Konsep diri perempuan Jawa : pembentukan dan orientasi.

(1)

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

Clara Alverina Pramudita ABSTRAK

Konsep diri atau rasa akan diri penting dalam diri karena akan mempengaruhi bagaimana perasaan, pikiran, dan perilaku kita dalam melihat dunia (Matsumoto, 2003). Penelitian ini akan melihat bagaimana pembentukan dan orientasi dari konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipe-stereotipe yang ada. Perempuan Jawa adalah perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai Jawa. Perempuan Jawa dikenal sebagai perempuan yang halus, tenang, kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Jawa walaupun dikenal seperti itu tetapi mereka merupakan perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak seperti yang dipelajari dari orangtua mereka. Konsep dirinya itu terbentuk dari pengalaman dengan orangtua dan menghasilkan orientasi kepada kehidupan anak yang lebih baik.


(2)

JAVANESE WOMAN SELF-CONCEPT : ESTABLISHMENT AND ORIENTATION

Clara Alverina Pramudita ABSTRACT

Self-concept or a sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world (Matsumoto, 2003). This study would see how Javanese woman self-concept including its establishment and orientation work in a patriarchal culture and all the stereotypes which exist in it. Javanese woman is a woman who grew up with the values of Java. Javanese woman is known as a woman who is smooth, quiet, calm and must not exceed the rights of man (Handayani, 2008). The results of this research showed that although Javanese women are known like that, they have positive self-concept and identify themselves as a tough woman in prioritizing children. They learned the toughness of prioritizing children from their parents. Their self-concept was formed from their close relationship with parents and it gives better future orientation for the children.


(3)

i

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Clara Alverina Pramudita

119114131

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

iii


(6)

iv MOTTO

Keep Strong, Don’t be Afraid

Always look at the solution not the problem

-Hitam Putih-

Kehidupan itu seperti teks,

narasi yang terus ditulis dan ditulis ulang dari waktu ke waktu - Dan P. McAdams -

Kesempurnaan adalah ketidaksempurnaan itu sendiri -Sujiwo


(7)

Tedjo-v

Sebuah karya yang tidak sempurna ini kupersembahkan untuk My beloved parents in the world

Bpk Hb. Hery Santosa dan Ibu Adriana Novijanti yang sudah membesarkan dan mendidik aku hingga saat ini

Terima kasih sudah menjadikan aku perempuan yang kuat Dan doakan selalu diperjalanan hidupku selanjutnya untuk tetap menjadi


(8)

vi


(9)

vii

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

Clara Alverina Pramudita ABSTRAK

Konsep diri atau rasa akan diri penting dalam diri karena akan mempengaruhi bagaimana perasaan, pikiran, dan perilaku kita dalam melihat dunia (Matsumoto, 2003). Penelitian ini akan melihat bagaimana pembentukan dan orientasi dari konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipe-stereotipe yang ada. Perempuan Jawa adalah perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai Jawa. Perempuan Jawa dikenal sebagai perempuan yang halus, tenang, kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Jawa walaupun dikenal seperti itu tetapi mereka merupakan perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak seperti yang dipelajari dari orangtua mereka. Konsep dirinya itu terbentuk dari pengalaman dengan orangtua dan menghasilkan orientasi kepada kehidupan anak yang lebih baik.


(10)

viii

JAVANESE WOMAN SELF-CONCEPT : ESTABLISHMENT AND ORIENTATION

Clara Alverina Pramudita ABSTRACT

Self-concept or a sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world (Matsumoto, 2003). This study would see how Javanese woman self-concept including its establishment and orientation work in a patriarchal culture and all the stereotypes which exist in it. Javanese woman is a woman who grew up with the values of Java. Javanese woman is known as a woman who is smooth, quiet, calm and must not exceed the rights of man (Handayani, 2008). The results of this research showed that although Javanese women are known like that, they have positive self-concept and identify themselves as a tough woman in prioritizing children. They learned the toughness of prioritizing children from their parents. Their self-concept was formed from their close relationship with parents and it gives better future orientation for the children.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Peristiwa hidup yang satu pasti berhubungan dengan peristiwa hidup yang lain. Pengalaman yang sekarang juga berhubungan dengan pengalaman yang sebelumnya. Peristiwa dan pengalaman dalam menuntaskan pendidikan program sarjana ini juga merupakan hasil dari persitiwa dan pengalaman sebelumnya. Pengerjaan skripsi ini terjadi karena adanya keingintahuan dari pengalaman yang dialami penulis sebelumnya. Adanya keingintahuan ini akhirnya melahirkan suatu pencapaian bagi penulis yaitu suatu karya skripsi dengan judul Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi.

Suatu karya pencapaian seseorang bukanlah suatu karya hasil dari tangan satu orang saja melainkan banyak tangan-tangan pendukung di belakangnya yang mendukung terjadinya suatu karya. Skripsi ini pun sama demikian, skripsi ini bukanlah suatu hasil karya penelitian dari tangan dan otak penulis langsung saja melainkan banyak tangan dan otak yang bekerja dibelakangnya yang membantu menghasilkan skripsi ini. Yang utama dan pertama yang bekerja dengan penulis dalam menuntaskan karya skripsi ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugrah dan cinta yang diberikan sehingga penulis memperoleh pengalaman selama ini terutama pengalaman penulisan skripsi beserta dinamikanya. Terima kasih juga kepada kedua orangtua dan kedua adik-adik penulis yang selalu setia mendukung baik tenaga, finansial, dan motivasi bagi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :


(13)

xi

1. Dosen pembimbing skripsi yang sudah penulis anggap bapak ketiga bagi penulis, Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph. D. yang sudah mau sabar menghadapi, membimbing, dan menuntun penulis dari semenjak seminar hingga penyusunan skripsi ini selesai. Terima kasih semua canda tawa, penyemangat, dan pengalaman yang sudah penulis dapatkan. Thank you so much, I LOVE YOU my third father.

2. Dosen sekaligus rekan kerja penulis dalam mengerjakan akreditasi standar 7 hingga akhir, Bapak YB. Cahya Widiyanto yang sudah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk membantu akreditasi hingga akhir dan memberikan pengalaman yang berharga bekerja memikirkan banyak orang sekaligus memikirkan skripsi.

3. Sahabat-sahabat penulis, terkhusus Beatriks Christma Antari yang sudah menemani, mendengarkan keluh kesah dan berjuang bersama dari semester 1 hingga penyelesaian skripsi ini selesai. Lisa sahabat penulis dari SMP yang sudah mau mendengarkan semua curahan hati penulis dalam setiap kebimbangan penulis dalam mengerjakan skripsi. I LOVE YOU all my friends. 4. Romo pendamping UKM Karawitan sekaligus my second father, Romo Gregorius Budi Subanar, SJ yang sudah berkenan mendukung dan mendampingi penulis dari beberapa semester yang lalu di UKM, dalam mengerjakan seminar, dan mengerjakan penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah memperkenalkan my beloved third father sehingga membuat penulis menemukan jodoh pembimbing skripsi. Terima kasih atas semua kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk mendengarkan cerita, nasihat, ide-ide,


(14)

xii

dan memperoleh pengalaman baru yang penulis dapatkan. Cerita, nasihat, ide-ide, dan pengalaman yang penulis dapatkan tidak akan penulis lupakan di kemudian hari. I LOVE YOU ROMO

5. Para Informan, Ibu Surti, Eyang Narko, Ibu Surono, Ibu Caecil, Ibu Ita, dan Ibu Veronika yang sudah memperbolehkan penulis bertanya-tanya berbagi cerita tentang pengalaman kehidupan mereka, tanpa mereka skripsi ini tidak akan selesai. Terima kasih atas waktu yang diberikan.

6. Saudara penulis, Atrin yang sudah membantu tenaga dalam merapikan hasil tulisan skripsi ini, baby Emily yang sudah selalu menjadi moodbooster dikala bosen dan bingung dalam mengerjakan skripsi, tante penulis, Mbak Eny yang sudah membantu memfasilitasi peralatan guna pengambilan data. Terima kasih banyak atas dukungannya.

7. Teman-teman UKM Karawitan semuanya, Mas Cahyo, Nugroho, Cahyo, Mas Eko, Agnes, Oyen, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang sudah memahami kesibukan penulis mengerjakan skripsi dan menghibur penulis dikala bosen dengan pengerjaan skripsi. I LOVE YOU my second family..

8. Teman-teman student staff akreditasi Psikologi, Silla, Nety, Yoan, Arum, Mbak Tirza, Hervy, Jojo, dan Martha yang sudah berjuang bersama mengerjakan skripsi sekaligus memikirkan akreditasi Fakultas tercinta. Terima kasih sudah mau saling berbagi cerita, lembur bersama, diskusi skripsi bersama juga, dan saling support. Thank you so much. I LOVE YOU ALL…


(15)

xiii

9. Teman-teman yang sempat penulis asistensiin di matakuliah Tes Proyektif TAT, Aprex, Erlin, Gue, Asoy, Chopie, Zelda. Terima kasih semua pengalaman kerjasamanya selama proses asistensi TAT terutama pengertiannya kepada penulis yang pada masa asistensiin sedang sibuk akreditasi dan mengerjakan skripsi. I LOVE YOU ALL…

10.Bapak Dekan dan Ibu Kaprodi Fakultas Psikologi Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., staff administrasi, Bu Nanik dan Mas Gandung, staff laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang sudah memberikan kelancaran dan kemudahan selama penulis mengenyam pendidikan program sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma.

11.Teman-teman semua satu angkatan Fakultas Psikologi, angkatan 2011 semuanya yang sudah berjuang bersama menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi.

Karya skripsi ini bukanlah menjadi akhir dari perjalanan pendidikan penulis, karya skripsi ini melainkan menjadi langkah awal penulis untuk semakin belajar berpikir ilmiah. Karya skripsi ini menjadi titik awal akan proses keingintahuan berpikir ilmiah penulis untuk memahami dunia sehingga karya ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis sedang akan memulai melangkah ke masa depan untuk belajar lebih banyak lagi. Semoga dibalik ketidaksempurnaan karya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 4 Februari 2016 Clara Alverina Pramudita


(16)

xiv DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiv

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Konteks ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10


(17)

xv

B. Konsep Diri ... 14

1. Identitas ... 14

2. Definisi Konsep Diri ... 16

3. Pembentukan Konsep Diri ... 18

4. Konsep Diri Positif dan Negatif ... 18

5. Arketipe dalam Pembentukan Konsep Diri... 20

C. Jawa ... 22

1. Masyarakat Jawa ... 22

2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa ... 24

D. Pembentukan dan Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN... 32

A. . Paradigma dan Pendekatan Penelitian ... 32

B. Fokus Penelitian ... 34

C. Prosedur Penelitian... 34

1. Informan ... 34

2. Metode Pengambilan Data ... 35

D. Analisis Data ... 36

E. Kualitas Penelitian ... 37

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Hasil Penelitian ... 40


(18)

xvi

2. Ibu N (68) ... 43

3. Ibu E (54) ... 45

4. Ibu L (56) ... 46

5. Ibu I (42) ... 48

6. Ibu C (36) ... 49

C. Analisis Data ... 52

1. Perempuan Jawa dan Konsep Dirinya... 52

a. Sisi diri positif pada perempuan Jawa ... 52

b. Sisi diri negatif pada perempuan Jawa ... 56

2. Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi ... 57

a. Sisi positif dari orangtua ... 57

b. Sisi negatif dari orangtua ... 60

c. Sistem nilai yang diberikan orangtua ... 61

3. Orientasi Konsep Diri ... 65

D. Pembahasan ... 67

1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri ... 67

2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

1. Perempuan Jawa ... 82

2. Peneliti Berikutnya ... 83


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1. Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi ... 31 Gambar. 2. Skema Proses Penelitian yang Dilakukan ... 38 Gambar. 3. Dinamika Konsep Diri Perempuan Jawa ... 79


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Protocol Guide Interview... 89

Lampiran 2. Informed Consent ... 90

Lampiran 3. Contoh Verbatim dan Horizontalizing ... 96

Lampiran 4. Contoh Clustering ... 114


(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan suatu konteks penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bagaimana konteks penelitian yang ada di masyarakat, kemudian bagaimana pertanyaan dan tujuan penelitian ini, serta bagaimana kebermanfaatan penelitian ini baik secara teoritis dalam ilmu psikologi maupun secara praktis kepada masyarakat.

A. Konteks

Kelahiran seorang bayi manusia ke bumi merupakan awal kehidupan manusia. Manusia lahir bersih dan murni tanpa membawa apa-apa. Manusia lahir dengan situasi yang sudah ada Tuhan berikan, orangtua, rumah, dan segala keadaan yang ada tanpa mereka sadari. Bagaimana kehidupan manusia itu kemudian, menjadi apa manusia itu dan seperti apa dirinya merupakan hasil dinamika kehidupan manusia itu sendiri dengan lingkungan sekitarnya.

Manusia dikenal karena jati dirinya. Kehidupan manusia dari lahir hingga mati merupakan proses pencarian dan penguatan jati diri atau identitasnya. “Self is an important, abstract concept that help us understand much of our psychological composition” (Matsumoto, 2003) yang berarti bahwa diri adalah konsep abstrak yang penting yang membantu kita untuk memahami lebih tentang komposisi psikologi kita. Menurut Erikson jika seseorang tidak berhasil melalui tahap awal pencarian identitas maka akan terjadi kebingungan identitas yang


(22)

nantinya juga akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Pencarian identitas seseorang sudah dimulai semenjak masa anak-anak hingga dewasa.

Individu dari anak-anak hingga dewasa memiliki berbagai banyak peristiwa kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang dialami ini menjadi pengalaman hidup yang dimiliki individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki dari anak-anak hingga dewasa membantu seseorang memperoleh identitasnya. Pengalaman ini dapat berupa pengalaman dengan individu lain maupun dengan lingkungan sosial.

Seorang anak memiliki pengalaman pertama dengan orangtuanya. Orangtua merupakan significant others bagi individu. Dalam pembentukan identitas atau konsep diri, significant others atau orangtua membawa pengaruh yang kuat. Significant others membawa pengaruh krusial dalam mendefinisikan diri dan perubahan-perubahannya seperti dalam hal afeksi dan pengalaman motivasi, regulasi diri, dan perilaku interpersonal (Andersen & Chen, 2002). Seperti yang dikatakan dalam hasil penelitian sebelumnya bahwa ada hubungan signifikan antara kedekatan significant others dengan self esteem yang merupakan salah satu faktor bagian dari konsep diri (Burnett, 1996).

Interaksi relasi yang terjadi antara individu dengan significant others atau orangtua merupakan sebuah narasi kehidupan individu itu sendiri. Narasi atau cerita kehidupan ini yang berperan dalam identitas dan konsep diri individu menjadi seperti apa dirinya. Cerita diri sendiri ini memberikan sebuah konteks yang jelas yang menjadikan jelas bagaimana diri hidup dan apa sifat alami dari keberadaan diri, karakter, dan identitas (Polingkhorne, 1991). Narasi kehidupan


(23)

ini berisi banyak nilai-nilai kehidupan yang diberikan orangtua, seperti contohnya dalam mendidik anak, orangtua mendidik anaknya untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua. Dalam didikannya itu ada nilai yang ingin disampaikan orangtua kepada anaknya yaitu nilai menghormati. Nilai ini yang akan mempengaruhi konsep diri dari individu. Significant others atau orangtua hanya sebagai simbol atau perantara dari nilai yang ada, termasuk nilai-nilai budaya yang dimiliki dan dibawa oleh orangtua. Adanya simbolisasi dan pengaruh narasi dari pengalaman yang dimiliki bersama significant others atau tokoh idola pada pembentukan identitas ternyata memiliki kesamaan dengan prinsip budaya Jawa. Masyarakat Jawa kaya menggunakan simbol-simbol dan narasi yang dibangun dari dinamika kehidupan.

Bentuk-bentuk simbolis yang umum dalam masyarakat Jawa itu dapat dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu : Pertama, tindakan simbolis dalam religinya; Kedua, tindakan simbolis dalam tradisinya; Ketiga; tindakan simbolis dalam keseniannya (Herusatoto, 1984). Bentuk-bentuk simbolis tersebut dapat dikenal hingga sekarang karena adanya narasi yang dibawa masyarakat Jawa secara turun temurun ke generasi berikutnya. Bentuk-bentuk simbolis tersebut menandakan pandangan hidup dan sikap hidup masyarakat Jawa (Herusatoto, 1984). Ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat familiar dengan segala macam simbolik karena itu adalah bagian dari dirinya. Secara umum sendiri menurut A. L. Kroeber dan C. Kluckhon dalam buku yang berjudul “Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat” yang ditulis The Liang Gie, 1979 :


(24)

“Cultural consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, costituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments inartifacts; the essential core of culture consist of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action.”.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa budaya mengandung bentuk yang nyata atau tersembunyi dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas dari kelompok manusia termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia. Inti penting dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional (yaitu berasal dan dipilih secara historis) dan terutama nilai-nilai yang tergabung. Sistem budaya di satu sisi dianggap sebagai hasil dari tindakan dan di sisi lain sebagai unsur yang mempengaruhi tindakan lebih lanjut.

Pada masa dewasa konsep diri seseorang sudah jauh lebih stabil dari masa anak-anak atau masa remaja. Dalam tahap perkembangan psikososial milik Erikson (1950,1968), individu dewasa sudah melewati tahap pencarian identitas yang terjadi pada masa remaja. Mereka sudah mampu melihat dan merasakan siapa dirinya. Konsep diri mereka terbentuk dengan cara dipelajari dari setiap pengalaman hidup berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Seperti yang dikatakan Combs dalam Elkins (1979) individu belajar dari cara mereka diperlakukan oleh orang lain.

Penelitian-penelitian konsep diri yang sudah ada lebih banyak berfokus pada konsep diri seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Peneliti memiliki keingintahuan melihat dengan perspektif yang berbeda dalam penelitian


(25)

ini karena konsep diri dimiliki oleh semua orang, tidak hanya dimiliki oleh seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Penelitian ini ingin melihat konsep diri terutama pembentukan dan orientasi pada seseorang dengan lebih melihat dari segi perspektif latar belakang budaya yang ada.

