Dukungan dan/atau Jaminan Pemerintah pada Proyek Pembangunan Infrastruktur

2.2.1 Dukungan dan/atau Jaminan Pemerintah pada Proyek Pembangunan Infrastruktur

Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW Tahap I dan Tahap II, proyek percepatan pembangunan jalan tol, percepatan penyediaan air minum, dan proyek dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha atau yang biasa dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Pemberian dukungan/jaminan ini membawa konsekuensi fiskal bagi Pemerintah, dalam bentuk peningkatan kewajiban kontinjensi Pemerintah yang kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN apabila terjadi kegagalan.

2.2.1.1 Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I

Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat, Pemerintah antara lain telah menetapkan kebijakan untuk memberikan penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik. Penugasan kepada PT PLN (Persero) tersebut dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

Batubara sebagaimana telah diubah terakhir dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 193 Tahun 2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara (10.000 MW atau Fast Track Program Tahap I).

Dalam rangka mendukung penugasan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT LN (Persero) kepada kreditur atau perbankan yang memberikan pinjaman untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dimaksud. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan kredit PT PLN (Persero) dalam mencari pinjaman ( credit worthiness) sekaligus menurunkan biaya modal atas pendanaan proyek. Kebijakan ini diharapkan akan mempercepat penyelesaian proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik pada FTP I sehingga masalah kekurangan pasokan listrik dapat teratasi.

Proyek-proyek dalam program FTP I tersebut dibiayai dari anggaran PT PLN (Persero) dan pembiayaan perbankan. Porsi pembiayaan perbankan mencakup sekitar 85 persen dari total kebutuhan dana pembangunan pembangkit dan transmisi. Hingga 30 Mei 2015, Pemerintah telah mengeluarkan 35 Surat Jaminan Pemerintah ( Letter of Guarantee).

Risiko fiskal yang timbul dengan adanya jaminan penuh Pemerintah (full credit guarantee) terjadi ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu sehingga Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN. Dalam hal terjadi gagal bayar kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur FTP I, maka Pemerintah akan segera melakukan pembayaran kepada kreditur dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak kreditur menyampaikan bahwa PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajibannya.

Beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain berupa komitmen subsidi dari Pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta kekurangan pasokan batubara. Mulai tahun 2012, kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur sudah memasuki periode kewajiban pembayaran bunga dan pokok atas pinjaman.

Dalam struktur penjaminan FTP I, Pemerintah selaku penjamin melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa PT PLN (Persero) mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu.

2.2.1.2 Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) II

Pemerintah menerapkan kebijakan untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan dalam pembangkit tenaga listrik untuk mengurangi dampak gejolak harga minyak bumi terhadap besaran subsidi listrik di masa yang akan datang. Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Pemerintah terhadap dunia internasional terkait pengurangan emisi karbon. Kebijakan ini dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penugasan

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas (10.000 MW atau Fast Track Program Tahap II) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Peraturan Presiden Nomor 194 Tahun 2014.

Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 beserta perubahannya merupakan landasan dan dasar hukum bagi PT PLN (Persero) untuk menjalankan penugasan. Di sisi lain, Peraturan Presiden ini juga mengamanatkan Pemerintah untuk memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kelayakan usaha PT PLN (Persero). Jaminan kelayakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini dilaksanakan dalam bentuk garansi (bukan penanggungan/ borgtocht) dan hanya diberikan kepada proyek pembangkit tenaga listrik yang dibangun melalui kerja sama antara PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta dengan skema jual beli tenaga listrik ( Independent Power Producer/IPP). Dengan skema penjaminan dalam bentuk garansi ini, maka Pemerintah akan memampukan PT PLN (Persero) dalam hal PT PLN (Persero) sebagai satu-satunya pihak pembeli listrik gagal memenuhi kewajiban finansial tagihan listrik yang dihasilkan oleh proyek IPP terkait maupun ketika terjadi risiko politik yang mengakibatkan proyek tidak dapat dilanjutkan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listriknya (PJBTL).

Adapun daftar nama proyek yang berhak mendapat penjaminan kelayakan usaha tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara Dan Gas Serta Transmisi Terkait dan perubahannya. Sampai dengan bulan Juni 2015, Pemerintah telah mengeluarkan sembilan Surat Jaminan Kelayakan Usaha untuk proyek IPP dalam FTP II.

Adapun faktor-faktor risiko yang dapat memengaruhi keberlangsungan proyek maupun kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban finansial kepada pengembang listrik swasta, antara lain kebijakan tarif dan subsidi, perizinan, fluktuasi nilai tukar, dan kenaikan harga BBM. Dalam struktur penjaminan FTP II, Pemerintah selaku penjamin berkewajiban melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa PT PLN (Persero) mampu memenuhi kewajiban kepada pengembang listrik swasta secara tepat waktu.

2.2.1.3 Percepatan Penyediaan Air Minum

Dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi masyarakat dan untuk mencapai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah memandang perlu untuk mendorong peningkatan investasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Upaya tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan akses PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional melalui kebijakan pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor

29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Dalam pelaksanaannya, pemberian jaminan dan subsidi bunga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.011/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum.

