Risiko Asumsi Dasar Ekonomi Makro

2.1.1 Risiko Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Dinamika ekonomi baik domestik maupun global berdampak pada APBN melalui indikator- indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi utama di dalam penyusunan APBN. Asumsi dasar ekonomi makro sebagai dasar penyusunan APBN meliputi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Oil Price/ ICP), lifting minyak, dan lifting gas .

2.1.1.1 Sensitivitas APBN Tahun 2016 terhadap Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Asumsi dasar ekonomi makro digunakan sebagai dasar perhitungan dalam menyusun APBN tahun 2016. Oleh karena itu, perubahan asumsi dasar ekonomi makro dari yang semula ditetapkan akan menyebabkan perubahan pada besaran pendapatan negara, belanja negara, defisit, dan pembiayaan anggaran. Dampak perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap postur APBN tahun 2016 dapat ditransmisikan sebagai berikut.

Pertumbuhan ekonomi memengaruhi besaran APBN tahun 2016, baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi penerimaan perpajakan, terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, cukai, pajak lainnya, dan bea masuk. Selanjutnya, perubahan pada penerimaan perpajakan tersebut akan memengaruhi belanja negara pada anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH) pajak. Selain itu, perubahan pada sisi pendapatan negara akan memengaruhi besaran dana alokasi umum (DAU) mengingat perhitungan alokasi DAU merupakan persentase tertentu dari penerimaan dalam negeri (PDN) neto. Selanjutnya, perubahan alokasi DAU

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

akan memengaruhi besaran dana otonomi khusus mengingat perhitungan dana otonomi khusus merupakan persentase tertentu dari DAU. Sementara itu, setiap perubahan pada sisi belanja negara juga mempunyai konsekuensi terhadap perubahan anggaran pendidikan dan kesehatan. Perubahan tersebut dilakukan untuk memenuhi alokasi anggaran pendidikan minimum 20,0 persen dan anggaran kesehatan sebesar 5,0 persen terhadap total belanja negara sesuai amanat konstitusi.

Tingkat inflasi memengaruhi besaran APBN tahun 2016 melalui produk domestik bruto (PDB) nominal. Perubahan PDB nominal berdampak pada perubahan penerimaan perpajakan

terutama PPh nonmigas, PPN, PBB dan pajak lainnya. Pada sisi belanja negara, perubahan penerimaan perpajakan tersebut akan diikuti oleh perubahan DBH pajak, DAU, anggaran pendidikan, dan anggaran kesehatan.

Selanjutnya, perubahan tingkat suku bunga SPN 3 bulan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara, yaitu perubahan pada pembayaran bunga utang domestik. Perubahan tersebut selanjutnya akan diikuti oleh perubahan pada anggaran pendidikan dan kesehatan.

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan tersebut terjadi terutama pada anggaran yang menggunakan mata uang dolar AS sebagai komponen perhitungan. Pada sisi pendapatan negara, fluktuasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara itu pada sisi pembiayaan, fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, penerusan pinjaman ( subsidiary loan agreement/SLA), dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Harga minyak mentah Indonesia (ICP) memengaruhi besaran APBN tahun 2016 terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak mentah sebagai komponen perhitungan. Pada sisi pendapatan negara, perubahan harga minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan ICP antara lain akan memengaruhi belanja subsidi energi, DBH migas ke daerah akibat perubahan PNBP SDA migas serta anggaran pendidikan dan kesehatan.

Selanjutnya, perubahan lifting minyak dan lifting gas akan memengaruhi besaran APBN tahun 2016 pada anggaran yang bersumber dari penjualan minyak mentah Indonesia, yaitu penerimaan PPh migas, PNBP SDA migas, DBH migas, serta alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan.

