Risiko Program Jaminan Sosial Nasional, Program Pensiun, dan THT PNS

2.2.2 Risiko Program Jaminan Sosial Nasional, Program Pensiun, dan THT PNS

Secara filosofi, Pemerintah sebagai penanggung jawab dari program jaminan sosial nasional dan program pensiun serta THT PNS. Risiko fiskal dari program ini berasal dari potensi defisitnya kondisi keuangan dana jaminan sosial dan perubahan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah.

Dalam risiko program jaminan sosial nasional dan program pensiun serta THT PNS akan dibahas mengenai risiko penyelenggaraan program jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, dan program pensiun serta THT PNS.

2.2.2.1 Program Jaminan Sosial Nasional

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), mulai 1 Januari 2014 Indonesia menjalankan sistem jaminan sosial yang baru. Hal ini ditandai dengan transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan serta

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Adapun BPJS Ketenagakerjaan mulai menjalankan program Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Juli 2015. Program Ketenagakerjaan terdiri atas program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), program Jaminan Kematian (JKm), program Jaminan Hari Tua (JHT), dan program Jaminan Pensiun (JP).

Program SJSN diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap pengentasan kemiskinan, perlindungan atas kebutuhan dasar hidup yang layak, bahkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah berpandangan bahwa program ini merupakan investasi besar bagi masa depan bangsa. Meski demikian, Pemerintah menyadari bahwa apabila tidak didesain dan dikelola dengan baik, program SJSN berpotensi menjadi salah satu sumber risiko fiskal.

Untuk tahun 2016, potensi risiko fiskal dari implementasi program SJSN berasal dari program JKN yaitu kondisi kesehatan keuangan dana jaminan sosial (DJS) Kesehatan.

Program Jaminan Kesehatan

Dalam pelaksanaan program JKN yang telah dimulai sejak tanggal 1 Januari 2014, tantangan yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan adalah tingginya animo masyarakat untuk bergabung menjadi peserta BPJS Kesehatan, terutama dari kelompok masyarakat sektor informal atau segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan program JKN langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi ini juga menimbulkan ancaman terhadap kesinambungan program JKN pada masa-masa selanjutnya, mengingat juga terjadi fenomena adverse selection atau kondisi dimana peserta mendaftar pada saat menderita sakit. Kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya rasio klaim (perbandingan antara total iuran peserta dengan total biaya pelayanan kesehatan) yang menjadi penyebab utama terganggunya kesehatan keuangan DJS. Berdasarkan data per Desember 2014, rasio klaim segmen peserta PBPU mencapai 617,4 persen sedangkan segmen Non-PBPU mencapai 79,9 persen, sebagaimana disajikan pada Tabel III.2.5. Untuk sektor PBPU, jumlah rasio klaim dalam tahun 2015 cenderung menurun.

TABEL I I I .2.5 RASI O KLAI M SEKTOR PBPU DAN NON-PBPU

Per 31 Desember 2014

1. Jumlah peserta (jiwa) 9.052.859 124.370.794 133.423.653 2. Iuran Peserta (Miliar Rp)

1.885,4 38.834,4 40.719,9 3. Biaya Pelkes (Miliar Rp)

Rasio klaim (%)

Sumber : BPJS Kesehatan Selain itu, sumber risiko program JKN adalah ketidaksesuaian antara besaran iuran yang

telah ditetapkan dengan besaran manfaat yang dibayarkan kepada penyedia jasa kesehatan. Penentuan besaran iuran program JKN, baik bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun peserta non-PBI, menggunakan pendekatan aktuaria dan telah diuji dengan ketahanan fiskal. Penyebab teknis ketidaksesuaian iuran adalah keterbatasan data, data utama

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

yang digunakan dalam menghitung besaran iuran saat itu masih menggunakan data historis dengan skema fee for service. Sementara pada pelaksanaannya, sebagian besar program JKN menggunakan skema INA-CBG’s dimana secara prinsip skema ini merupakan paket tarif untuk tiap diagnosa penyakit. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan risiko fiskal apabila besaran klaim yang dibayar berdasarkan paket tarif INA-CBG’s secara umum lebih besar dibanding besaran iuran yang ditetapkan.

Risiko lainnya adalah selama tahun 2014 implementasi sistem rujukan JKN dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas dan klinik keluarga) ke rumah sakit tidak berjalan maksimal dan adanya moral hazard (unbundling atau up coding).

Berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2014 audited, kondisi diatas menyebabkan kondisi keuangan DJS mengalami defisit, serta berpotensi meningkat di tahun 2015 dan tahun 2016 apabila tidak dilakukan langkah-langkah strategis baik oleh BPJS Kesehatan maupun Pemerintah.

Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor

24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin keberlangsungan program JKN. Hal ini terbukti pada APBNP tahun 2015 dimana Pemerintah mengalokasikan PMN kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp3,5 triliun untuk membiayai kegiatan operasional BPJS Kesehatan sebagai pengganti dana operasional yang tidak dibebankan kepada DJS Kesehatan. Dengan tidak dibebankannya dana operasional tersebut, diharapkan kondisi kesehatan keuangan DJS Kesehatan dapat terjaga.

Program Jaminan Ketenagakerjaan

Program jaminan ketenagakerjaan mulai dilaksanakan pada 1 Juli 2015. BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan empat program jaminan ketenagakerjaan yang terdiri dari program jaminan kecelakaan kerja (JKK), program jaminan hari tua (JHT), program jaminan pensiun (JP), dan program jaminan kematian (JKm).

Dari keempat program tersebut, program pensiun merupakan program baru di Indonesia. Program ini diyakini memiliki dampak yang signifikan di masa mendatang apabila tidak didesain dengan baik. Pemerintah dalam mendesain program Jaminan Ketenagakerjaan mempertimbangkan dan menyeimbangkan 3 (tiga) hal penting, yaitu kecukupan manfaat ( adequacy), kemampuan membayar (affordability), dan kesinambungan program ( sustainability).

T A BEL I I I .2.6 RASIO KLAIM PROGRAM KET ENAGAKERJAAN

Proyeksi s.d.

Klaim Rasio

Su m ber : BPJS Ketena ga ker ja a n

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

Potensi risiko fiskal yang berasal dari implementasi program Ketenagakerjaan SJSN di tahun 2016 relatif kecil, jika mempertimbangkan proyeksi rasio klaim keempat program tersebut yang masih sangat rendah. Rasio klaim program ketenagakerjaan disajikan pada Tabel III.2.6.

2.2.2.2 Program Pensiun dan Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri

Pemerintah telah menyelenggarakan program pensiun dan tabungan hari tua bagi PNS dan TNI/Polri sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian yang diberikan. Risiko fiskal penyelenggaraan program pensiun pegawai negeri, terutama berasal dari peningkatan jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun. Sejak tahun anggaran 2009, pendanaan pensiun pegawai negeri seluruhnya menjadi beban APBN. Faktor-faktor yang memengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya adalah jumlah pegawai negeri yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok pegawai negeri, dan meningkatnya pensiun pokok pegawai negeri. Perkembangan pembayaran manfaat pensiun pegawai negeri sipil dan TNI-Polri disajikan dalam Grafik III.2.6.

GRAFI K I II.2.6 PEMBAY ARAN MANFAAT PENSIUN PNS DAN TNI/POLRI,

t r iliun Rp

Sementara itu, risiko fiskal dari progam Tabungan Hari Tua PNS dan TNI/Polri berasal dari unfunded past service liability (UPSL) yang menjadi kewajiban Pemerintah seiring dengan kebijakan meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan menaikkan gaji pokok PNS dan TNI/ Polri. Atas UPSL tersebut, Pemerintah telah melakukan pembayaran pada tahun 2012- 2014 dan merencanakan pembayaran UPSL tahun 2015 sebesar Rp3,4 triliun dengan rincian pada

Tabel III.2.7.

T ABEL III.2.7 RINCIAN PEMBAY ARAN UPSL

Rencana No.

Realisasi Pembayaran

Uraian UPSL

3T 2. UPSL PT Asabri (Persero)

1. UPSL PT Taspen (Persero) Tahun 2007-2011

0,4 T Tahun 2001-2012

1,1 T

3. UPSL PT Taspen (Persero) Tahun 2012-2013

7,6 T

Jumlah

1T

1T

2T

3,4 T

Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

PT Taspen (Persero) mencatat adanya akumulasi UPSL yang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikkan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 sampai dengan 2011 berdasarkan due diligence BPKP dan telah ditetapkan Pemerintah sebesar Rp19,2 triliun, dan UPSL tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 sebesar Rp7,6 triliun. Sedangkan PT Asabri (Persero) mencatat adanya akumulasi UPSL yang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikkan gaji pokok TNI/ Polri sejak tahun 2001 sampai dengan 2012 sebesar Rp1,1 triliun. Jumlah UPSL setiap tahun tersebut akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya orang yang pensiun dan adanya kebijakan Pemerintah menaikkan gaji pokok PNS dan TNI/Polri.