Pengalaman hidup perempuan Jawa dewasa berinteraksi relasi dengan orang lain termasuk significant others dalam pembentukan konsep diri menjadi fokus dalam penelitian ini. Perempuan Jawa memiliki konsep diri yang cenderung sama dari dulu hingga sekarang. Bentuk pengekspresian dari perempuan Jawa yang membuat terlihat berbeda konsep dirinya. Hal ini terlihat dari perempuan Jawa dahulu kalem tetapi sesungguhnya dibalik sifat kalem itu ada kekuatan. Kekuatan perempuan Jawa dahulu terlihat dari perempuan Jawa pada zaman dahulu lebih banyak yang melakukan diam ketika menunjukkan ekspresi marahnya sehingga membuat orang lain dengan sendirinya merasa terhukum oleh sikap diam itu. Perempuan Jawa sekarang kekuatannya sudah bisa dilihat dari kesehariannya yang mampu berpendapat atau tampil menonjol di masyarakat. Peneliti memilih perempuan karena sistem masyarakat Indonesia terutama Jawa terkenal dengan budaya patriarkisme yang lebih sering membicarakan tentang betapa hebat dan berperannya laki-laki, sedangkan perempuan cenderung jarang dibicarakan. Dalam budaya Jawa sistem masyarakat patriarkisme sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seorang perempuan belum dikatakan perempuan Jawa sesungguhnya atau tidak bernilai dan berharga apabila belum menikah atau memiliki anak. Wanita atau perempuan dihargai karena kemampuannya yang khas untuk memberi keturunan dan dukungan sosial dalam


(26)

memenuhi ambisi pria (Barnhouse, 1988). Seperti yang ditulis Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang perempuan harus pandai macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Konsepsi yang berkembang dalam masyarakat Jawa tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana sistem nilai masyarakat patriarkisme dalam budaya Jawa yang menggambarkan kedudukan dan kodrat perempuan dalam masyarakat Jawa.

Bagi peneliti, perempuan Jawa mencerminkan perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia identik dengan perempuan Jawa karena adanya pengaruh dari sistem pemerintahan orde baru. Hal ini dijelaskan dalam buku On the Subject of “Java” karya Pamberton tahun 1994 bahwa adanya peran budaya Jawa yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut menjadi gambaran umum diri Indonesia.

Arti dari istilah “Perempuan Jawa” adalah orang Jawa asli yang dibesarkan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Perempuan Jawa menurut tradisi adalah perempuan yang bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Stereotipe tersebut yang berkembang dalam lingkungan sosial menjadikan perempuan dan laki-laki mendefinisikan dirinya menggunakan atribut yang mencirikan kelompok gendernya (Guimond, dkk, 2006). Sterotipe-stereotip tersebut yang sudah dikenal sejak kecil oleh masyarakat


(27)

tidak akan mudah hilang seiring waktu karena sudah ditanamkan dalam diri kita oleh keluarga walaupun budaya itu bersifat dinamis yang memiliki potensi berubah seiring waktu dan kepribadian atau identitas atau konsep diri sesorang juga dapat berubah mengikuti budaya dimana orang tersebut tinggal agar dapat bertahan hidup seperti yang dikatakan Matsumoto (2003),

“Culture as a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated across generations, relatively stable but with the potential to change across time.”

(budaya sebagai sistem aturan yang dinamis, terlihat atau tersembunyi yang dibentuk oleh kelompok dengan tujuan menjamin kelangsungan hidup mereka melibatkan sikap, nilai, kepercayaan, norma, dan perilaku yang dibagikan oleh kelompok tetapi dihayati berbeda oleh setiap anggota atau unit tertentu dalam kelompok, dikomunikasikan antar generasi, relatif stabil tetapi memiliki potensi berubah seiring waktu). Keberadaan individu dalam kelompok budaya tertentu berperan bagi dirinya dalam mendefinisikan konsep diri individu dengan cara membandingkan antara karakter yang dibagi oleh anggota kelompok budaya tertentu dengan membandingkan yang relevan di luar kelompok (Brewer & Gardner, 1996).

Konsep diri atau rasa akan keberadaan diri yang dimiliki individu akan mempengaruhi bagaimana dia akan melihat dunia dan bersikap ke depannya. Konsep diri atau rasa akan diri penting seperti yang dikatakan Matsumoto (2003) :

A sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world


(28)

and ourselves and others in that world, including our relationship with other people, places, things, and events” (Matsumoto, 2003)

(Rasa akan diri adalah penting dan mempengaruhi pemikiran kita, perasaan, dan perilaku, dan bagaimana kita melihat dunia dan diri kita dan orang lain di dunia termasuk hubungan kita dengan orang lain, tempat lain, benda lain, dan peristiwa lain). Orientasi dari rasa akan diri atau konsep diri terbentuk karena adanya pikiran, perasaan yang dipengaruhi oleh rasa keberadaan dirinya. Contohnya adalah individu yang menyayangi anaknya maka rasa cinta dan kasih sayang kepada anak dengan sendirinya muncul atau dimiliki individu tersebut. Tindakan yang terwujud dari individu tersebut adalah melakukan apapun untuk anaknya dan berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik.

Orientasi yang terbentuk juga tidak lepas dari pengaruh pengalaman yang dialami individu beserta nilai budaya yang membentuk konsep diri. Dalam pembentukan, ada proses internalisasi dari significant others karena menurut Combs, dkk dalam Elkins (1979) significant others merupakan sosok penting yang dalam pembentukan konsep diri individu lebih banyak melihat sosok penting daripada sosok tidak penting. Dalam orientasi, pengalaman buruk yang diperoleh dan bersama-sama dengan internalisasi nilai menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan individu mampu melakukan the redemptive self.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukan dan orientasinya?


(29)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukan dan orientasinya.

D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Budaya, Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian. Penelitian ini memberikan sumbangsih dalam melihat sebuah konsepsi nilai budaya atau situasi masyarakat tertentu dalam membentuk suatu konsep diri dan orientasi perempuan yang memiliki latar belakang budaya tertentu.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memberikan manfaat yaitu hasil penelitian ini dapat memberikan deskripsi yaitu berupa pemaparan mengenai bagaimana pembentukan dan bagaimana orientasi kehidupan berdasarkan konsep diri yang ada sebagai pemahaman tentang pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa.


(30)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini yaitu pada bab tinjauan pustaka, peneliti akan memaparkan teori-teori yang menjadi bahan tinjauan untuk penelitian. Pengertian perempuan Jawa, pengertian konsep diri, bagaimana masyarakat Jawa beserta kaidahnya, arketipe yang ada dalam diri, dan juga tinjauan kepustakaan dari dinamika bagaimana pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa yang akan dibahas dalam penelitian akan dipahami sebagai landasan pengetahuan dalam memahami konteks penelitian.

A. Pengertian Perempuan Jawa

Istilah perempuan lebih pas dalam membahas penelitian ini daripada kata wanita walaupun banyak buku yang menggunakan kata wanita. Kata “wanitaberasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan tergantung kepada orang lain yang mengaturnya (Handayani, 2008).

Ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar dalam Handayani (2008) juga mengungkapkan bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh dapat ditemukan banyak


(31)

perempuan Jawa yang berpuasa demi keberhasilan anaknya dalam menghadapi ujian. Contoh lainnya yaitu ada juga perempuan Jawa yang rela tidak makan yang penting anaknya dapat makan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka lebih pas menggunakan istilah perempuan daripada istilah wanita dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini sosok perempuan dilihat sebagi subjek yang menjadi pemain utama. Kata “perempuan” dipilih karena kata dasar perempuan adalah “empu” yang berarti guru yang bermakna dihargai dan dihormati (Handayani, 2008). Penelitian ini ingin menunjukkan sosok perempuan yang dihormati dan berperan.

Karakter perempuan Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi / terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia / loyalitas tinggi. Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun (Handayani, 2008).

Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam masyarakat Jawa, terutama yang paling terlihat konsepsi paternalistik dalam keluarga yang dimana wanita Jawa menjadi istri dengan istilah konco wingking. Konco wingking yaitu menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan (Handayani, 2008).

Seorang perempuan tidak selalu menjadi seorang istri akan tetapi dalam budaya Jawa seorang perempuan Jawa juga lebih identik menjadi seorang istri dan


(32)

berhubungan dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan masyarakat yang muncul bahwa seorang perempuan akan menjadi pembicaraan publik apabila belum menikah. Contohnya adalah berkembangnya istilah perawan tua dalam masyarakat yang dilekatkan pada perempuan yang sudah berumur tetapi belum menikah. Istilah untuk peran perempuan atau wanita Jawa sebagai istri adalah garwa selain istilah konco wingking. Konsepsi garwa (istri) bukan sekedar konco wingking, melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa / separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberi gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada kanca wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas (Handayani, 2008).