Risiko fiskal perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap APBN tahun 2016 dihitung dengan mempertimbangkan probabilitas/kemungkinan terjadinya deviasi asumsi dasar

ekonomi makro, besaran deviasinya, dan dampak perubahannya pada postur APBN tahun 2016. Untuk mengukur probabilitas terjadinya deviasi asumsi dasar ekonomi makro tersebut, Pemerintah melakukan beberapa langkah tindakan. Saat ini, Pemerintah telah mengembangkan sistem informasi guna memonitor perkembangan data asumsi dasar ekonomi makro, seperti pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pergerakan harga minyak, dan pergerakan

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

suku bunga. Melalui sistem informasi tersebut, dilakukan perhitungan estimasi probabilitas dan besaran deviasi asumsi dasar ekonomi makro yang diperkirakan terjadi pada akhir tahun. Disamping menggunakan sistem informasi, Pemerintah juga secara berkala melakukan diskusi dengan pakar/analis ekonomi untuk secara bersama membahas perkiraan kondisi ekonomi tahun berjalan. Sensitivitas APBN tahun 2016 terhadap asumsi dasar ekonomi makro disajikan dalam Tabel III.2.1.

Tabel III.2.1 SENSITIVITAS APBN 2016 TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO (triliun rupiah)

Pertum buhan

Inflasi ↑

SPN ↑

Nilai T ukar

URAIAN

Ekonom i ↑

+10rb A. Pendapatan Negara

+Rp100/US$

+US$1

3.9 1.6 - 3.0 a. Penerimaan Perpajakan

0.8 0.2 - 0.4 b. PNBP

1.0 a. Belanja Pemerintah Pusat

B. Belanja Negara

2.6 0.1 - 0.3 b. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

C. Surplus/(Defisit) Anggaran

D. Pembiayaan

(0.5) - 0.3 -

0.9 1.1 - 2.0 Sum ber: Kem enterian Keuangan

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan

Sementara itu, Tabel III.2.2 menunjukkan deviasi antara asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN dan realisasinya untuk tahun 2010-2015.

TABEL I I I .2.2 PERKEMBANGAN SELI SI H ANTARA ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALI SASI NYA, 2010-2015

Pertumbuhan ekonomi (%)

(0.4) (0.1) Inflasi (%)

3.1 0.6 SPN 3 bulan rata-rata (%)

(0.2) 0.2 Nilai tukar (Rp/USD)

278.0 600 ICP (USD/barel)

(8.0) (45) Lifting minyak (juta barel per hari) (0.0)

(0.0) (0.1) Lifting gas (juta barel per hari)****

A ngka positif m enu nju kka n r ea lisa si lebih tinggi da r ipa da a su m siny a . Untu k nila i tu ka r , a ngka positif m enu nju kka n depr esia si.

** Mer u pa ka n selisih a nta r a A PBNP denga n A PBN 2 01 5. ***

Seja k A PBNP 2 01 1 m enggu na ka n tingka t su ku bu nga SPN 3 bu la n **** Seja k A PBN 2 01 3 lifting ga s m enja di sa la h sa tu a su m si ekonom i m a kr o

Su m ber : Kem enter ia n Keu a nga n.

Deviasi asumsi dasar ekonomi makro mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target APBN dengan realisasinya, yaitu pada pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran. Namun untuk beberapa pos tertentu seperti DAU, dana otonomi khusus dan penyesuaian, realisasi asumsi dasar ekonomi makro tidak berpengaruh terhadap pos tersebut. Apabila realisasi defisit melebihi target defisit yang ditetapkan dalam APBN, maka hal tersebut merupakan risiko fiskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya.

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

2.1.1.2 Sensitivitas Proyeksi APBN Jangka Menengah terhadap Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Postur APBN jangka menengah disusun dengan mengacu pada perkembangan dan kinerja perekonomian global dan domestik, khususnya terkait prospek berbagai indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro. Besaran asumsi dasar ekonomi makro tersebut digunakan sebagai basis perhitungan dalam menyusun sensitivitas APBN. Apabila asumsi dasar ekonomi makro mengalami perubahan dari yang sebelumnya diproyeksikan, maka besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran dalam postur APBN juga mengalami perubahan. Di samping itu, besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran dipengaruhi juga oleh baseline kebijakan serta policy measure yang diasumsikan setiap tahunnya. Hal tersebut menyebabkan besaran sensitivitas APBN terhadap perubahan asumsi dasar ekonomi makro setiap tahunnya berbeda. Sensitivitas proyeksi APBN jangka menengah terhadap perubahan asumsi dasar ekonomi makro disajikan dalam Tabel III.2.3.

