Risiko Deviasi Pendapatan dan Belanja Negara

2.1.2 Risiko Deviasi Pendapatan dan Belanja Negara

Risiko deviasi pendapatan dan belanja negara diungkapkan untuk memberikan informasi atas berbagai kemungkinan terjadinya deviasi pada penerimaan dan belanja negara. Deviasi pendapatan dan belanja negara diukur dari selisih antara target penerimaan dan pagu belanja negara dengan realisasinya. Hal ini dilakukan guna merumuskan langkah-langkah kebijakan ( policy measures) yang akan ditempuh oleh Pemerintah dalam mengamankan APBN.

Dalam risiko deviasi pendapatan dan belanja negara akan dibahas mengenai risiko pelaksanaan pemungutan pajak, pengeluaran yang diwajibkan ( mandatory spending), dan kualitas belanja negara.

2.1.2.1 Risiko Pelaksanaan Pemungutan Pajak

Pada tahun 2016 penerimaan perpajakan ditargetkan meningkat sekitar 5,1 persen dari APBNP tahun 2015 atau 14,5 persen dari perkiraan realisasi tahun 2015. Dalam upaya mencapai target tersebut, Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan antara lain, pertama menyempurnakan sistem teknologi informasi untuk memperkuat dan memperluas basis data perpajakan. Kedua, melakukan transformasi kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik terkait perbaikan proses bisnis, pengembangan kapasitas dan kompetensi pegawai serta penguatan Kantor Pusat dan Unit Vertikal. Ketiga, secara terus menerus Pemerintah menyempurnakan peraturan perundangan di bidang perpajakan termasuk melakukan pengajuan perubahan UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Keempat, Pemerintah akan meningkatkan upaya penegakan hukum seperti peningkatan penagihan aktif melalui blokir rekening, penyitaan aset, pencegahan ke luar negeri, dan penyanderaan ( gijzeling). Kelima, akan dilakukan upaya ekstensifikasi perpajakan melalui peningkatan kepatuhan dan intensifikasi termasuk dengan meningkatkan penggalian potensi pajak Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) dengan sasaran Orang Pribadi Golongan Pendapatan Tinggi dan Menengah Atas, dan mengenakan pajak pada sektor ekonomi informal termasuk UKM melalui pendekatan end-to-end process.

Dalam pelaksanaannya, terdapat risiko bahwa upaya-upaya tersebut tidak terlaksana secara optimal sehingga belum mendukung pemenuhan target penerimaan perpajakan seperti yang diharapkan. Di tingkat operasional, apabila transformasi kelembagaan DJP tidak berjalan seperti yang diharapkan, maka hal tersebut dapat mengurangi efektivitas organisasi dalam upaya memenuhi target penerimaan perpajakan termasuk terkait dengan kurangnya jumlah dan kapasitas Account Representative, pemeriksa, juru sita, dan penyidik. Selain itu, terdapat risiko bahwa upaya penguatan law enforcement belum efektif, sehingga banyak pemeriksaan dan penyidikan pajak belum membawa efek jera ( deterrent) bagi WP lain. Upaya ekstensifikasi perpajakan juga berhadapan dengan risiko kegagalan karena belum didukung basis data perpajakan yang memadai. Dampak dari tidak tercapainya target penerimaan pajak karena risiko tersebut di atas akan berpengaruh pada meningkatnya defisit sehingga perlu dicarikan sumber pembiayaannya.

2.1.2.2 Pengeluaran Negara yang Diwajibkan (Mandatory Spending)

Pengeluaran negara yang diwajibkan ( mandatory spending) adalah pengeluaran negara untuk program-program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Ketentuan perundangan yang mewajibkan pengeluaran negara di antaranya sebagai berikut

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

1. Kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/APBD.

2. Kewajiban penyediaan dana perimbangan berupa DAU sekurang-kurangnya sebesar

26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, DBH, dan DAK sesuai ketentuan UU Nomor

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3. Penyediaan dana otonomi khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sesuai UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) dan Provinsi Papua yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat (sesuai UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang). Besaran dana otonomi khusus dimaksud masing-masing sebesar 2 (dua) persen dari DAU Nasional.