Dalam keluarga walaupun suami istri adalah dua yang telah menjadi satu, akan tetapi suami atau bapak bagi anak-anaknya adalah tetap kepala keluarga yang mencari nafkah yang tetap harus dihormati. Namun dalam berjalannya kehidupan keluarga, istri atau ibu yang lebih berperan dalam keluarga. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, dan cukup menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan sekolah, pekerjaan, pilihan suami atau istri bagi anak-anaknya. Pada saat-saat kritis, kesulitan ekonomi, bencana, alam, dan sebagainya biasanya ibulah yang mempertahankan keluarganya (Handayani, 2008).

Y. B. Mangunwijaya dalam Genduk Duku mengatakan bahwa kejayaan suami tergantung dari bagaimana ia dapat belajar dari istrinya (bersedia dibenahi perilakunya) (Handayani, 2008). Kemampuan istri Jawa untuk menjadi kejayaan


(33)

suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam kesulitan. Cancut tali wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis untuk menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh, tapi juga dalam pelaksanaannya (Handayani, 2008).

Berkaitan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin seorang perempuan atau wanita Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh melebihi suami (Handayani, 2008). Contohnya adalah jika seorang perempuan Jawa ingin bekerja sebisa mungkin untuk tidak bekerja karena dalam budaya Jawa bermaksud menghormati laki-laki yang dimana dalam budaya Jawa berkembang patriarkisme. Seandainya memang tampil dalam sektor publik tetapi tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap menjaga kehormatan suaminya. Sebisa mungkin tidak menyakiti kehormatan suaminya sebagai laki-laki.

Selain itu konsep Jawa swarga nunut, neraka katut dimaknai kembali oleh perempuan atau wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri adalah cerminan kepribadian, keberhasilan, bukan kegagalannya sendiri sehingga istri berusaha keras supaya garis hidup suami baik (swarga) (Handayani, 2008). Maksudnya, istri menjadi pendukung suaminya dalam menjalani kehidupan. Istri berada di belakang siap medukung setiap keputusan suaminya. Istilah barunya yang sedang populer adalah “dibalik laki-laki hebat ada peran perempuan atau wanita dibelakangnya”.


(34)

Walaupun perempuan atau wanita Jawa menghargai suami atau kaum laki-laki dan tetap tidak bertindak melebihi laki-laki-laki-laki tetapi perempuan atau wanita Jawa juga dapat memperoleh kekuatan atau otoritas dalam hidupnya. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” (pasif) dan memakai cara halus, tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang. Sikap ini dikenal dengan konsep menang tanpa ngasorake (Handayani, 2008). Cara halus ini digunakan perempuan atau wanita Jawa sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain melainkan sebaliknya orang merasa dimengerti dan diterima, dengan begitu orang tersebut akan menyerah dengan sadar.

Perempuan Jawa yang dididik dalam kultur Jawa mampu mempengaruhi dunia privat dan kebijakan publik justru karena kecerdasan emosional dan kekuatan femininnitasnya. Perempuan Jawa dididik untuk selalu memiliki kesadaran diri melalui kontrol emosi dalam dirinya. Kesadaran diri dalam mengontrol emosi yang muncul membuat perempuan atau wanita Jawa menjadi cukup trampil untuk mengambil posisi yang tepat dalam kondisi sosial tanpa mengganggu harmoni yang ada (Handayani, 2008).

B. Konsep Diri 1. Identitas

Berdasarkan Erik H. Erikson (1950, 1968) bahwa identitas yang termasuk dalam 8 tahap perkembangan manusia adalah menjadi prasyarat untuk masuk ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Pada tahap identitas ini individu berada dalam


(35)

fase remaja dimana memiliki keingintahuan yang besar terhadap hal baru sehingga banyak melakukan hal-hal baru yang membantunya menemukan identitas. Akan tetapi dalam pencarian identitas ini remaja dapat menemui masalah yaitu kebingungan peran. Setiap tahap perkembangan Erikson perlu dilalui agar dapat menjadi individu seutuhnya. Jadi, permasalahan dalam pencarian identitas yaitu kebingungan peran perlu diselesaikan sebelum menuju ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Biasanya remaja untuk menyelamatkan diri mereka untuk sementara waktu mereka mengidentifikasikan diri secara berlebihan dengan pahlawan kelompok atau massa (Erikson, 1989).

Identitas juga menjadi bagian dari konstruksi peran sosial. Berdasarkan analisis yang dilakukan Deux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (1995) dalam Millon & Lerner, (2003) menghasilkan 5 tipe identitas sosial yaitu, relationship (suami, saudara), vocational or avocational role (guru), political affiliation (negarawan, pejuang feminis), stigmatized identity (orang yang tidak punya rumah, orang gemuk), dan religion or ethnicity (Jewish, Hispanic (dalam budaya Indonesia dapat diganti dengan istilah orang Katolik, orang Jawa)). Peran identitas di atas yang merupakan hasil dari budaya dan sosial juga mengungkapkan dimensi interpersonal dari kepribadian seseorang.

Teori identitas sosial (e.g., Tajfel, 1982; Tajfel & Turner, 1979; Turner, 1982 dalam Millon & Lerner, 2003) mengatakan bahwa konsep diri mengandung atribut personal dan sosial. Harga diri biasanya fokus pada atribut personal, tetapi keanggotaan dalam kelompok juga penting. Harga diri kolektif (merasa suatu kelompok sosial positif) berkorelasi dengan harga diri personal pada umumnya


(36)

(Luhtanen & Crocker, 1992 dalam Millon & Lerner, 2003). Kemudian harga diri tidak hanya personal tetapi juga evaluasi diri dalam kelompok di mana individu berada.

2. Definisi Konsep Diri

Roger (Patterson dalam Elkins, 1979) mengatakan bahwa konsep diri didefinisikan sebagai :

“the organized, consistent conceptual Gestalt composed of characteritics of the ‘I’ or ‘me’ and the perceptions of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to others and to various aspects of life, together with the value attached to these perceptions.”

Jadi konsep diri merupakan konsep Gestalt yang konsisten dan terorganisir yang terdiri dari ciri ‘I’ atau ‘me’ dan persepsi hubungan dari ‘I’ atau ‘me’ kepada orang lain dan berbagai aspek kehidupan lain yang bersama-sama dengan nilai melekat pada persepsi ini. Sedangkan Combs, dkk dalam Elkins (1979) menyebutkan “The self concept is meant all those aspects of the perceptual field to which we refer when we say ‘I’ or ‘me’” yang berarti konsep diri adalah semua aspek persepsi dimana kita lebih menggunakan “I” or “me”. Konsep diri hanya mencakup persepsi tentang diri yang tampaknya paling vital atau penting bagi individu sendiri (Comb dan Snygg, 1959). Patterson dalam Elkins (1979) menyatakan bahwa beberapa teoritisi melihat ‘me’ berarti the self as object atau sering disebut konsep diri dan ‘I’ berarti the self as subject atau sering disebut ego.

William D. Brooks (1974) mendefinisikan konsep diri adalah persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis dari diri kita yang berasal dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Anita Taylor et al (1977) mendefinisikan


(37)

konsep diri sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri, seluruh kepercayaan yang kompleks dan sikap yang dipegang tentang diri.

Sedangkan menurut Allport dalam Schultz (1991) menyebutkan seorang psikolog humanistik mengubah konsep diri menjadi istilah proprium. Proprium menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang yang terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi yang menentukan seseorang sebagai yang unik. Contohnya, individu yang sabar menghadapi anak kecil yang nakal adalah keunikan yang tidak semua orang miliki. Rogers (Patterson dalam Elkins, 1979) menganggap konsep diri menjadi kesadaran seseorang, sedangkan diri mungkin termasuk aspek-aspek ketidaksadaran. Contohnya, seorang individu yang menyadari dirinya adalah seorang yang memiliki perhatian pada anak merupakan konsep diri yang dimiliki sedangkan siapa sesungguhnya diri berada dalam ketidaksadaran.

Konsep diri menurut psikolog persepsi adalah organisasi persepsi tentang diri individu untuk menjadi siapa dirinya. Itu terdiri dari ribuan persepsi yang berbeda-beda dalam hal kejelasan, presisi, dan pentingnya dalam perekonomian seseorang (Combs, dkk dalam Elkins, 1979). Contohnya, seorang individu yang mampu memahami orang lain, individu yang mampu melihat kekurangan dan kelebihan diri, individu yang mampu memahami bahwa dirinya dan orang lain itu berbeda.

Bagi Epstein (1973) dalam memahami konsep diri adalah :

The self concept is a self theory. It is a theory that the individual has unwittingly constructed about himself as an experiencing, functioning


(38)

individual, and it is part of a broader theory which he holds with respect to his entire range of significant experience.”

Jadi konsep diri adalah sebuah teori tentang diri. Itu adalah sebuah teori bahwa individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai sebuah pengalaman, individu yang berfungsi, dan itu adalah bagian dari teori yang lebih luas dimana diri memegang seluruh pengalaman yang signifikan.

3. Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri itu terbentuk dari pengalaman interaksi dengan dunia. Combs, dkk dalam Elkins (1979) mengatakan bahwa orang-orang belajar siapa dirinya dan menjadi seperti apa dirinya dari cara mereka diperlakukan oleh orang-orang penting yang ada disekitar mereka yang biasa disebut significant others. Sedangkan mempelajari sedikit dari orang yang tidak penting.

