13
kelamin,  namun  dalam  arti  sebenarnya  arti  majazi.  Penggunaan  kata  untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu sendiri.
Ulama  golongan Syafi’iyah  ini  memberikan  definisi  sebagaimana
disebutkan  di  atas  melihat  kepada  hakikat  dari  akad  itu  bila  dihubungkan dengan  kehidupan  suami  istri  yang  berlaku  sesudahnya,  yaitu  boleh  bergaul
sedangkan  sebelum  akad  tersebut  berlangsung  di  antara  keduanya  tidak  boleh bergaul.
11
Muhammad  Abu  Zahrah  di  dalam  kitabnya  al-ahwal  al-syakhsyiyyah, mendefinisikan  nikah  sebagai  akad  yang  menimbulkan  akibat  hukum  berupa
halalnya  melakukan  persetubuhan  antara  laki-laki  dengan  perempuan,  saling tolong  menolong,  serta  menimbulkan  hak  dan  kewajiban  diantara
keduanya.
12
Dengan redaksi  yang berbeda, imam  Taqiyyudin  di  dalam Kifayat al-Akhyar  mendefinisikan  nikah  sebagai,  ibarat  tentang  akad  yang  masyhur
yang terdiri dari rukun dan syarat, serta yang dimaksud dengan akad adalah al- wat’ bersetubuh.
13
Definisi  yang  diberikan  oleh  ulama-ulama  fikih  di  atas  bernuansa biologis.Nikah  dilihat  hanya  sebagai  akad  yang  menyebabkan  kehalalan
melakukan  persetubuhan.Hal  ini  semakin  tegas  karena  menurut  al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-
wat‟ persetubuhan.
14
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 37.
12
Muhammad  Abu  Zahrah,  al-Ahwal  al-Syakhsyiyyah,  Qohirah:  Dar  al-Fikr  al-Arabi, 1957, hal. 19.
13
Taqiyyudin  Abu  Bakar  bin  Muhammad  al-Husaini,  Kifaratul  Akhyar  Juz  II,  Jakarta: Dar al- Kutub al-Islamiyah, 2004, hal. 35.
14
Amir Nuruddin dan  Azhari akmal Tarigan,  Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis  Perkembangan  Hukum  Islam  Dari  Fikih,  UU  No.  11974  sampai  KHI,  Jakarta:  Prenada
Media Group, 2006, hal. 39-40.
14
Menurut  perspektifFikih  yang  mana  telah  dijelaskan  oleh  Wahbab  al Zuhaily,  mengenai  perkawinan  adalah  akad  yang  membolehkan  terjadinya
istimta’  persetubuhan  dengan  seorang  wanita,  atau  melakukan  wathi’,  dan berkumpul  selama  tersebut  bukan  wanita  yang  diharamkan  baik  sebab
keturunan atau sepersusuan.
15
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah : “Ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami
istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  rumah  tangga  yang  bahagia  dan kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa”.  Pengertian  perkawinan
terdapat lima unsur didalamnya adalah sebagai berikut : a.
Ikatan lahir bathin b.
Antara seorang pria dengan seorang wanita c.
Sebagai suami istri d.
Membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal. e.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan bahwa
ikatan  suami  istri  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa,  perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari Agama
yang  dianut  suami  istri.Hidup  bersama  suami  istri  dalam  perkawinan  tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri
tetapi  dapat  membentuk  rumah  tangga  yang  bahagia,  rukun,  aman  serta harmonis antara suami istri.
15
Wahbah  al-Zuhaily,  al-Fiqh  al-Islami  Wa  Adillatuhu  Juz  VII,  Damsyiq:  Dar  al-Fikr, 1989, hal.29.
15
B. Hukum Perkawinan
Hukum  melakukan  perkawinan  menurut  jumhur  ulama  bahwa perkawinan  itu  hukumnya  adalah  sunnah.  Golongan  Zhahiriyah  berpendapat
perkawinan itu hukumnya wajib. Ulama Malikiyyah Mutaakhirin berpendapat bahwa  perkawinan  itu  wajib  bagi  sebagian  orang,  sunnah  untuk  sebagian
lainnya dan mubah untuk segolongan orang yang lain.
