Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri

“Kalau sekarang saya juga harus berjuang untuk anaknya yang di sana membutuhkan biaya yang besar. Gitu. Terus perhitunganne ya tepat. Ngitung- ngitunge.” L, 820-824 “Iya masih berjuang. Anak-anaknya masih da sekolah perlu butuh biaya, butuh ini.. masih harus berjuang ...” L, 901-904 Orientasi diri perempuan Jawa adalah hanya pada diri anak menjadi lebih baik.

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan maka dapat dilihat ada beberapa penjelasan untuk menjelaskan bagaimana konsep diri perempuan Jawa. Pembahasan ini akan dilakukan dengan mengikuti alur pembentukan konsep diri, konsep diri, dan orientasi konsep diri pada perempuan Jawa.

1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri

Konsep diri merupakan identitas setiap individu untuk merasakan akan keberadaan dirinya. Konsep diri perempuan Jawa merupakan konsep diri positif. Perempuan Jawa dapat menyadari, merasakan, dan memahami apa yang sudah dialami dirinya selama ini. Konsep diri perempuan Jawa yang positif ini salah satunya ditunjukkan dari bagaimana perempuan Jawa dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok perempuan yang tangguh, gigih, mandiri, religius, menjaga kerukunan dan memprioritaskan anak. Ketangguhan, kegigihan, dan kemandirian yang dimiliki semata-mata untuk satu tujuan yaitu demi anak-anaknya. Konsep diri perempuan Jawa ini tidak dengan sendirinya muncul tanpa ada sebab melainkan ada proses dibelakangnya yang menjadikan perempuan Jawa seperti itu. Dalam proses pembentukan konsep diri positif tersebut, perempuan Jawa memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan orang-orang. Ada peran orang lain dalam pembentukan konsep diri karena orang lain yang membantu individu untuk menyadari keberadaan dirinya. Individu bukan merupakan makhluk individual saja melainkan juga makhluk sosial, dimana pasti ada interaksi dengan banyak orang. Dari semua pengalaman interaksi individu dengan banyak orang terdapat pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang mampu mengubah diri individu. Pengalaman yang mampu memunculkan hero atau pahlawan dalam hidup setiap individu. Pengalaman tersebut dialami setiap individu berbeda-beda. Ada individu yang melihat hero atau pahlawan bukan dari dalam keluarga, namun ada juga yang melihat dari dalam keluarganya sendiri. Perempuan Jawa memilih sosok yang berpengaruh dan menjadi hero bagi dirinya adalah orangtuanya sendiri. Interaksi perempuan Jawa dengan orangtuanya adalah interaksi yang menghasilkan pengalaman yang paling berarti dalam hidup mereka. Berperannya pengalaman interaksi sosok orangtua dengan perempuan Jawa dalam mempengaruhi hidup menurut Blumer 1969 disebut symbolic interactionism. Symbolic interactionism melihat pemaknaan timbul dari proses interaksi antar orang-orang. Pemaknaan merupakan sebuah produk sosial, sebagai kreasi yang dibentuk melalui kegiatan orang-orang berinteraksi Blumer, 1969. Logika symbolic interactionism bisa membantu untuk memahami bagaimana variasi dalam pendistribusian kekuatan sosial yang bisa mempengaruhi konstruksi, internalisasi, dan pemeliharaan makna Cote Levine, 2002. Dari hasil penelitian, perempuan Jawa menginternalisasi apa yang ada pada diri orangtua dan apa yang ditanamkan orangtua ke dalam dirinya. Penginternalisasian yang dilakukan perempuan Jawa merupakan buah dari hasil pemikiran terhadap pengalaman yang dimilikinya. Setiap episode kegiatan yang dilakukan terintegrasi dengan motif moral dan etika dalam setiap narasi kehidupan Polingkhorne, 1991. Identifikasi diri perempuan Jawa sebagai perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak juga merupakan hasil dari kesadaran dan internalisasi mereka bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang gigih untuk anak. Perempuan Jawa yang memprioritaskan anak merupakan sebuah proses internalisasi dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi feminitas merawat dan penuh perhatian kepada anak dari orangtuanya, baik itu dari bapaknya maupun dari ibunya. Perempuan Jawa yang tangguh, gigih, mandiri menjalani kehidupan baik dalam merawat anak maupun dalam hidup berkeluarga, dan berani berpendapat mengutarakan konsep dirinya merupakan sebuah proses internalisasi dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi