Risiko Fiskal Tertentu

2.3 Risiko Fiskal Tertentu

Selain risiko deviasi APBN, dan risiko kewajiban kontinjensi Pemerintah Pusat terdapat sumber risiko fiskal tertentu yang berasal dari risiko bencana, stabilisasi harga pangan, tuntutan hukum kepada Pemerintah, risiko transaksi internasional, dan risiko program pembiayaan perumahan pada masyarakat berpenghasilan rendah.

2.3.1 Risiko Bencana

Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus dalam perekonomian sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang sangat dinamis dan mengakibatkan potensi bencana gempa, tsunami dan gerakan tanah/longsor. Selain itu, Indonesia mempunyai banyak gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkan tanggung jawab pada pundak Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, diantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana, dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan tahap prabencana (pengurangan risiko bencana), saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

Besaran alokasi dana kontinjensi didasarkan pada pengalaman historis kebutuhan bantuan Pemerintah untuk daerah-daerah yang mengalami bencana alam yang sering terjadi namun dengan skala yang relatif kecil (seperti banjir, gempa bumi berkekuatan relatif kecil atau tanah longsor). Pengalaman dari bencana besar yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini juga menunjukan pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi atas bencana-bencana besar makin meningkat sehingga tidak dapat dipenuhi hanya dari anggaran dana kontinjensi bencana alam. Perkembangan dana cadangan penanggulangan bencana alam tahun 2010-2015 disajikan

dalam Grafik III.2.9.

Grafik III.2.9 PERKEMBANGAN DANA CADANGAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM TAHUN 2010 - 2015 (miliar rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan dan BNPB *Realisasi SABA s.d. November

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

Biaya rehabilitasi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaran publik. Sebagai contoh, bencana Tsunami Aceh/Nias tahun 2004 menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih dari Rp40,0 triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 lebih dari Rp29,0 triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksi senilai lebih dari Rp37,0 triliun untuk Aceh dan Nias, serta sekitar Rp1,6 triliun untuk Yogyakarta.

2.3.2 Stabilisasi Harga Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, secara ekplisit ditegaskan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Dalam menjaga stabilisasi harga pangan, beberapa kendala/risiko yang dihadapi oleh Pemerintah, diantaranya kurangnya ketersediaan pangan, gejolak harga pangan, bantuan pangan korban bencana alam, serta keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan ancaman produksi pangan yang disebabkan kegagalan produksi pangan akibat kejadian diluar kendali manusia seperti bencana alam, kekeringan, dan gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Selain itu, sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas juga menyebabkan harga pangan dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi atau kondisi harga internasional.

Risiko fiskal yang timbul dalam stabilisasi harga pangan berupa potensi tambahan pengeluaran negara dalam rangka stabilisasi harga pangan, kurangnya cadangan beras pemerintah, dan kurangnya subsidi pangan. Risiko fiskal timbul jika terdapat perbedaan (deviasi) antara realisasi dana stabilisasi harga pangan dengan yang dialokasikan dalam APBN, dimana dana cadangan stabilisasi harga pangan yang dialokasikan dalam APBN tidak memenuhi untuk

mengendalikan harga pangan di pasaran.

2.3.3 Tuntutan Hukum kepada Pemerintah

Salah satu potensi risiko fiskal bagi Pemerintah berasal dari adanya gugatan baik perdata maupun Tata Usaha Negara yang berisi tuntutan agar Pemerintah membayar sejumlah uang, mengembalikan/menyerahkan aset kepada Penggugat, sehingga berpotensi menimbulkan pengeluaran Negara, dan hapus/hilangnya aset Negara. Terdapat 972 perkara gugatan yang berisi tuntutan ganti rugi materiil kepada 19 K/L, yang jumlah totalnya sekitar Rp16,9 triliun, US$120 juta, RM1,4 juta, ¥193,2 juta, €1,6 juta, BS11.500, ditambah tuntutan untuk melepaskan/menyerahkan aset berupa tanah dan bangunan yang luasnya sekitar 1.984,4 ha, yang meliputi 576 perkara dalam proses tingkat pertama, 147 perkara pada tingkat banding, 93 perkara pada tingkat kasasi, dan 30 perkara pada tingkat Peninjauan Kembali (data sampai bulan Juni 2015).