16
Selain  itu,  menurut  al-Jaziry  mengatakan  bahwa  sesuai  dengan  keadaan orang  yang  melakukan  perkawinan,  hukum  kawin  berlaku  untuk  hukum-
hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah mandub dan  mubah.
17
Ulam a Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah
mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan makruh.
18
Terlepas  dari  pendapat  para  imam  mazhab,  berdasarkan  nash-nash  baik Al-
Qur’an  maupun  Sunnah  Al-Hadist  Islam  sangat  menganjurkan  kaum muslimin  yang  mampu  untuk  melangsungkan  perkawinan.  Namun,  kalau
dilihat  dari  segi  kondisi  orang  yang  melaksanakan  serta  tujuan melaksanakannya.  Maka  melakukan  perkawinan  itu  dapat  dikenakan  hukum
wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.
1. Melakukan Perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi  orang  yang  telah  mempunyai  kemauan  dan  kemampuan  untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak
kawin,  maka  hukum  perkawinan  bagi  orang  tersebut  adalah  wajib.  Hal  ini
16
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,Beirut:Dar al-Fikr,t.th, jilid II, hal.2.
17
Abdurrahman  al-Jaziry,  Kitab  al- Fiqh  „ala  al-madzahib  al-Arba‟ah,  Mesir:  Dar  al-
Irsyad, t.th, jilid VII, hal.4.
18
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al- Fiqh „ala al-madzahib al-Arba‟ah, hal.6.
16
didasarkan  pada  pemikiran  hukum  bahwa  setiap  muslim  wajib  menjaga  diri untuk tidak berbuat yang terlarang.
19
2. Melakukan Perkawinan yang hukumnya sunnah
Bagi  orang  yang  telah  mempunyai  kemauan  dan  kemampuan  untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan
berbuat  zina,  maka  hukumnya  adalah  sunnah.Sekalipun  demikian  perkawinan adalah  lebih  baik  baginya,  karena  Rosulullah  melarang  hidup  sendirian  tanpa
kawin. 3.
Melakukan perkawinan yang hukumnya haram Bagi  orang  yang  tidak  mempunyai  kemauan  dan  tidak  mempunyai
kemampuan  serta  tanggung  jawab  untuk  melakukan  kewajiban-kewajiban rumah  tangga.  Sehingga  apabila  melangsungkan  perkawinan  akan  terlantar
dirinya dan istrinya, maka hukumnya adalah haram. 4.
Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh. Bagi  orang  yang  mempunyai  kemampuan  untuk  melakukan  perkawinan
juga  cukup  mempunyai  kemampuan  untuk  menahan  diri  sehingga  tidak memungkinkan  dirinya  tergelincir  dari  perbuatan  zina  sekiranya  tidak
kawin.
20
Hanya  saja  orang  ini  tidak  mempunyai  keinginan  yang  kuat  untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri yang baik.
5. Melakukan perkawinan yang hukumya mubah
Bagi  orang  yang  mempunyai  kemampuan  untuk  melakukannya,  tetapi apabila  tidak  melakukannya  tidak  dikhawatir  akan  berbuat  zina  dan  apabila
19
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, hal. 18-19.
20
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, hal. 21.
17
melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya  didasarkan  untuk  memenuhi  kesenangan  bukan  dengan  tujuan  menjaga
kehormatan  agamanya  dan  membina  keluarga  sejahtera.  Hukum  mubah  ini juga  ditujukan  bagi  orang  yang  antara  pendorong  dan  pnghambatan  untuk
kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin,  seperti  mempunyai  keinginan  tetapi  belum  mempunyai  kemampuan,
mempunyai  kemauan  untuk  melakukan  tetapi  belum  mempunyai  kemauan yang kuat.
C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Rukun adalah sesuatu yang harus ada, yang menentukan sah dan tidaknya suatu  pekerjaan  ibadah  dan  sesuatu  itu  termasuk  dalam  rangkaian  pekerjaan
itu.Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidak sahnya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkain  pekerjaan  itu,  selain  itu  sah  adalah  suatu  pekerjaan  ibadah  yang
memenuhi rukun dan syarat.
Menurut  jumhur  ulama  rukun  perkawinan  ada  lima  dan  masing-masing rukun  itu  memiliki  syarat-syarat  tertentu.  Adapun  rukun  dan  syarat  sahnya
perkawinan antara lain sebagai berikut:
1. Calon suami, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya