Tujuan Perkawinan KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

25 tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. 26 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu cenderung untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik. Sebagaimana dinyatakan dalam Al- Qur’an surat Yusuf ayat 53: Artinya: “….sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan… Q.S. Yusuf :53. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagian, yang mana dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya.Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga. 26 Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, hal. 28. 26 Selain itu, Allah menjadikan keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk keluarga dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. Sebagaimana yang tertera dalam Al- Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yakni: Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berfikir” Q.S. Ar-Ruum :21.

E. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Fuqoha

Batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil.Kebolehan tersebut karna tidak ada ayat Al- Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya 6 tahun dan menggaulinya setelah umur 9 tahun. 27 Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam perkawinan adalah 15 tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat batas usia tersebut adalah 17 18 tahun. 28 27 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, hal. 66 28 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, hal.90 27 Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al- Qur’an atau hadits nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al- Qur’an dan begitu pula ada hadits Nabi secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun Al- Qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 6: Artinya: “ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya ‟‟. Dari ayat ini dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu, maksudnya sudah baligh. Agama Islam tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seseorang yang telah sanggup kawin.Al- Qur’an dan hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslim untuk menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk kawin sesuai dengan isyarat atau tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan diundang-undangkan. 29 Para ulama menentukan batas umur itu dengan dalil “maslahah mursalah’’, artinya dengan ditetapkan umur minimal bagi calon mempelai agar telah matang jiwa dan raganya.Dengan kematangan jiwa dan raga, diharapkan mendapatkan kebaikanmaslahat. 30 29 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal 12 30 Narson Haroen, Ushul Fiqih I, Jakarta: PT Logos Ilmu, 1997, hal 123 28 Hadits nabi menjelaskan bahwa yang diperintah kawin ialah orang-orang yang telah berumur sedemikian rupa, sehingga sanggup melakukan hubungan suami istri, memperoleh keturunan, berdasarkan hadits: Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada kami Rosulullah saw: “ Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan mata dan memelihara faraj.Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa.Maka puasa itu adalah perisai baginya‟‟. H.R. Jamaah Ulama Hadits “Asy-Syabaab’’ berarti orang yang berumur antara 25 dan 31 tahun, seperti umur Nabi Muhammad saw, ketika ia kawin dengan Khodijah ra, yaitu umur 25 tahun. “Asy-Syabaab’’ itulah yang diperintahkan kawin oleh Rosulullah SAW. Hadist di atas dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menetapkan umur yang paling tepat untuk melaksanakan perkawinan, sehingga perkawinan itu mencapai tujuannya. 31 Para ahli fiqih sepakat bahwa dibolehkan bapak atau kakek mengawinkan anak-anak atau cucu-cucu mereka yang belum dewasa tanpa minta izin kepada yang bersangkutan terlebih dahulu. Pendapat ini didasarkan kepada perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah ra yang waktu itu Aisyah belum baligh. Mazhab Syafi’i menganjurkan sebaiknya bapak atau kakek tidak mengawinkan 31 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987 hal. 40-41