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

Jaminan Pemerintah Pusat terhadap kredit investasi PDAM diberikan sebesar 70 persen dari jumlah pokok kredit investasi PDAM yang telah jatuh tempo, sedangkan sisanya sebesar

30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Tingkat bunga kredit investasi yang disalurkan bank kepada PDAM ditetapkan sebesar BI Rate ditambah paling tinggi sebesar 5 (lima) persen. Dari jumlah tersebut, tingkat bunga sebesar BI Rate akan menjadi kewajiban PDAM, sedangkan sisanya akan menjadi subsidi yang dibayarkan oleh Pemerintah Pusat. Jaminan atas kewajiban finansial PDAM serta subsidi bunga tersebut akan dibayarkan Pemerintah melalui skema APBN. Apabila PDAM tidak mampu untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya, maka Pemerintah akan segera melakukan pembayaran kepada kreditur dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima permintaan pembayaran tertulis dari kreditur.

Risiko fiskal yang mungkin terjadi dari penjaminan ini, yaitu apabila PDAM gagal memenuhi kewajiban finansial atas kredit investasinya yang jatuh tempo kepada perbankan. Beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi kemampuan PDAM dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain adalah tingginya tingkat kehilangan air ( non revenue water/NRW), tingginya biaya operasional, profesionalisme manajemen internal PDAM, serta penetapan tarif air minum (oleh Pemerintah Daerah/Kepala Daerah) yang berada di bawah harga keekonomian. Sampai dengan bulan Januari 2015, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 11 (sebelas) Surat Jaminan Pemerintah Pusat terkait proyek PDAM.

Di dalam Perpres 29 Tahun 2009 dinyatakan bahwa jaminan dan subsidi bunga Pemerintah pusat hanya diberikan kepada Bank yang melakukan penandatanganan perjanjian kredit investasi dengan PDAM sampai dengan tanggal 31 Desember 2014. Namun demikian, kewajiban penjaminan terhadap program ini masih berlaku sampai berakhirnya perjanjian

kredit paling lambat 31 Desember 2034.

2.2.1.4 Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur

Proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah adalah proyek Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) pertama yang diadakan berdasarkan dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagaimana telah diubah terakhir melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2013. Proyek ini merupakan salah satu proyek yang dinyatakan Pemerintah dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) 2006 sebagai model proyek.

Pemerintah dalam hal ini PT PLN (Persero) telah melaksanakan proses lelang proyek, hal mana menetapkan pemenang yaitu PT Bimasena Power Indonesia (BPI). Pada tanggal

6 Oktober 2011, PT PLN (Persero) dan PT BPI telah melakukan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA). Guna mendukung pelaksanaan PPA, pada tanggal yang sama telah dilakukan penandatanganan dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek. Proyek tersebut mendapatkan penjaminan dengan skema penjaminan bersama antara Pemerintah dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Proyek ini ditargetkan beroperasi komersial ( Commercial Operation Date/COD) pada tahun 2017. Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Pengadaan Infrastruktur disajikan dalam

Boks III.2.2.

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

BOKS III.2.2 KERJA SAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENGADAAN INFRASTRUKTUR

Ketersediaan infrastruktur yang memadai dari sisi kualitas maupun kuantitas merupakan faktor utama untuk mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebutuhan akan infrastruktur tersebut memerlukan anggaran yang besar. Di sisi lain, kemampuan keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur sangat terbatas. Keterbatasan anggaran tersebut mendorong Pemerintah untuk mencari terobosan dengan skema atau model pengadaan infrastruktur yang berbeda. Salah satu model pengadaan infrastruktur yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah adalah dengan peningkatan partisipasi pihak swasta. Upaya ini dilaksanakan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau dikenal juga dengan istilah Public Private Partnership (PPP).

Untuk mendukung upaya tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah terakhir berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005.

Seiring berkembangnya sektor infrastruktur yang dianggap potensial untuk dikerjasamakan, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagai peraturan pengganti Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005.

Dalam peraturan ini, KPS yang selanjutnya disebut dengan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) didefinisikan sebagai kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, cakupan jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan tidak hanya kepada infrastruktur ekonomi tapi juga diperluas kepada infrastruktur sosial. Selain itu, proses seleksi Badan Usaha dimungkinkan untuk diadakan melalui penunjukan langsung apabila merupakan KPBU dengan kondisi tertentu dan proses prakualifikasi Badan Usaha hanya menghasilkan satu peserta.

Untuk mendukung pengembangan infrastrukur dengan skema KPBU, Pemerintah juga telah mendirikan PPP Unit yang selanjutnya disebut Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (Dit. PDPPI) di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan. Unit ini bertugas untuk mengelola fasilitas Dukungan Pemerintah untuk proyek dengan skema KPBU.