Tabel III.2.3 SENSITIVITAS PROYEKSI APBN JANGKA MENENGAH TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO, 2017-2019 (triliun rupiah)

↑ ICP ↑ ↑ Lifting ↑

Inflasi ↑

SPN ↑

Nilai Tukar

Ekonomi

Rupiah

+US$1 +10rb A. Pendapatan Negara

+Rp100/US$

2.4 a. Penerimaan Perpajakan

2.3 - 2.8 0.8 - 0.8 0.4 - 0.4 b. PNBP

0.9 a. Belanja Pemerintah Pusat

B. Belanja Negara

2.1 1.2 - 1.8 1.8 - 2.2 0.1 - 0.2 b. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

C. Surplus/(Defisit) Anggaran

D. Pembiayaan

0.0 - -

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan 1.2 -

Nilai Tukar

Rupiah ↑

ICP ↑ Lifting ↑

+US$1 +10rb A. Pendapatan Negara

+Rp100/US$

2.9 a. Penerimaan Perpajakan

2.7 - 3.1 0.8 - 0.8 0.4 - 0.4 b. PNBP

0.9 a. Belanja Pemerintah Pusat

B. Belanja Negara

1.8 1.8 - 2.4 0.1 - 0.2 b. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

C. Surplus/(Defisit) Anggaran

D. Pembiayaan

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan

2.5 0.7 - 1.0 1.3 -

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

Nilai Tukar

ICP ↑ Lifting ↑

+US$1 +10rb A. Pendapatan Negara

+Rp100/US$

4.2 1.8 - 2.9 a. Penerimaan Perpajakan

3.1 - 3.5 0.8 - 0.8 0.4 - 0.4 b. PNBP

1.1 a. Belanja Pemerintah Pusat

B. Belanja Negara

2.7 1.2 - 1.9 1.9 - 2.3 0.1 - 0.3 b. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

C. Surplus/(Defisit) Anggaran

D. Pembiayaan

(0.2) - -

0.9 1.3 - 1.8 Sumber: Kementerian Keuangan

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan 1.6 -

2.1.1.3 Sensitivitas Risiko Fiskal BUMN terhadap Perubahan

Variabel Ekonomi Makro

Risiko fiskal yang berasal dari kinerja BUMN timbul jika terdapat penyimpangan target penerimaan negara dari BUMN, alokasi pengeluaran negara kepada BUMN, dan alokasi kewajiban kontinjensi kepada BUMN. Eksposur penerimaan negara dari BUMN berasal dari penerimaan pajak, dividen, privatisasi, atau pendapatan Pemerintah atas bunga pengembalian pokok atas utang BUMN. Sedangkan eksposur pengeluaran negara kepada BUMN dapat melalui subsidi, penyertaan modal negara (PMN), maupun pinjaman kepada BUMN. Kewajiban kontinjensi berasal dari penjaminan yang diberikan oleh Pemerintah kepada debitur BUMN, seperti penjaminan untuk PT PLN (Persero) pada proyek fast track program tahap I (FTP I).

Macro Stress Test BUMN

Pengujian untuk mengetahui dampak fiskal yang muncul akibat faktor risiko makro terhadap BUMN dilakukan dengan menggunakan model macro stress test. Dalam model tersebut, metode yang digunakan adalah stress testing atau uji ketahanan dengan skenario berdasarkan perubahan faktor risiko makro secara parsial. Variabel asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam uji ketahanan tersebut adalah (1) pertumbuhan ekonomi; (2) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS; (3) suku bunga SPN 3 bulan; dan (4) harga minyak mentah Indonesia (ICP). Sementara itu, pengujian macro stress test dilakukan dengan menggunakan sampel 22 BUMN yang dipilih dengan kriteria sebagai berikut: (1) BUMN yang memberikan penerimaan fiskal terbesar; (2) BUMN yang menyebabkan pengeluaran fiskal terbesar; dan (3) BUMN yang mewakili sektor dalam perekonomian.

Hasil dari stress testing adalah dampak risiko fiskal akibat perubahan ekstrem dari empat variabel asumsi dasar ekonomi makro yang dinyatakan dalam lima indikator utama, yaitu: (1) persentase perubahan penerimaan APBN dari BUMN baik pajak maupun PNBP; (2) persentase perubahan nilai utang bersih portofolio BUMN; (3) persentase perubahan belanja APBN berupa subsidi melalui BUMN; (4) persentase perubahan nilai aset bersih portofolio BUMN, dan (5) persentase perubahan kewajiban kontinjensi dari portofolio BUMN.

Hasil Macro Stress Test

Stress test dilakukan untuk melihat dampak atas perubahan ekstrem satu variabel asumsi dasar ekonomi makro terhadap indikator utama dimana variabel asumsi dasar ekonomi

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

makro lainnya diasumsikan tidak berubah ( ceteris paribus). Variabel ekonomi makro yang dipilih untuk menguji indikator utama tersebut merupakan skenario kondisi ekonomi makro terburuk yang dapat terjadi, diantaranya (1) kenaikan harga minyak dunia US$20 per barel lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan; (2) kenaikan kurs valuta dolar AS 20,o persen lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan; (3) kenaikan suku bunga mencapai 3,0 persen di atas perkiraan; serta (4) pertumbuhan ekonomi 2,0 persen lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan. Uji dilakukan berdasarkan skenario baseline (kondisi ekonomi makro sesuai asumsi APBN).

Hasil analisis model macro stress test portofolio BUMN terhadap perubahan penerimaan negara dari BUMN tahun 2016 menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga secara agregat berpengaruh secara positif pada penerimaan negara dari portofolio BUMN akibat kontribusi penerimaan pajak dan nonpajak dari BUMN perbankan. Sedangkan pengaruh positif dari kenaikan harga minyak dan kurs bersumber dari BUMN yang memiliki pendapatan terkait dengan energi dan komoditi serta penerima subsidi untuk kewajiban pelayanan umum. Sedangkan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 2,0 persen akan memberikan pengaruh secara negatif sekitar 2,0 persen pada penerimaan negara dari portofolio BUMN. Hasil analisis model macro stress test portofolio BUMN

disajikan pada Grafik III.2.1.

GRAFIK III.2.1

HASIL ANALISIS MODEL MACRO STRESS TEST PORTOFOLIO BUMN TERHADAP PERUBAHAN PENERIMAAN NEGARA DARI

BUMN TAHUN 2016

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20 /barel

Sumber: Kementerian Keuangan

Sementara itu, hasil analisis model macro stress test untuk BUMN sektor keuangan menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga merupakan faktor makro yang paling berpengaruh pada penerimaan negara dari BUMN sektor keuangan, ceteris paribus. Sebaliknya, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh secara negatif cukup besar pada penerimaan negara tersebut. Nilai hutang bersih BUMN sektor keuangan terutama dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan kurs valas. Pengaruh positif atau negatif dari kedua faktor makro tersebut bergantung pada seberapa besar total eksposur pada neraca BUMN tersebut. Sedangkan pengaruh faktor penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi bergantung pada korelasinya dengan agregat pertumbuhan dana pihak ketiga. Nilai aset bersih BUMN sektor keuangan dipengaruhi secara positif oleh peningkatan suku bunga dan secara negatif oleh penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis model macro stress test untuk

BUMN sektor keuangan tahun 2016 disajikan pada Grafik III.2.2.

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

GRAFIK III.2.2 HASIL ANALISIS MODEL MACRO STRESS TEST UNTUK BUMN SEKTOR KEUANGAN

Bunga + 3%

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20/barel

Harga Minyak + US$20/barel

Perubahan Penerimaan Negara dari BUMN T ahun 2016 Perubahan Nilai Hutang Bersih BUMN T ahun 2016

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20/barel

Perubahan Nilai Aset Bersih BUMN T ahun 2016

Sumber: Kementerian Keuangan

Selanjutnya, hasil analisis model macro stress test untuk BUMN nonkeuangan disajikan pada Grafik III.2.3. Peningkatan harga minyak dan kurs valas akan meningkatkan penerimaan negara dari BUMN nonkeuangan akibat pendapatan dari BUMN penghasil energi dan komoditi. Peningkatan total agregat pendapatan portofolio BUMN nonkeuangan akibat kedua faktor makro tersebut juga menyebabkan mengecilnya agregat nilai hutang bersih. Faktor risiko penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh negatif pada variabel penerimaan negara dari BUMN, total nilai hutang bersih, total aset bersih dan total subsidi. Meskipun demikian, kewajiban kontinjensi semakin meningkat dengan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut.

