mendiagnosa. Jadi begitu almarhumah meninggal itu, ya tetep jadi menangis tapi tidak
seperti anak-anak saya. Tidak berarti tidak sedih, ya sedih
maka saya kan harus sendiri, sendiri dan sendiri.”Informan 2, 239-252
b. Pengalaman Berperan sebagai Orang Tua Tunggal