Cooley (1902) dalam Millon & Lerner (2003) berargumen bahwa konsep diri terdiri dari bayangan dari kehadiran kita bagi orang lain, bayangan penilaian orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Perlu adanya gambaran dari orang lain tentang diri sebagai cermin atau kaca bagi individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya sehingga dapat menilai dirinya sendiri.

4. Konsep Diri Positif dan Negatif

Menurut Brooks dan Emmert (1976) dalam Rakhmat (1985) ada tanda - tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu mereka peka pada kritik yang diberikan pada dirinya. Mereka akan langsung tahu jika ada yang mengkritik dirinya. Mereka juga responsif dalam setiap kali menerima pujian dari orang lain. Orang dengan konsep diri negatif juga bersikap pesimis dalam setiap


(39)

menghadapai kompetisi, dan memiliki sikap hiperkritis. Sikap hiperkritis merupakan sikap yang selalu mengalah, mencela atau meremehkan apa pun dan kepada siapa pun. Orang yang memiliki sikap hiperkritis tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Diri orang dengan konsep diri negatif yang seperti itu membuat mereka merasa cenderung tidak disenangi oleh orang lain.

Sebaliknya, ada tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka yakin dengan kemampuannya dalam mengatasi masalah. Mereka merasa setara dengan orang lain. Walaupun begitu mereka juga mampu menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. Mereka juga mau menerima pujian tanpa rasa malu, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

D. E. Hamacheck dalam Rakhmat (1985) juga menyebutkan karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif yaitu mereka meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Mereka peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Mereka mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu,


(40)

latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

Karakteristik yang lain yaitu mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Mereka memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. Hal ini dikarenakan mereka sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

Karakteristik lain orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka mampu menyadari perasaan yang ada dalam dirinya. Mereka dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. Di sisi lain, mereka sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.

5. Arketipe Dalam Pembentukan Konsep Diri

Arketipe adalah gambaran kuno yang berasal dari ketidaksadaran kolektif. Arketipe mempunyai dasar biologis tetapi asalnya terbentuk melalui pengulangan pengalaman dari para leluhur manusia (Feist & Feist, 2006). Arketipe ini bersama insting membantu dalam pembentukan kepribadian.


(41)

Bentuk-bentuk dari arketipe menurut Jung (Feist & Feist, 2006) ada beberapa yaitu, persona yang merupakan sisi kepribadian yang ditunjukkan kepada dunia. Persona ini sama dengan pemakaian topeng oleh pemain dalam pentas panggung. Jung percaya bahwa setiap manusia terlibat dalam peranan tertentu yang dituntut oleh sosial agar diterima di masyarakat, akan tetapi jika seseorang terlalu identik dengan persona mereka maka akan kehilangan inner self dan akan lebih cenderung memenuhi lingkungan sosial. Kebalikan dari bentuk arketipe persona yaitu bayangan (shadow) yang merupakan akretipe dari kegelapan dan represi. Bentuk arketipe ini menggambarkan kualitas-kualitas yang tidak diakui keberadaannya serta berusaha disembunyikan keberadaannya dari diri sendiri dan orang lain.

Bentuk arketipe yang lain adalah anima dan animus yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki laki-laki yaitu anima karena anima merupakan sisi feminin dari laki-laki yang terbentuk dalam ketidaksadaran kolektif dan menetap di kesadaran. Jung percaya bahwa anima terbentuk dari pengalaman laki-laki dengan perempuan (ibu, saudara, orang yang dicintai) yang digabungkan untuk membentuk gambaran umum mengenai perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki perempuan adalah animus karena animus merupakan arketipe maskulin pada perempuan. Animus adalah simbol berpikir dan berlogika. Jung percaya bahwa animus bertanggung jawab untuk berpikir dan berpendapat pada perempuan.

Bentuk arketipe lain yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang mengajarkan tentang kehidupan yaitu bentuk arketipe great mother dan wise old


(42)

man. Great mother menampilkan dua dorongan yang berlawanan yaitu kesuburan dan pengasuhan di satu sisi dan di sisi lain adalah kekuatan dan menghancurkan. Sedangkan wise old man (orang tua yang bijak) merupakan arketipe dari kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan misteri kehidupan.

Arketipe berikutnya merupakan arketipe yang menggambarkan diri individu yaitu hero dan self. Hero (pahlawan) merupakan arketipe yang direpresentasikan dalam mitologi dan legenda sebagai seseorang yang sangat kuat. Pahlawan dilihat sangat memukau seperti yang ada di TV, buku, dan film. Gambaran seperti itu dilihat juga sebagai model gambaran kepribadian yang ideal. Sedangkan arketipe self adalah arketipe dari semua arketipe karena semua arketipe bergabung menjadi satu dan bergabung dalam proses realisasi diri. Self sebagai arketipe disimbolkan sebagai ide seseorang akan kesempurnaan, kelengkapan, dan keutuhan. Self terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran pikiran dan hal tersebut menyatukan elemen-elemen yang saling bertentangan dari psike (kekuatan laki-laki dan perempuan, kebaikan dan kejahatan, serta terang dan gelap).

C. Jawa 1. Masyarakat Jawa

Yang disebut orang Jawa adalah orang yang yang bahas ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa (Suseno, 1984). Hal ini


(43)

dikarenakan bahas Jawa banyak dijumpai di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur.

Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan antara para penduduk pesisir yang kuat dengan pengaruh budaya Islam yang menghasilkan budaya Jawa yang khas yaitu kebudayaan pesisir dan daerah-daerah Jawa pedalaman sering disebut juga “kejawen” yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Suseno, 1984). Yogyakarta dan Surakarta disebut kota kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.

Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial yaitu yang pertama adalah wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapat rendah di kota. Kedua yaitu kaum priyayi, kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kaum priyayi adalah pembawa kebudayaan kota Jawa tradisional yang mencapai tingkat sempurna di kraton Yogyakarta dan Surakarta (Suseno, 1984).

Ritus religius sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggan, dan kerukunan (Suseno, 1984).


(44)

2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa

Hildred Geertz dalam Magnis Suseno (1984) menjelaskan ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu yang pertama adalah prinsip kerukunan, setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Selain itu, berlaku rukun juga berarti bahwa orang sanggup untuk membawa diri dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat. Keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Jadi prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok.

Banyak cara dan bentuk untuk menjaga kerukunan. Suatu cara agar terjadi kerukunan biasanya menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu untuk melepaskan kepentingan-kepentingannya pribadi demi kesepakatan bersama. Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa agar menjaga kerukunan adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Suatu teknik lain yang merupakan norma kelakuan untuk menghindari kekecewaan yang dapat merusak kerukunan adalah kebiasaan


(45)

untuk berpura-pura. Berpura-pura atau dalam bahasa Jawa ethok-ethok berarti bahwa tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya terutama perasaan negatif yang dapat merusak kerukunan. Teknik lain yang merupakan norma agar menjaga kerukunan adalah menjaga tata krama yang menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi, dan bentuk suatu pembicaraan. Dalam berbahasa diharapkan menggunakan bahasa Jawa krama karena dengan menggunakan bahasa krama berarti ada rasa hormat kepada orang lain yang diajak berbicara sehingga dapat membantu menjaga kerukuan (Suseno, 1984).

Bentuk dan cara lain untuk menjaga kerukunan adalah dengan praktek gotong royong yang ada di masyarakat. Praktek gotong royong dimaksud ada dua macam pekerjaan yaitu saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa (Suseno, 1984). Menurut Kontjaraningrat dalam Suseno (1984) ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong yaitu pertama orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus bersifat konform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.

Kaidah dasar yang kedua adalah prinsip hormat. Manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa


(46)

keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya.

Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Alasan utama mengapa setiap pembicaraan antara dua orang Jawa dengan sendirinya mengandaikan suatu penentuan perimbangan sosial terletak dalam struktur bahasa Jawa sendiri. Bahasa Jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Yang satu, bahasa krama yang mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya mengungkapkan keakraban yaitu bahasa ngoko.

D. Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi

Significant others merupakan salah satu media dalam pembentukan konsep diri sesorang karena significant others adalah sosok terdekat dalam berinteraksi. Significant others menjadi simbol dari nilai-nilai yang ada karena nilai-nilai yang ada tersebut dibawa significant others melalui cerita dari interaksi yang ada. Nilai-nilai tersebut yang diimani dalam pencarian identitas. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan tradisi budaya Jawa yang banyak mengunakan simbolisasi. Significant others atau orang terdekat hanya sebagai media penyalur untuk mempermudah atau membantu dalam pencarian identitas dan konsep diri.


