Perkawinan Pertunjukan Onang-Onang di Kota Medan

77

4.2 Pertunjukan Onang-Onang di Kota Medan

Onang-Onang sebagai ekspresi seni memiliki dua bentuk pertunjukan, yaitu dalam bentuk pertunjukan ritual dan pertunjukan hiburan. Dua bentuk pertunjukan Onang-Onang bertujuan untuk memberi nilai ritual dalam konsumsi Onang-Onang secara terbatas dan menguatkan nilai budaya sedangkan dalam hiburan, Onang-Onang memberi nilai keberlangsungan seni tradisi dalam rentang waktu dan menjadi konsumsi seni bagi seluruh lapisan masyarakat.

4.2.1 Perkawinan

Penggunaan pertunjukan Onang-Onang pada acara perkawinan berfungsi sebagai bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau tokoh adat Mandailing dan kehadiran tokoh adat juga sebagai suatu bentuk restu kepada perkawinan tersebut. Ajang pertunjukan Onang-Onang dalam perkawinan ini sebagai bentuk sarana silaturahim diantara mereka selain itu bagi anggota masyarakat yang ingin mempergunakan Onang-Onang pada acara perkawinannya terlebih dahulu harus mengetahui makna sebenarnya dari penggunaan Onang-Onang tersebut dan juga harus dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diminta dan ditetapkan oleh paronang-onang beserta tokoh-tokoh adat. Paronang-onang menyanyikan Onang-Onang tidak hanya dengan bahasa sehari- hari namun di dalamnya juga terdapat kata yang memiliki makna yang tidak mengandung pengertian yang harafiah. Universitas Sumatera Utara 78 Pada contoh teks berikut : “Leng mulak ma on hata baya di lidung i Tu hamu baya dua simanjujungi.” “ingin kami sampaikan kembali kepada kedua pengantin Dalam upacara perkawinan.” Secara harafiah kata simanjujung artinya adalah kepala tetapi dalam teks tersebut sebenarnya digunakan untuk melambangkan kedua pengantin yang akan diberkati. “Tatap hamu bo amang da baboru munu i songoni dohot namboru munu i Di na dolok na marpabaya rumpean i Di na holong le marsiluat tunas i.” Lihatlah bapak, anakmu yang menikah ini dan juga ibu yang memiliki sikap hormat yang bangga kepada kedua orangtua.” Kata dolok memiliki arti sebagai bukit dan rumpean memiliki arti sebagai tempat tinggal. Namun pada kalimat tersebut menunjukkan kepada sikap kedua mempelai yang menjunjung tinggi rasa hormat kepada kedua orang tua. Dan kata tunas sebenarnya memiliki arti tunas pohon, namun pada kalimat tersebut tunas menunjukkan kepada orang tua, karena tunas adalah awal munculnya sebuah pohon. Kata-kata dalam Onang-Onang juga selalu berkisar diantara kata mangupa “memberi” dan tondi “semangat” yang menunjukkan makna memberi nasihat kepada pengantin sudah dimulai. Contoh Onang-Onang dalam bentuk upacara perkawinan yang dikemukakan oleh informan penelitian Ucok Lubis 34 Tahun adalah : “Na landit ma sitarak onang Landitan mamolus ria-ria, onang Lobian na matean ina, onang boya.” Universitas Sumatera Utara 79 “licin jalan ke sitarak lebih licin melewati rawa-rawa lebih dari kematian ibu” Onang-Onang dalam bentuk acara perkawinan seperti contoh diatas tersebut memberikan gambaran mengenai bentuk kehidupan yang nantinya dijalani oleh pengantin, kehidupan yang penuh dengan tantangan. Dalam masyarakat Mandailing, kosa kata Onang-Onang yang dipakai dalam upacara perkawinan berbeda dengan bahasa Onang-Onang lainnya. Oleh sebab itu, penggunaan kosakata dalam ragam bahasa Onang-Onang memerlukan pengetahuan budaya bagi penggunanya agar sesuai dengan peristiwa penggunaannya. Hal ini terlihat dalam pengkomunikasianny, dalam Onang-Onang upacara perkawinan, kosakata kata yang digunakan adalah kosakata ragam susastra. Paronang-onang cenderung memilih kosakata yang indah dan ekspresif. Onang-Onang dalam upacara adat perkawinan disampaikan secara lisan dan setiap ucapan diakhiri dengan kata Onang-Onang. Penutur menyampaikan tuturan secara berganti-ganti antara mora, kahanggi, dan