4. Alokasi dana kesehatan sekurang-kurangnya sebesar 5 (lima) persen dari APBN di luar gaji, sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

5. Alokasi dana desa sekurang-kurangnya sebesar 10 (sepuluh) persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pengeluaran yang diwajibkan ini mengakibatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi terbatas, sehingga ketika target penerimaan tidak tercapai, maka defisit anggaran akan membesar. Hal tersebut dapat membuat Pemerintah harus menambah pembiayaan anggaran atau memotong belanja K/L. Pengeluaran negara yang diwajibkan disajikan dalam Grafik III.2.4. Rata-rata proporsi belanja wajib terhadap belanja negara dalam rentang periode 2010-2014 mencapai 79,3 persen. Selanjutnya, pada tahun 2015 proporsi belanja wajib mengalami penurunan menjadi 73,7 persen. Hal ini memberikan dampak terhadap kenaikan ruang fiskal secara signifikan, seperti ditunjukkan pada Grafik III.2.5. Ruang fiskal pada tahun 2014 sebesar 22,0 persen meningkat menjadi 30,2 persen di dalam APBNP tahun 2015. Kenaikan ruang fiskal ini terutama karena dampak dari kebijakan subsidi tetap untuk minyak solar dan penghapusan subsidi untuk premium.

GRAFIK III.2.4 BELANJA WAJIB DAN BELANJA TIDAK WAJIB TAHUN 2010 - 2015

2.500 triliun Rp

Belanja Wajib

Belanja Tidak Wajib

Belanja Wajib (% thd Belanja Negara)

Belanja Wajib (% thd Pendapatan)

Sumber: Kementerian Keuangan

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

GRAFIK III.2.5

RUANG FISKAL DALAM PAGU INDIKATIF TAHUN 2011 - 2015

triliun Rp persen

Kebutuhan Fiskal

Kapasitas Fiskal

Ruang Fiskal

% Ruang Fiskal thd Belanja Negara

Sumber: Kementerian Keuangan

2.1.2.3 Kualitas Belanja Negara

Belanja negara dapat dikatakan berkualitas apabila efisien baik dari sisi alokasi, teknis maupun ekonomi. Efisiensi alokasi terkait dengan alokasi belanja yang disesuaikan dengan kebutuhan, tepat sasaran pada sektor-sektor kunci dan mendukung fungsi-fungsi pokok. Efisiensi teknis merefleksikan bahwa belanja dilaksanakan dengan mekanisme dan proses bisnis yang sederhana oleh birokrasi yang efisien sehingga dapat mempercepat penyerapan. Efisiensi ekonomi berkaitan dengan peran belanja dapat menjaga stabilitas ekonomi makro, mendukung pembangunan infrastruktur yang memadai guna mendukung daya saing. Kualitas belanja dapat diukur dari sejauh mana belanja tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tampak dari adanya output dan outcome yang produktif, penggunaan yang memberikan manfaat yang optimal, dan nilai tambah positif yang ditimbulkan.

Dalam hal peningkatan kualitas belanja, Pemerintah berhadapan dengan berbagai tantangan. Tantangan yang pertama adalah ruang gerak fiskal (fiscal space) yang terbatas. Tantangan kedua terkait dengan daya serap yang belum optimal dan adanya penumpukan belanja pada kuartal terakhir. Rendahnya daya serap tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain lambatnya proses administrasi di kementerian negara/lembaga (K/L), seperti proses

pelelangan, penetapan pejabat perbendaharaan, dan belum siapnya pelaksana-pelaksana kegiatan di lapangan. Hal lain yang juga memengaruhi daya serap adalah kehati-hatian K/L dalam pengelolaan anggaran, terkait kepastian hukum. Selain itu, adanya kendala teknis seperti pinjaman dan hibah luar negeri yang belum efektif dan permasalahan perijinan/pengadaan/ pembebasan lahan juga bisa memperlambat daya serap belanja.