Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa

2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa

Diri adalah bagian yang dibentuk budaya tetapi juga sebuah mekanisme multidimensional Somech, 2000. Diri terdiri dari satu set atribusi ke dalam diri, kemampuan, dan opini yang terkait konteks yang ada Markus Kitayama, 1991. Kemampuan perempuan Jawa melihat dan memahami diri positif dan negative dari orangtua serta sistem nilai yang diberikan menjadikan perempuan Jawa mampu melihat dirinya adalah perempuan yang tangguh, mandiri, serta trampil dalam melakukan apapun. Di dalam budaya kelompok tertentu ditekankan selama sosialisasi orang Jawa, diri kolektif cenderung menjadi kompleks, dan norma, peraturan, serta nilai dari kelompok itu memperoleh makna emosional yang besar Triandis, 1989. Perempuan Jawa bukan merupakan perempuan yang manja terhadap laki-laki melainkan justru kebalikannya. Walaupun di depan terlihat seakan-akan lemah dibandingkan dengan laki-laki akan tetapi justru perempuan Jawa merupakan perempuan yang kuat dan tangguh terutama dalam hal mendidik anak. Perempuan Jawa selalu teringat pada anak, ada unsur memprioritaskan anak dalam diri mereka. Seperti yang dikatakan Somech 2000 dalam penelitiannya bahwa dalam budaya kolektivis yang berorientasi pada kelompok, harmoni, dan kerjasama membuat identitas individunya ditentukan oleh hubungan relasi dan peran sosial, seperti contohnya seorang ibu. Peran perempuan Jawa sebagai ibu yang memprioritaskan pada anak sama seperti yang dilakukan orangtuanya dahulu. Kecenderungan verifikasi diri telah ditunjukkan dulu dengan significant others atau orangtua dan kemudian muncul kembali dalam interaksi sekarang dengan orang lain yang baru Kraus Chen, 2009. Interaksi dengan orang lain yang baru ini adalah perempuan Jawa dengan anaknya. Perempuan Jawa belajar dari apa yang sudah didapat dari orangtuanya dulu karena bagi mereka orangtua adalah hero dan segala-galanya yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Orangtua menjadi gambaran ideal bagi diri mereka. Dalam konsep diri positif perempuan Jawa, perempuan Jawa tidak hanya mampu memandang sisi positif dalam diri mereka melainkan juga ada sisi negative yang dimiliki perempuan Jawa. Perempuan Jawa tidak hanya terlihat tangguh melainkan perempuan Jawa menyadari memiliki sisi kelemahan yaitu sikap mereka yang ngalahan dan nrima. Adanya sikap ngalahan dan nrima sebagai suatu sikap yang khas dari budaya Jawa agar terciptanya kerukunan justru bagi perempuan Jawa akan menjatuhkan diri mereka. Perempuan Jawa sudah mengalami banyak pengalaman yang membuat mereka belajar dan berpikir seperti itu, akan tetapi kondisi tidak mampu membantunya untuk keluar dari sikap itu. Mereka tidak mampu untuk memberontak karena identitas sosial dirinya yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang kolektivis dengan norma yang ada. Adanya kelemahan yang disadari perempuan Jawa dalam dirinya membuat mereka menginginkan diri yang lebih baik lagi. Perempuan Jawa berharap dirinya tidak selalu ngalahan atau nrima, melainkan juga dapat bersikap tegas di situasi yang memang mengharuskan diri untuk tegas. Perempuan Jawa tidak hanya mampu menyadari kekurangan dalam dirinya melainkan perempuan Jawa juga dapat memahami pengalaman buruk lainnya yang pernah dialami. Narasi pengalaman buruk ini disebut sebagai cerita atau narasi yang terkontaminasi karena cerita atau narasi kehidupan seseorang yang positif-positif ternyata diikuti ada pengalaman yang buruk McAdams dalam Beike, Lampinen, Behrend, 2004. Narasi pengalaman perempuan Jawa yang diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya telah mencoreng pengalaman menyenangkan mereka dengan orangtuanya. Narasi pengalaman adanya ketidakadilan yang dilakukan orangtua kepada para informan perempuan Jawa tidak diinternalisasikan dalam dirinya. Hal ini berbeda dengan sistem nilai yang diberikan dan positifnya orangtua yang diinternalisasi dalam diri perempuan Jawa. Narasi pengalaman yang tidak menyenangkan ini ditolak dalam diri dan ingin dirubah oleh perempuan Jawa menjadi narasi yang menyenangkan. Seperti yang dikatakan oleh Ibu I 42 bahwa dia diperlakukan berbeda dengan tantenya. Ibu I 42 memahami bahwa ibunya harus merawat tantenya yang masih kecil karena eyangnya sudah meninggal sebelum tantenya lahir. Ibu I 42 