Pembangkangan Terhadap Kepala Negara Imam

21 dengan istilah Imam yang di atasnya tidak ada lagi imam, sedangkan penguasa di bawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila ia mewakili Al-imam Al- A‟zham. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al- Mawardi, „Audah mendifinisikan khalifah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw. Dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam. 16 Pembentukan dengan imamah atau pemerintahan merupakan bagian dari fardu kifayah, sama halnya dengan pembentukan pengadilan. Hal ini karena umat memerlukan seorang pemimpin imam yang menjalankan urusan-urusan agama, membela sunah, menyantuni orang yang teraniaya, serta mengatur hak dan kewajiban warga negara umat. Tentu saja setiap imam atau kepala negara harus memenuhi syarat-syarat, antara lain yang paling penting, Islam, laki-laki, mukallaf, dan adil. Untuk pembentukan imamah yang diakui eksistensinya, bisa ditempuh beberapa cara sebagai berikut. 17 16 Muhammad Iqbal, fiqh siyasah kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya media pratama, 2001, h. 130. 17 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 112. 22 a. Dengan cara pemilihan oleh hilli wal‟aqdi Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahlul Hilli wal‟aqdi atau dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar di awal Islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendikiawanan mereka serta keikhlasan mereka. Juga keseriusan mereka dalam membuat hukum- hukum yang diperlukan, baik yang bekenaan dengan peraturan sipil, politik dan administrasi. Mereka termasuk ulil amri yang Allah SWT mewajibkan rakyat untuk mentaati mereka. 18 Contohnya; seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw. 19 b. Dengan penunjukan langsung oleh imam terdahulu terhadap orang yang menggantikannya, seperti penunjukan oleh khalifah Abu Bakar terhadap Sayidina Umar. Dalam perkembangan sejarah Islam, penunjukan oleh seorang kepala Negara secara langsung ini banyak terjadi pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, seperti penunjukan oleh Mu‟awiyah terhadap anaknya, dan hal ini oleh para ulama dibenarkan. c. Imam yang terdahulu membentuk majelis permusyawaratan yang terdiri dari orang-orang tertentu, dan mereka itulah yang melakukan pemilihan kepala Negara yang baru. Contohnya; seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar, ketika 18 Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005, h. 108. 19 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 112. 23 ia menunjuk enam orang sahabat, yang kemudian mereka bermusyawarah untuk memilih kepala Negara. Mereka akhirnya memilih sayidina Ustman bin Affan. d. Dengan cara kudeta atau perebutan kekuasaan yang diumumkan kepada rakyat, sehingga rakyat mengakuinya sebagai pemerintah yang sah. Dalam hal ini, rakyat yang telah mengakui itu wajib patuh kepada pemerintah baru hasil kudeta tersebut. Contohnya; dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh Abdul Malik ibn Marwan yang menggempur Abdullah ibn Az-Zubair dan membunuhnya, dan ia menguasai negeri dan penduduknya, sehingga mereka membaiatnya dan mengakuinya sebagai kepala negara imam. Apabila imamah telah terbentuk dan diakui dengan salah satu dari keempat cara tersebut maka tindakan separatis terhadapnya merupakan suatu tindakan separatime. Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala Negara imam, menurut Ar-Ridha adil istiqamah teguh pendirian, dan kesempurnaan tiada akhir. 20 menurut mazhab empat dan Syi‟ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar membangkang dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan amar ma‟ruf dan munkar. 21 Alasannya adalah keluar karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh 20 Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam …, h. 112. 21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 112. 24 lemah apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengbaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. 22 Para ulama juga sepakat bahwa memerangai dan menumpas orang-orang yang membangngkan terhadap pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan sebelum mereka ditanya tentang sebab pembangkangannya itu. Apabila mereka menyebutkan beberapa kezhaliman dan penyelewengan tersebut. Setelah itu, mereka diajak untuk patuh dan tunduk kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka tidak mau kembali maka barulah mereka diperangi atau ditumpas. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah.                                  Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang bebuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT . Dari ayat tersebut jelaslah bahwa urutan penanganan kasus pemberontakan adalah ishlah, baru disusul dengan penumpasan, bukan sebaliknya. Di atas telah dikemukakan bahwa orang-orang yang keluar atau membangkang atau separatis itu terdiri atas tiga kelompok lagi tergolong separatisme atau bughat. Kelompok ketiga 22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h.113. 25 ini adalah orang-orang yang membangkang terhadap negara yang sah dengan alasan atau argumentasi ta‟wil dan didukung dengan kekuatan senjata. Adapun yang dimaksud dengan alasan atau argumentasi ta‟wil adalah suatu pernyataan yang berisi penjelasan tentang sebab-sebab dan alasan-alasan pembangkangan mereka terhadap pemerintah, baik alasan tersebut benar atau tidak fasid. Contoh argumentasi yang tidak benar seperti alasan dari orang-orang yang menolak membayar zakat, karena zakat itu harus diberikan kepada orang yang do‟anya dapat menenteramkan jiwa mereka. Alasan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT .                   “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo‟alah untuk mereka. Sesungguhnya d o‟a itu menjadi ketentetaman jiwa bagi mereka. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan adalah adanya jumlah yang banyak dari para anggota yang memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistic dan dana yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan. 23 Hanabilah mengartikan kekuatan dengan sesuatu gabungan orang dan senjata yang untuk menumpasnya diperlukan prajurit yang banyak. Syafi‟iyah mensyaratkan untuk terwujudnya kekuatan diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin. 23 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h.113. 26 Pendapat Syafi‟iyah ini cukup beralasan, karena berapa pun banyaknya anggota dan betapa pun kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak ada pemimpinnya yang kharismatik dan berwibawa maka kelompok tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan. 24 Dengan demikian, pengertian kekuatan ini harus berupa gabungan dari unsur personil, senjata, logistic, dan pemimpin yang pandai mengatur taktik dan strategi. Adapun orang yang keluar dari imam kepala negara tanpa argumentasi dan tanpa kekuatan, dianggap sebagai perampok, bukan pemberontak atau separatisme. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Imam Ahmad. 25 Demikian pula orang yang keluar dengan disertai argumentasi, tetapi tanpa kekuatan, menurut pendapat yang rajih kuat di kalangan mazhab Hanbali, tidak termasuk pemberontakan atau separatisme. Akan tetapi menurut sebagian fuqaha Hanabilah, orang yang keluar membangkang dari Imam disertai dengan argumentasi meskipun tanpa kekuatan termasuk separatisme atau pemberontakan.

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Kekuatan

Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai separatisme atau pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya; seperti keengganan untuk membait mendukung seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas orang banyak, walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan 24 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 114. 25 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115. 27 ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Dalam sejarah misalnya, Sayidina Ali pernah menolak untuk membaiat Abu Bakar, walaupun kemudia ia membaiatnya. Demikian pula Sa‟ad ibn Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar, sampai meninggal. Contoh; lain seperti pembangkangan keluarga kelompok Khawarij dari Sayidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai separatism atau bughat, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk separatisme atau pemberontakan. 26 Separatisme atau bughat menurut Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad dimulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka separatis itu belum dianggap sebagai separatisme , dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil tidak bersalah. 27 Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai separatisme. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, separatisme itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap Imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya. Di atas telah dikemukakan bahwan sebelum dilakukan penyerangan terhadap para separatis, perlu dilakukan pendekatan dan dialog, guna mengetahui sebab pembangkangannya itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Ali ketika terjadi 26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115. 27 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115.