(47)

Pengalaman seseorang berinteraksi dengan significant others adalah pengalaman memperoleh cerita yang berisi aneka nilai-nilai. Bentuk nilai-nilai ini adalah suatu arketipe dalam diri manusia yang akan membantu membentuk kepribadian identitas seseorang dalam ketidaksadarannya. Arketipe yang dinarasikan turun temurun menjadi kekuatan dari suatu cerita. Sesuai dengan pendapat Ganz, 2011 dalam artikel yang ditulis dalam The Annual Meeting of the American Sociological Association di Anaheim, California menuliskan,”Story telling is central to social movements because it construct agency, shapes identity, and motives action.” Dapat diartikan cerita adalah pusat dari pergerakan sosial karena cerita membangun suatu pandangan, bentuk identitas, dan motif dari perilaku. Selain itu Davis juga menyebutkan, “Stories do not just configure the past in light of the present and future, they also create experiences for and request certain responses from their audience.” Jadi cerita tidak hanya menyusun masa lalu dalam masa kini dan masa depan, cerita juga membangun pengalaman baru dan mengharapkan respon tertentu dari para pendengar. Dari cerita-cerita yang diperoleh mampu mempengaruhi konsep dirinya yang dirasakan dan dapat membuat berfikir untuk bertindak ke depannya.

Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang di masyarakat Indonesia terutama di Jawa menjadi makhluk yang jarang diperbincangkan perannya secara mandiri, mereka lebih cenderung dibicarakan di bawah bayang laki-laki. Adanya budaya patriarkisme yang berkembang di sistem masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat lebih sering membicarakan peran laki-laki secara lebih mandiri. Hal tersebut yang menarik perhatian peneliti untuk memahami sosok


(48)

perempuan yang pastinya memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda. Informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan perempuan Jawa karena bagi peneliti perempuan Jawa merepresentasikan perempuan Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan dalam buku On the Subject of “Java” karya Pamberton (1994) dijelaskan adanya peran budaya Jawa yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut menjadi gambaran umum diri Indonesia.

Perempuan Jawa secara nilai budaya Jawa merupakan perempuan yang dididik dengan budaya Jawa, memiliki nilai-nilai budaya Jawa serta adanya pandangan tradisi mengenai perempuan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan yang halus, sopan, menjaga harmoni, menjunjung tinggi keluarga, memiliki kesetiaan yang tinggi, dan memiliki sikap pengorbanan yang besar (Handayani, 2008). Pandangan tradisi kepada perempuan Jawa tersebut muncul dikarenakan adanya prinsip masyarakat Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap hormat. Nilai-nilai Jawa yang sudah dikenal sejak kecil tersebut tidak akan mudah hilang seiring dengan waktu walaupun budaya itu bersifat dinamis dapat berubah seiring waktu.

Dalam penelitian, kedudukan perempuan Jawa yang sudah menikah menjadi fokus dalam penelitian ini karena dalam budaya Jawa sistem patriarkisme sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seperti yang ditulis Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang perempuan harus pandai macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal


(49)

dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Selain itu dalam pernikahan kompleksitas hidup manusia juga sudah terlihat. Perempuan tidak dilihat lagi sebagai individu sendirian melainkan dia sudah mendapat sebutan baru yaitu istri atau garwa atau konco wingking dalam budaya Jawa yang memiliki tanggung jawab suami dan anaknya. Di dalam budaya Jawa, istri diharapkan memiliki konsep cancut tali wanda dan swarga nunut, neraka katut agar mendukung dan membawa kejayaan suami karena konsep perempuan dalam budaya Jawa adalah perempuan tidak boleh melebihi laki-laki sehingga yang dapat dilakukan perempuan adalah menjadi pendukung laki-laki (Handayani, 2008).

Adanya labelling atau stereotipe budaya Jawa terhadap perempuan tersebut membuktikan betapa budaya atau kultur memberi pengaruh yang besar terhadap konsep wanita atau perempuan itu sendiri. Setiap budaya memiliki konsep tentang wanita atau perempuan yang berbeda-beda. Pengaruh kultural dan pedagogis itu diarahkan pada perkembangan pribadi wanita atau perempuan menurut suatu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat serta kemampuan wanita atau perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat-pendapat umum atau tradisi menurut kriteria-kriteria feministis tertentu (Kartini Kartono, 2006). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan mengenai pengaruh budaya,

Symbolic cultural psychologists have demonstrated that cultural concepts impart a specific content and mode of operation to emotions,


(50)

perceptions, memory, logical reasoning, aggression, child rearing, developmental processes (such as the acquisition of language), and mental illness” (Carl Ratner, 2002)

yang berarti psikolog budaya simbolik menunjukkan bahwa konsep budaya memberitahu konten yang spesifik dan modus operasi emosi, persepsi, memori, penalaran logis, agresi, membesarkan anak, proses perkembangan (seperti akuisisi bahasa), dan penyakit mental. Selain itu budaya juga memiliki pengaruh bagi konsep diri langsung seperti yang disebutkan oleh Carl Ratner (2002) bahwa “Cultural psychologists have investigated the manner in which cultural concepts serve as filters that mediate perception, memory, self concept, and other psychological phenomena” yang berarti bahwa psikolog budaya telah menyelediki cara dimana konsep budaya berfungsi sebagai penyaring yang memediasi persepsi, memori, konsep diri, dan fenomena psikologis lainnya.

Dari paparan di atas maka konsep-konsep atau nilai-nilai yang ada dalam budaya Jawa dapat mempengaruhi bagaimana konsep diri dan konsep perempuan juga. Terutama adanya dua prinsip yang dipegang budaya Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap hormat dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri perempuan Jawa.

Adanya konsep diri atau rasa akan diri yang dipaparkan dalam bentuk cerita kehidupan kemudian menentukan bagaimana diri akan bersikap. Cerita kehidupan ini berada di sini dan sekarang sebagai internalisasi dan sebagai perkembangan narasi diri yang menggambarkan bagaimana individu di sini dan sekarang memahami siapa dirinya sekarang, sebelumnya, dan menjadi apa di masa depan (McAdams, 2006). Konsep diri atau rasa akan diri mempengaruhi pikiran


(51)

dan perasaan perempuan Jawa sehingga menggerakkan dan memunculkan orientasi, sikap dan tindakan yang akan dilakukan. Dalam orientasi, pengalaman yang membentuk konsep diri menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan diri perempuan Jawa yang mampu melakukan the redemptive self.

Interaksi

Gambar. 1

Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi

Significant others

Narasi Budaya Jawa

Konsep


(52)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab metode penelitian ini, peneliti akan memaparkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Paradigma dan pendekatan penelitian, fokus penelitian, prosedur penelitian, serta analisis data yang digunakan akan membantu memahami alur berfikir penelitian ini.

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Suatu pengalaman adalah guru terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mengalami suatu pengalaman dalam hidupnya. Setiap manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya karena setiap manusia adalah unik. Bagaimana manusia memandang dan memaknai setiap pengalamannya juga unik, tidak ada yang sama, namun dapat memiliki tema yang sama.

Banyak perempuan Jawa yang dijumpai peneliti selama ini, baik itu tetangga maupun orang terdekat peneliti. Setiap kali peneliti menjumpai atau berdinamika relasi bersama, peneliti menemukan pengalaman yang berbeda-beda dan unik dari setiap kehidupan yang dimiliki para perempuan Jawa baik itu perempuan Jawa di desa maupun perempuan Jawa di kota. Selain adanya keunikan dalam setiap pengalaman perempuan Jawa yang kental dan khas budayanya, ada pola kesamaan yang terbentuk dalam memandang dirinya beserta pembentuknya dan orientasinya. Fokus dari diri perempuan-perempuan Jawa ini


(53)

semua bertuju dan berkisah tentang keluarga. Keunikan ini menghantarkan keingintahuan peneliti untuk melihat lebih dalam suatu pengalaman hidup perempuan Jawa yang mempengaruhi konsep dirinya .

Peneliti menggunakan paradigma penelitian kualitatif dalam penelitian ini agar mampu menjawab keingintahuan peneliti. Creswell (2014) menyatakan penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran/teoritis yang membentuk atau mempengaruhi studi tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok pada suatu permasalahan sosial atau manusia. Untuk mempelajari permasalahan ini, para peneliti kualitatif menggunakan paradigma kualitatif mutakhir dalam penelitian, pengumpulan data dalam lingkungan alamiah yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dan analisis data yang bersifat induktif dan pembentukan berbagai pola atau tema.

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretatif fenomenologi analisis. Peneliti memilih jenis pendekatan ini karena adanya kesesuian antara keingintahuan peneliti dengan tujuan dari jenis pendekatan ini. Tujuan dari pendekatan ini adalah seperti yang tertulis dalam Smith (2008) yaitu the aim of interpretative phenomenological analysis (IPA) is to explore in detail how participants are making sense of their personal and social world, and the main currency for an IPA study is the meanings particular experiences, events, states hold for participant. Jadi tujuannya adalah untuk mengeskplorasi secara rinci bagaimana partisipan atau informan melihat dunia personal dan sosial, dan hal terpenting dalam IPA adalah makna mengenai


(54)

pengalaman, peristiwa, yang dialami partisipan atau informan. Penelitian ini ingin mengetahui dan memahami bagaimana konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukannya dan orientasinya dengan melihat pengalaman yang dimiliki perempuan Jawa.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada melihat pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan yang dalam budaya Jawa identik sebagai istri. Informan akan diwawancara tentang pengalaman hidupnya untuk melihat bagaimana konsep dirinya. Kemudian informan ditanya mengenai sosok yang berpengaruh atau berperan dalam hidupnya dan ditanya juga alasan memilih sosok itu serta bagaimana sosok itu bagi dirinya. Data yang nanti diperoleh kemudian akan dianalisis menggunakan pendekatan Interpretative psychological Analysis dan dibahas dengan teori-teori yang mendukung.

C. Prosedur Penelitian 1. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah perempuan bersuku Jawa, berbudaya Jawa, dan tinggal di Provinsi Yogyakarta. Informan ini juga merupakan perempuan yang berusia 30 tahun ke atas. Seorang perempuan dalam usia itu menurut Erikson sudah mulai masuk ke dalam tahap psikososial generativity dan sudah meninggalkan tahap pencarian identitas, sehingga para informan cenderung sudah dapat melihat siapa dirinya. Selain itu, penelitian ini memilih informan


(55)

yang sudah berkeluarga atau menikah. Dalam budaya Jawa yang patriarkisme, perempuan identik dengan istilah istri atau perempuan yang sudah menikah. Posisi perempuan yang sudah menikah memiliki pengalaman jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibanding perempuan yang belum menikah. Dalam suatu pernikahan seorang perempuan sudah memiliki tanggung jawab tidak hanya pada dirinya sendiri melainkan juga kepada suami dan anak-anaknya.

Jumlah dari informan yaitu 6 orang yang terdiri dari berbagai usia. Pengambilan jumlah informan bergantung pada kejenuhan data yang diperoleh atau data temuan sudah saturasi. Kejenuhan atau saturasi data dilihat dari sudah tidak adanya variasi jawaban dari informan.

2. Metode Pengambilan Data

Data penelitian ini akan diperoleh dengan cara wawancara kepada informan. Wawancara merupakan salah satu bentuk pengambilan data yang digunakan dalam paradigma kualitatif. Pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan berbentuk wawancara semi terstruktur.

Dalam melakukan wawancara semi terstruktur, peneliti menggunakan protocol guide interview sebagai bentuk dari penjadwalan atau penataan alur wawancara. Tujuan dari pembuatan protocol guide interview atau penjadwalan wawancara seperti yang tertulis dalam Smith (2009) yaitu:

The aim of developing a schedule is to facilitate a comfortable interaction with the participant which will, in turn, enable them to provide a detailed account of the experience under investigation. Question should be prepared so that they are open and expansive; the participant should be encouraged to talk at length.”


(56)

Yang berarti bahwa tujuannya adalah memfasilitasi kenyamanan interaksi dengan informan dengan maksud agar informan menceritakan dengan detail pengalamannya. Pertanyaan harus dipersiapkan sehingga mereka terbuka dan luas dalam bercerita yang berarti informan didorong untuk berbicara dalam durasi yang panjang.

D. Analisis Data

Menurut Smith (2009) ada beberapa proses yang dilakukan untuk menganalisis data pada setiap kasus atau pada setiap informan :

1. Reading dan re-reading

Pada tahap ini peneliti membaca lagi dan lagi untuk meyakinkan bahwa informan dapat menjadi fokus dalam analisis.

2. Initial noting

Pada tahap ini membutuhkan waktu yang banyak. Pada tahap ini mencatat segala isi yang menarik berkaitan dengan transkrip yang mengenai apa yang dibicarakan, dipahami, dan dipikirkan informan mengenai issue yang ada. Pada tahap ini dapat berupa komen deskriptif, komen linguistik, dan komen konseptual.

3. Developing emergent themes (mengembangkan tema yang muncul)

Pada proses ini, peneliti memetakan hubungan keterkaitan, hubungan dan bentuk dari membuat catatan-catatan yang ada.


(57)

4. Structualizing (mencari hubungan antar tema yang muncul)

Pada tahap ini peneliti lebih spesifik melihat bentuk dan hubungan antar tema yang muncul. Pada tahap ini semua bergantung pada pertanyaan penelitian dan ruang lingkupnya penelitian.

E. Kualitas Penelitian

Smith (2009) menggunakan prinsip dan kriteria dari Lucy Yardley dalam menilai kualitas penelitian interpretative phenomenological analysis. Yardley memiliki 4 kriteria dalam menilai kualitas penelitian kualitatif yaitu :

1. Sensitivitas konteks

Kesensitivitasan dapat ditunjukan melalui beberapa hal yaitu melalui lingkungan sosial budaya dari penelitian tersebut, keberadaan literatur dalam topik, dan data yang diperoleh dari partisipan. Suatu wawancara yang bagus sudah menunjukkan kesensitivitasan konteks. Wawancara yang baik membutuhkan keahlian, kesadaran, dan dedikasi. Kesensitivitasan data juga dapat ditunjukkan dalam analisis data. Penelitian IPA yang bagus akan selalu memiliki banyak verbatim dari data partisipan untuk mendukung argumen yang dibuat, sehingga membuat partisipan berperan dalam penelitian dan memungkinkan pembaca memeriksa interpretasi yang dibuat. Peneliti juga dapat menunjukkan kesensitivitasan konteks melalui kesadaran dari keberadaan literatur. Dalam IPA, literatur yang relevan digunakan untuk membantu orientasi penelitian dan penemuan harus selalu dihubungkan dengan literatur yang relevan dalam pembahasan.


(58)

2. Komitmen dan kekakuan

Komitmen dapat ditunjukkan dalam tingkat perhatian terhadap partisipan selama pengumpulan data dan peduli dengan analisis setiap kasus yang diangkat. Komitmen memiliki arti yang sama dengan menunjukkan kesensitivitasan konteks untuk beberapa elemen dalam proses penelitian. Kekakuan mengacu pada ketelitian penelitian, contohnya dalam kesesuaian sample dengan pertanyaan, kualitas wawancara, dan kelengkapan dalam analisis. Ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu untuk menjaga keseimbangan antara kedekatan dan keterpisahan.

3. Transparansi dan koherensi

Transparansi mengacu pada kejelasan dalam mendeskripsikan langkah-langkah proses penelitian dalam penulisan penelitian ini. Yardley menjelaskan koherensi dapat mengacu pada tingkat kesesuaian antara penelitian yang sudah dilakukan dengan asumsi teoritis yang mendasari pendekatan yang diterapkan. 4. Dampak dan kepentingan

Uji validitas sebenarnya terletak pada apakah penelitian memberitahu pembaca sesuatu yang menarik, penting, atau berguna.

wawancara IPA

Gambar. 2

Skema Proses Penelitian yang Dilakukan


(1)

633 634

pengorbanannya. Soalnya pengorbanannya itu sangat terasa sekali soalnya.

635 T Pengorbanannya ibunya bu surti? 636

637 638

J Ho’oh. Seperti kan jadinya lebih berperan dalam keluarga. Lebih berperan daripada bapak.

639 640 641

T Sekarang ibu sudah seneng dengan keluarga ibu sekarang ini? senang dengan kehidupan ibu sekarang ini?

642 643

J Sekarang? Ya masih diusahakan terus untuk lebih baik. 644 645 646 647 648 649

T (ketiga) yang kemarin itu ibu kan cerita udahan orang atau sosok yang berpengaruh dalam hidup ibu kan ibunya bu Surti nah itu aa.. menurut ibu itu positifnya atau kelebihannya ibunya bu Surti itu kayak gimana?

650 J kelebihan.... (terdiam) 651

652 653

T Kelebihan yang berkesan bu, ibunya bu Surti itu pahlwaan di dalam keluarga bagi Bu Surti. Nah positifnya dari ibu itu apa bu? 654

655 656

J Apa ya.. semangatnya, terus dari sifatnya itu kalau saya, aku nek ngarani itu cukup rendah hati lah orangnya,

657 T Rendah hati kayak gimana bu? 658 659 660 661 662 663

J terhadap orang lain itu pasti menghargai, nggak pernah berpikir negatif kayaknya ndak pernah jadi terkadang ada orang tetangga misalnya yang sifatnya itu tidak baik menurut penilaian umum tidak baik, tapi terhadapa ibu saya dia baik.

Memandang sosok ibu rendah hati (658 – 663)

664 T orangnya itu? 665

666 667

J iya atau mungkin diapiki terus sama ibuku itu. tapi nek semangatnya itu lho, mungkin saya ndak bisa.

668 T semangatnya kayak apa bu? 669

670 671 672 673

J Semangatnya membesarkan hati anak-anaknya biar, misale biar tidak minder, biar tetep maju terus meskipun kondisi keluarga susah, kondisi sosialnya di bawah. Walaupun ndak punya itu semanagte itu lho.

Sosok ibu

membesarkan hati anaknya (669-673)

674 675

T Nah itu, apa yang dari ibu itu yang ibu contoh?

676 677 678

J kalau yang saya contoh, saya praktekan sekarang mudah-mudahan bisa berhasil itu untuk memajukan anak kalau belajar sekolah

Berharap anak lebih baik (676 – 680)


(2)

679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695

itu lho. Sekolah kalau bisa ya lebih baik daripada saya. Ibu saya dulu ya Cuma lulusan SMP kalau ndak salah ehh lupa. Pokoknya pendidikannya cuman rendah tapi anaknya itu pokoknya bagimana caranya harus sekolah gitu. Ya semampunya perekonomian ya. yang kakak saya sulung itu sampe SPG terus yang kedua hanya SMP karena sudah kesusul saya lulusnya bareng gitu lho jadi kan biaya bersamaan nah itu milih salah satu nah kakak saya yng ngalah. Ya sudah SMP saya berjenti gpp. Gitu. Saya bisa sampe sini. Adik saya sampe SMA. Itu caranya ibu saya kadang ini, carane ya. meskipun bagaimana resakane untuk ndaftarkan dengan utang-utang, segala macem itu dilakoni.