anakboru. Ketiga kelompok ini secara spontan mengucapkan larik-larik dengan nada suara yang bergelombang, irama yang mengalun untuk menonjolkan isi Onang-Onang yang berupa nilai-nilai budaya masyarakat Mandailing agar ditaati atau dilaksanakan. Onang-Onang dalam upacara perkawinan disimbolkan dalam bentuk beberapa benda, misalnya ulos kain adat, piso pisau, dan makanan telur, garam, sirih. Dalam upacara pernikahan, orang yang melakukan upacara mengucapkan Onang-Onang dengan khidmat menyelimuti pengantin dengan ulos atau meyuapkan telur kepada pengantin oleh orang yang termasuk Dalian Na Tolu Universitas Sumatera Utara 80 dan dianggap lebih berkhasiat apabila disertai Onang-Onang. Ada pendapat bahwa dalam Onang-Onang ditampilkan cara mencari ilmu, kekayaan, perilaku terhadap Tuhan, Onang-Onang berisi petunjuk hidup bermasyarakat menurut kebudayaan Mandailing. Onang-Onang perkawinan merupakan salah satu jenis Onang-Onang, bentuknya berupa puisi yang terikat pada aturan tertentu. Pilihan kata disesuaikan dengan pokok persoalan, misalnya Onang-onang perkawinan yang berintikan penjelasan tentang bagaimana cara kedua pengantin menghadapi persoalan hidup sedemikian rupa agar perilaku mereka sesuai dengan adat tradisi masyarakat Mandailing. Pada upacara perkawinan, masing-masing unsur Dalian Na Tolu, bergiliran membawakan Onang-Onang. Ada aturan urutan siapa yang lebih dahulu berbicara dan urutan itu tampaknya mempengaruhi bentuk tuturan yang dipakai pada peristiwa adat perkawinan Mandailing. Tidak semua anggota masyarakat yang melakukan upacara perkawinan dapat menggunakan Onang-Onang, pada awalnya penggunaan Onang-Onang dalam upacara perkawinan hanya sebatas pada kalangan raja dan bangsawan. Selain terbatasnya penggunaan, syarat pelaksanaan juga mewajibkan memotong Kerbau sebagai tanda bahwa upacara tersebut termasuk dalam upacara besar atau horja siriaon. Ucok Lubis 34 Tahun salah seorang informan penelitian mengatakan : “antara adat dan hiburan, antara adat harus dudukkan raja, harus kita bawa sirih, harus kita bawa perangkat adat, bendera semua. Jadi kalau hiburan, khusus untuk alat kesenian, gondang, gordang, ogung, talempong, sarune, suling dan tali sasayak itulah perangkat.” Universitas Sumatera Utara 81 Penggunaan Onang-Onang secara adat dan ritual perkawinan membutuhkan kehadiran raja karena Onang-Onang hanya dapat dipergunakan oleh raja untuk kepentingan raja dan masyarakat tersebut, kehadiran raja memegang peran penting dalam penyelenggaraan ritual yang menggunakan Onang-Onang, selain itu juga diperlukan adanya sirih dan segala perangkat adat dalam upacara perkawinan sebagai persyaratan utama penyelenggaraan Onang- Onang. Kehadiran raja dalam penggunaan Onang-Onang berkaitan dengan kondisi kehidupan masyarakat Mandailing pada masa lalu yang hidup dalam bentuk kelompok-kelompok tempat tinggal. Dalam suatu kelompok tinggal ripe yang terdapat dalam satu huta terdapat istana raja atau bagas godang yang selalu dibangun berhadapan dengan balai musyawarah atau sidang adat yang disebut dengan sopo godang. Namun penggunaan Onang-Onang pada masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan merupakan suatu bentuk penggunaan dengan menghadirkan perwakilan dari sosok raja tersebut yang dimanifestasikan pada diri pengetua adat atau yang dianggap sebagai tokoh adat pada masyarakat Mandailing di Kota Medan sehingga hal ini mereduksi peran dari bagas godang, sopo godang dan alaman silangse utang sebagai suatu kesatuan wujud kekuasaan seorang raja. Ucok Lubis 34 Tahun mengatakan bahwa : “kalau di Medan ini sudah kebiasaan tak begitu, kalau siapalah ada keturunan raja dia bisa pakai Onang-Onang, sebenarnya kalau sekarang bisa dipakai orang itu tidak perlu pake raja.” Universitas Sumatera Utara 82

4.2.2 Melahirkan