mampu memahami itu semua, akan tetapi tetap ada rasa sakit hati yang pernah dirasakan. Ibu I 42 tidak ingin jika anaknya kemudian merasakan hal yang sama, maka Ibu I 42 berusaha sebisa mungkin untuk bersikap adil kepada ketiga anaknya. Konsep narasi adalah kunci dalam tulisan-tulisan psikologis pemikir postmodern. Kehidupan itu seperti teks, narasi yang terus ditulis dan ditulis ulang dari waktu ke waktu McAdams, 2006. Pengalaman tidak menyenangkan tersebut menimbulkan adanya proses redemption dalam konsep diri perempuan Jawa. Kunci penting dari cerita hidup redemptive adalah sebuah transformasi dari penderitaan personal menjadi adegan hidup positif yang berfungsi untuk menebus dan membenarkan kehidupan sesseorang McAdams dalam Beike, Lampinen, Behrend, 2004. Ketika informan membuat arti redemptive dari penderitaan dan kesulitan dalam hidup mereka, mereka cenderung menikmati kesejahteraan psikologis, generativitas, dan indikasi lain dari kesuksesan dalam beradaptasi McAdams McLean, 2013. Bentuk penebusan yang dilakukan perempuan Jawa adalah dengan menginginkan kehidupan anaknya menjadi lebih baik dari mereka. Perempuan Jawa berusaha bersikap adil kepada anak-anaknya dengan harapan agar mereka tidak mengalami dan merasakan ketidakadilan yang dirasakan mereka dahulu. Bentuk penebusan itu yang menjadi orientasi masa depan dari konsep diri positif perempuan Jawa. Diri perempuan Jawa yang memprioritaskan anak membuat dirinya memiliki harapan agar anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik menurut informan adalah baik dalam hal pendidikan maupun dalam hal berumah tangga. Dalam membangun harapan anaknya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, seorang perempuan Jawa berusaha terus membangun rasa bahwa setiap individu memiliki harga diri yang tidak dapat hanya dilihat dengan uang, melainkan ada nilai-nilai moral di dalamnya. Seperti Ibu S 52 yang membesarkan hati anaknya untuk jangan minder dengan teman-temannya walaupun ndak punya apa-apa, yang penting punya bekal kepinteran. Ibu S 52 memberikan kepercayaan kepada anaknya bahwa walaupun tidak punya apa-apa tetapi memiliki kepintaran pasti akan dihargai. Perempuan Jawa berdasarkan konsep yang berkembang di dalam kultur Jawa adalah sebagai ibu dalam keluarga yang menjadi simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri suami dan anak- anaknya Handayani, 2008. PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ORIENTASI Internalisasi Internalisasi Orientasi Deinternalisasi Gambar. 3 Dinamika Konsep Diri Perempuan Jawa Positif orangtua  Kegigihan  Prioritas pada anak  Religiusitas Sistem nilai dari orangtua  Kesederhanaan  Keharmonisan  Kerelaan  Kemandirian  Kedisipilan Negatif orangtua  Ketidakadilan pada anak-anaknya Diri Positif  Kegigihan  Kemandirian  Berpikiran positif  Keberanian  Ikhlas  Ketrampilan  Prioritas pada anak  Keharmonisan  Menghormati orangtua Harapan  Kehidupan anak lebih baik  Diri yang lebih baik Diri negatif  Ngalahan, nrima 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini peneliti akan memaparkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian serta saran bagi penelitian berikutnya. Kesimpulan ini berisi paparan yang lebih sederhana dari hasil penelitian yang diperoleh. Saran berisi pemaparan beberapa saran yang diberikan peneliti bagi penelitian berikutnya.

A. Kesimpulan

Konsep diri perempuan Jawa adalah konsep diri positif. Mereka melihat dirinya adalah seorang perempuan tangguh, gigih, mandiri, religius, menjaga kerukunan dan memprioritaskan anak. Ketangguhan, kegigihan, dan kemandirian yang dimiliki perempuan Jawa semata-mata untuk satu tujuan yaitu demi anak- anaknya. Diri perempuan Jawa yang menjaga keharmonisan merupakan bentuk dari peran identitas sosialnya dalam budaya kolektivis yang memiliki prinsip hidup Jawa menjaga keharmonisan. Konsep diri perempuan Jawa yang seperti ini tidak merupakan sifat lahiriah yang dibawa ketika lahir. Konsep diri perempuan Jawa yang seperti itu merupakan hasil dari interaksi perempuan Jawa dengan dunia. Interaksi perempuan Jawa dengan sosok penting yang ada dalam hidupnya. Manusia akan sedikit belajar dari sosok yang tidak dianggap penting oleh dirinya. Pembentukan konsep diri positif perempuan Jawa tersebut diakui merupakan hasil interaksi dengan sosok penting dalam hidupnya yaitu orangtua. Orangtua