keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya.
Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk
menyapa seseorang
dan bercakap-cakap
dengannya tanpa
sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan
dengan dia. Alasan utama mengapa setiap pembicaraan antara dua orang Jawa dengan sendirinya mengandaikan suatu penentuan perimbangan sosial terletak
dalam struktur bahasa Jawa sendiri. Bahasa Jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Yang satu, bahasa krama yang
mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya mengungkapkan keakraban yaitu bahasa ngoko.
D. Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi
Significant others merupakan salah satu media dalam pembentukan konsep diri sesorang karena significant others adalah sosok terdekat dalam berinteraksi.
Significant others menjadi simbol dari nilai-nilai yang ada karena nilai-nilai yang ada tersebut dibawa significant others melalui cerita dari interaksi yang ada. Nilai-
nilai tersebut yang diimani dalam pencarian identitas. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan tradisi budaya Jawa yang banyak mengunakan simbolisasi.
Significant others atau orang terdekat hanya sebagai media penyalur untuk mempermudah atau membantu dalam pencarian identitas dan konsep diri.
Pengalaman seseorang berinteraksi dengan significant others adalah pengalaman memperoleh cerita yang berisi aneka nilai-nilai. Bentuk nilai-nilai ini
adalah suatu arketipe dalam diri manusia yang akan membantu membentuk kepribadian identitas seseorang dalam ketidaksadarannya. Arketipe yang
dinarasikan turun temurun menjadi kekuatan dari suatu cerita. Sesuai dengan pendapat Ganz, 2011 dalam artikel yang ditulis dalam The Annual Meeting of the
American Sociological Association di Anaheim, California menuliskan, ”Story
telling is central to social movements because it construct agency, shapes identity, and motives action.” Dapat diartikan cerita adalah pusat dari pergerakan sosial
karena cerita membangun suatu pandangan, bentuk identitas, dan motif dari perilaku. Selain itu Davis juga menyebutkan,
“Stories do not just configure the past in light of the present and future, they also create experiences for and request
certain responses from their audience.” Jadi cerita tidak hanya menyusun masa lalu dalam masa kini dan masa depan, cerita juga membangun pengalaman baru
dan mengharapkan respon tertentu dari para pendengar. Dari cerita-cerita yang diperoleh mampu mempengaruhi konsep dirinya yang dirasakan dan dapat
membuat berfikir untuk bertindak ke depannya. Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang di masyarakat Indonesia
terutama di Jawa menjadi makhluk yang jarang diperbincangkan perannya secara mandiri, mereka lebih cenderung dibicarakan di bawah bayang laki-laki. Adanya
budaya patriarkisme yang berkembang di sistem masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat lebih sering membicarakan peran laki-laki secara lebih
mandiri. Hal tersebut yang menarik perhatian peneliti untuk memahami sosok
perempuan yang pastinya memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda- beda. Informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan
perempuan Jawa karena bagi peneliti perempuan Jawa merepresentasikan perempuan Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan dalam buku On the
Subject of “Java” karya Pamberton 1994 dijelaskan adanya peran budaya Jawa yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya
pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut menjadi gambaran umum diri Indonesia.
Perempuan Jawa secara nilai budaya Jawa merupakan perempuan yang dididik dengan budaya Jawa, memiliki nilai-nilai budaya Jawa serta adanya
pandangan tradisi mengenai perempuan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan yang halus, sopan, menjaga harmoni, menjunjung tinggi keluarga,
memiliki kesetiaan yang tinggi, dan memiliki sikap pengorbanan yang besar Handayani, 2008. Pandangan tradisi kepada perempuan Jawa tersebut muncul
dikarenakan adanya prinsip masyarakat Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap hormat. Nilai-nilai Jawa yang sudah dikenal sejak kecil tersebut tidak akan mudah
hilang seiring dengan waktu walaupun budaya itu bersifat dinamis dapat berubah seiring waktu.
Dalam penelitian, kedudukan perempuan Jawa yang sudah menikah menjadi fokus dalam penelitian ini karena dalam budaya Jawa sistem patriarkisme
sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seperti yang ditulis Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang
perempuan harus pandai macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal
dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak
dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Selain itu dalam pernikahan kompleksitas hidup manusia juga sudah terlihat. Perempuan tidak
dilihat lagi sebagai individu sendirian melainkan dia sudah mendapat sebutan baru yaitu istri atau garwa atau konco wingking dalam budaya Jawa yang memiliki
tanggung jawab suami dan anaknya. Di dalam budaya Jawa, istri diharapkan memiliki konsep cancut tali wanda dan swarga nunut, neraka katut agar
mendukung dan membawa kejayaan suami karena konsep perempuan dalam budaya Jawa adalah perempuan tidak boleh melebihi laki-laki sehingga yang
dapat dilakukan perempuan adalah menjadi pendukung laki-laki Handayani, 2008.