Fasilitas-fasilitas Dukungan Pemerintah tersebut adalah: a. Penyiapan proyek KPBU dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan melalui lembaga pembiayaan

infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)) dengan skema Project Development Fund (PDF);

b. Dukungan Kelayakan atau biasa disebut Viability Gap Fund (VGF) atas sebagian biaya konstruksi terhadap proyek KPBU;

c. Penjaminan risiko infrastruktur yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)).

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

Penyiapan proyek melalui skema PDF merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Penanggung Jawab Proyek (PJP) dalam rangka mempersiapkan proyek KPBU agar menarik dan siap ditawarkan kepada investor. Saat ini terdapat dua proyek yang mendapat fasilitas ini yakni Proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta-Manggarai dan Proyek Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur.

Dukungan kelayakan proyek kerja sama dalam hal ini merupakan dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek

kerja sama. Dukungan kelayakan bertujuan untuk: (1) meningkatkan kelayakan finansial proyek kerja sama; (2) meningkatkan kepastian pengadaan proyek kerja sama dan pengadaan badan usaha pada proyek kerja sama sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan; dan (3) mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini, Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan prinsip Dukungan Kelayakan untuk tiga proyek KPBU yakni Proyek SPAM Bandar Lampung, Proyek SPAM Umbulan, dan Proyek SPAM Semarang Barat.

Di sisi penjaminan, Pemerintah bersama dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII) telah memberikan penjaminan untuk proyek IPP PLTU Jawa Tengah (2 x 1000 MW) setelah mengalami kemunduran jadwal tanggal pemenuhan pembiayaan ( financial close date) dikarenakan pembebasan lahan yang belum selesai. Pemerintah telah menargetkan bahwa proyek ini mulai beroperasi pada tahun 2017. Selain Proyek IPP PLTU Jawa Tengah, PT PII (Persero) dan Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan penjaminan kepada proyek mulut tambang

9 dan 10 di Sumatera Selatan yang saat ini sedang dalam proses pelelangan. Adapun skema penjaminan yang akan dilakukan adalah penjaminan bersama/ co-guarantee dengan Pemerintah atas prinsip pembagian risiko ( risk sharing).

Selain fasilitas yang disediakan tersebut, Pemerintah dapat memberikan dukungan dalam bentuk insentif perpajakan dan/atau kontribusi fiskal dalam bentuk finansial berdasarkan usulan Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah.

Merujuk pada amanat Perpres Nomor 38 Tahun 2015, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 untuk penerapan skema Availability Payment (AP) yang merupakan salah satu struktur pembiayaan guna memastikan pengembalian investasi bagi Badan Usaha (swasta) dalam skema KPBU. AP diharapkan dapat meningkatkan minat berinvestasi karena adanya kepastian pengembalian investasi bagi Badan Usaha. AP akan dibayarkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah selaku PJPK pada masa operasi dengan suatu komitmen pembayaran jangka panjang berdasarkan target kinerja yang telah disepakati sehingga mengurangi risiko pendapatan Badan Usaha.

Proyek Palapa Ring adalah proyek KPBU pertama yang memakai skema Availability Payment (AP) di Indonesia. Proyek ini merupakan proyek pembangunan jaringan tulang punggung serat optik nasional yang menghubungkan kota/kabupaten di seluruh Indonesia dengan menghubungkan jaringan sepanjang 8.479 km di 57 kabupaten/kota yang tidak dijangkau oleh penyelenggara telekomunikasi. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah c.q. Kementerian Komunikasi dan Informatika berkomitmen untuk membayar AP Palapa Ring sesuai dengan yang diatur di dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

2.2.1.5 Risiko Penugasan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera

Dalam rangka mendorong pengembangan kawasan di Pulau Sumatera, dan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional serta dalam rangka pelaksanaan Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2010-2025, Pemerintah perlu mempercepat pembangunan jalan tol di Sumatera. Untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi namun tidak layak secara finansial dilakukan melalui pengusahaan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya ditugaskan kepada PT Hutama Karya (Persero). Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.

Berdasarkan Pasal 6 Perpres Nomor 100 Tahun 2014, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk memberikan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran PT Hutama Karya (Persero) atas pendanaan berupa penerbitan obligasi dan pinjaman dari lembaga keuangan.

Risiko fiskal yang timbul dengan adanya jaminan Pemerintah (credit guarantee) terjadi ketika PT Hutama Karya (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat

waktu, sehingga Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN.

Beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi kemampuan PT Hutama Karya (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain berupa komitmen PMN dari Pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, dan tingkat kelayakan proyek untuk masing-masing ruas. Peraturan pelaksanaan atas pemberian Jaminan Pemerintah sedang dalam proses penyusunan di Kementerian Keuangan. Mengingat penugasan yang diberikan kepada PT Hutama Karya (Persero) merupakan pembangunan ruas jalan tol yang layak secara ekonomi namun tidak layak secara finansial, maka dengan adanya penundaan PMN yang merupakan bagian ekuiti dari proyek pembangunan Jalan Tol di Sumatera, PT Hutama Karya (Persero) akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan alternatif pembiayaan sehingga terdapat risiko terhambatnya pembangunan akibat ketidaktersediaan pembiayaan.