Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yaitu: sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
cultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih menurut Mansour Fakih 1996:8, diberikan beberapa contoh:
“Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari
sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki- laki yang emosional, lemah lembuh, keibuan. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa.”
Sejarah perbedaan gender gender differences antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial
maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara Fakih, 1996:6. Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender itu pada
akhirnya dianggap sebagai ketentuan tuhan. Dimana jenis kelamin laki-laki harus bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan harus bersikap feminim,
sebagaimana streotype yang telah dikonstruksikan. Setiap penyimpangan akan di tolak dalam peran struktural masyarakat.
2.1.8 Konstruksi Sosial
Gender
Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil
konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. Fakih, 1996:10. Menurut Wijaya 1991:156 keberadaan konstruksi gender yang
berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
“1. Adat kebiasaan. 2. Kultur.
3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak. 4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi perbedaan gender.
5. Struktur yang berlaku. 6. Kekuasaan.”
Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan streotype yaitu pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain
stereotype laki-laki maskulinitas dan stereotype perempuan feminitas secara obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin yang bernilai positif, yaitu:
mandiri, sangat agresif, tidak emosional, sangat obyektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat
keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya Wijaya, 1991:157. Disamping terdapat butir-butir stereotipe maskulinitas yang positif,
terdapat pula butir-butir stereotipe feminine yang bernilai positif seperti: tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan,
mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. Wijaya, 1991:156 Mansour Fakih 1991:17 juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki
anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan di nomorduakan. Stereotipe
terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana dan gender merupakan akar dari ketidakadilan akibat stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh
kultur masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilakukan tersebut adalah kodrat Tuhan.
Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat tuhan karena
sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan dalam Fakih 1996:72 yaitu:
“perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari
waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis sex akan tetap tidak berubah.”
Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari
sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan
perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse 1996:65:
“pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah
patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki- laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada
dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”
Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur social
yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas disini tidak di dasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi social di
mana perempuan berada pada posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas.
Sehingga timbulnya ketidakadilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.
2.1.9 Budaya Patriarki