Pengertian Perempuan Jawa TINJAUAN PUSTAKA

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini yaitu pada bab tinjauan pustaka, peneliti akan memaparkan teori-teori yang menjadi bahan tinjauan untuk penelitian. Pengertian perempuan Jawa, pengertian konsep diri, bagaimana masyarakat Jawa beserta kaidahnya, arketipe yang ada dalam diri, dan juga tinjauan kepustakaan dari dinamika bagaimana pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa yang akan dibahas dalam penelitian akan dipahami sebagai landasan pengetahuan dalam memahami konteks penelitian.

A. Pengertian Perempuan Jawa

Istilah perempuan lebih pas dalam membahas penelitian ini daripada kata wanita walaupun banyak buku yang menggunakan kata wanita. Kata “wanita” berasal dari kata wani berani dan ditata diatur. Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan tergantung kepada orang lain yang mengaturnya Handayani, 2008. Ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar dalam Handayani 2008 juga mengungkapkan bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani berani dan tapa menderita. Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh dapat ditemukan banyak perempuan Jawa yang berpuasa demi keberhasilan anaknya dalam menghadapi ujian. Contoh lainnya yaitu ada juga perempuan Jawa yang rela tidak makan yang penting anaknya dapat makan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka lebih pas menggunakan istilah perempuan daripada istilah wanita dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini sosok perempuan dilihat sebagi subjek yang menjadi pema in utama. Kata “perempuan” dipilih karena kata dasar perempuan adalah “empu” yang berarti guru yang bermakna dihargai dan dihormati Handayani, 2008. Penelitian ini ingin menunjukkan sosok perempuan yang dihormati dan berperan. Karakter perempuan Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia loyalitas tinggi. Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun Handayani, 2008. Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam masyarakat Jawa, terutama yang paling terlihat konsepsi paternalistik dalam keluarga yang dimana wanita Jawa menjadi istri dengan istilah konco wingking. Konco wingking yaitu menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan Handayani, 2008. Seorang perempuan tidak selalu menjadi seorang istri akan tetapi dalam budaya Jawa seorang perempuan Jawa juga lebih identik menjadi seorang istri dan berhubungan dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan masyarakat yang muncul bahwa seorang perempuan akan menjadi pembicaraan publik apabila belum menikah. Contohnya adalah berkembangnya istilah perawan tua dalam masyarakat yang dilekatkan pada perempuan yang sudah berumur tetapi belum menikah. Istilah untuk peran perempuan atau wanita Jawa sebagai istri adalah garwa selain istilah konco wingking. Konsepsi garwa istri bukan sekedar konco wingking, melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa belahan jiwa separo dari jiwa. Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberi gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada kanca wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas Handayani, 2008. Dalam keluarga walaupun suami istri adalah dua yang telah menjadi satu, akan tetapi suami atau bapak bagi anak-anaknya adalah tetap kepala keluarga yang mencari nafkah yang tetap harus dihormati. Namun dalam berjalannya kehidupan keluarga, istri atau ibu yang lebih berperan dalam keluarga. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, dan cukup menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan sekolah, pekerjaan, pilihan suami atau istri bagi anak-anaknya. Pada saat-saat kritis, kesulitan ekonomi, bencana, alam, dan sebagainya biasanya ibulah yang mempertahankan keluarganya Handayani, 2008. Y. B. Mangunwijaya dalam Genduk Duku mengatakan bahwa kejayaan suami tergantung dari bagaimana ia dapat belajar dari istrinya bersedia dibenahi perilakunya Handayani, 2008. Kemampuan istri Jawa untuk menjadi kejayaan suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam kesulitan. Cancut tali wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis untuk menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh, tapi juga dalam pelaksanaannya Handayani, 2008. Berkaitan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin seorang perempuan atau wanita Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh melebihi suami Handayani, 2008. Contohnya adalah jika seorang perempuan Jawa ingin bekerja sebisa mungkin untuk tidak bekerja karena dalam budaya Jawa bermaksud menghormati laki-laki yang dimana dalam budaya Jawa berkembang patriarkisme. Seandainya memang tampil dalam sektor publik tetapi tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap menjaga kehormatan suaminya. Sebisa mungkin tidak menyakiti kehormatan suaminya sebagai laki-laki. Selain itu konsep Jawa swarga nunut, neraka katut dimaknai kembali oleh perempuan atau wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri adalah cerminan kepribadian, keberhasilan, bukan kegagalannya sendiri sehingga istri berusaha keras supaya garis hidup suami baik swarga Handayani, 2008. Maksudnya, istri menjadi pendukung suaminya dalam menjalani kehidupan. Istri berada di belakang siap medukung setiap keputusan suaminya. Istilah barunya yang sedang populer adalah “dibalik laki-laki hebat ada peran perempuan atau wanita dibelakangnya”. Walaupun perempuan atau wanita Jawa menghargai suami atau kaum laki- laki dan tetap tidak bertindak melebihi laki-laki tetapi perempuan atau wanita Jawa juga dapat memperoleh kekuatan atau otoritas dalam hidupnya. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” pasif dan memakai cara halus, tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang. Sikap ini dikenal dengan konsep menang tanpa ngasorake Handayani, 2008. Cara halus ini digunakan perempuan atau wanita Jawa sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain melainkan sebaliknya orang merasa dimengerti dan diterima, dengan begitu orang tersebut akan menyerah dengan sadar. Perempuan Jawa yang dididik dalam kultur Jawa mampu mempengaruhi dunia privat dan kebijakan publik justru karena kecerdasan emosional dan kekuatan femininnitasnya. Perempuan Jawa dididik untuk selalu memiliki kesadaran diri melalui kontrol emosi dalam dirinya. Kesadaran diri dalam mengontrol emosi yang muncul membuat perempuan atau wanita Jawa menjadi cukup trampil untuk mengambil posisi yang tepat dalam kondisi sosial tanpa mengganggu harmoni yang ada Handayani, 2008.

B. Konsep Diri