Perkembangan Dunia dan Regional

2.1 Perkembangan Dunia dan Regional

Dalam lima tahun terakhir, perekonomian dunia bergerak dinamis dengan kecenderungan mengalami perlambatan, meskipun pada tahun 2010 perekonomian dunia sempat menunjukkan peningkatan setelah mengalami krisis yang cukup dalam pada tahun 2008/2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia mulai terlihat pada tahun 2011 dan tren tersebut terus berlanjut hingga tahun 2013. Meskipun demikian, pada periode tersebut terjadi perbaikan kinerja perekonomian di beberapa kawasan, seperti Amerika Serikat dan Asia, tetapi dengan kecepatan pemulihan yang masih cukup lambat dan jauh dari ekspektasi semula sehingga belum mampu mendorong percepatan pemulihan ekonomi dunia secara signifikan. Di samping itu, permasalahan baru muncul di kawasan Eropa, khususnya dampak dari krisis utang yang dialami Yunani sehingga turut menghambat percepatan laju pemulihan perekonomian Eropa juga dunia. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dunia dapat dilihat pada Tabel IV.2.1

TABEL IV.2.1 INDIKATOR PEREKONOMIAN DUNIA (Persen, YoY)

2014 2015f Pertumbuhan PDB Dunia

Negara Maju

1,8 2,1 Amerika Serikat

-0,1 0,8 Negara Berkembang

Perdagangan Dunia

Ekspor Negara Maju

3,3 3,2 Negara Berkembang

3,4 5,3 Impor Negara Maju

3,3 4,5 Negara Berkembang

Negara Maju

1,4 0,0 Negara Berkembang

Su m ber : IMF, W or ld Econ om ic Ou t look , Ju li 2 0 1 5 f = a n g k a pr oy ek si

Nota Keuangan dan APBN 2016 IV.2-1

Bagian IV Bab 2: Perkembangan Ekonomi Periode 2010-2015

Memasuki tahun 2014, pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh pada tingkat yang sama dengan pertumbuhan periode 2012-2013 yaitu 3,4 persen. Meskipun pertumbuhan ekonomi di negara- negara maju khususnya Amerika Serikat menunjukkan tren peningkatan, perekonomian negara- negara berkembang justru mengalami tren perlambatan. Perlambatan di negara-negara Asia terjadi hampir di seluruh kawasan termasuk China dan ASEAN-5 kecuali India.

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat terus meningkat sejak tahun 2011 dari 1,6 persen menjadi 2,4 persen pada tahun 2014. Peningkatan pertumbuhan tersebut terutama ditopang oleh peningkatan konsumsi yang dipengaruhi oleh peningkatan lapangan kerja dan peningkatan penghasilan perorangan. Semakin membaiknya kondisi ekonomi Amerika Serikat, telah mendorong penurunan tingkat pengangguran dari level tertinggi 9,8 persen pada Januari 2010 menjadi 5,6 persen pada Desember 2014. Sementara itu, inflasi yang berada di angka 2,6 persen pada Januari 2010 terus mengalami penurunan hingga menjadi 0,8 persen pada akhir 2014.

Membaiknya perekonomian Amerika Serikat tersebut melatarbelakangi keputusan The Federal Reserve (The Fed) untuk mengurangi stimulus moneter (tapering off) secara bertahap yang dimulai pada awal 2014 dari US$85 miliar hingga mencapai US$35 miliar pada Oktober 2014. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund rate) diperkirakan akan dinaikkan paling cepat pada akhir tahun 2015. Tingkat suku bunga tersebut saat ini adalah 0,25 persen, tidak mengalami perubahan sejak Desember 2008. Momentum positif ekonomi Amerika Serikat diperkirakan masih akan terus berlanjut sehingga ekonomi Amerika Serikat diproyeksikan tumbuh 2,5 persen pada tahun 2015, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,4 persen.

Sementara itu, Zona Eropa di tahun 2014 menunjukkan pertumbuhan sebesar 0,8 persen, meningkat dibandingkan 2 tahun sebelumnya yang masih mengalami kontraksi. Turunnya pertumbuhan ekonomi Eropa sebesar -0,8 persen pada tahun 2012 dan -0,4 persen pada tahun 2013 telah mendorong European Central Bank (ECB) memangkas suku bunga acuan pada bulan November 2013 dari 0,5 persen menjadi 0,25 persen. Tahun 2015, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh mencapai 1,5 persen. Perkembangan positif tersebut tidak lepas dari makin membaiknya kinerja ekonomi di Jerman, Perancis, Italia dan Spanyol. Namun demikian, kawasan Eropa masih dihadapkan oleh beberapa risiko seperti deflasi, perlambatan pertumbuhan produktivitas, dan dampak dari kondisi gagal bayar (default) utang fiskal yang terjadi di Yunani.

Begitu juga dengan perekonomian Jepang diperkirakan dapat tumbuh 0,8 persen pada tahun 2015 setelah mengalami kontraksi pada tahun 2014. Namun, Jepang masih dihadapkan pada sejumlah risiko ekonomi yang terindikasi oleh pertumbuhan produksi industri dan pertumbuhan penjualan eceran yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Tingkat inflasi Jepang tahun 2014 juga melambat. Tingkat inflasi yang rendah bahkan deflasi, telah menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan kebijakan ekonomi Jepang selama bertahun-tahun. Menyikapi sejumlah risiko ekonomi yang terjadi, Bank Sentral Jepang (BOJ) mengeluarkan kebijakan melalui peningkatan program quantitative easing di tahun 2015. BOJ akan mengucurkan 80 triliun yen per tahun, meningkat dari stimulus sebelumnya yang hanya 60-70 triliun yen per tahun. Hal tersebut terutama ditujukan untuk mengantisipasi risiko deflasi yang terjadi di negara tersebut.

Perbedaan kondisi ekonomi di negara-negara maju tersebut berimplikasi pada perbedaan strategi kebijakan yang ditempuh masing-masing negara. Dengan momentum perbaikan perekonomian yang terjadi, Amerika Serikat memberhentikan stimulus dan mulai memperketat kebijakan moneternya. Sementara itu, Eropa dan Jepang justru menambah stimulus moneter

IV.2-2 Nota Keuangan dan APBN 2016

Bab 2: Perkembangan Ekonomi Periode 2010-2015 Bagian IV

dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah terjadinya deflasi yang berkepanjangan. Perbedaan arah kebijakan tersebut selanjutnya berdampak pada perekonomian di negara-negara berkembang.

Tekanan pada negara-negara berkembang mulai muncul ketika isu tapering off oleh The Fed dikeluarkan pada tahun 2013. Hal ini menyebabkan pasar keuangan di negara-negara berkembang bergejolak dan terjadi capital outflow yang cukup signifikan dan menyebabkan pelemahan nilai tukar negara-negara berkembang terhadap dolar Amerika Serikat. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, khususnya negara berkembang Asia, tidak dapat lepas dari perkembangan dua negara besar, yaitu Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut memiliki economic size yang cukup besar dalam mempengaruhi kinerja perdagangan luar negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia.

Sejak tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus mengalami perlambatan dan tidak lagi mencapai pertumbuhan double digit. Setelah sempat tumbuh 10,3 persen, pada tahun 2013 ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 7,8 persen dan kembali turun ke level 7,4 persen di 2014. Situasi negara-negara maju yang sedang menghadapi masalah ekonomi domestik telah menekan permintaan produk-produk yang berasal dari Tiongkok. Tahun 2015, aktivitas perekonomian Tiongkok diperkirakan tumbuh 6,8 persen, lebih rendah dari realisasi tahun 2014.

Berbeda dengan Tiongkok, prospek ekonomi India sejak tahun 2012 terus menunjukkan kemajuan yang pesat. Setelah tumbuh 5,1 persen di tahun 2012, ekonomi India tumbuh 6,9 persen di tahun 2013 dan 7,2 persen di tahun 2014, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan periode 2010 yang mencapai 10,3 persen. Masih tingginya laju inflasi mempersempit ruang gerak India untuk melakukan pelonggaran kebijakan yang bertujuan untuk mendorong permintaan domestik. Di sisi lain, India juga menghadapi tekanan defisit anggaran dan neraca transaksi berjalan. Untuk mengurangi defisit anggaran yang melebar, India telah mengambil langkah kebijakan mengurangi subsidi solar melalui kenaikan harga di dalam negeri.

Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan mencapai 7,5 persen dan memimpin laju pertumbuhan Asia. Pemerintah India terus melakukan reformasi ekonomi untuk menunjukkan bahwa India merupakan negara yang business friendly. Selain itu, Bank Sentral India juga memberikan insentif bagi kegiatan investasi dan produksi dengan memangkas tingkat suku bunga acuan untuk kedua kalinya di tahun 2015 sebesar 25 bps menjadi 7,5 persen. Langkah ini diambil setelah terjadi penurunan inflasi di negara tersebut.

Seiring dengan perlambatan yang terjadi di kawasan global dan regional, sebagai mitra dagang utama Tiongkok, negara-negara ASEAN juga turut mengalami imbas perlambatan ekonomi. Di tahun 2014 pertumbuhan negara-negara ASEAN-5 mencapai 4,6 persen lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,1 persen. Selain itu, normalisasi kebijakan di negara-negara maju membuat aliran modal berbalik arah dari negara-negara berkembang kembali ke negara-negara maju yang menyebabkan depresiasi nilai tukar negara-negara ASEAN termasuk Indonesia dengan volatilitas yang tinggi. Investasi di negara-negara ASEAN mengalami tren perlambatan sejak awal 2013, bahkan pertumbuhan investasi (PMTB) Thailand mengalami penurunan sejak kuartal III 2013. Namun, pertumbuhan investasi negara-negara ASEAN berhasil mengalami peningkatan memasuki kuartai I 2015. Pertumbuhan investasi

negara-negara ASEAN dapat dilihat pada Grafik IV.2.1

Pada kuartal I 2015, perekonomian beberapa negara ASEAN menunjukkan sedikit perlambatan. Indonesia tumbuh 4,7 persen, Filipina 5,2 persen, dan Malaysia 5,6 persen lebih lambat

Nota Keuangan dan APBN 2016 IV.2-3

Bagian IV Bab 2: Perkembangan Ekonomi Periode 2010-2015

dibandingkan pencapaian kuartal

IV 2014. Vietnam masih dapat GRAFIK IV.2.1

PERTUMBUHAN INVESTASI NEGARA-NEGARA

tumbuh 6,0 persen lebih tinggi

BERKEMBANG ASIA (Persen)

dibandingkan kuartal IV 2014. 50,0 Sementara Thailand menunjukkan

Filipina

Indonesia

Malaysia Thailand

tren kenaikan pertumbuhan setelah 40,0 mengalami kontraksi sebesar -0,6

persen pada kuartal I 2014 akibat 30,0 gejolak politik yang terjadi di negara 20,0

tersebut dan tumbuh mencapai 3,0 persen yang didukung oleh 10,0 peningkatan pertumbuhan investasi

Thailand. Meskipun mengalami

perlambatan, pertumbuhan -10,0

ekonomi ASEAN-5 di tahun 2015 diperkirakan meningkat menjadi -20,0

4,7 persen atau menguat 0,1 persen Sumber: Bloomberg dari tahun 2014. Pelaksanaan

Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan mendorong pertumbuhan lebih baik di kawasan tersebut pada 2016.

Harga Komoditas Dunia

Kecenderungan naiknya harga komoditas utama dunia sejak tahun 2010 sampai 2011 yang didorong oleh kebijakan stimulus fiskal dan moneter di negara maju ternyata tidak bertahan lama. Harga komoditas utama internasional menunjukan tren pelemahan sejak tahun 2012 hingga 2014. Selain karena penguatan permintaan yang belum cukup signifikan, meningkatnya pasokan komoditas dunia telah menyebabkan berlanjutnya tren penurunan harga komoditas global. Kinerja pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang tidak seperti yang diharapkan serta tingginya volatilitas di pasar keuangan global merupakan beberapa faktor yang menekan harga komoditas global.

Sebagian besar harga komoditas internasional sepanjang tahun 2012-2014 menunjukkan tren menurun. Hal tersebut terutama disebabkan karena rendahnya permintaan dari negara-negara maju dan negara emerging market. Selain itu, faktor persediaan juga turut mempengaruhi penurunan drastis harga minyak menyusul keputusan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk mempertahankan level produksinya, sementara produksi minyak dari negara non-OPEC, terutama Amerika Serikat, juga secara konsisten mengalami kenaikan. Rendahnya harga minyak dunia juga berdampak pada turunnya harga komoditas logam. Walaupun demikian, harga minyak ke depan berpotensi akan mengalami kenaikan seiring dengan membaiknya perekonomian global dan faktor geopolitik.

Seiring dengan penurunan harga minyak dunia dan sisi permintaan global yang masih relatif lemah, harga komoditas pangan cenderung menurun. Hingga akhir tahun 2014, harga komoditas pangan rata-rata telah mengalami penurunan sekitar 9 persen dibandingkan akhir tahun 2013. Penurunan ini menyebabkan harga pangan mencapai titik terendahnya selama 4 tahun terakhir.

Perkembangan harga komoditas dunia dapat dilihat pada Grafik IV.2.2

IV.2-4 Nota Keuangan dan APBN 2016

Bab 2: Perkembangan Ekonomi Periode 2010-2015 Bagian IV

GRAFIK IV.2.2

GRAFIK IV.2.3 HARGA BERAS INTERNASIONAL

INDEKS HARGA PANGAN DUNIA (2010=100)

(USD/metric ton)

Indeks Harga Pangan

Produk Susu

Harga Beras

Internasional Thailand 300,0

Biji-bijian

Harga Beras 250,0

Minyak Nabati Gula

Internasional India

Ap Sumber: FAO r-

Sumber: Bloomberg

Mengikuti tren penurunan harga komoditas dunia, sejak tahun 2012 laju inflasi dunia menunjukkan tren perlambatan. Melambatnya pertumbuhan di dunia, berpengaruh terhadap penurunan permintaan terhadap komoditas mentah sehingga pada akhirnya menahan percepatan laju inflasi. Dengan perkembangan harga-harga komoditas tersebut, inflasi dunia tahun 2014 sedikit melambat dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen. Melambatnya inflasi ini bahkan mulai terjadi sejak di tingkat produsen sehingga efek lanjutannya akan menurunkan tingkat harga di tingkat konsumen. Harga komoditas minyak dan logam yang semakin rendah turut berdampak pada turunnya ongkos produksi dan harga produsen. Negara-negara maju (selain Amerika Serikat) seperti Eropa masih harus berhadapan dengan melemahnya ekonomi negara-negara tersebut, sehingga masih akan menerapkan kebijakan moneter longgar.