Perjuangan sosok

ibu untuk

informan (682 – 695)

696 T Itu yang ibu contoh ya? 697

698

J Iya. Nah ini, dua ini moga-moga bisa. Heheheheh

699 700 701

T tadi kan kelebihannya ibunya bu Surti, semangatnya. Nah kalau kekurangannya ibunya Bu Surti apa bu?

702 703 704 705 706 707 708 709 710 711

J kekurangannya? Aaa.. anu... menurut saya selalu mengajarkan untuk ngalah, nrima, terus. Dari ngalah, nrima, apa lagi ya.. itu ternyata kalau di betul-betul dipraktekan, ngalah jadi kalah tenan. Padahal harusnya saya dalam hal ini nggak ngalah, tidak nrima, harus berusaha lebih giat lagi, saya kadang ada hal-hal yang itu. kadang terlalu nerimanya, ngalahnya terus sama orang lain sudah ngalah dikalahke tenan.

Ada ajaran sosok

ibu yang

dianggap salah (702 – 706)

712 713

T tapi ibu ngalah sama nerima juga ndak bu dalam hidup ibu itu?

714 J relatif iya. 715

716

T terus gimana bu kalau begitu padahal ibu melihat itu sebagai kekurangan.

717 718 719 720

J nah setelah mengalami, memperaktekan tho, lha kok ternyata saya ngalah terus kok seperti ini., terus saya nilai itu kok agak negatif jadinya.

Ngalahan dan nrima dianggap sebagai

kekurangan (706 - 721

722 723

T Jadi dari situ ibu menilai negatifnya ibunya bu Surti itu? mengajarkan itu tuh tidak baik. Kalau terlalu gitu?

711)


(3)

725 726 727 728

ndak tahu benar atau salah. Tapi itu kadang terlalu mengalah kok ya rugi ya kadang gitu, merasa gitu. Tapi nggak tahu itu benar atau salah.

729 730 731 732

T Itu tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. setelah ibu tahu owhh dipraktekan negatif terus ibu gimana sekarang? Apakah ibu tetap ngalah nrima, atau gimana?

733 734 735

J ya.. kadang berontak juga sekarang, misalnya ada hal-hal yang kok saya ngalah jadi gini ya protes ya protes tidak harus mengalah terus. 736 T tapi tetap ada mengalahnya?

737 738

J iya. Mungkin ya karena diajari dari kecil itu ya

739 T tapi situasi tertentu ndak? 740

741 742 743

J he’em, ternyata ini harus tidak harus ngalah kalau hal seperti ini kadang gitu. Pokoknya segalanya kalau serba terlalu itu ndak baik ya. 744 745 746 747 748 749

T nah ibu tuh kan ibu memilih ibunya bu Surti yang jadi panutan. Emang apa yang membuat itu berbeda bu dari mungkin kakaknya atau bapaknya. Apa yang membuat ibu itu menjadi khusus sehingga ibu memilih ibunya bu Surti sebagai sosok yang.

750 J owh di bandingkan dengan yang lain-lain? 751 T Iya

752 753 754

J kalau disejajarkan mungkin ya ibu dibandingkan dengan bapak ya. nah itu dari sifat-sifatnya jauh. Beda banget.

755 T beda banget gimana bu? 756 J ho’oh

757 T dan ibu lebih menyenangi ibunya Bu Surti? 758 759 760 761 762 763

J he’em. Bapak ki nggak terlalu deket saya. Tidak terlalu dekat. Dari 4 anak itu semua lebih deket sama ibu. kalau mungkin yang sulung itu mungkin sama bapak ibu deket. Tapi kalau yang adik-adiknya lebih deket sama ibu yang saya tahu gitu.

Merasa ada kedekatan dengan sosok ibu (758 – 763)

764 765 766

T kedepannya ibu kedepanya buat diri ibu itu apa. Kedepannya ibu ini orangnya menurut ibu itu apa?

767 768 769 770

J kalau harapannya selalu menuju yang lebih baik, ke yang lebih baik kadang-kadang terlalu mengalah terlalu memikirkan panjang itu jadi ragu-ragu kadang itu. negatifnya.

Belajar dari pengalaman sebelumnya (767


(4)

771 772 773 774 775 776 778

Kadang untuk saya sendiri harus nganu secara pribadi saya merasa harus lebih berani bersikap tegas. Karena itu tadi terlalu mengalah itu kalau menurut saya itu marakke ragu-ragu, tidak berani bertindak, mikirnya mungkin malah terlalu panjang itu lho. Mungkin.

779 T sudah bu, makasih bu, maaf mengganggu.


(5)

Cluster of Meaning Self Concept Ibu S (52)  Kenangan masa lalu yang kuat

 Kebijaksanaan sosok ibu yang jelas

 Perjuangan sosok ibu dalam membantu keluarga  Kuatnya peranan sosok ibu dalam keluarga  Kerukunan ajaran dari ibu

 Pentingnya harga diri ajaran dari ibu  Sosok ibu sebagai panutan

 Dominan diri daripada suami  Kebijaksanaan diri

 Harapan pada anak yang lebih baik  Keberanian diri

 Nama baik ibu penting

 Kehidupan anak penting bagi sosok ibu  Ada kesamaan dengan sosok ibu  Pemikiran jauh ke depan

 Pengorbanan sosok ibu penting  Perjuangan kehidupan yang lebih baik  Kesadaran ada ajaran sosok ibu yang salah


(6)

Dynamic of Meaning Ibu S (52)

Ibu S memiliki kenangan masa lalu yang selalu terkenang bersama keluarganya. Kebersamaan, dan kekeluargaan yang dirasakan bersama kakak, adik, dan orangtuanya masih terasa. Bagi Ibu S, ibunya adalah sosok yang berperan dalam keluarga dan dapat dijadikan teladan. Kebijaksanaannya dalam menengahi beda pendapat di dalam keluarga dan kegigihannya dalam membantu suami menopang perekonomian keluarga menjadi alasan Ibu S mengatakan ibunya sebagai teladan. Bahkan Ibu S juga ikut membantu untuk menopang perekonomian keluarga. Hingga setelah menikah pun Ibu S memiliki kemampuan juga untuk membantu perekonomian keluarga. Ibu yang mengutamakan kebaikan untuk anaknya juga menjadi alasan sosok ibu sebagai teladan. Selain itu, ibu juga rendah hati kepada semua orang yang membuat dia dihormati banyak orang. Pengalaman Ibu S melihat ibunya dihormati banyak orang membuat dirinya merasa bertanggungjawab menjaga nama baik ibunya.

Ibu juga mengajarkan dan menasehati banyak hal, baik nilai atau prinsip Jawa maupun bukan. Ajaran yang diajarkan adalah selalu mengutamkan kejujuran dan menjaga kerukunan, jangan membuat masalah atau pertengkaran. Ajaran ibu ini membuat Ibu S menjadi mampu melihat bahwa setiap orang memiliki perbedaan. Namun, walaupun diajarkan untuk menjaga kerukunan tidak kemudian Ibu S selalu bersikap diam agar tidak terjadi pertengkaran tetapi Ibu S juga berani mengungkapkan ketidaksukaannya dan sudah berpikiran panjang ke depan apa yang dilakukan. Ibu S juga selalu mengingat nasihat yang diberikan ibunya yaitu untuk jangan minder walaupun tidak punya tapi milikilah bekal kepinteran pasti akan dihargai oleh orang lain. Nasihat ini yang selalu diingat sehingga menjadikan Ibu S memiliki pandangan pendidikan penting dan mengharapkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik daripada orangtuanya. Segala ajaran dan diri positif ibu menjadikan ibu adalah idola bagi Ibu S dan Ibu S memiliki rasa hormat dengan bertanggung jawab menjaga nama baik ibunya. Bagi Ibu S semua pengorbanan yang sudah dilakukan ibunya sangat berarti.

Dari semua kebaikan dan ajaran yang ada di dalam diri, ada ajaran yang diajarkan oleh ibu yang kurang bisa diterima oleh Ibu S setelah dipraktekan langsung yaitu ajaran untuk menjaga keharmonisan dengan mengalah atau nrima. Ajaran tersebut dilihat oleh Ibu S sebagai kekurangan karena sikap tersebut sudah diprotes oleh orang-orang terdekatnya. Ibu S belajar tidak selalu harus mengalah karena nanti bisa jadi kalah sungguhan. Mengalah dan nrima dilakukan Ibu S pada situasi tertentu.

Ibu S juga mengakui memiliki kekurangan, tidak hanya memiliki hal-hal baik yang dipelajari dari ibunya. Kemampuannya berpikiran panjang ke depan disadari Ibu S terkadang menjadikan dirinya salah bersikap, menjadi ragu-ragu dalam bertindak dan mengambil keputusan. Hal ini dilihat merugikan bagi Ibu S. Ibu S berharap dapat lebih berani bersikap tegas.