Lambang Dalam Konflik Nasionalisme Versus Separatis

57 sebagai salah satu pusat kerajaan Pajajaran di masa lalu, nama Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk tidak ada. Setelah kemerdekaan, nasionalisme Indonesia bergerak cepat bukan hanya untuk menghadapi kehendak Belanda untuk kembali berkuasa, tetapi juga mendisiplinkan Negara-negara yang terlanjur dibentuk, seperti Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Kibaran bendera-bendera Negara bagian ditarik, sering dengan perubahan bentuk Negara. Jabatan-jabatan juga disesuaikan dengan keputusan pemerintah pusat. Kesibukan dalam menata pemerintah, afiliasi politik yang longgar di antara para tokoh, persaingan kelompok-kelompok kepentingan, serta pengabaian atas keberadaan tokoh-tokoh lain di daerah, telah memunculkan sikap antipasti terhadap pemerintah pusat. Secara perlahan, kekecewaan itu berakumulasi kedalam berbagai bentuk pernytaan sikap. Muaranya adalah deklarasi pembentukan Negara atau pemerintahan yang terpisah atau mengakui keberadaan pemerintah pusat di Jakarta. Dari sini, terjadi penurunan bendera dan lambing Negara RI dan penaikan bendera dan lambing dari kelompok yang kecewa itu. Sejauh yang bias ditelusuri, apa yang dipahami sebagai perlawanan daerah itu berasal dari teks-teks deklarasi yang dilakukan oleh kalangan pemberontak atau separatisme. Namun, bagian terpenting dari deklarasi itu adalah pengibaran bendera dan penyebaran atas lambing-lambang “yang berbeda” itu dengan “yang resmi”. Konflik antara nasionalisme kontra separatisme dapat dikategorikan sebagai berikut; 58 Pertama, konflik nasionalisme versus separatisme terjadi ketika burung Garuda berhadapan dengan Banteng, Gajah, Macan dan lambing-lambang lain yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang memberontak dan pada akhirnya ingin mendirikan nagara sendiri. Burung Garuda dimaknakan secara nasional, mencakupi semua wilayah, sementara Gajah, Banteng dan lain-lain berupa pendefinisian diri dalam ruang lingkup daerah tetentu saja, tetapi semua mengarah kepada perlawanan atas Garuda. Simbolisasi seperti ini terjadi pada masa pemberontakan PRRI Permesta yang dipelopori oleh para tentara. 11 Kedua, konflik nasionalisme versus separatism juga terjadi ketika sang Merah Putih berhadapan dengan Bintang Kejora Papua, Bintang-Bulan Sabit Aceh dan simbol-simbol lain. Dari sini, menurunkan atau menaikan bendara pada suatu wilayah menjadi sangat penting. Ketika di suatu daerah merah-putih tidak berkibar terlalu lama, maka daerah itu bias dipandang menurun rasa nasionalismenya dan menarik semangat separatismenya. Beragam insiden terjadi ketika bendera ini dinaikkan atau diturunkan yang memakan korban jiwa dan pengorbanan lainnya. 12 Ketiga, dalam bentuk lain, konflik itu juga menjalar kepada penelusuran perbedaan-perbedaan antara kedua pihak yang bertikai. Perbedaan demi perbedaan ditonjolkan, baik atas nama etnik, agama, bahasa atau kehadiran kolonialisme di wilayah yang bersangkutan. 11 Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI …, h. 36. 12 Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI …, h. 36. 59

BAB IV GERAKAN ACEH MERDEKA

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pandangan Hukum Islam Tentang Gerakan Aceh Merdeka

Mengapa Gerakan Aceh Merdeka kemudian memutuskan untuk melihat bahwa bergabung dengan Indonesia lebih memberikan kemaslahatan dari pada tegak dengan harga diri bangsa Aceh tetapi menimbulkan kemudharatan. Al-Ghazali membedakan antara upaya pemisahan diri komunitas Islam sebagai bentuk amar maruf nahi munkar dalam konsep asy-syaukah kekuatan, dengan bentuk pemberontakan kepada pemerintahan yang sah bughat. Dalam perspektif Islam, membedakan dua makna sangat esensial, sebab untuk kategori pertama dinyatakan sebagai obligations, sedangkan yang kedua justru dinyatakan sebagai perbuatan yang diharamkan, bahkan dalam batas tertentu akan dianggap sebagai gerakan murtad riddah. 1 Dalam pandangan Ghazali, konsep asy-syaukah sebagai bentuk pengukuran kekuatan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dari kelompok masyarakat Islam yang berhadapan dengan rezim yang sudah terbukti zalim dan mengingkari hukum-hukum Islam. Pemerintah yang zalim memang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah akan menjadi fenomena dalam komunitas Islam setelah keruntuhan pemerintahan yang bermetodekan kaidah kenabian khalifah „ala minhaj an- 1 Zainuddin Ali, Hukum PIdana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 73. 60 nubuwwah. Artinya, jika upaya pelaksanaan amar maruf nahi munkar dalam bentuk konfrontasi terdukung oleh segala kekuatan yang memadai untuk mengatasi kekuatan negara dalam waktu yang singkat, maka aktivitas amar maruf dalam bentuk konfrontasi terhadap kekuatan zalim harus segera dideklarasikan dan dilaksanakan. Namun jika dalam proses adu kekuatan tersebut tidak terdapat keyakinan akan terkuasainya penguasa yang zalim dalam waktu yang singkat, maka aktivitas konfrontasi bukan tujuan utama. Selama ini Gerakan Aceh Merdeka dalam setiap propaganda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang zalim karena telah mengekploitasi Aceh dan tidak memberikan kemakmuran. Bahkan justru telah menimbulkan kesengsaraan. Meskipun secara definitif, setiap presiden Indonesia adalah Muslim, namun dalam idiom Gerakan Aceh Merdeka, ketika itu pemerintah Indonesia tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan kolonial yang “kafir”. Bagi GAM, aktivitas perlawanan kepada pemerintah Indonesia adalah aktivitas suci sebagai amar maruf nahi munkar. Maka barang siapa yang gugur dalam perjuangan pemerdekaan Aceh akan mendapatkan pahala syahid. Sebuah kedudukan yang terhormat dalam pandangan masyarakat Islam. Dalam perspektif GAM, jalan rekonsiliasi diyakini sebagai pilihan yang paling tepat karena upaya pemisahan diri sebagai bagian amar maruf nahi munkar tidak pernah mendapatkan momentum yang signifikan untuk mendapatkan kemaslahatan bagi bangsa Aceh. Masyarakat Aceh justru senantiasa terbelah; antara