Awal kelahiran Gerakan Aceh Merdeka GAM
47
tersebut berfungsi hingga pertengahan 1977. Persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk
kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan siding pertamanya pada 15 agustus 1977 di camp Lhok Nilam
pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu; presiden Hasan Muhammad Tiro, perdana menteri Dr.
Muchtar Hasbi, wakila perdana menteri teungku ilyas leube, Menteri keuangan Muhammad Usman, Menteri pekerjaan Umum Ir. Asnawi Ali, Menteri
Perhubungan Amir Isshak BA, Menteri Sosial Dr. Zubir Mahmud dan menteri penerangan M. Tahir Husin.
3
Factor-faktor yang menyebabkan terjadinya separatisme
Bila berbagai gerakan separatisme di dunia diamati maka terdapat berbagai motif yang mendorong munculnya gerakan tersebut, seperti; idelogi yang berbeda,
kekejaman pengusa, tekanan atau tuntutan ekonomi, pengaruh pihak asing, primordialisme, dan lain- lain. Menariknya,faktor pemicu munculnya separatisme itu
sering tidak tunggal dan tidak mudah diidentifikasi.
4
Pertama; faktor ideologis dapat muncul sejalan dengan hadirnya pemahaman baru tentang tatanan kehidupan. Kegagalan Negara-negara secular dalam menata
kehidupan manusia mendorong orang untuk mencari ideology alternatif. Dekadensi
3
Indra Jaya Piliang, Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI …, h.
12.
4
httpasysyariah.com, Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011.
48
moral dan pembusukan nilai- nilai kemanusiaan yang menjadi buah dari tatanan masyarakat secular telah mengecewakan berbagai pihak. Mereka pada akhirnya
mencari ideology alternatif yang lebih baik, lebih adil, dan mensejahterakan. Runtuhnya nilai- nilai kemulian manusia menjadi nilai- nilai materialistic dan
individualistic, imperialism gaya baru yang dibungkus dengan label globalisasi, yang merupakan strategi dan kandungan ideology kapasitas yang masih eksis saat ini, juga
membuat orang kecewa dan mencari ideology lain. Penemuan atas ideology baru tersebut kemudian turut mendorong mereka
untuk melakukan gerakan separatisme. Contohnya; dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka GAM, sulit dikatakan sepenuhnya bahwa perjuangannya bermotif
ideology seperti keinginan untuk menegakkan syariah Islam. Buktinya, pada saat pemerintah RI memberikan UU NAD, yang nuansa penerapan syariat Islamnya cukup
kental, GAM tetap saja menuntut merdeka dan menolak otonomi khusus yang sudah mulai diterapkan tersebut. Delegasi Gerakan Aceh Merdeka GAM sendiri pernah
menolak menjadikan ulama sebagai mediator krisis Aceh. Alasannya, ini persoalan kemasyarakatan bukan persoalan agama.
Kedua; faktor kezaliman politik. Pemerintahan yang totaliter tidak member ruang yang cukup bagi warga negaranya untuk mengekspresikan tuntutan dan
kepentingan politiknya. Kalaupun ada ritual pemilihan umum, ia cenderung dijadikan alat untuk melanggengkan dan membenarkan rezim yang berkuasa. Rezim politik
yang seperti ini sering menekan aspirasi dan keinginan sekelompok masyarakat, tetapi kadang juga mengeksploitasi sebagian besar masyarakat. Tekanan politik yang
49
sedemikian berat itu, pada tingkatan tertentu, akan memicu lahirnya gerakan- gerakan separatisme. Dalam kasus Aceh, kezaliman politik juga sangat kental mewarnai
semangat separatisme. Penyatuan Aceh ke dalam wilayah sumatera Utara pada awal tahun 50 an mendorong Abu Daud Beureueh angkat senjata.
5
Likuidasi kodam Iskandar muda ke kodam bukit barisan yang bermarkas di Medan juga menambah
luka rakyat Aceh. Dominasi militer semasa penerapan DOM tahun 1989-1998 dalam segala aspek kehidupan menjadi bukti kezaliman politik. Semua itu menggumpal dan
pada akhirnya menggiring sebagian rakyat Aceh untuk secara aktif ataupun pasif mendukung upaya separatisme. Hal ini ditambah lagi sikap pemerintah yang ingkar
janji dan tidak melakukan upaya rehabilitasi pasca DOM. Karena itu, Gerakan Aceh Merdeka GAM ibarat mendapat angin. Dalam waktu kurang dari dua tahun, anggota
dan simpatisan GAM menjadi ribuan. Ketiga; faktor ekonomi. Pada awal masa reformasi, beberapa daerah kaya
penghasil minyak dan hasil hutan menuntut sikap adil pemerintah. Dalam masa orde baru, daerah- daerah kaya ini menjadi sapi perah pemerintah pusat. Mereka tidak
pernah menikmati kekayaan alam yang dieksploitasi di tanah leluhurnya. Pada masa itu, APBD Aceh, Riau, dan Kaltim jauh lebih kecil dari.