Berdasarkan jumlah tersebut di atas, terdapat perkara-perkara yang telah berkekuatan hukum tetap baik yang didasarkan atas Putusan Peninjauan Kembali maupun putusan pengadilan pada tingkat di bawahnya, dengan perincian 88 perkara yang tidak menimbulkan kewajiban bagi Pemerintah serta 38 perkara yang menimbulkan kewajiban kepada Pemerintah dengan

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

total kewajiban berupa pembayaran uang yang besarnya sekitar Rp1,02 triliun, US$114,9 juta, RM1,4 juta, ¥193,2 juta, €1,6 juta, BS11.500, pengembalian/penyerahan tanah dan bangunan yang luasnya sekitar 32,8 ha.

2.3.4 Risiko Transaksi Internasional (Defisit Neraca Perdagangan dan Free Trade Agreement)

Indonesia telah mengalami defisit neraca berjalan (current account) sejak tahun 2012. Transaksi berjalan mengalami defisit karena adanya perlambatan ekonomi global yang menyebabkan turunnya permintaan ekspor secara umum, tidak terkendalinya impor BBM dan barang konsumsi, turunnya nilai ekspor, serta turunnya harga komoditas yang menjadi unggulan ekspor Indonesia di pasar internasional. Pada tahun 2016 dampak dari perlambatan ekonomi global masih akan berpengaruh pada transaksi internasional Indonesia. Kinerja ekspor dan impor Indonesia pada tahun 2010-2014 disajikan dalam Tabel III.2.8.

TABEL I I I .2.8 KINERJA EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA, 2010-2014 (juta dolar AS)

Su m ber : Badan Pu sat Statistik

Selain itu perjanjian free trade agreement yang diikuti oleh Indonesia secara umum berkontribusi pada peningkatan impor. Sampai dengan saat ini, Indonesia terikat dengan tujuh free trade agreement (FTA), yaitu Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA), ASEAN – China FTA (AC-FTA), ASEAN –Korea FTA (AK-FTA), Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), ASEAN – India FTA (AI-FTA), ASEAN – Australia New Zealand FTA, dan IPPTA ( Indonesia Pakistan Preferential Trade Agreement). Tantangan lain adalah diberlakukannya komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015.

2.3.5 Risiko Program Pembiayaan Perumahan pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Menindaklanjuti kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam Nawa Cita (9 agenda prioritas) butir kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan untuk mengatasi 13,5 juta backlog (kekurangan kebutuhan rumah), Pemerintah telah mencanangkan Program Sejuta Rumah untuk rakyat, yaitu kebijakan membangun satu juta rumah dalam satu tahun. Untuk tahun 2015, Pemerintah menargetkan pembangunan 603.516 rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 396.484 rumah untuk non-MBR. Sedangkan untuk tahun 2016, jumlah pembangunan rumah ditargetkan untuk kelompok MBR sekitar 700 ribu unit dan non-MBR sebanyak 300 ribu unit.

Guna mendukung pembiayaan perumahan bagi kelompok MBR, Pemerintah menurunkan bunga Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR-FLPP) dari 7,5 persen menjadi 5 persen pertahun mulai tahun 2015. Di samping itu, rasio dana FLPP dalam KPR juga diperbesar dari 75 persen menjadi 90 persen. Untuk mencapai penurunan bunga KPR-FLPP tersebut, Pemerintah menganggarkan dana FLPP dengan target 89.186

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

unit rumah. Beberapa sumber pendanaan seperti dana BPJS Ketenagakerjaan, Bapertarum dan PT Taspen (Persero) juga diproyeksikan untuk ikut serta menempatkan dana murahnya. Mengingat target unit rumah yang dapat dibiayai dari dana FLPP sangat terbatas, dukungan dalam bentuk subsidi selisih bunga juga akan diberikan kepada 386.644 unit rumah. Selain itu, Pemerintah juga akan mengalokasikan anggaran bantuan uang muka kepemilikan rumah

tapak bagi 337.839 unit rumah. Kinerja Penyaluran KPR-FLPP disajikan pada Grafik III.2.10.

GRAFIK III.2.10 KINERJA PENYALURAN KPR-FLPP, 2011-2015

Target (unit)

Realisasi (Unit)

Dana

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Potensi risiko fiskal dari program ini dapat timbul apabila dipicu oleh (a) kenaikan harga tanah dan material perumahan; (b) keengganan bank penyalur KPR-FLPP menyalurkan kredit pembangunan rumah untuk MBR; (c) salah sasaran pemberian KPR-FLPP kepada kelompok non-MBR; (d) proses perizinan pembangunan perumahan yang tidak pasti; dan (e) keengganan serta keterbatasan kapasitas pengembang menyediakan rumah untuk MBR. Faktor-faktor tersebut dapat berdampak atas tidak tercapainya program pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Bab 3 Mitigasi Risiko Fiskal Bagian III