Orangtua Jawa melihat bahwa usaha tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritual kepada Tuhan tidak akan berhasil. Kedua kombinasi tersebut dimiliki oleh
orangtua Jawa.
b. Sisi negatif dari orangtua
Orangtua tidak selalu terlihat sempurna tanpa cacat dalam mendidik anaknya, melainkan ada juga sikap negatif orangtua yang diberikan kepada anak.
Sikap negatif tersebut disadari para informan kurang pas, yaitu sikap untuk nrima akan apapun. Sikap itu dipandang oleh informan perempuan Jawa merupakan
sikap orangtua yang kurang pas karena akan merugikan diri sendiri juga. “Aaa.. anu... menurut saya selalu mengajarkan untuk ngalah, nrrima,
terus. Dari ngalah, nrima, apa lagi ya.. itu ternyata kalau di betul-betul dipraktekan, ngalah jadi kalah tenan.
” S, 702-706 Sikap negatif orangtua yang lain adalah menurut informan perempuan
Jawa, orangtua dalam mendidik dengan tegas tanpa basa-basi nilai-nilai yang ada. Ketegasan ini menurut informan membuat informan menjadi sangat menghormati
orangtua mereka karena mereka ada rasa takut dengan orangtua. “... Saben abis dinei jarang, jarang sing digodok itu disitu kan makin
lama makin dingin terus minum glek glek glek sambil berdiri ndak boleh. Arepa aku wis ngombe okeh wareg njupuk gelas lungguh, kon
mbaleni ngombe. Disuruh ngulang tapi sambil duduk nggak boleh sambil berdiri.
” ... setiap setelah dikasih air panas, air panas yang direbus itu di situ kan makin lama makin dingin terus minum glek
glek glek sambil berdiri itu tidak boleh. Walaupun aku sudah minum banyak sampai kenyang, ambil gelas terus duduk disuruh mengulang
minum. Disuruh mengulang tetapi dengan duduk tidak boleh dengan berdiri N, 532-539
Kekurangan orangtua Jawa yang lain yaitu berperilaku tidak adil kepada anak-anaknya yang tidak disadari oleh orangtua. Informan perempuan Jawa
terkadang merasa sakit hati dengan perilaku orangtua mereka tersebut.
“lha itu kakakku kuwi padahale sekolahe ya sekolah SKP, tapi ibuku itu nek nggawekke klambi ki ora gelem kok terus dijahit dewe, ibuku
njahit dewe itu nggak untuk kakak itu, dijahitke ning nggone cina, nggon modiste. Gitu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku aku kan
dadi kakakku perempuan terus kakakku lanang terus aku. Nah kan iki cewek cewek, kan namanya iri kan mesti ana. Eyang ini dibuatkan
sendiri dijahit sendiri nganggo mesin ithik-ithik kae. Mesin jaman mbiyen ngene kae. Kan hasilnya beda, namanya yo wong kreatifitase
wong mbiyen kae ki kan wes pokoke wes oblong-oblong ngono
.” lha itu kakakku itu padahal sekolahnya ya sekolah SKP, tapi ibuku itu
kalau membuatkan baju tidak mau menjahit sendiri, ibuku itu menjahit sendiri bukan untuk kakak, dijahitkan di tempatnya cina, di
modiste. Seperti itu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku, jadi kakakku perempuan kemudian kakaku laki-laki terus aku. Nah kan
cewek cewek, kan namanya iri pasti ada. Eyang ini dibuatkan sendiri, dijahitin sendiri pakai mesin jahit jaman dulu itu. Kan hasilnya beda,
namanya juga kreatifitasnya orang jaman dulu itu kan yang penting oblong-oblong N, 350-364
“Pernah suatu saat saya pengen sesuatu seperti ini ibu nggak belikan. Itu pernah suatu hari ibu itu pergi ke Bandung, saya minta dibelikan
sepatu. Ini peristiwa waktu masih kecil dan saya inget terus, sudah saya kasih ukuran saya pake tali rafia. Bu, ini nanti ukuran sepatu
saya. Ternyata yang saya tunggu-tunggu, ibu saya kondur, ini ibu nggak membelikan saya. Justru membelikan kepada tante saya. Nah
ini saya sakit hati.
” I, 179 -188 Sakit hati yang dirasakan hanya dipendam dalam diri perempuan Jawa, mereka
tidak mampu untuk mengatakan kepada orangtua mereka. Adanya ketakutan dan hormat dengan orangtua yang disiplin menjadi salah satu alasan mereka
melakukan itu.
c. Sistem nilai yang diberikan orangtua