C 36 rasakan dahulu dari orangtuanya. Ibu C 36 belajar dari apa yang dirasakan dulu, kemudian sebisa mungkin bersikap adil kepada anaknya.
C. Analisis Data
Proses yang sudah dilakukan peneliti dalam menganalisis data sebelumnya adalah proses reading dan re-reading, initial noting, dan proses developing
emergent themes yang sudah dipaparkan dalam subbab sebelumnya. Tahap berikutnya adalah structualizing. Bentuk dari structualizing yang sudah dilakukan
peneliti terpapar dalam subbab analisis data ini. Hasil dari structualizing yang sudah dilakukan tersebut adalah peneliti menemukan beberapa tema yang muncul.
Pertama, yaitu perempuan Jawa dan konsep dirinya. Kedua, orangtua sebagai pembentuk konsep diri yaitu orangtua menjadi sumber internalisasi. Ketiga,
orientasi konsep diri.
1. Perempuan Jawa dan Konsep Dirinya
Konsep diri perempuan Jawa adalah konsep diri yang positif. Mereka mampu memiliki pandangan dan menilai dirinya dengan positif walaupun berada
dalam budaya patriarkisme yang banyak membicarakan atau meletakkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan menomorduakan perempuan.
Mereka mampu menyadari sisi positif dan sisi negatif dirinya.
a. Sisi diri positif pada perempuan Jawa
Perempuan Jawa menyadari bahwa dirinya adalah diri yang positif yaitu seorang perempuan yang kuat dalam segala hal. Perempuan Jawa yang kuat dalam
hidup religius. Perempuan Jawa memiliki prinsip yang kuat mengenai kekuatan
atau kebesaran Tuhan. Perempuan Jawa percaya bahwa jika kuat dalam doa akan membawa rejeki atau berkat tersendiri.
“Berdoa, saya dikasih berdoa, banyak doa membantu, nyatanya ho’oh banyak doa.” L, 879-880
“Ya banyak doa. Ya peganganya doa itu mbak. Doa itu elok tenan. Pokoknya ya aman-aman lah. Doa-doa doa, saya sering novena sama
itu apa.. tesbeih itu apa rosario. Tiap malam itu saya rosario .” L, 893-
898 “kuat doane terus ora tau ribut, mestine Tuhan kasih berkat yang
melimpah buat kita ” Kuat dalam doa kemudian tidak pernah
bertengkar, pasti Tuhan memberi berkat yang melimpah buat kita C, 373-375
Kematangan spiritual yang dimiliki perempuan Jawa membantu perempuan Jawa memahami lingkungan sekitar dan melihat lingkungan dari sisi positif.
“kami nggak pernah berpikiran macem-macem, jadi dari hal yang itu kan kita nggak pernah berpikiran yang macem-macem atau berpikiran
negatif kan wis ora. ” kami tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak,
jadi dari hal itu kan kita tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak atau berpikiran negatif kan sudah tidak pernah C, 853-856
Pikiran positif yang dimiliki perempuan Jawa juga membawa kekuatan positif bagi perilaku mereka. Perempuan Jawa melihat dirinya mampu ikhlas dalam
melihat setiap hal yang dihadapi atau diperoleh. Setiap apapun yang dilakukan dan diterima oleh perempuan Jawa dilihat dari sisi positif, dinikmati, dan dilakukan
serta diterima dengan ikhlas. “kami selalu menikmati. Arep ra nduwe duwit ya dinikmati, dilakoni
uripe .” Kami selalu menikmati. Walaupun tidak punya uang,
kehidupan tetap dijalani C, 901-902 “Berbuat baik ke orang itu jangan berharap dia juga berbuat baik ke
kita.” C, 863-864
Pikiran positif dan keikhlasan membawa perempuan Jawa untuk semakin kuat dengan prinsip hidup orang Jawa yang sudah diberikan oleh orangtuanya
yaitu untuk menjaga kerukunan. Pikiran positif dan keikhlasan dalam segala hal termasuk dalam menghadapi masalah membantu membuat perempuan Jawa
menjaga kerukunan. Bentuk konkritnya dalam menjaga kerukunan atau keharmonisan adalah dengan diam dan mengalah, baik dalam bentuk pekerjaan
maupun bukan karena adanya prinsip hormat yang dimiliki perempuan Jawa. Diam yang dilakukan dengan maksud menghormati orang disekitarnya.
“Kalau dia nganu musuhin saya. Saya diem orangnya. Nggak mau mbales, nggak mau itu. Ada dulu persaingan jualan, kan iri, orang kan
iri ada yang iri. Tapi ya cuek aja, suami saya juga cuek aja. Ngapain kita ngurusin orang lain. Saya kan orangnya gitu. Saya dimusuhin
udah diem aja.” L, 233-239 “Lebih baik kalau ibu itu mengalah ya. Mengalah daripada nanti ada
masalah ya.” E, 160-162 “Ya itu apa namanya.. apa tho istilahe.. aa.. menjaga suasana itu
jangan. Jangan ribut... jangan bertengkar.. rela mengalah.” S, 555-
557 “Males ribut. Nanti malah berbuntut panjang. Ya sudahlah ...” S,
559
Menjaga kerukunan yang dipegang oleh perempuan Jawa selain karena adanya rasa menghormati kepada orang disekitarnya tetapi mereka juga menyadari bahwa
mereka tidak mengenal adanya pertengkaran atau memiliki musuh dari kecil. “Musuhan itu nggak pernah dari kecil sampe sekarang yang namanya
musuhan itu saya nggak suka.” I, 33-35 “Makannya nek nek kadang kakak adek 1 keluarga ya sok bertengkar
ki saya heran dulu teman-teman cerita dengan adeknya bertengkar, dalam kamus saya nggak ada.
” S, 299-302 Orangtua mereka tidak menunjukkan dan mendidik adanya pertengkaran.
Perempuan Jawa juga menyadari bahwa dirinya merupakan perempuan yang trampil dalam melakukan banyak hal, baik dari pekerjaan yang halus
dilakukan dengan duduk sampai pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih banyak.
“Jadi ibu rumah tangga asli ibu rumah tangga tapi ibu itu juga kegiatan di rumah itu suka melukis. Otodidak ya melukis
...” E, 455-458 “Ngerajut juga, kalau ngerajut ini malah sekarang ini sebelum ini ada.
Itu suka dulu itu kan ibu ngajari gitu tho, puluhan tahun itu kok kepengen ya belajar lagi dari awal juga tho lama-lama juga bisa bikin
baju, bikin lainnya itu juga laku. Ini
contohnya seperti ini.” E, 468- 475
“Hal seni itu ibu suka ngukir sayuran buah, seperti itu, kalau ada tumpeng itu ibu sering disuruh. Gitu” E, 477-479
“Ibu sendiri yang mbersihin, yang ngecet ini ibu sendiri.” E, 530-531 “... dituntut untuk mandiri kan, kerja bakti juga harus dilakukan sendiri
sampe suatu saat kayaknya saya itu nggak bisa, nggak harus sama laki- laki saya juga bisa.
” I, 70-74 Keterampilan yang dimiliki Perempuan Jawa disadari juga membuat dirinya
memiliki kemandirian dan mau berusaha untuk memenuhi keinginannya. Kemandirian yang dimiliki yaitu mandiri dalam mencari uang. Perempuan Jawa
dengan keterampilannya mampu membuat usaha apapun untuk mencari uang. “... Terus aku bikin kalau mau kuliah itu saya bikin. Saya bikin terus
yang nyopir adik saya, terus tak setoreke ke sekolah-sekolah makannya harus anak itu harus nganu rekasa gitu, nggak dimudahkan gitu, harus
minta ini harus minta itu, harus dimudahkan gitu nggak, harus kerja dulu kalau mau minta apa-
apa harus kerja dulu.” L,726-734 Mereka berprinsip sebisa mungkin tidak tergantung pada suami atau laki-laki
dalam masalah ekonomi. “Meskipun aku di rumah dapat uang dari suami, aku ya tetep kerja, ya
ngewangi deke kadang ya jualan online gitu. ” C, 334-336
“Aku dulu sudah menikah aku masih bekerja. Sudah punya anak satu masih bekerja.
” C, 528-530 Mereka sebisa mungkin membantu suami mencari uang demi anak-anak.
“Pokoke kalau untuk sekolah tak uja. Minta apa. Saya berusaha mencarikan uang darimana saya tetep saya carikan untuk bayar les.
Untuk ini saya berusaha mencarikan.” L, 697-701 Informan perempuan Jawa juga memiliki kemandirian dalam berumah tangga baik
dalam hal menghadapi masalah rumah tangga maupun dalam mengurus anak. Perempuan Jawa berprinsip bahwa masalah apapun yang terjadi di dalam rumah
tangga selalu diselesaikan sendiri tanpa orangtua mengetahui. “... bagi kami kalau ada masalah di keluarga kami, kami tidak mau
memberi apa ya .. kepikiran ke orangtua walaupun itu masalah seberat apa pun kita, kita tutup, dan kita di luar itu kelihatannya nggak ada
masalah sebetulnya itu ada masalah yang luar biasa bagi kita. Itu kita tutup hanya kita berdua yang tahu.
” I, 117-124 Begitu pula dalam hal mengurus anak, perempuan Jawa mampu mengurus sendiri
anak yang sakit. “ibu itu apa-apa sendiri kok dulu itu kalau anak sakit gitu ya kalau
nggak kakek neneknya, ibu sendiri, ndaftar ke panti rapih gitu tho nanti terus dokternya datangnya jam berapa itu ke sana lagi sama
anaknya yang sakit itu, seperti itu.” E, 676-682 Semua hal yang dilakukan oleh para perempuan Jawa berarah pada satu tujuan
yang pasti yaitu semua untuk mengurus atau mendidik anak.
b. Sisi negatif pada perempuan Jawa