Adanya labelling atau stereotipe budaya Jawa terhadap perempuan tersebut membuktikan betapa budaya atau kultur memberi pengaruh yang besar
terhadap konsep wanita atau perempuan itu sendiri. Setiap budaya memiliki konsep tentang wanita atau perempuan yang berbeda-beda. Pengaruh kultural dan
pedagogis itu diarahkan pada perkembangan pribadi wanita atau perempuan menurut suatu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian
disesuaikan dengan bakat serta kemampuan wanita atau perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat-pendapat umum atau tradisi menurut kriteria-
kriteria feministis tertentu Kartini Kartono, 2006. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan mengenai pengaruh budaya,
“Symbolic cultural psychologists have demonstrated that cultural concepts impart a specific content and mode of operation to emotions,
perceptions, memory, logical reasoning, aggression, child rearing, developmental processes such as the acquisition of language, and
mental illness ” Carl Ratner, 2002
yang berarti psikolog budaya simbolik menunjukkan bahwa konsep budaya memberitahu konten yang spesifik dan modus operasi emosi, persepsi, memori,
penalaran logis, agresi, membesarkan anak, proses perkembangan seperti akuisisi bahasa, dan penyakit mental. Selain itu budaya juga memiliki pengaruh bagi
konsep diri langsung seperti yang disebutkan oleh Carl Ratner 2002 bahwa “Cultural psychologists have investigated the manner in which cultural concepts
serve as filters that mediate perception, memory, self concept, and other psychological phenomena
” yang berarti bahwa psikolog budaya telah menyelediki cara dimana konsep budaya berfungsi sebagai penyaring yang memediasi
persepsi, memori, konsep diri, dan fenomena psikologis lainnya. Dari paparan di atas maka konsep-konsep atau nilai-nilai yang ada dalam
budaya Jawa dapat mempengaruhi bagaimana konsep diri dan konsep perempuan juga. Terutama adanya dua prinsip yang dipegang budaya Jawa yaitu menjaga
kerukunan dan sikap hormat dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri perempuan Jawa.
Adanya konsep diri atau rasa akan diri yang dipaparkan dalam bentuk cerita kehidupan kemudian menentukan bagaimana diri akan bersikap. Cerita
kehidupan ini berada di sini dan sekarang sebagai internalisasi dan sebagai perkembangan narasi diri yang menggambarkan bagaimana individu di sini dan
sekarang memahami siapa dirinya sekarang, sebelumnya, dan menjadi apa di masa depan McAdams, 2006. Konsep diri atau rasa akan diri mempengaruhi pikiran
dan perasaan perempuan Jawa sehingga menggerakkan dan memunculkan orientasi, sikap dan tindakan yang akan dilakukan. Dalam orientasi, pengalaman
yang membentuk konsep diri menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan diri perempuan Jawa yang mampu melakukan the redemptive self.
Interaksi
Gambar. 1 Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan
Orientasi
Significant others Narasi
Budaya Jawa Konsep
Diri Orientasi
32
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab metode penelitian ini, peneliti akan memaparkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Paradigma dan pendekatan
penelitian, fokus penelitian, prosedur penelitian, serta analisis data yang digunakan akan membantu memahami alur berfikir penelitian ini.
A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Suatu pengalaman adalah guru terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mengalami suatu pengalaman dalam
hidupnya. Setiap manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya karena setiap manusia adalah unik. Bagaimana manusia
memandang dan memaknai setiap pengalamannya juga unik, tidak ada yang sama, namun dapat memiliki tema yang sama.
Banyak perempuan Jawa yang dijumpai peneliti selama ini, baik itu tetangga maupun orang terdekat peneliti. Setiap kali peneliti menjumpai atau
berdinamika relasi bersama, peneliti menemukan pengalaman yang berbeda-beda dan unik dari setiap kehidupan yang dimiliki para perempuan Jawa baik itu
perempuan Jawa di desa maupun perempuan Jawa di kota. Selain adanya keunikan dalam setiap pengalaman perempuan Jawa yang kental dan khas
budayanya, ada pola kesamaan yang terbentuk dalam memandang dirinya beserta pembentuknya dan orientasinya. Fokus dari diri perempuan-perempuan Jawa ini