Pemilik Usaha .1 Pak Tupon Dan Buk Lasmiem
88
rata-rata bisa mendapatkan uang Rp.50.000, dengan asumsi itu pemilik usaha olahan ubi kayu mendefinisikan sendiri konsep kerugian.
Konsep kerugian yang dikatakan oleh pemilik usaha olahan ubi kayu di daerah Pegajahan mengidentifikasi bahwasannya terdapat sebuah pola pikir
sendiri yang terdapat pada masyarakat di Pegajahan khususnya yang memiliki usaha olahan ubi kayu. Pengetahuan yang mereka dapat tentang konsep-konsep
tersebut tentu diperoleh dari pengalaman mereka sendiri dalam proses produksi pengolahan ubi kayu.
4.3 Pemilik Usaha 4.3.1 Pak Tupon Dan Buk Lasmiem
Buk Lasmiem merupakan seorang wanita berusia 40 tahun yang memiliki seorang suami bernama Pak Tupon yang berusia 42 tahun. Mereka mempunyai
tiga orang anak, 2 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sudah menikah. Anak terakhir beliau masih kelas 5 SD seorang laki-laki. Anak kedua
mereka sudah bekerja di PT Aquafarm Nusantara yang berlokasi di Nagakisar. Sementara anak pertama mereka sudah menikah dan menetap di Medan.
Buk Lasmiem dan pak Tupon memulai usaha mie rajang pada tahun 2002. Mereka memulai usaha dengan memproduksi puluhan kilogram ubi. Mereka
masih bekerja berdua saja tidak ada bantuan dari orang lain. Mereka memutuskan untuk membuat usaha tersebut karena melihat tetangga mereka yang mempunyai
usaha seperti itu memperoleh hasil yang lumayan dan dapat di andalkan. Mereka mengetahui cara membuat mie rajang dari tetangga mereka yang
bernama Pak Saharudin dan Buk Ba‟iyah. Mereka belajar dengan memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
89
apa yang dilakukan oleh mereka. Setelah mereka mengerti cara membuatnya mereka pun mulai mencoba untuk membuat usaha tersebut.
Dahulu ketika masih awal mereka masih mencari ubi sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu karena usaha kunjung baik maka mereka menambah
bahan baku mereka hingga saat ini mereka memproduksi 400 kg ubi per hari. Saat ini mereka menggunakan jasa agen ubi. Agen ubi mereka mengantarkan ubi
sebanyak 400 kg setiap hari kecuali ketika agen tidak memperoleh ubi. Selain itu pak Tupon juga pernah mencoba untuk menjadi agen dengan
memasarkan sendiri hasil olahan mereka dan mencari mie dari orang lain namun hal tersebut hanya berjalan selama kurang lebih satu bulan. Pak Tupon berhenti
menjadi agen mie karena ia merasa kasihan melihat Buk Lasmiem yang bekerja sendiri dirumah. Buk Lasmiem sangat kerepotan dengan semua pekerjaan
membuat mie tersebut bahkan ia harus mencari kayu sendiri untuk proses pengukusan. Hal tersebut yang membuat pak Tupon berhenti menjadi agen mie.
Buk Lasmiem menggunakan agen ubi dan agen mie yang lepas dan tidak terikat. Untuk agen ubi ia memang hanya menggunakan satu agen saja tetapi
tidak terikat. Untuk agen mie rajang ia tidak ada yang berlangganan dengan satu agen karena banyak agen yang datang untuk mencari mie rajang. Buk Lasmiem
akan mencari agen yang memberi harga yang termahal. Untuk masalah harga Ia yang menentukan mau menjual mie dengan harga berapa, apabila tidak sesuai
dengan satu agen Ia akan menunggu agen lain datang hingga sepakat dengan harganya.
Universitas Sumatera Utara
90
Dalam proses produksi Buk Lasmiem memiliki 3 orang pegawai, 2 orang untuk proses pengupasan dan 1 orang untuk proses ngeletrek. Selebihnya mereka
sendiri yang melakukan produksi mie rajang tersebut. Mereka menggunakan jasa pegawai kurang lebih sudah 7 tahunan.
Buk Lasmiem tidak menambah lebih banyak lagi produksinya karena keterbatasan lahan untuk menjemur. Ada keinginan untuk menambah proses
produksi namun karena keterbatasan lokasi penjemuran membuat ia tidak menambah produksinya. Selain itu Buk Lasmiem mengatakan bahwa uang
seberapa banyak pun dicari tetap saja kurang, dan rasa cukup itu datang ketika merasa bersyukur. Selagi mereka tidak kekurangan maka sudah merasa cukup
untuk bisa tetap menjalani hidup. Dalam produksinya mereka tidak dipengaruhi oleh waktu, maksudnya tidak
ada waktu-waktu tertentu yang membuat mereka menambah produksi mereka melainkan mereka tetap dengan produksi yang biasa. Sebelum memproduksi mie
rajang dulunya pak Tupon bekerja mocok-mocok dan nggalas serta menjadi kenek montor sawit. Saya sempat bertanya mengapa ia tidak bekerja di perkebunan, Ia
berkata bahwa ia tidak suka bekerja diperusahaan, karena ia bekerja atas dasar terpaksa bukan karena kemauan sendiri. Ia tidak pernah berkeinginan untuk
bekerja diperkebunan, walaupun abang beliau bekerja diperkebunan. Dari bekerja memproduksi mie rajang Pak Tupon dan Buk Lasmiem memperoleh peningkatan
perekonomian, Pak Tupon tidak lagi kerja diluar rumah untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka cukup bekerja dirumah saja sudah bisa mencukupi
kebutuhan hidup mereka.
Universitas Sumatera Utara
91