Indikator ekonomi makro dapat pula memengaruhi kesinambungan pembangunan infrastruktur hingga tahap ketika dukungan fiskal sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, kenaikan kurs valas dapat memengaruhi besarnya nilai investasi dari suatu infrastruktur yang sedang dalam tahap konstruksi. Faktor makro ini juga berpengaruh pada besaran kewajiban kontinjensi ekplisit yang diberikan oleh Pemerintah. Risiko fiskal yang bersumber dari percepatan pembangunan proyek disajikan dalam Boks III.2.1.

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal

GRAFIK III.2.3 HASIL ANALISIS MODEL MACRO STRESS TEST UNTUK BUMN NONSEKTOR KEUANGAN

Bunga + 3%

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20/barel

Harga Minyak + US$20/barel

Perubahan Penerimaan Negara dari BUMN T ahun 2016 Perubahan Nilai Hutang Bersih BUMN T ahun 2016

Bunga + 3%

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20/barel

Harga Minyak + US$20/barel

Nilai Aset Bersih T ahun 2016 Perubahan Kewajiban Kontinjensi tahun 2016

Bunga + 3%

Harga Minyak + US$20/barel

Perubahan Subsidi 2016

Sumber: Kementerian Keuangan

Bab 2 Sumber Risiko Fiskal Bagian III

BOKS III.2.1 RISIKO FISKAL DARI PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROYEK INFRASTRUKTUR

Salah satu agenda prioritas pembangunan (Nawa Cita) Presiden terpilih tahun 2015 - 2019 adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional melalui pembangunan infrastruktur. BUMN selaku kepanjangan tangan dari Pemerintah yang diberi penugasan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur, memerlukan dukungan Pemerintah baik dalam bentuk penguatan modal maupun penjaminan terhadap pinjaman

Pemerintah telah memberikan penjaminan terhadap pinjaman PT PLN (Persero) untuk melaksanakan program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara tahap pertama. Penjaminan tersebut menimbulkan eksposur kepada keuangan negara. Grafik di bawah ini merupakan hasil stress test terhadap posisi pinjaman, pembayaran pokok dan bunga pada tahun 2016 bila terjadi kejutan ( shock) kenaikan kurs valas sebesar 20,0 persen dan kenaikan suku bunga sebesar 300 basis poin pada pinjaman PT PLN (Persero) pada proyek FTP I yang dijamin oleh Pemerintah.

Sumber: Model Macro Stress Test, Kementerian Keuangan

Pinjaman yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dalam rangka FTP I dengan pinjaman sebesar Rp40,6 triliun pada tahun 2016 menimbulkan kewajiban untuk pembayaran bunga sekitar Rp1,9 triliun dan pembayaran pokok sebesar Rp9,3 triliun. Kenaikan kurs valas sebesar 20,0 persen akan meningkatkan jumlah nominal bunga, pokok dan sisa pinjaman yang harus dibayarkan. Sedangkan kenaikan suku bunga akan berpengaruh pada beban bunga untuk pinjaman dengan bunga mengambang. Sedangkan kenaikan suku bunga akan berpengaruh pada beban bunga untuk pinjaman dengan bunga mengambang.

Dukungan Pemerintah dalam bentuk penyertaan modal negara kepada BUMN dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp40,4 triliun akan dibahas dalam RUU APBN Perubahan tahun 2016 sesuai dengan putusan Sidang Paripurna DPR RI. Beberapa BUMN yang menerima PMN dalam rangka pembangunan infrastruktur antara lain PT PLN untuk proyek 35.000 MW, PT Hutama Karya untuk pembangunan jalan tol di Sumatera, dan PT Wijaya Karya untuk pembangunan kawasan industri, pembangkit listrik, dan jalan tol. Penundaan PMN tersebut dapat berpengaruh terhadap pembiayaan investasi dan menyebabkan BUMN tersebut mencari alternatif pembiayaan lain seperti pinjaman bank, penerbitan saham atau obligasi, dan Medium Term Note (MTN) yang berisiko menimbulkan crowding out di pasar keuangan baik domestik maupun global yang akan mengakibatkan meningkatnya suku bunga dan biaya investasi. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah leverage BUMN penerima PMN untuk menjaga kesehatan keuangan dan meminimalkan risiko gagal bayar/ default BUMN.

Bagian III Bab 2 Sumber Risiko Fiskal