Kebijakan dan Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana
5.1 Kebijakan dan Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana
Desa Tahun 2016
Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagai instrumen untuk mempercepat pembangunan daerah, implementasi kebijakan desentralisasi fiskal diarahkan untuk dapat mendukung pelaksanaan rencana pembangunan nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2016 sesuai visi dan misi presiden terpilih periode tahun 2015- 2019 seperti tertuang dalam Nawa Cita. Sesuai agenda ketiga dari Nawa Cita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan, kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, sebagai salah satu instrumen penting dari desentralisasi fiskal, diarahkan untuk memperkuat pendanaan pembangunan daerah dan desa guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pada tahun 2016 akan dilakukan beberapa perubahan yang fundamental dalam kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Pertama , meningkatkan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, agar dapat mempercepat penguatan peran daerah dalam penyediaan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang merupakan perwujudan dari ciri Indonesia sebagai negara desentralisasi fiskal. Kedua, melakukan perubahan struktur dan ruang lingkup Transfer ke Daerah dan Dana Desa agar lebih sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dan kebutuhan pendanaan daerah. Ketiga , melakukan reformulasi dan penguatan kebijakan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa, khususnya kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID).
Perubahan kebijakan tersebut berimplikasi terhadap perubahan postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Lebih dari itu, perubahan postur DAK pada tahun 2016 terutama ditujukan untuk mendukung pelaksanaan Nawa Cita, khususnya:
1. Cita ketiga: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan;
2. Cita kelima: meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
3. Cita keenam: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; dan
4. Cita ketujuh: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Secara lengkap, perubahan postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa dari tahun 2015 ke tahun 2016 disajikan pada Tabel II.5.1.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-1
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
TABEL I I . 5 .1
POSTUR TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA TAHUN 2015 DAN 2016
2015 2 016 I. Transfer ke Daerah I. Transfer ke Daerah
A Dana Perimbangan A Dana Perimbangan
1 Dana Bagi Hasil 1 Dana Transfer Umum ( General
Purpose Grant ) 2 Dana Alokasi Umum a Dana Bagi Hasil
3 Dana Alokasi Khusus b Dana Alokasi Umum
a. DAK Reguler b. DAK Tamb ahan 1. DAK Afirmasi
2. DAK P3K2 c. DAK Usulan Daerah yang disetujui DPR
B Dana Otonomi Khusus 2 Dana Transfer Khusus ( Specific
Purpose Grant ) C Dana Keistimewaan DIY a DAK Fisik
1. DAK Reguler (10 Bidang) 2. DAK Infrastruktur Publik
Daerah
3. DAK Afirmasi
D Dana Transfer Lainnya b DAK Non Fisik 1. Tunjangan Profesi Guru PNSD 1. Dana BOS
2. BOS 2. Dana BOP PAUD 3. Tamsil PNSD 3. Dana TPG PNSD
4. Dana P2D2 4. Dana Tamsil Guru PNSD
5. Dana Insentif Daerah 5. Dana P2D2 6. Dana BOK
7. Dana PK2 UKM dan Ketena gakerjaan
B Dana Insentif Daerah
C Dana Otonomi Khusus dan Dana
Keistimewaan DIY II Dana Desa II Dana Desa Sumber: Kementerian Keuangan
Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dimulai pada APBN tahun 2016 ini, dilakukan perubahan mendasar atas klasifikasi penganggaran transfer ke daerah dan dana desa. Pertama , Transfer ke Daerah dikelompokan ke dalam 3 (tiga) klasifikasi besar, yaitu: (i) Dana Perimbangan; (ii) Dana Insentif Daerah; dan (iii) Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta. Kedua, Dana Perimbangan yang selama ini terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) diubah menjadi 2 (dua) komponen utama yakni Dana Transfer Umum(General Purpose Grant) dan Dana Transfer Khusus (Spesific Purpose Grant) yang masing-masing terdiri atas 2 (dua) subkomponen. Dana Transfer Umum terdiri atas DBH dan DAU, sedangkan Dana Transfer Khusus, terdiri atas DAK Fisik dan DAK Nonfisik. DAK Fisik mencakup: (1) DAK Reguler yang pendanaannya lebih difokuskan pada bidang-bidang yang menjadi prioritas nasional sebagaimana ditetapkan dalam RKP tahun 2016 dan RPJMN 2015- 2019 serta sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah; (2) DAK Infrastruktur Publik Daerah, yang diarahkan untuk mendukung percepatan pembangunan/penyediaan infrastruktur yang menjadi kebutuhan dan prioritas daerah dan nasional; dan (3) DAK Afirmasi yang diarahkan untuk mendukung percepatan pembangunan/penyediaan infrastruktur daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Sementara itu, DAK Nonfisik mencakup pengalihan beberapa
II.5-2 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-2 Nota Keuangan dan APBN 2016
jenis dana yang sebelumnya termasuk dalam pos Dana Transfer Lainnya, yaitu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Tunjangan Profesi Guru PNSD, dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dan dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Selain itu, pada DAK Nonfisik ini juga ditampung pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari beberapa K/L ke DAK, diantaranya yaitu: (1) dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), yang sebelumnya dikelola sebagai dana dekonsentrasi pada anggaran Kementerian Kesehatan; (2) dana Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), yang sebelumnya dikelola sebagai dana dekonsentrasi pada anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan (3) dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, UKM, dan Ketenagakerjaan, yang sebelumnya dikelola sebagai dana dekonsentrasi pada anggaran Kementerian Koperasi dan UMKM dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Ketiga , Dana Insentif Daerah (DID), yang semula merupakan bagian dari dana transfer lainnya, dikelompokkan terpisah sehingga berdiri sendiri sebagai klasifikasi baru dalam dana transfer ke daerah, dengan tujuan untuk memberikan penekanan pentingnya anggaran dimaksud sebagai instrumen dalam pemberian insentif bagi daerah kabupaten/kota/provinsi yang berkinerja baik dalam pengelolaan fiskal dan keuangan daerah yang sehat, pelayanan dasar publik yang prima, dan pengelolaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang berkualitas. Dalam format baru kebijakan dana transfer ke daerah tersebut, pada pos DID tersebut tidak hanya jumlah anggarannya diperbesar, tetapi juga dilakukan perubahan yang mendasar pada sistem dan kriteria penilaian prestasi kerja (kinerja) suatu daerah.
Keempat, Dana Otonomi Khusus (Otsus Papua, Papua Barat, dan Aceh), dana tambahan infrastruktur pada Otsus Papua dan Papua Barat, dan dana keistimewaan D.I. Yogyakarta dikelompokan ke dalam klasifikasi sendiri dalam satu rumpun, mengingat ketiga jenis dana transfer tersebut mempunyai fungsi dan tujuan yang sama, yaitu memenuhi amanat UU mengenai kekhususan suatu daerah, terutama terkait dengan kewajiban pemenuhan atau penyediaan anggaran dalam rangka pembiayaan kekhususan atau keistimewaan daerah dimaksud.
Sejalan dengan berbagai perubahan fundamental tersebut, maka kebijakan umum Transfer ke Daerah dan Dana Desa tahun 2016 diarahkan pada 5 (lima) perubahan sebagai berikut:
1. peningkatan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa mendekati alokasi anggaran belanja kementerian negara dan lembaga (belanja K/L);
2. reformulasi alokasi DAU guna meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (sebagai equalization grant);
3. reformulasi dan penguatan DAK untuk mendukung Nawa Cita dan pencapaian prioritas nasional, dengan:
a. meningkatkan besaran alokasi DAK untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah guna mempercepat pembangunan/penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana publik; dan
b. meningkatkan efektivitas pelaksanaan DAK melalui penyesuaian dana pendamping dengan kemampuan keuangan daerah, percepatan penetapan petunjuk teknis, serta perbaikan pola penyaluran, pelaporan, monitoring dan evaluasi.
4. reformulasi DID untuk memberikan penghargaan yang lebih besar kepada daerah yang berkinerja baik dalam pengelolaan keuangan, perekonomian dan kesejahteraan daerah;
5. peningkatan alokasi Dana Desa minimal 6 persen dari dan di luar Transfer ke Daerah sesuai Road Map Dana Desa tahun 2015-2019, guna memenuhi amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-3
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
Dengan memerhatikan arah kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana diuraikan di atas, dalam APBN tahun 2016 anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dialokasikan sebesar Rp770.173,3 miliar. Pagu alokasi tersebut naik 15,9 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Selengkapnya, Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2016 disajikan pada Tabel II.5.2.
TABEL II.5.2 TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA, 2015-2016 (Miliar Rupiah)
Selisih thd APBNP 2015
Transfer ke Daerah 643.834,5 723.191,2 79.356,7 I. Dana Perimbangan
A. Dana Transfer Umum
1. Dana Bagi Hasil
a. Pajak
b. Sumber Daya Alam
2. Dana Alokasi Umum
58.820,7 208.931,3 150.110,6 1. Dana Alokasi Khusus Fisik
B. Dana Transfer Khusus
58.820,7 85.453,6 26.632,9 2. Dana Alokasi Khusus Non Fisik
II. Dana Insentif Daerah
III. Dana Otonomi Khusus Dan Dana Keistimewaan D.IY
17.115,5 17.214,4 98,9 1. Dana Otsus Prov. Papua dan Prov. Papua Barat
A. Dana Otsus
7.707,2 649,5 - Provinsi Papua
5.395,1 454,6 - Provinsi Papua Barat
2.312,2 194,8 2. Dana Otsus Provinsi Aceh
7.707,2 649,5 3. Dana Tambahan Otsus Infrastruktur
1.800,0 (1.200,0) - Provinsi Papua
1.200,0 (1.050,0) - Provinsi Papua Barat
600,0 (150,0) C. Dana Keistimewaan D.I Yogyakarta
IV. Dana Transfer Lainnya 102.746,6 -
Dana Desa
664.600,7 770.173,3 105.572,6 Sumber: Kementerian Keuangan
5.1.1 Transfer ke Daerah
Transfer ke Daerah dibagi dalam 3 komponen, yaitu: (1) Dana Perimbangan; (2) Dana Insentif Daerah; serta (3) Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta. Anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN tahun 2016 dialokasikan sebesar Rp723.191,2 miliar atau men- ingkat 12,3 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan Dana Transfer Khusus yang bertujuan mendukung pelaksanaan Nawa Cita, khususnya cita ketiga, kelima, keenam, dan ketujuh.
5.1.1.1 Dana Perimbangan
Sejalan dengan arah kebijakan Dana Perimbangan, yaitu untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah (vertical imbalance), dan antardaerah (horizontal
II.5-4 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-4 Nota Keuangan dan APBN 2016
imbalance), serta mengurangi kesenjangan layanan publik antardaerah, maka untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, pada APBN tahun 2016 dialokasikan Dana Perimbangan sebesar Rp700.429,4 miliar, atau naik 34,2 persen dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP tahun 2015. Dana Perimbangan tersebut terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus.
5.1.1.1.1 Dana Transfer Umum
Dana Transfer Umum merupakan nomenklatur baru yang mulai digunakan dalam APBN tahun 2016. Sesuai dengan namanya, Dana Transfer Umum lebih bersifat block grant, yang penggunaannya sepenuhnya menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian, daerah mempunyai diskresi untuk menggunakan Dana Transfer Umum sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, guna mempercepat pembangunan, memperluas akses daerah, meningkatkan kualitas layanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana Transfer Umum yang terdiri atas DBH dan DAU dialokasikan sebesar Rp491.498,1 miliar dalam APBN tahun 2016.
5.1.1.1.1.1 Dana Bagi Hasil
Sesuai ketentuan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah dengan angka persentase tertentu, untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH ini, terdiri atas DBH Pajak, dan DBH Sumber Daya Alam (SDA), yang dialokasikan sebesar Rp106.137,2 miliar atau turun 3,6 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015.
DBH Pajak
DBH Pajak dialokasikan kepada daerah berdasarkan 2 prinsip, yakni: (1) prinsip pembagian berbasis daerah penghasil (by origin); dan (2) prinsip pembagian berdasarkan realisasi penerimaan (based on actual revenue). Dalam pengalokasian berdasarkan prinsip by origin, daerah penghasil pajak mendapatkan bagian DBH Pajak yang lebih besar dibanding daerah lain dalam satu provinsi, sedangkan daerah nonpenghasil hanya mendapatkan bagian berdasarkan pemerataan. Sementara itu, pembagian berdasarkan prinsip realisasi (based on actual revenue), mengandung arti, DBH Pajak disalurkan kepada daerah disesuaikan dengan realisasi Penerimaan Negara Pajak (PNP) dalam tahun anggaran berjalan.
Berdasarkan kedua prinsip pembagian di atas, pada tahun 2016 kebijakan DBH Pajak akan diarahkan pada 4 langkah strategis sebagai berikut:
1. mempercepat pengalokasian DBH Pajak melalui percepatan penyediaan data rencana dan prognosa penerimaan pajak;
2. mempercepat penyelesaian kurang bayar DBH Pajak;
3. membagi penerimaan PBB bagian pusat sebesar 10 persen secara merata kepada seluruh kabupaten/kota; dan
4. memperluas penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT), yang semula berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai hanya dapat digunakan untuk mendanai 5 kegiatan utama, yaitu: (1) peningkatan kualitas bahan baku, (2) pembinaan industri, (3) pembinaan lingkungan sosial, (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal, menjadi dapat juga digunakan sebagian untuk kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah (block grant) dengan porsi paling banyak 50 persen.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-5
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
DBH Pajak terdiri atas Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) dan Pajak Penghasilan Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25/29 WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3), dan CHT. Alokasi DBH Pajak pada APBN tahun 2016 secara keseluruhan dialokasikan sebesar Rp51.523,1 miliar, termasuk kurang bayar DBH PBB sebesar Rp1.286,5 miliar, atau turun sebesar 5,0 persen bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP tahun 2015.
DBH Sumber Daya Alam
DBH SDA merupakan dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sama halnya dengan DBH Pajak, DBH SDA juga dibagikan kepada daerah berdasarkan prinsip by origin dan prinsip based on actual revenue. Berdasarkan prinsip by origin, DBH SDA diberikan kepada daerah penghasil lebih besar dibanding daerah nonpenghasil dalam satu provinsi, karena daerah nonpenghasil hanya mendapatkan bagian berdasarkan pemerataan.
Untuk menghitung alokasi DBH SDA kepada daerah penghasil maupun nonpenghasil tersebut, digunakan pagu DBH yang dialokasikan dalam APBN berdasarkan rencana PNBP, serta ketetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan dari kementerian teknis. Dengan demikian, alokasi DBH per daerah yang ditetapkan berdasarkan rencana PNBP dalam APBN masih bersifat sementara. Alokasi DBH per daerah yang bersifat final akan dilakukan setelah diketahui realisasi rampung PNBP, yakni pada akhir tahun anggaran. Untuk itu, guna memberikan hak DBH yang tepat jumlahnya kepada daerah, maka dalam penyaluran DBH akan digunakan prinsip based on actual revenue, yaitu besaran DBH SDA disalurkan kepada daerah disesuaikan dengan realisasi PNBP tahun anggaran berjalan. Apabila sampai akhir tahun anggaran berjalan realisasi PNBP rampung belum diketahui, maka selisih DBH yang dihitung berdasarkan realisasi PNBP sampai akhir tahun anggaran dengan DBH yang dihitung berdasarkan realisasi PNBP rampung akan diperhitungkan sebagai kurang bayar/lebih bayar untuk diselesaikan pada tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan prinsip penghitungan alokasi DBH tersebut, dan dengan mempertimbangkan pelaksanaan DBH tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2016 kebijakan DBH SDA diarahkan untuk:
1. mempercepat penetapan alokasi DBH SDA melalui percepatan penyampaian data dari kementerian teknis;
2. menetapkan alokasi DBH SDA secara tepat jumlah sesuai dengan rencana penerimaan berdasarkan potensi daerah penghasil;
3. menyempurnakan sistem penganggaran dan pelaksanaan atas PNBP yang dibagihasilkan ke daerah;
4. meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan DBH SDA;
5. mempercepat penyelesaian penghitungan PNBP SDA yang belum dibagihasilkan dan penyelesaian/penyaluran kurang bayar DBH SDA; dan
6. menegaskan sifat DBH sebagai dana block grant bagi daerah. DBH SDA terdiri atas: (1) SDA kehutanan, yang meliputi iuran izin usaha pengusahaan
hutan (IIUPH), pengelolaan sumber daya hutan (PSDH), dan dana reboisasi (DR); (2) SDA pertambangan mineral dan batu bara, yang meliputi iuran tetap (land-rent) dan iuran produksi (royalty); (3) SDA perikanan; (4) SDA minyak bumi; (5) SDA gas bumi; dan (6) SDA panas bumi.
II.5-6 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-6 Nota Keuangan dan APBN 2016
Secara keseluruhan, dalam APBN tahun 2016, DBH SDA dialokasikan sebesar Rp54.614,1 miliar, atau turun sebesar 2,2 persen bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP tahun 2015. Besaran DBH SDA tersebut sudah termasuk alokasi kurang bayar DBH SDA tahun sebelumnya sebesar Rp4.262,5 miliar.
5.1.1.1.1.2 Dana Alokasi Umum
DAU merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sesuai ketentuan UU Nomor 33 Tahun 2004, besaran DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN neto.
Penghitungan alokasi DAU kepada daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang terdiri atas alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU yang dihitung berdasarkan CF merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, karena CF mencerminkan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Dalam APBN tahun 2016, besaran DAU yang dialokasikan kepada provinsi dan kabupaten/ kota dihitung berdasarkan:
1. alokasi dasar (AD), yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, mencakup gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil serta mempertimbangkan kebijakan terkait penggajian dan kebijakan terkait pengangkatan CPNSD; dan
2. celah fiskal (CF), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur berdasarkan perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-masing bobot variabel dengan Indeks Jumlah Penduduk, Indeks Luas Wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks Produk Domestik Regional Bruto per Kapita.
• Jumlah penduduk; Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan
publik di setiap daerah. Indeks jumlah penduduk dihitung dengan rumus: • Luas wilayah
Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Indeks luas wilayah dihitung dengan rumus:
• Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-7
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
IKK merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antardaerah. Dengan kata lain IKK adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan tingkat kemahalan konstruksi suatu daerah terhadap daerah lainnya. Indeks Kemahalan Konstruksi dihitung dengan rumus:
• Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IKK daerah
IKK daerah i =
rata-rata IKK secara nasional
IPM merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. IPM dihitung dengan rumus:
• Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
IPM daerah
IPM daerah i =
rata-rata IPM secara nasional
PDRB merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produk bruto suatu daerah. Indeks PDRB per kapita dihitung dengan rumus:
Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari:
a. pendapatan asli daerah (PAD);
b. DBH Pajak; dan
c. DBH SDA. Guna memenuhi kebutuhan data dasar untuk perhitungan alokasi DAU, pada tahun 2016
digunakan data sebagai berikut:
1. Gaji PNSD yang didasarkan pada data gaji PNSD tahun 2015 dari Pemerintah Daerah yang dihimpun oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
2. Formasi PNSD yang didasarkan pada data formasi PNSD 2015 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
3. Jumlah Penduduk yang didasarkan pada data jumlah penduduk tahun 2015 dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
4. Luas Wilayah yang didasarkan pada data luas wilayah darat tahun 2015 dari Kemendagri, dan data luas wilayah perairan/laut tahun 2015 dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
5. IKK yang didasarkan pada data IKK tahun 2015 dari Badan Pusat Statistik (BPS).
6. IPM yang didasarkan pada data IPM tahun 2014 dari BPS.
7. PDRB per kapita yang didasarkan pada data PDRB tahun 2014 dari BPS, dan jumlah penduduk yang didasarkan pada data jumlah penduduk tahun 2014 dari Kemendagri.
8. Total Belanja Daerah Rata-rata (TBR) yang didasarkan pada data TBR tahun 2014 dari Pemerintah Daerah yang dihimpun oleh Kemenkeu.
9. PAD yang didasarkan pada data PAD tahun 2014 dari Pemerintah Daerah yang dihimpun oleh Kemenkeu.
II.5-8 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-8 Nota Keuangan dan APBN 2016
10. DBH Pajak yang didasarkan pada data DBH Pajak tahun 2014 dari Kemenkeu.
11. DBH SDA yang didasarkan pada data DBH SDA tahun 2014 dari Kemenkeu. Berdasarkan formulasi dan data dasar yang dipergunakan untuk perhitungan DAU, agar
DAU dapat lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah, dan sekaligus mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah (horizontal imbalance), kebijakan DAU tahun 2016 diarahkan untuk:
1. Menerapkan formula DAU secara konsisten melalui pembobotan AD, komponen Kebutuhan Fiskal, dan komponen Kapasitas Fiskal.
2. Menetapkan besaran DAU Nasional sebesar 27,7 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto yang ditetapkan dalam APBN, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
3. Meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (sebagai equalization grant) yang ditunjukkan oleh Indeks Williamson yang paling optimal, melalui pembatasan porsi alokasi dasar, dan mengevaluasi bobot variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, dengan arah mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah.
4. Menetapkan besaran DAU yang bersifat final (tidak mengalami perubahan), dalam hal terjadi perubahan APBN yang menyebabkan PDN Neto bertambah atau berkurang.
Dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai equalization grant, dalam formulasi perhitungan DAU, proporsi CF diupayakan lebih besar dari AD, dengan membatasi proporsi AD terhadap pagu DAU. Makin kecil peran AD dalam formula DAU, maka makin besar peran formula berdasarkan CF, sehingga DAU memiliki peran besar dalam mengoreksi ketimpangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran CF dalam formula DAU, dapat menghasilkan tingkat pemerataan yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal. Adapun proporsi dan bobot untuk perhitungan DAU 2016 adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel II.5.3.
T ABLE II.5.3
BOBOT VARIABEL PENGHIT UNGAN DAU T AHUN 2016
VARIABEL
BOBOT PROVINSI
KAB./KOT A
ALOKASI DASAR
30-40%
40-49%
CELAH FISKAL:
60-7 0%
51 -60%
KEBUTUHAN FISKAL
-INDEKS JUMLAH PENDUDUK
29-30%
29-30%
-INDEKS LUAS WILAYAH
1 2-1 6%
1 2-1 5%
-INDEKS IKK
26-28%
27 -29%
-INDEKS INVERS IPM
1 5-1 9%
1 5-1 9%
-INDEKS PDRB
1 0-1 3%
1 0-1 3%
KAPASITAS FISKAL
-DBH PAJAK
7 0-1 00%
60-1 00%
-DBH SDA
7 0-1 00%
60-1 00%
Sumber: Kementerian Keuangan
Dengan memerhatikan arah kebijakan DAU tersebut, dan target pendapatan dalam negeri dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp1.820.514,1 miliar, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah sebesar Rp429.319,7 miliar, maka besaran PDN neto dalam APBN tahun 2016 adalah Rp1.391.194,4 miliar. Penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagai pengurang dalam perhitungan PDN neto tersebut terdiri dari penerimaan PPh Pasal
21 dan PPh Pasal 25/29 WP sebesar Rp146.200,3 miliar, penerimaan PBB sebesar Rp19.408,0 miliar, penerimaan Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp139.817,8 miliar, penerimaan SDA Migas
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-9
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
sebesar Rp78.617,4 miliar, penerimaan SDA Pertambangan Mineral dan Batubara sebesar Rp40.820,2 miliar, penerimaan SDA Kehutanan sebesar Rp3.030,3 miliar, penerimaan SDA Perikanan sebesar Rp693,0 miliar, dan penerimaan SDA Panas Bumi sebesar Rp732,8 miliar.
Berdasarkan besaran PDN neto tersebut, maka dalam APBN tahun 2016, pagu DAU nasional dialokasikan sebesar 27,7 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp385.360,8 miliar. Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp32.473,0 miliar jika dibandingkan dengan pagu DAU dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp352.887,8 miliar. Dari pagu DAU dalam APBN tahun 2016 tersebut, yang dibagikan untuk provinsi sebesar Rp38.536,1 miliar (10 persen dari total DAU nasional), dan yang dibagikan untuk kabupaten/kota sebesar Rp346.824,8 miliar (90 persen dari total DAU nasional).
5.1.1.1.2 Dana Transfer Khusus
Dana Transfer Khusus merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kegiatan tertentu yang menjadi urusan daerah, baik kegiatan yang bersifat fisik maupun nonfisik. Dana Transfer Khusus lebih bersifat specific grant yang penggunaannya diarahkan untuk mendanai kegiatan tertentu yang menjadi kebutuhan daerah dan prioritas nasional, dan/atau yang merupakan amanat dari peraturan perundang- undangan. Untuk itu, Dana Transfer Khusus yang terdiri atas Dana Alokasi Khusus Fisik dan Dana Alokasi Khusus Nonfisik dalam APBN tahun 2016 dialokasikan sebesar Rp208.931,3 miliar. Pada tahun 2016, kebijakan Dana Transfer Khusus diarahkan untuk:
1. Mendukung implementasi Nawa Cita, khususnya cita ketiga: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI, cita kelima:
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, cita keenam: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan cita ketujuh: kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor domestik.
2. Mendukung percepatan pembangunan infrastruktur publik daerah.
3. Mendukung pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari belanja negara, dengan tetap menjaga lingkungan hidup dan kehutanan.
4. Mengakomodasi usulan kebutuhan dan prioritas daerah dalam mendukung pencapaian prioritas nasional (proposal based).
5. Memperkuat kebijakan afirmasi untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
6. Mempercepat pengalihan anggaran belanja K/L, terutama anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, yang mendanai urusan yang sudah menjadi kewenangan daerah ke DAK.
7. Merealokasi dana transfer lainnya, yaitu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) Guru PNSD, dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD
(Tamsil), dan dana Proyek Pembangunan Daerah dan Desentralisasi (P2D2) ke Dana Alokasi Khusus Nonfisik.
5.1.1.1.2.1 Dana Alokasi Khusus Fisik
Salah satu perubahan mendasar dari DAK adalah adanya DAK Fisik yang jenis dan ruang lingkupnya difokuskan untuk mendanai beberapa program/kegiatan yang menjadi kebutuhan daerah dan merupakan prioritas nasional. Prioritas nasional tersebut mencakup bidang-bidang
II.5-10 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-10 Nota Keuangan dan APBN 2016
tertentu yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Program/kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung prioritas nasional tersebut, disesuaikan dengan usulan daerah dengan mengacu pada pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Agar alokasi DAK Fisik sesuai dengan kebutuhan daerah dan prioritas nasional, maka pengalokasiannya dilakukan dengan mekanisme bottom-up, yakni daerah menyampaikan usulan (proposal based) sebagai dasar untuk penentuan alokasi. Hal ini berbeda dengan pengalokasiaan DAK pada tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak bersifat top-down, yakni sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dengan menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria umum yang terkait dengan kemampuan keuangan daerah, kriteria khusus yang terkait dengan kewilayahan, dan kriteria teknis yang terkait dengan data kebutuhan teknis daerah. Sebaliknya, pengalokasian DAK Fisik pada tahun 2016 dilaksanakan dengan mekanisme pengusulan kegiatan dan kebutuhan pendanaan dari daerah kepada pemerintah pusat. Ada 3 jenis DAK Fisik yang mekanisme pengalokasiannya melalui proposal based, yaitu DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik Daerah, dan DAK Afirmasi kepada daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. Adapun mekanisme pengalokasiannya dilakukan melalui 4 tahapan, sebagai berikut:
1. Tahap penyusunan usulan DAK Fisik Penyusunan usulan DAK Fisik dilakukan oleh unit terkait di pemerintah daerah, yang meliputi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, biro/badan/dinas yang menangani pengelolaan keuangan dan aset daerah, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara teknis terkait dengan program/kegiatan dari bidang-bidang yang akan didanai DAK Fisik. Program/ kegiatan yang diusulkan oleh daerah setidaknya harus memperhatikan 4 hal, yaitu: pertama, program/kegiatan yang diusulkan merupakan kewenangan daerah; kedua, program/kegiatan yang diusulkan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); ketiga, program/kegiatan yang diusulkan di luar dari yang didanai belanja APBD murni; keempat, kebutuhan teknis dari program/kegiatan yang diusulkan harus benar-benar obyektif mencerminkan kebutuhan daerah yang sesungguhnya, terutama kebutuhan untuk mencapai pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Kelima, program/kegiatan yang diusulkan harus memerhatikan prioritas daerah dan prioritas nasional.
2. Tahap penyampaian usulan DAK Fisik Usulan DAK Fisik yang telah disiapkan oleh pemerintah daerah, disampaikan kepada pemerintah
pusat melalui Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan kementerian/lembaga teknis terkait dengan DAK Fisik untuk masing-masing bidang. Rekapitulasi usulan DAK Fisik seluruh bidang disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Bappenas.
3. Tahap verifikasi dan penilaian usulan DAK Fisik Usulan DAK Fisik yang telah diterima pemerintah pusat diverifikasi dan dinilai dengan
mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya kesesuaian bidang yang diusulkan daerah dengan bidang yang menjadi prioritas nasional, dan kesesuaian program/kegiatan dan target per bidang/subbidang yang diusulkan daerah dengan target yang menjadi prioritas nasional. Selanjutnya, berdasarkan data teknis usulan daerah yang telah diverifikasi dan dinilai tersebut, disusun peta data kebutuhan teknis masing-masing bidang/subbidang DAK Fisik per daerah secara nasional.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-11
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
4. Tahap penghitungan alokasi DAK Fisik Berdasarkan peta data kebutuhan teknis masing-masing bidang/subbidang DAK Fisik per
daerah secara nasional digunakan sebagai dasar perhitungan alokasi DAK Fisik per daerah. Apabila berdasarkan peta data kebutuhan teknis masing-masing bidang/-subbidang secara nasional, kebutuhan alokasi DAK Fisik lebih besar dari pagu DAK yang tersedia dalam APBN, maka penentuan alokasi DAK Fisik per bidang per daerah akan disesuaikan dengan ketersediaan pagu DAK dan prioritas nasional. Kebutuhan teknis masing-masing bidang/subbidang DAK yang belum dapat didanai dari DAK Fisik tahun 2016, akan digunakan sebagai data base untuk pengalokasian DAK Fisik tahun berikutnya.
Melalui mekanisme usulan daerah dan mempertimbangkan prioritas nasional tersebut, diharapkan alokasi DAK Fisik dapat lebih fokus, tepat alokasi dan sasaran, dan dapat dilaksanakan secara efektif oleh daerah, karena program/kegiatannya sesuai dengan kebutuhan riil di daerah. Selain alokasi DAK yang fokus dan tepat lokasi dan sasaran, pelaksanaan DAK di daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan DAK dalam mempercepat pencapaian prioritas nasional dan daerah. Untuk itu, guna meningkatkan efektivitas pelaksanaan DAK, Pemerintah akan melakukan 3 langkah perbaikan kebijakan pelaksanaan DAK Fisik.
Pertama , melakukan perbaikan juknis/juklak. Hal ini perlu dilakukan, karena selama ini juknis/juklak telah menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan DAK di daerah. Berdasarkan
permasalahan pelaksanaan DAK yang terjadi selama ini, maka perbaikan juknis/juklak, antara lain, akan dilakukan melalui: (1) penentuan menu kegiatan dalam juknis/juklak harus disesuaikan dengan kegiatan yang diusulkan daerah dan disetujui K/L terkait; (2) ketentuan pelaksanaan kegiatan yang diatur dalam juknis/juklak harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (3) penetapan juknis/juklak dilakukan paling lambat 7 hari kerja setelah alokasi DAK Fisik per daerah ditetapkan dalam Perpres tentang Rincian APBN; dan (4) masa berlaku juknis/juklak minimal 3 tahun, sehingga K/L tidak harus setiap tahun menerbitkan juknis/juklak baru. Apabila ada tambahan subbidang atau kegiatan baru, K/L cukup menerbitkan juknis/juklak tambahan pada tahun anggaran yang bersangkutan.
Kedua , melakukan perubahan ketentuan dana pendamping. Hal ini perlu dilakukan, mengingat selama ini dana pendamping kurang efektif untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan DAK. Sebaliknya, beberapa daerah justru mengalami kesulitan untuk menyediakan dana pendamping sebesar 10 persen dari DAK yang diterimanya. Terlebih lagi dengan adanya alokasi DAK yang makin besar pada tahun 2016, kemungkinan semakin memberatkan APBD sehingga berdampak pada pelaksanaan DAK. Untuk itu, agar pelaksanaan kegiatan DAK dapat berjalan efektif, pada tahun 2016 daerah tidak perlu menyediakan dana pendamping atas alokasi DAK yang diberikan kepada daerah yang bersangkutan.
Ketiga , perbaikan sistem pelaporan. Hal ini perlu dilakukan mengingat sistem pelaporan DAK selama ini belum berjalan dengan baik, dan cukup membebani daerah. Untuk itu, akan diterapkan sistem pelaporan yang sederhana, mudah, cepat, akurat, dan dapat digunakan oleh seluruh K/L yang terkait dengan DAK. Pemerintah daerah cukup menyampaikan satu laporan DAK ke pemerintah pusat, dan laporan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pelaksanaan penyaluran, pengendalian kegiatan, dan monitoring output kegiatan masing-masing bidang/ subbidang DAK. Untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian laporan, digunakan sistem pelaporan yang berbasis web (web based reporting system/WBRS).
II.5-12 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-12 Nota Keuangan dan APBN 2016
Keempat , perbaikan monitoring dan evaluasi, agar dapat memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan DAK berjalan sesuai dengan juknis/juklak, dan dapat menghasilkan output sesuai dengan target nasional per bidang. Sistem monitoring dan evaluasi juga akan diarahkan untuk dapat mendeteksi secara cepat permasalahan pelaksanaan DAK di daerah, sehingga pemerintah pusat dapat melakukan langkah-langkah terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut pada tahun anggaran berjalan.
DAK Reguler
Salah satu aspek yang dilakukan dalam rangka penguatan DAK adalah melalui penyederhanaan bidang DAK. Pada tahun 2016, bidang DAK reguler mencakup 10 bidang, atau lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 yang mencakup 14 bidang. Penyederhanaan ini dimaksudkan agar DAK bisa lebih fokus untuk mendanai kegiatan bidang tertentu, sehingga kegiatannya tuntas dalam 1 (satu) tahun anggaran, dan dapat menghasilkan output yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Penetapan alokasi DAK reguler tersebut disesuaikan dengan sasaran prioritas dari 3 dimensi pembangunan yang dituangkan dalam RKP, yaitu:
a. Dimensi Pembangunan Manusia meliputi: (1) bidang pendidikan; (2) bidang kesehatan dan keluarga berencana; dan (3) bidang infrastruktur perumahan, pemukiman, air minum dan sanitasi,
b. Dimensi Sektor Unggulan mencakup: (1) bidang kedaulatan pangan, termasuk pertanian dan irigasi; (2) bidang energi skala kecil; (3) bidang kelautan dan perikanan; dan (4) bidang lingkungan hidup dan kehutanan,
c. Dimensi Pemerataan dan Kewilayahan mencakup: (1) transportasi, termasuk jalan dan moda transportasi lainnya; (2) sarana perdagangan, industri kecil dan menengah, dan pariwisata; serta (3) prasarana pemerintahan daerah.
Arah kebijakan, sasaran dan lingkup kegiatan dari masing-masing bidang DAK Reguler tahun 2016 adalah sebagai berikut.
1. Bidang Pendidikan
Kebijakan DAK Pendidikan diarahkan untuk memfasilitasi pemerintahan daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan agar secara bertahap dapat memenuhi SPM, ketersediaan/keterjaminan akses, dan mutu layanan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, yakni pada satuan pendidikan SD Negeri, SMP Negeri, dan SMA/SMK Negeri. Adapun lingkup kegiatan yang didanai dari DAK Pendidikan tersebut, terdiri atas:
a. Subbidang Pendidikan Dasar SD/SDLB, meliputi: (1) rehabilitasi ruang belajar beserta perabotnya; (2) pembangunan ruang kelas baru beserta perabotnya; (3) pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; (4) pembangunan dan/atau rehabilitasi ruang guru beserta perabotnya; (5) pembangunan dan/atau rehabilitasi jamban siswa/guru; (6) pembangunan rumah dinas/mess guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; dan (7) penyediaan peralatan/media pendidikan dan/atau koleksi perpustakaan.
b. Subbidang Pendidikan Dasar SMP/SMPLB, meliputi: (1) rehabilitasi ruang belajar minimal rusak sedang beserta perabotannya; (2) pembangunan ruang kelas baru beserta perabotnya; (3) pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; (4) pembangunan ruang laboratorium IPA beserta perabotnya; (5) pembangunan ruang l aboratorium bahasa beserta perabotnya; (6) pembangunan ruang laboratorium komputer beserta perabotnya;
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-13
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
(7) pembangunan dan/atau rehabilitasi jamban siswa/guru; (8) pembangunan dan/atau rehabilitasi ruang kantor guru beserta perabotnya; (9) pembangunan asrama murid/rumah dinas/mess guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; dan (10) penyediaan peralatan/ media pendidikan dan/atau koleksi perpustakaan.
c. Subbidang Pendidikan Menengah SMA, meliputi: (1) rehabilitasi ruang belajar SMA beserta perabotnya; (2) pembangunan ruang kelas baru SMA beserta perabotnya; (3) pembangunan perpustakaan SMA beserta perabotnya; (4) pembangunan laboratorium SMA beserta perabotnya; (5) pembangunan asrama siswa dan/atau rumah dinas guru SMA beserta perabotnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; (6) pembangunan/rehabilitasi ruang penunjang pembelajaran SMA beserta perabotnya (administrasi perkantoran, ruang guru, dan sanitasi siswa/guru); (7) pengadaan peralatan laboratorium SMA; (8) pengadaan peralatan olah raga dan/atau kesenian SMA; dan (9) pengadaan buku/materi referensi dan/atau media pembelajaran SMA.
d. Subbidang Pendidikan Menengah SMK, meliputi: (1) rehabilitasi ruang belajar SMK beserta perabotnya; (2) pembangunan ruang kelas baru SMK beserta perabotnya; (3) pembangunan perpustakaan SMK beserta perabotnya; (4) pembangunan laboratorium SMK beserta perabotnya; (5) pembangunan asrama siswa SMK dan/atau rumah guru SMK beserta perabotnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; (6) pembangunan/rehabilitasi ruang penunjang pembelajaran SMK beserta perabotnya (administrasi perkantoran, ruang guru, dan sanitasi siswa/guru); (7) pembangunan ruang praktik siswa SMK beserta perabotnya; (8) pengadaan peralatan laboratorium SMK; (9) pengadaan peralatan praktik SMK; (10) pengadaan sarana olah raga dan/atau kesenian SMK; dan (11) pengadaan buku/materi referensi dan/atau media pembelajaran SMK.
2. Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana
Kebijakan DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) tahun 2016 diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan bidang kesehatan, kependudukan, dan KB, melalui:
a. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan serta pelayanan kefarmasian dalam rangka mendukung Program Indonesia Sehat (Paradigma Sehat, Pelayanan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional) untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, status gizi masyarakat, dan pemerataan pelayanan kesehatan, terutama di daerah tertinggal/terpencil/sangat terpencil/perbatasan/kepulauan.
b. Peningkatan keikutsertaan KB melalui peningkatan pelayanan KB yang berkualitas dan merata, dan peningkatan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan penggerakan KB, terutama pada target pasangan usia subur muda dan parintas rendah, serta wilayah yang padat penduduk dan daerah terpencil/sangat terpencil/tertinggal/perbatasan/ kepulauan.
Lingkup kegiatan DAK Kesehatan dan KB adalah:
a. Subbidang Pelayanan Kesehatan Dasar, meliputi: (1) pembangunan puskesmas baru/ rehabilitasi sedang dan berat bangunan puskesmas/peningkatan dan pengembangan puskesmas; (2) penyediaan alat kesehatan/penunjang di puskesmas; dan (3) penyediaan puskesmas keliling perairan/roda 4/roda 2 dan ambulan.
II.5-14 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-14 Nota Keuangan dan APBN 2016
b. Subbidang Pelayanan Kesehatan Rujukan, meliputi: (1) pembangunan Rumah Sakit (RS) baru dan pemenuhan sarana dan prasarana serta peralatan untuk ruang operasi dan ruang intensif; (2) peningkatan tempat tidur kelas III RS; (3) pembangunan/renovasi dan pemenuhan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD) di RS dan pembangunan/pengadaan peralatan Bank Darah RS; dan (4) pemenuhan sarana dan prasarana Instalasi Sterilisasi Sentral RS/Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RS/Pengolahan Limbah Padat RS.
c. Subbidang Pelayanan Kefarmasian, meliputi: (1) penyediaan obat dan perbekalan kesehatan di kabupaten/kota untuk Puskesmas; dan (2) pembangunan baru/rehabilitasi dan/atau pengadaan sarana pendukung instalasi farmasi (IF) di provinsi dan kabupaten/kota.
d. Subbidang KB, meliputi: (1) pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan KB di Klinik KB (pelayanan KB statis) dan pelayanan KB Keliling (pelayanan KB mobile); dan (2) pemenuhan sarana dan prasarana penyuluhan dan penggerakan KB.
3. Bidang Infrastruktur Perumahan Pemukiman, Air Minum, dan Sanitasi
Kebijakan DAK Infrastruktur Perumahan Pemukiman, Air Minum, dan Sanitasi tahun 2016 diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana perumahan dan kawasan permukiman, meliputi penyediaan perumahan, serta air minum dan sanitasi yang layak dan terjangkau guna meningkatkan standar hidup. Lingkup kegiatannya terdiri atas:
a. Subbidang Infrastruktur Perumahan Pemukiman, meliputi peningkatan kualitas rumah swadaya (tidak layak huni) yang mencakup komponen atap, lantai, dan dinding bagi masyarakat berpenghasilan rendah di daerah tertinggal, perbatasan, serta kawasan pulau- pulau kecil dan terluar.
b. Subbidang Infrastruktur Air Minum, meliputi: (1) pembangunan jaringan distribusi sampai pipa tersier yang menjadi bagian dari kewajiban pemerintah kabupaten/kota; dan (2) perluasan dan peningkatan sambungan rumah perpipaan bagi masyarakat miskin di kabupaten/kota yang memiliki kapasitas yang belum terpakai secara maksimal.
c. Subbidang Infrastruktur Sanitasi, meliputi: (1) peningkatan akses melalui sambungan rumah; dan (2) peningkatan sarana dan prasarana sistem setempat (on-site) berupa perningkatan kualitas septic tank individu.
4. Bidang Kedaulatan Pangan
Kebijakan DAK Kedaulatan Pangan diarahkan untuk pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan meningkatkan produksi pangan pokok dan stabilisasi harga bahan pangan, melalui ketersedian jaringan irigasi, sumber air, lumbung pangan, bibit/benih, dan jalan usaha tani (JUT) yang memadai. Adapun lingkup kegiatannya terdiri atas:
a. Subbidang Irigasi, untuk provinsi meliputi rehabilitasi/peningkatan/pembangunan jaringan irigasi/rawa kewenangan pemerintah provinsi yang dalam kondisi rusak. Sedangkan lingkup kegiatan subbidang irigasi kabupaten/kota ditentukan oleh daerah dalam penggunaan DAK Infrastruktur Publik Daerah, namun lokasi kegiatannya harus berbeda, dan tidak boleh tumpang tindih dengan DAK Reguler.
b. Subbidang Pertanian, untuk daerah provinsi meliputi: (1) pembangunan/rehabilitasi/ renovasi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)/Balai Diklat Pertanian, Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan (SMK-PP) dan penyediaan sarana pendukung; (2)
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-15
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
pembangunan/rehabilitasi/renovasi UPTD/Balai Perbenihan, dan Balai Proteksi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Balai Mekanisasi Pertanian serta penyediaan sarana pendukungnya; (3) pembangunan/rehabilitasi/renovasi UPTD/balai/instalasi perbibitan dan hijauan pakan ternak, laboratorium kesehatan hewan, laboratorium kesehatan masyarakat veteriner, laboratorium pakan dan penyediaan sarana pendukung; dan (4) pembangunan UPTD/Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) otoritas kompeten keamanan pangan daerah (OKKP-D) dan penyediaan sarana pendukung.
Sementara itu, lingkup kegiatan untuk daerah kabupaten/kota meliputi: (1) pengembangan sumber-sumber air yang mencakup: irigasi air tanah, irigasi air permukaan dan dam parit; (2) pembangunan lumbung pangan masyarakat dan lantai jemur; (3) pengembangan JUT; (4) pembangunan/rehabilitasi/renovasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di kecamatan dan penyediaan sarana pendukung penyuluhan; (5) pembangunan/rehabilitasi/renovasi UPTD/ balai/instalasi perbibitan dan hijauan pakan ternak, pusat kesehatan hewan, rumah potong hewan ruminansia reguler, rumah potong hewan unggas dan penyediaan sarana pendukung; (6) pembangunan unit desa mandiri benih; (7) pengembangan unit cadangan pangan daerah; (8) pembangunan embung; dan (9) pengembangan pemasaran pertanian.
5. Bidang Energi Skala Kecil
Kebijakan DAK bidang Energi Skala Kecil diarahkan untuk diversifikasi energi, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat untuk meningkatkan akses masyarakat pedesaan terhadap energi modern. Lingkup kegiatan DAK Bidang Energi Skala Kecil adalah (1) pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) Off Grid; (2) perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH Off Grid dan/atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Terpusat Off Grid; (3) pembangunan PLTS Terpusat Off Grid dan/ atau PLTS Tersebar; (4) pembangunan PLT Hybrid Surya – Angin; (5) rehabilitasi PLTMH Off Grid dan/atau PLTS Terpusat yang rusak; (6) pembangunan instalasi biogas skala rumah tangga; (7) rehabilitasi instalasi biogas; dan (8) penyusunan studi perencanaan pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
6. Bidang Kelautan dan Perikanan
Kebijakan DAK Kelautan dan Perikanan tahun 2016 diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan pemasaran, pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, pemberdayaan nelayan dan pembudidaya, serta konservasi dan penyuluhan, dalam rangka mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat kelautan dan perikanan.
Lingkup kegiatan DAK Kelautan dan Perikanan untuk provinsi, meliputi: (1) pembangunan dan/ atau rehabilitasi sarana dan prasarana pelabuhan perikanan UPTD provinsi; (2) pembangunan dan/atau rehabilitasi Balai Benih Ikan (BBI) UPTD provinsi; (3) pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; (4) penyediaan sarana dan prasarana kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) penyediaan prasarana kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (6) sarana dan prasarana penyuluhan perikanan.
Lingkup kegiatan DAK Kelautan dan Perikanan untuk kabupaten/kota meliputi: (1) pembangunan dan/atau rehabilitasi sarana dan prasarana pelabuhan perikanan UPTD kabupaten/kota; (2) pembangunan dan/atau rehabilitasi Balai Benih Ikan (BBI) UPTD kabupaten/kota; (3) penyediaan sarana dan prasarana pemberdayaan skala kecil untuk nelayan dan pembudidaya
II.5-16 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-16 Nota Keuangan dan APBN 2016
ikan; (4) penyediaan sarana dan prasarana pengolahan dan pemasaran hasil perikanan; dan (5) sarana dan prasarana penyuluhan perikanan.
7. Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kebijakan DAK Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 diarahkan untuk : (1) mendukung pencapaian Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), (2) mengendalikan pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta pengendalian kerusakan ekosistem perairan, dan (3) mendorong terbentuk dan beroperasinya kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Khusus untuk kabupaten/kota yang tidak/belum memiliki KPH, maka rehabilitasi diselenggarakan melalui reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman, dan penerapan sipil teknis pembuatan bangunan konservasi tanah dan air dilakukan pada lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dalam konteks pengembangan hutan rakyat, serta dalam rangka pengembangan hutan kota.
Lingkup kegiatan DAK Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah:
a. Subbidang Lingkungan Hidup, untuk provinsi meliputi pengadaan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup, melalui penyediaan peralatan sampling, peralatan portable, peralatan sampling bergerak dan tidak bergerak, serta penyediaan peralatan dan media laboratorium. Sedangkan untuk kabupaten/kota meliputi: (1) pengadaan dan pengawasan kualitas lingkungan hidup; (2) pengendalian pencemaran lingkungan; dan (3) pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran.
b. Subbidang Kehutanan, untuk provinsi meliputi: (1) operasionalisasi kesatuan pemangku hutan produksi (KPHP) dan kesatuan pemangku hutan lindung (KPHL); dan (2) tanaman hutan rakyat (Tahura). Sementara itu, untuk kabupaten/kota meliputi: (1) operasionalisasi KPHP dan KPHL; (2) kawasan hutan produksi dan hutan lindung di luar KPHP/KPHL; (3) hutan rakyat; dan (4) hutan kota.
8. Bidang Transportasi
Kebijakan DAK Transportasi tahun 2016 diarahkan untuk: (1) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan dasar, akses masyarakat terhadap fasilitas perekonomian, berupa sentra produksi, sentra energi, simpul kemaritiman, pusat pariwisata dan industri; (2) mendukung pengembangan wilayah di daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan yang terintegrasi dalam sistem jaringan transportasi nasional; (3) meningkatkan kualitas pelayanan transportasi; dan (4) mendukung perwujudan tol laut dalam mendukung konektivitas dan sistem logistik.
Lingkup kegiatan DAK Transportasi adalah:
a. Subbidang Infrastruktur Jalan, untuk provinsi meliputi pemeliharaan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan jalan dan jembatan. Untuk kabupaten/ kota, lingkup kegiatan infrastruktur jalan didanai dari DAK Infrastruktur Publik Daerah.
b. Subbidang Perhubungan, baik provinsi maupun kabupaten/kota, meliputi (1) keselamatan transportasi yang terdiri atas: pengadaan rambu lalu lintas jalan, marka jalan, pagar pengaman jalan, delineator , alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL), paku jalan, cermin tikungan, alat pengujian kendaraan bermotor, rute aman selamat sekolah (RASS), implementasi zona selamat sekolah (ZoSS), dan media sosialisasi keselamatan transportasi darat; dan (2) transportasi perkotaan, meliputi penyediaan prasarana angkutan umum perkotaan (halte, papan informasi trayek, dan rambu tambahan).
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-17
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
c. Subbidang Transportasi Perdesaan, meliputi (1) moda transportasi perairan; (2) sarana dan prasarana transportasi darat di kawasan perdesaan; dan (3) dermaga kecil.
9. Bidang Sarana Perdagangan, Industri Kecil dan Menengah, dan Pariwisata
Kebijakan DAK Sarana Perdagangan, Industri Kecil dan Menengah (IKM), dan Pariwisata tahun 2016 diarahkan untuk: (1) meningkatkan sarana perdagangan yang mendukung pengembangan sistem logistik nasional dan upaya perlindungan konsumen, terutama di daerah yang terbatas sarana perdagangannya, dan daerah tertinggal serta perbatasan; (2) meningkatkan sentra industri kecil dan menengah untuk mendukung pengembangan industri; dan (3) meningkatkan kualitas destinasi pariwisata dan daya saing destinasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Lingkup kegiatan DAK Sarana Perdagangan, IKM, dan Pariwisata adalah:
a. Subbidang Sarana Perdagangan, meliputi: (1) pembangunan pasar rakyat; (2) pusat distribusi provinsi (PDP) di setiap provinsi; (3) pengembangan atau perluasan gudang, sistem resi gudang (SRG); dan (4) pembangunan dan peningkatan sarana metrologi legal;
b. Subbidang Industri Kecil dan Menengah, meliputi pembangunan dan revitalisasi sentra IKM;
c. Subbidang Pariwisata, meliputi pembangunan sarana-prasarana pariwisata yang mencakup pembangunan amenitas serta aksesibilitas pariwisata dan revitalisasi kawasan pariwisata berupa penataan kawasan pariwisata.
10. Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah
Kebijakan DAK Bidang Sarana Prasarana Pemerintahan Daerah diarahkan untuk: (1) meningkatkan kinerja pemerintahan daerah (Pemda) dalam menyelenggarakan pelayanan publik, terutama diprioritaskan untuk daerah otonom baru (DOB), daerah tertinggal, perbatasan, pesisir dan kepulauan yang prasarana pemerintahannya belum layak; dan (2) meningkatkan kinerja Pemda dalam memberikan pelayanan dasar bidang ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat.
Lingkup kegiatan DAK Prasarana Pemerintahan Daerah adalah:
a. Subbidang Prasarana Pemerintahan Daerah, meliputi (1) konstruksi gedung kantor gubernur/ bupati/walikota; (2) konstruksi gedung kantor DPRD provinsi/kabupaten/kota; dan (3) konstruksi gedung kantor SKPD provinsi/kabupaten/kota.
b. Subbidang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), meliputi (1) konstruksi gedung Satpol PP; (2) konstruksi Pos Pantau Tibum Tranmas; (3) pengadaan kendaraan Dalmas; (4) pengadaan kendaraan patroli; (5) pengadaan kendaraan angkut; (6) pengadaan alat pelindung diri; dan (7) pengadaan alat komunikasi, pada Satpol PP di provinsi/kabupaten/kota.
c. Subbidang Pemadam Kebakaran (Damkar), meliputi (1) konstruksi kantor Damkar; (2) konstruksi gudang dan garasi Damkar; (3) konstruksi pos wilayah manajemen kebakaran (WMK); (4) pengadaan kendaraan Damkar; (5) pengadaan kendaraan dan support Damkar; (6) pengadaan alat proteksi petugas Damkar; dan (7) pengadaan alat pertolongan dan penyelamatan korban kebakaran, pada satuan pemadam kebakaran di provinsi/kabupaten/ kota.
Dalam rangka mendukung pendanaan DAK Reguler yang sumber pendanaannya, antara lain, bersumber dari pengalihan Dana Tugas Pembantuan yang menjadi urusan daerah, perlu
II.5-18 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-18 Nota Keuangan dan APBN 2016
dialokasikan DAK pendukung untuk melengkapi pendanaan yang belum dapat dipenuhi secara keseluruhan dari DAK Reguler. Arah penggunaan DAK pendukung, antara lain, untuk Bidang Transportasi, Bidang Kedaulatan Pangan, dan Bidang Permukiman, Air Minum, dan Sanitasi. Seluruh bidang yang didanai dari DAK pendukung akan disesuaikan dengan data teknis, hasil evaluasi, kapasitas, dan kebutuhan daerah yang dikoordinasikan oleh Bappenas, Kemenkeu, dan K/L teknis terkait.
DAK Infrastruktur Publik Daerah
DAK Infrastruktur Publik Daerah dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk membantu mempercepat penyediaan infrastruktur publik secara memadai agar dapat mendukung konektivitas transportasi, perbaikan pemukiman, peningkatan produksi pertanian, serta pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Mengingat kondisi dan kebutuhan daerah relatif berbeda, maka daerah diberikan diskresi untuk menentukan bidang infrastuktur tertentu yang akan diprioritaskan untuk didanai dari DAK Infrastruktur Publik Daerah. Namun, kegiatan yang didanai dari DAK Infrastruktur Publik Daerah tersebut harus merupakan kegiatan yang sudah direncanakan dalam RKPD, bukan kegiatan yang akan didanai dari DAK Reguler dan Belanja APBD murni, dan diharapkan bisa mendukung prioritas nasional. Bidang infrastruktur yang perlu didanai daerah dari DAK Infrastruktur Publik Daerah, antara lain meliputi jalan/jembatan, jaringan irigasi, infrastruktur perumahan pemukiman, air minum dan sanitasi, infrastuktur perhubungan, serta infrastruktur kelautan dan perikanan.
Lingkup kegiatan untuk infrastruktur jalan/jembatan antara lain berupa pemeliharaan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan jalan dan jembatan, masing-masing pada jalan kabupaten/kota dan jalan strategis daerah. Lingkup kegiatan untuk
infrastruktur perhubungan antara lain berupa pembangunan dermaga dan pelabuhan lokal/ pelabuhan pelayaran rakyat. Lingkup kegiatan untuk infrastruktur irigasi, antara lain, berupa rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan jaringan irigasi/rawa kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang dalam kondisi rusak. Lingkup kegiatan untuk infrastruktur kelautan dan perikanan, antara lain, berupa pembangunan bangunan air pada pangkalan pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan. Sementara itu, lingkup kegiatan untuk infrastruktur perumahan permukiman, air minum dan sanitasi, antara lain, berupa penambahan kapasitas penyediaan air minum untuk perumahan dan kawasan umum, serta sarana pengolahan air limbah.
DAK Afirmasi
DAK Afirmasi merupakan tambahan DAK yang dialokasikan khusus kepada daerah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal, perbatasan dengan negara lain, dan kepulauan. Mengingat kondisi beberapa jenis infrastruktur dasar daerah-daerah tersebut masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, maka DAK Afirmasi diarahkan dapat digunakan oleh daerah tersebut untuk menambah pendanaan bagi pembangunan/penyediaan infrastruktur tertentu. Jenis infrastruktur yang didanai meliputi (1) infrastruktur air minum dan sanitasi pada Bidang Infrastruktur Perumahan, Permukiman, Air Minum dan Sanitasi; (2) infrastruktur irigasi pada Bidang Kedaulatan Pangan; dan (3) infrastruktur jalan dan transportasi perdesaan pada Bidang Transportasi.
Arah kebijakan dan sasaran bidang DAK Afirmasi tahun 2016 sama dan menjadi satu kesatuan dengan arah kebijakan dan sasaran bidang DAK Reguler tahun 2016, tetapi dengan lingkup kegiatan yang berbeda, yaitu:
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-19
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
1. Lingkup kegiatan infrastruktur air minum dan sanitasi pada bidang DAK Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi, terdiri atas:
a. Subbidang Infrastruktur Air Minum, meliputi: (1) optimalisasi sistem terbangun untuk meningkatkan cakupan layanan, melalui pembangunan jaringan distribusi sampai pipa tersier; dan perluasan dan peningkatan sambungan rumah (SR) perpipaan bagi masyarakat miskin di kabupaten/kota yang memiliki kapasitas yang belum terpakai secara maksimal; (2) penambahan kapasitas sistem terpasang melalui pembangunan intake dan komponen sistem penyediaan air minum (SPAM) lainnya sampai SR (untuk SPAM yang sudah mencapai kapasitas produksi maksimal); dan (3) pembangunan SPAM kawasan khusus di kawasan pulau-pulau kecil dan terluar, dengan pembangunan dari unit air baku sampai unit pelayanan (SR).
b. Subbidang Infrastruktur Sanitasi, meliputi: (1) peningkatan akses melalui sambungan rumah; (2) peningkatan sarana dan prasarana sistem setempat (on-site) berupa perningkatan kualitas septic tank individu; dan (3) pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal di lokasi yang sudah dipicu sanitasi total berbasis masyarakat.
2. Lingkup kegiatan infrastruktur irigasi pada bidang DAK Kedaulatan Pangan meliputi rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan jaringan irigasi/rawa kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang dalam kondisi rusak.
3. Lingkup kegiatan infrastruktur jalan dan transportasi perdesaan pada DAK Transportasi, meliputi:
a. Subbidang Jalan, meliputi pemeliharaan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan jalan dan jembatan, pada jalan kabupaten/kota dan jalan strategis daerah.
b. Subbidang Transportasi Perdesaan, meliputi: (1) moda transportasi perairan; (2) sarana dan prasarana transportasi darat di kawasan perdesaan; dan (3) dermaga kecil.
Berdasarkan arah kebijakan dan lingkup kegiatan tersebut, secara keseluruhan DAK Fisik dalam APBN tahun 2016 dialokasikan sebesar Rp85.453,6 miliar. Alokasi DAK Fisik tersebut terdiri atas DAK Reguler sebesar Rp55.094,3 miliar yang dialokasikan kepada provinsi/kabupaten/ kota; DAK Infrastruktur Publik Daerah sebesar Rp27.538,6 miliar yang dialokasikan kepada kabupaten/kota; dan DAK Afirmasi sebesar Rp2.820,7 miliar yang dialokasikan bagi daerah tertinggal, perbatasan dengan negara lain, dan kepulauan.
5.1.1.1.2.2 Dana Alokasi Khusus Nonfisik
Dana Alokasi Khusus Nonfisik pada dasarnya merupakan perubahan nomenklatur dari Dana Transfer Lainnya pada postur Transfer ke Daerah tahun 2015, yaitu dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2016, DAK Nonfisik terdiri atas dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), dana Tunjangan Profesi Guru PNSD, dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2), dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB), serta dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dan Ketenagakerjaan. DAK nonfisik dalam APBN tahun 2016 dialokasikan sebesar Rp123.477,7 miliar.
II.5-20 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-20 Nota Keuangan dan APBN 2016
Dana Bantuan Operasional Sekolah
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal
34 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Penyelenggaraan pendidikan tersebut, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan urusan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan tersebut, sebagaimana telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2016 akan dialokasikan dana BOS. Namun, pengalokasian BOS tahun 2016 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, BOS merupakan bagian dari pos Transfer Lainnya dan hanya mencakup BOS untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB, sedangkan pada tahun 2016, BOS merupakan bagian dari DAK Nonfisik, dan cakupannya diperluas lagi bukan hanya BOS untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB, namun juga termasuk BOS untuk SMA/SMK, yang sebelumnya dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui anggaran dekonsentrasi.
Dana BOS dialokasikan kepada provinsi, dan mekanisme penyalurannya akan dilakukan dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD) provinsi, untuk selanjutnya disalurkan ke sekolah-sekolah melalui mekanisme hibah. Alokasi BOS dihitung berdasarkan jumlah siswa per sekolah, dan satuan biaya BOS satuan pendidikan. Dana BOS, terutama digunakan untuk mendanai biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah, sebagai pelaksanaan program wajib belajar, dan dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pemberian dana BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain, sehingga memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu dalam rangka penuntasan wajib belajar dua belas tahun. Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan dana BOS, Pemerintah akan melakukan penguatan sistem monitoring dan evaluasi. Tujuannya adalah guna menghindari terjadinya penyimpangan penggunaan dana BOS, dan sekaligus memastikan bahwa daerah tidak mengurangi alokasi anggaran untuk penyelenggaraan BOS Daerah (BOSDA).
Anggaran dana BOS dalam APBN tahun 2016 dialokasikan sebesar Rp43.923,6 miliar, atau meningkat Rp12.625,3 miliar (40,3 persen) dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Anggaran dana BOS tersebut terdiri dari BOS untuk satuan Pendidikan SD/SDLB sebesar Rp21.252,5 miliar, BOS untuk satuan Pendidikan SMP/SMPLB sebesar Rp10.042,2 miliar, BOS untuk satuan Pendidikan SMA sebesar Rp6.263,4 miliar, dan BOS untuk satuan Pendidikan SMK sebesar Rp6.146,8 miliar, serta dana cadangan BOS sebesar Rp218,6 miliar.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal berupa taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-21
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
PAUD memiliki peran penting untuk mendorong tumbuh kembang anak Indonesia secara optimal, dan menyiapkan mereka untuk memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar (SD)/ madrasah ibtidaiyah (MI) secara lebih baik. Sehubungan dengan itu, guna mewujudkan keberlangsungan layanan dan peningkatan kualitas layanan PAUD, serta efektivitas penyaluran anggaran dari Pemerintah, mulai tahun 2016 akan dialokasikan dana BOP PAUD melalui anggaran Transfer ke Daerah. Dana BOP PAUD digunakan untuk mendanai kegiatan operasional penyelenggaraan pendidikan sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada APBN tahun 2016, anggaran untuk BOP PAUD dialokasikan sebesar Rp2.281,9 miliar, yang diarahkan untuk membantu mendanai kegiatan operasional lembaga PAUD. Pemanfaatan anggaran BOP PAUD diutamakan untuk biaya operasional penyelenggaraan kegiatan dan proses pembelajaran pada satuan pendidikan, agar dapat mendukung pencapaian angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 75,3 persen tahun 2019.
Mekanisme penyaluran BOP PAUD sebagaimana halnya mekanisme penyaluran dana BOS dilakukan melalui pemindahbukuan dana dari RKUN ke RKUD provinsi. Dana BOP PAUD yang telah diterima di RKUD provinsi, selanjutnya disalurkan ke lembaga penyelenggara PAUD melalui mekanisme hibah.
Dana Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah
Salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah peningkatan profesionalisme guru. Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru sebagai tenaga pendidik yang berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah pada jalur formal, diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selain itu, telah diatur juga bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimun dan jaminan kesejahteraan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap tahun anggaran perlu dialokasikan dana Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) untuk diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan persyaratan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. Pemberian tunjangan profesi tersebut, bukan hanya sekedar tambahan penghasilan, namun juga merupakan salah satu bentuk reward (penghargaan) dari Pemerintah terhadap para guru yang telah memenuhi kriteria lolos sertifikasi. Dengan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk tunjangan sertifikasi guru, diharapkan dapat memberikan motivasi yang kuat bagi guru untuk meningkatkan profesionalisme pengajaran bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Besaran Tunjangan Profesi Guru PNSD adalah sebesar satu kali gaji pokok guru PNSD yang bersangkutan, sehingga untuk menghitung alokasi Tunjangan Profesi Guru PNSD digunakan data jumlah guru yang telah memiliki sertifikasi pendidik dan persyaratan lainnya, yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dikali dengan besaran gaji pokok masing- masing guru PNS yang bersangkutan, tidak termasuk untuk bulan ke-13. Berdasarkan jumlah guru yang telah memiliki sertifikasi pendidik dan gaji pokok tersebut, pada APBN tahun 2016 Tunjangan Profesi Guru PNSD dialokasikan sebesar Rp71.020,4 miliar atau meningkat 1,1 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015.
II.5-22 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-22 Nota Keuangan dan APBN 2016
Dana Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah
Dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka bagi guru PNSD yang belum memiliki sertifikasi profesi pendidik perlu diberikan tunjangan tersendiri, sebagai tambahan penghasilan. Pemberian tunjangan tambahan ini dimaksudkan agar dapat memacu motivasi bagi guru nonsertifikasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran bagi anak didik. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD, guru nonsertifikasi diberikan tambahan penghasilan setiap bulan sebesar Rp250.000,00, sehingga berdasarkan data jumlah guru yang belum memiliki sertifikasi pendidik, pada APBN tahun 2016 dialokasikan dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD sebesar Rp1.020,5 miliar atau menurun 6,9 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Hal ini sejalan dengan berkurangnya jumlah guru yang berhak menerima tambahan penghasilan guru, karena sebagian sudah memeroleh sertifikasi pendidik sehingga mendapatkan tunjangan profesi guru.
Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) adalah dana yang bersumber dari APBN dan dialokasikan sebagai insentif kepada provinsi, kabupaten, dan kota daerah percontohan Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi berdasarkan hasil verifikasi keluaran sesuai dengan perjanjian pinjaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Dunia. Verifikasi keluaran dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap hasil pelaksanaan DAK Bidang Infrastruktur Jalan, Irigasi, Air Minum, dan Sanitasi. Alokasi dana P2D2 antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan pelaporan DAK pada sektor infrastruktur, baik laporan keuangan maupun laporan realisasi fisik atas kegiatan DAK bidang infrastruktur tersebut.
Adapun daerah percontohan pelaksanaan P2D2 meliputi provinsi, kabupaten, dan kota di
14 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Dalam APBN tahun 2016 Dana P2D2 dialokasikan sebesar Rp400,0 miliar atau meningkat 301,7 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Peningkatan yang signifikan ini disebabkan oleh penambahan daerah yang dijadikan percontohan P2D2, dari 5 provinsi di tahun 2015 menjadi
14 wilayah provinsi dalam tahun 2016.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka mendukung operasional program kesehatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Dana BOK telah dilaksanakan sejak tahun 2010 melalui anggaran dekonsentrasi pada Kementerian Kesehatan. Selama 6 (enam) tahun pelaksanaan BOK, yaitu tahun 2010 – 2015, BOK telah banyak membantu daerah dalam pencapaian program kesehatan prioritas nasional, khususnya kegiatan promotif preventif sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat. Dalam tahun 2015, dana BOK difokuskan untuk meningkatkan pencapaian program kesehatan prioritas nasional, khususnya kegiatan berdaya ungkit tinggi untuk mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs).
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-23
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan BOK, mulai tahun 2016 BOK dialokasikan dan dilaksanakan melalui kabupaten/kota dalam bentuk DAK Nonfisik. Pengalokasian BOK kepada kabupaten/kota tersebut sejalan dengan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan kesehatan merupakan urusan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dana BOK dialokasikan untuk membantu biaya operasional Puskesmas guna meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan bidang kesehatan, khususnya pelayanan di Puskesmas, agar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, penurunan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), malnutrisi, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Penggunaan dana BOK oleh Puskesmas untuk program kesehatan prioritas dan program kesehatan lainnya, serta peningkatan manajemen Puskesmas, dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis/operasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penggunaan sumber dana bidang kesehatan dan mendukung pemenuhan anggaran pembangunan kesehatan sebesar 10 persen dari APBD sesuai ketentuan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, penggunaan dana BOK dapat disinergikan dengan pelaksanaan dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sebagian dikelola oleh Puskesmas. Pelaksanaan dana BOK akan dimonitoring dan dievaluasi oleh Kementerian Kesehatan, guna memastikan bahwa proses perencanaan, penganggaran, pengalokasian, penyaluran, dan pelaporan dana BOK dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat sasaran kegiatan.
Alokasi BOK dihitung berdasarkan alokasi dasar dengan memerhatikan jumlah Puskesmas yang mendapat BOK, dan alokasi tambahan yang memertimbangkan: (1) aspek regional; (2) status daerah kabupaten tertinggal dan nontertinggal; (3) indeks yang memengaruhi pelayanan (indeks pengaruh) yang mencakup indeks pelayanan kesehatan masyarakat (IPKM), jumlah Posyandu, tenaga usaha kesehatan masyarakat (UKM), dan biaya transportasi masyarakat ke Puskesmas; dan (4) indeks Puskesmas yang memerhitungkan jumlah Puskesmas.
Sementara itu, Dana Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB) diarahkan untuk meningkatkan keikutsertaan KB, melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata. Peningkatan akses dan kualitas tersebut ditempuh melalui peningkatan: (1) daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, dan pembinaan tenaga lini lapangan; (2) komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) program KB; (3) operasional pelayanan KB; dan (4) mekanisme operasional lini lapangan. Sasaran BOKB adalah operasional Balai Penyuluhan Tingkat Kecamatan, sedangkan dukungan operasional distribusi alat dan obat kontrasepsi (Alokon) dari gudang kabupaten/kota ke fasilitas kesehatan adalah untuk menjaga ketersediaan Alokon, dan menjaga keberlangsungan akseptor KB dalam menggunakan kontrasepsi yang belum terdanai di kabupaten/kota dan menurunkan angka drop out yang masih tinggi, yaitu 27,1 persen.
Perhitungan kebutuhan alokasi Dana BOKB diusulkan oleh BKKBN. Pendanaan untuk operasional balai penyuluhan digunakan untuk mendukung koordinasi lintas sektor, sosialisasi program Kependudukan dan KB Pembangunan Keluarga (KKBPK), pertemuan dengan mitra dan organisasi profesi (bidan desa, tokoh agama, dan mitra kerja lainnya). Dalam tahun 2016, BOKB direncanakan akan mendanai 4.322 balai penyuluhan KB di 431 kabupaten/kota. Dalam APBN tahun 2016, dana BOK dan BOKB dialokasikan sebesar Rp4.567,0 miliar.
II.5-24 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-24 Nota Keuangan dan APBN 2016
Dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Ketenagakerjaan
Dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Ketenagakerjaan (PK2, UKM, dan Naker) merupakan program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Di bidang koperasi dan UKM, program tersebut diarahkan, antara lain, untuk: (1) menerapkan kaidah good governance pada penyelenggaraan urusan koperasi dan UKM; (2) meningkatkan kapasitas penyelenggara koperasi dan UKM; (3) menerapkan kebijakan koperasi dan UKM yang menyeluruh, terpadu dan merupakan solusi terhadap masalah kota; (4) mengembangkan dan melaksanakan sistem registrasi UKM termasuk melakukan pemutakhiran data setiap tahun; (5) meningkatkan sistem manajemen lembaga pengelola koperasi dan UKM; (6) meningkatkan kinerja jaringan dan akses koperasi dan UKM terhadap modal, teknologi, dan pasar; (7) memfasilitasi pengembangan sumber daya ekonomi lokal; (8) meningkatkan peran masyarakat dan komunitas profesional dalam penyelenggaraan urusan koperasi dan UKM; dan (9) memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) lainnya urusan wajib koperasi dan UKM. Sementara itu, untuk bidang ketenagakerjaan, program tersebut diarahkan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja atau calon tenaga kerja melalui berbagai kegiatan, antara lain, pelatihan peningkatan mutu dan profesionalitas tenaga kerja. Dalam APBN tahun 2016, dana PK2 UKM dan Ketenagakerjaan dialokasikan sebesar Rp264,3 miliar.
5.1.1.2 Dana Insentif Daerah
Pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) dimaksudkan untuk memberikan penghargaan (reward) kepada daerah yang mempunyai kinerja baik dalam upaya pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah, pelayanan dasar pada masyarakat, peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mendorong daerah agar berupaya meningkatkan:
1. kinerja pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah yang ditunjukkan dari perolehan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemda (LKPD), dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tepat waktu;
2. kinerja pelayanan dasar kepada masyarakat, khususnya pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan; dan
3. kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung efektivitas DID dalam meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan dan
kesehatan fiskal daerah, kinerja pelayanan dasar, serta kinerja ekonomi dan kesejahteraan tersebut, dalam tahun 2016 dilakukan reformulasi kebijakan pengalokasian DID melalui tiga perubahan, yaitu: pertama, melakukan perubahan kriteria penilaian kinerja daerah. Semula pada tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya, penilaian terhadap daerah yang mendapatkan DID dilakukan melalui penentuan daerah dan perhitungan alokasi DID, dengan mempertimbangkan kriteria kinerja tertentu, yang terdiri atas kinerja utama, kinerja keuangan, kinerja pendidikan, kinerja ekonomi dan kesejahteraan, dan batas minimum kelulusan kinerja. Sementara itu, untuk tahun 2016, penilaian kinerja daerah dilakukan berdasarkan kriteria tertentu, yang terdiri atas kriteria utama, dan kriteria kinerja. Kriteria utama adalah kriteria yang harus dimiliki oleh suatu daerah sebagai penentu kelayakan daerah penerima, yang terdiri atas:
a. Daerah yang mendapatkan opini WTP atau wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK atas LKPD nya; dan
b. Daerah yang menetapkan Perda APBD tepat waktu.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-25
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
Sementara itu, kriteria kinerja adalah kriteria penilaian terhadap kinerja daerah, terdiri atas:
a. Kesehatan Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah, meliputi 11 indikator, yaitu:
1) rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah;
2) rasio realisasi pendapatan APBD terhadap target pendapatan APBD;
3) rasio total pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap total belanja dan pengeluaran pembiayaan;
4) rasio pertumbuhan pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terhadap total pendapatan daerah;
5) rasio pendapatan PDRD terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nonmigas;
6) rasio belanja modal terhadap total belanja APBD;
7) rasio belanja pegawai terhadap total belanja APBD;
8) rasio realisasi belanja APBD terhadap pagu anggaran belanja APBD;
9) rasio ruang fiskal daerah terhadap total pendapatan APBD;
10) rasio Defisit APBD terhadap total pendapatan APBD; dan
11) rasio SILPA tahun sebelumnya terhadap total belanja APBD.
b. Pelayanan Dasar Publik, meliputi 3 indikator, yaitu:
1) kinerja bidang pendidikan;
2) kinerja bidang kesehatan; dan
3) kinerja bidang pekerjaan umum.
c. Ekonomi dan Kesejahteraan, meliputi 4 indikator, yaitu:
1) tingkat pertumbuhan ekonomi;
2) penurunan tingkat kemiskinan;
3) penurunan tingkat pengangguran; dan
4) pengendalian tingkat inflasi. Kedua , perubahan kriteria dan besaran alokasi minimum bagi daerah yang mempunyai kinerja
tertentu dalam pengelolaan keuangan daerah. Semula pada tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya alokasi minimum sebesar Rp2,0 miliar diberikan kepada daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK, dan menetapkan Perda APBD tepat waktu, sedangkan alokasi minimum sebesar Rp3,0 miliar diberikan kepada daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK, menetapkan Perda APBD tepat waktu, dan menyampaikan LKPD kepada BPK tepat waktu. Ketentuan tersebut, di mana besaran alokasi minimum dinaikkan menjadi Rp5,0 miliar dan diberikan hanya bagi daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK dan menetapkan Perda APBD tepat waktu.
Ketiga , perubahan ketentuan penggunaan DID. Pada tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya, DID digunakan untuk mendanai kegiatan dalam rangka melaksanakan fungsi pendidikan yang menjadi urusan daerah. Sementara itu, pada tahun 2016, penggunaan DID tidak lagi terikat hanya untuk mendanai fungsi pendidikan, namun juga dapat digunakan untuk mendanai kegiatan lain dalam rangka melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Berdasarkan perubahan/reformulasi DID tersebut, maka dalam APBN tahun 2016, DID dialokasikan sebesar Rp5.000,0 miliar atau meningkat 200,4 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Peningkatan pagu alokasi DID yang relatif besar tersebut dimaksudkan agar besaran DID yang diterima masing-masing daerah lebih efektif untuk menstimulasi peningkatan kinerja pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah, kinerja pelayanan dasar, dan kinerja ekonomi, serta kesejahteraan daerah.
II.5-26 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-26 Nota Keuangan dan APBN 2016
5.1.1.3 Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta 5.1.1.3.1 Dana Otonomi Khusus
Sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001, kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat diberikan Dana Otonomi Khusus, yang besarnya ditetapkan setara dengan 2 persen dari plafon DAU nasional. Dana Otonomi Khusus tersebut dialokasikan sebesar 70 persen untuk Provinsi Papua, dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat yang penggunaannya terutama ditujukan untuk bidang pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (3) huruf f UU Nomor 21 Tahun 2001 jo. UU nomor
35 Tahun 2008, khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga diberikan Dana Tambahan Infrastruktur. Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, terutama ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur, yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun anggaran. Dalam APBN tahun 2016, porsi pembagian Dana Tambahan Infrastruktur adalah 67 persen untuk Provinsi Papua dan 33 persen untuk Provinsi Papua Barat. Pembagian tersebut didasarkan pada perbandingan beberapa indikator yang mencerminkan kebutuhan pembiayaan infrastruktur untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang meliputi indikator jumlah penduduk, luas wilayah, rata-rata indeks kemahalan konstruksi kabupaten/kota, rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota, dan jumlah kampung.
Sementara itu, besaran Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh sesuai ketentuan UU Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ditetapkan setara dengan 2 persen dari DAU nasional. Dana Otonomi Khusus tersebut ditujukan untuk mendanai pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Untuk mendukung pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta Provinsi Aceh, dalam APBN tahun 2016, Pemerintah mengalokasikan Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur sebesar Rp17.214,4 miliar atau meningkat 0,6 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015. Alokasi Dana Otonomi Khusus tersebut, terdiri atas:
1. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp7.707,2 miliar dengan pembagian Provinsi Papua sebesar Rp5.395,1 miliar dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp2.312,2 miliar; dan
2. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh sebesar Rp7.707,2 miliar. Sementara Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dialokasikan
sebesar Rp1.800,0 miliar yang terdiri atas Provinsi Papua sebesar Rp1.200,0 miliar dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp600,0 miliar.
5.1.1.3.2 Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta
Dana keistimewaan merupakan dana yang dialokasikan dalam rangka mendukung penyelenggaraan kewenangan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan keistimewaan adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki oleh DIY, selain wewenang
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-27
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
yang ditentukan dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang tersebut, meliputi: (1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (2) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (3) kebudayaan; (4) pertanahan; dan (5) tata ruang.
Untuk melaksanakan lima kewenangan tersebut, Pemerintah Provinsi DIY dapat mengajukan usulan kebutuhan dana untuk program/kegiatan kepada Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian teknis terkait. Usulan tersebut akan dinilai kelayakannya berdasarkan: (1) kesesuaian dengan program yang menjadi prioritas nasional; (2) kesesuaian dengan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais); (3) kewajaran nilai program dan kegiatan; (4) asas efisiensi dan efektivitas; dan (5) pelaksanaan Dana Keistimewaan tahun sebelumnya. Hasil penilaian kelayakan usulan dari daerah digunakan sebagai dasar untuk menentukan besaran alokasi Dana Keistimewaan untuk DIY sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian dan Penyaluran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan arah kebijakan Dana Keistimewaan DIY. Pada tahun 2016, arah kebijakan Dana Keistimewaan DIY, sebagai berikut:
1. meningkatkan kualitas perencanaan Dana Keistimewaan DIY;
2. meningkatkan pemantauan dan evaluasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3. mendorong pelaporan atas pelaksanaan kegiatan oleh Pemerintah Daerah; dan
4. mewujudkan ketepatan penggunaan Dana Keistimewaan DIY dalam rangka mendukung efektivitas penyelenggaraan keistimewaan DIY.
Alokasi anggaran Dana Keistimewaan DIY dalam APBN tahun 2016 sama dengan alokasinya dalam APBNP tahun 2015, yaitu sebesar Rp547,5 miliar.
Sebagaimana penyaluran Dana Keistimewaan DIY pada tahun 2015, dalam APBN tahun 2016 direncanakan dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, dengan rincian sebagai berikut:
1. tahap I disalurkan sebesar 25 persen dari pagu Dana Keistimewaan DIY,
2. tahap II disalurkan sebesar 55 persen dari pagu Dana Keistimewaan DIY setelah Laporan Pencapaian Kinerja tahap I mencapai minimal 80 persen,
3. tahap III disalurkan sebesar 20 persen dari pagu Dana Keistimewaan DIY setelah Laporan Pencapaian Kinerja tahap I dan tahap II mencapai minimal 80 persen.
5.1.2 Dana Desa
Pengalokasian Dana Desa pada APBN tahun 2016 merupakan tahun kedua dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana Desa ini dimaksudkan agar mempunyai sumber pendapatan yang memadai untuk mendanai kewenangan yang diberikan kepada desa, terutama kewenangan berdasarkan hak asal usul, dan kewenangan lokal berskala desa. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 72 ayat (2), alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Dana Desa yang bersumber dari APBN dapat digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, mengingat dalam jangka pendek perlu segera dilakukan upaya untuk mendorong peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, maka berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 22 Tahun 2015, prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan untuk
II.5-28 Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-28 Nota Keuangan dan APBN 2016
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Besaran anggaran Dana Desa yang bersumber dari APBN ditentukan sebesar 10 persen dari dan di luar dana Transfer ke Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran Dana Desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memerhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam APBNP tahun 2015 telah dialokasikan Dana Desa sebesar Rp20.766,2 miliar, atau 3,2 persen dari Transfer ke Daerah. Selanjutnya, untuk memenuhi anggaran Dana Desa sebesar 10 persen dari Transfer ke Daerah, Pemerintah telah menyusun road map pengalokasian Dana Desa tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 yang dituangkan dalam PP Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berdasarkan road map tersebut, Pemerintah berkomitmen mengalokasikan anggaran Dana Desa meningkat secara bertahap hingga mencapai 10 persen dari Transfer ke Daerah pada tahun 2017. Untuk itu, kebijakan Dana Desa pada tahun 2016 salah satunya diarahkan untuk meningkatkan pagu anggaran Dana Desa yang bersumber dari APBN, yakni minimal sebesar 6 persen dari anggaran Transfer ke Daerah. Dengan meningkatkan anggaran Dana Desa tersebut, diperkirakan alokasi yang akan diterima oleh masing-masing desa dapat meningkat rata-rata hampir 2 kali lipat dari yang diterima pada tahun 2015. Peningkatan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh desa untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan ketentuan dan perundang- undangan.
Selain meningkatkan besaran anggaran Dana Desa, Pemerintah juga melakukan perbaikan kualitas data dasar yang digunakan untuk pengalokasian Dana Desa, baik pada tahap pengalokasian dari Pusat ke kabupaten/kota maupun pada tahap pengalokasian dari kabupaten/ kota ke masing-masing desa. Perbaikan kualitas data dasar tersebut dilakukan melalui: (1) pemutakhiran (updating) data yang digunakan dalam proses perhitungan alokasi Dana Desa yang mencakup data jumlah desa, data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa, dan (2) perubahan basis data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis desa, dari semula menggunakan data per kabupaten menjadi data per desa. Perbaikan kualitas data dasar tersebut dimaksudkan agar perhitungan Dana Desa dapat menghasilkan nilai alokasi per kabupaten/kota dan alokasi per desa secara lebih akurat.
Data jumlah desa yang digunakan dalam menghitung alokasi Dana Desa adalah data jumlah desa yang secara definitif telah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, data jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa yang digunakan merupakan data yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Dalam Negeri. Formulasi pengalokasian Dana Desa dari Pemerintah Pusat ke kabupaten/kota, dan dari kabupaten/kota ke desa, dilakukan berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 22 Tahun 2015. Dalam PP Nomor 22 Tahun 2015, Dana Desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa dengan memerhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap desa. Selanjutnya, secara teknis pengalokasian Dana Desa telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92 Tahun 2015 tentang Tatacara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.
Nota Keuangan dan APBN 2016 II.5-29
Bagian II dalam APBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa, alokasi Dana Desa dihitung dengan menggunakan formula 90 persen berdasarkan pemerataan (alokasi dasar), dan 10 persen berdasarkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis (alokasi berdasarkan formula). Penghitungan alokasi Dana Desa berdasarkan formula menggunakan variable jumlah penduduk dengan bobot 25 persen, angka kemiskinan dengan bobot 35 persen, luas wilayah dengan bobot 10 persen, dan indeks kesulitan geografis dengan bobot 30 persen. Hasil perhitungan alokasi Dana Desa per kabupaten/kota setelah ditetapkan dalam APBN akan dituangkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. Berdasarkan alokasi Dana Desa per kabupaten/kota tersebut, selanjutnya bupati/walikota melakukan pembagian Dana Desa kepada setiap Desa di wilayahnya. Hasil perhitungan alokasi yang dilakukan oleh bupati/walikota tersebut ditetapkan dalam peraturan bupati/walikota mengenai pengalokasian Dana Desa kepada setiap desa.
Untuk mendukung tatakelola keuangan desa yang baik, dan sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan Dana Desa, maka pada tahun 2016 kebijakan Dana Desa juga diarahkan untuk memperbaiki ketepatan waktu pelaksanaan penyaluran Dana Desa, baik penyaluran dari RKUN ke RKUD kabupaten/kota, maupun penyaluran dari RKUD kabupaten/kota ke rekening kas desa (RKD). Pada tahun kedua pelaksanaan Undang-Undang Desa, diharapkan setiap kabupaten/kota sudah dapat mencantumkan Dana Desa dalam APBD, dan menetapkan peraturan bupati/walikota mengenai pembagian Dana Desa secara tepat waktu. Di sisi lain, setiap desa juga diharapkan sudah dapat menyusun dan menetapkan APB Desa secara tepat waktu, dengan mencantumkan rencana penggunaan Dana Desa untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, dokumen penganggaran yang diperlukan untuk dasar pelaksanaan kegiatan sudah dapat dipenuhi di awal tahun, sehingga penyaluran Dana Desa dari RKUN ke RKUD, dan dari RKUD ke RKD dapat dilakukan sesuai jadwal yang telah ditetapkan, yaitu tahap I paling lambat pada minggu kedua April sebesar 40 persen, tahap
II paling lambat minggu kedua Agustus sebesar 40 persen, dan tahap III paling lambat pada minggu kedua Oktober sebesar 20 persen. Alokasi anggaran Dana Desa dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp46.982,1 miliar (6,5 persen dari dan di luar Transfer ke Daerah), atau meningkat 126,2 persen dari pagunya dalam APBNP tahun 2015.