maskulinitas yang diperoleh dari orangtuanya baik dari bapaknya maupun dari ibunya. Perempuan Jawa juga menyadari bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang melakukan apapun demi anaknya agar bisa mengenyam pendidikan dan juga orangtua yang menekankan kuatnya doa. Orangtua mereka masih memegang prinsip bahwa tindakan tanpa diimbangi dengan doa adalah suatu yang sia-sia. Menurut informan kegigihan yang dimiliki orangtua para informan perempuan Jawa dalam hal pendidikan anak menunjukkan bahwa anak adalah segala-galanya bagi orangtua. Perjuangan yang dilakukan orangtua kepada para informan tidak hanya dalam hal pemenuhan ekonomi agar anak mampu sekolah namun juga dalam bentuk dukungan moril dengan menemani anak dalam belajar. Informan menyadari juga bahwa orangtua tidak hanya berjuang dalam hal pemenuhan pendidikan tetapi orangtua juga mengharapkan bahwa mereka menyadari pendidikan juga penting selain uang dan kedudukan. Pendidikan mampu menaikkan derajat kehidupan seseorang selain kekayaan. Pendidikan mampu menaikan harga diri seseorang. Pengalaman interaksi yang dibangun menghasilkan kedekatan perempuan Jawa dengan orangtua. Kedekatan ini terbentuk tidak secara reflek disadari oleh perempuan Jawa mampu memberi pengaruh yang besar dalam hidupnya. Kedekatan yang terbentuk karena perempuan Jawa yang the relational self dengan significant others atau orangtua. Budaya Jawa yang kolektivis membuat perempuan Jawa menjadi the relational self. The relational self memberikan dampak yang luas karena secara otomatis terjadi tanpa secara reflek disadari atau disengaja melainkan diaktifkan dengan sedikit usaha, niat, kesadaran dan kontrol secara otomatis Chen, Boucher, Tapias, 2006. Kedekatan ini kemudian menjadi alasan bagi perempuan Jawa memilih sosok orangtua sebagai sosok yang mempengaruhi hidupnya dan menginternalisasikan nilai dari orangtua ke dalam dirinya. Bentuk dari adanya kedekatan perempuan Jawa dengan orangtuanya tergambar dalam bentuk yang bermacam-macam. Orangtua menasehati calon suami anak perempuannya sebelum anaknya menikah, merupakan bentuk bukti gambaran kedekatan orangtua kepada anaknya. Seperti yang diutarakan oleh Ibu C 36 bahwa orangtua Ibu C 36 menasehati calon suaminya untuk memahami anaknya yang suka bekerja. Kedekatan tersebut diakui Ibu C 36 menjadikan dirinya seperti saat ini serta Ibu C 36 tidak bisa membayangkan akan menjadi apa dirinya tanpa orangtua. Bukti bentuk kedekatan lain juga ditunjukan orangtua Ibu E 54 yaitu ketika bapak dari Ibu E 54 sakit, beliau meminta agar Ibu E 54 yang menjaga dan menunggu di rumah sakit. Sosok orangtua hanya sebagai media perantara, sedangkan pengalaman yang mempengaruhi hidup individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki berasal dan membentuk ceritanya sendiri-sendiri. Perempuan Jawa disayang orangtua merupakan suatu pengalaman. Orangtua mengajarkan banyak nilai-nilai serta proses bagaimana diri orangtua berinteraksi dengan perempuan Jawa merupakan sebuah narasi atau cerita dari pengalaman yang dimiliki perempuan Jawa, seperti yang sudah diutarakan semua informan. Cerita-cerita atau narasi- narasi ini merupakan proses komunikasi interaksi individu dengan individu lain maupun dengan lingkungan sosial. Interaksi perempuan Jawa dengan lingkungannya membangun cerita atau narasinya sendiri-sendiri, termasuk juga interaksi perempuan Jawa dengan orangtua membangun narasi bersama orangtua. Cerita-cerita atau narasi-narasi yang dibangun dari pengalaman ini memiliki kekuatan juga merubah hidup individu. Cerita atau narasi secara eksplisit menghubungkan antara pengalaman yang dinarasikan dan kemudian konsep diri dibentuk oleh individu atau informan yang bercerita Pasupathi, Mansour, Brubaker, 2007. Cerita membentuk identitas individu dengan menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan mereka nilai-nilai sosial mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa dan berpikir Gergen dalam Sugiman, 2008. Cerita atau narasi secara eksplisit menghubungkan antara pengalaman yang dinarasikan dan kemudian konsep diri berpotensi dibentuk oleh individu atau informan yang bercerita Pasupathi, Mansour, Brubaker, 2007. Cerita membentuk identitas individu dengan menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan mereka nilai-nilai sosial mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa dan berpikir Gergen dalam Sugiman, 2008. Hal tersebut yang juga terjadi pada budaya Jawa. Nilai- nilai budaya ditanamkan oleh orangtua Jawa kepada perempuan Jawa merupakan hasil narasi dari pengalaman individu dengan lingkungan sosial yang dinarasikan kepada generasi berikutnya. Konsep diri perempuan Jawa dalam budaya Jawa yang kolekivis disebut sebagai the interdependent self. Mereka melihat diri dan hubungan antara diri dan orang lain tidak sebagai sesuatu yang terpisah dari konteks sosial tetapi terhubung dan tidak berbeda dengan orang lain. Mereka termotivasi untuk menemukan jalan agar sesuai dengan orang lain, untuk memenuhi dan menciptakan kewajiban, dan secara umum untuk menjadi bagian dari berbagai hubungan interpersonal Markus Kitayama, 1991 termasuk dengan orang-orang disekitarnya terutama orangtua sebagai sosok yang paling dekat dan yang memiliki interaksi paling banyak bagi perempuan Jawa. Identitas perempuan Jawa yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang masih melekat dengan kebudayaan Jawa membuat konsep dirinya juga tidak lepas dari nilai budaya Jawa. Identitas personal dan sosial bisa dipahami sebagai bagian dari bentuk operasional kognitif dari konsep diri Cote Levine, 2002. Nilai-nilai dan prinsip hidup budaya Jawa diperoleh perempuan Jawa secara turun temurun yang menjadi narasi publik melalui orangtua. Dua prinsip hidup orang Jawa seperti yang dikatakan Magnis Suseno 1984 yang sudah ternarasikan secara turun temurun yaitu sikap hormat dan menjaga kerukunan. Menurut informan, orangtua sudah mendidik nilai-nilai dan prinsip hidup tersebut dari kecil. Orangtua mendidik untuk menjaga kerukunan yang ada baik dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Selain kerukunan, orangtua juga mendidik kedisiplinan yang menciptakan kemandirian. Orangtua tidak membiarkan anak menjadi mandiri tidak bertanggungjawab sehingga orangtua juga mendidik kesederhanaan dan kerelaan tanpa pamrih. Orangtua melakukan itu dengan harapan di masa yang akan datang jika anak sudah mandiri dan sukses mereka tidak lupa untuk hidup sederhana serta tidak lupa untuk melakukan dan menerima dengan ikhlas, tanpa pamrih apapun yang dilakukan atau diterima. Pemilihan sosok orangtua sebagai seorang yang mempengaruhi hidup dilakukan perempuan Jawa juga berdasarkan prinsip hidup dalam budaya Jawa yang ada. Prinsip hidup orang Jawa yaitu memiliki sikap hormat terhadap sosok yang lebih tua membuat perempuan Jawa yang merupakan sosok the interdependent self semakin tidak bisa lepas kedekatan mereka dengan orangtua yang mereka hormati. Sikap hormat yang ada di hidup orang Jawa bukan merupakan sikap hormat yang lahir dari kepribadian melainkan oleh status orang yang bersangkutan dan bahwa yang ditegaskan bukan perasaan hormat, melainkan sikap lahiriahnya H. Geertz dalam Magnis Suseno, 1983. Adanya tradisi budaya Jawa yaitu sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya yang menyebabkan seseorang memiliki rasa hormat kepada status atau peranan seseorang Herusatoto, 1984. Rasa hormat atau sikap hormat seorang anak kepada orangtuanya sudah ditanamkan oleh orangtua dari kecil karena merupakan bentuk mengikuti norma budaya dalam masyarakat yang terdapat dalam identitas atau peranan sosial dalam masyarakat. Perempuan Jawa sebagai anak terkadang memandang sikap hormat ini sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan karena jika tidak dirinya akan merasa ada hukuman yang diperoleh. Situasi tersebut sering menimbulkan tekanan emosional yang berat, yang menurut situasi masing-masing, bisa lebih bersifat wedi takut, isin malu atau sungkan malu-malu H. Geertz, 1961. Hal tersebut dialami oleh Ibu N 68. Ia dari kecil sudah diajarkan sopan santun kepada orang yang lebih tua oleh orangtuanya. Ajaran ini dilakukan orangtua dengan disiplin dan dengan gaya zaman kolonial sehingga membuat Ibu N 68 tidak ada keberanian untuk melawan orangtua. Apapun yang ada di dalam diri orangtua baik positif, negative, maupun ajaran yang diberikan oleh orangtua diterima perempuan Jawa sebagai suatu pengalaman yang membentuk dirinya. Seperti yang dikatakan Ibu N 68 bahwa ia suka segala kondisi bapak dan mengatakan bapak itu sempurna.

2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa