Pembangkangan Dilakukan Dengan Kekuatan

27 ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Dalam sejarah misalnya, Sayidina Ali pernah menolak untuk membaiat Abu Bakar, walaupun kemudia ia membaiatnya. Demikian pula Sa‟ad ibn Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar, sampai meninggal. Contoh; lain seperti pembangkangan keluarga kelompok Khawarij dari Sayidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai separatism atau bughat, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk separatisme atau pemberontakan. 26 Separatisme atau bughat menurut Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad dimulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka separatis itu belum dianggap sebagai separatisme , dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil tidak bersalah. 27 Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai separatisme. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, separatisme itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap Imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya. Di atas telah dikemukakan bahwan sebelum dilakukan penyerangan terhadap para separatis, perlu dilakukan pendekatan dan dialog, guna mengetahui sebab pembangkangannya itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Ali ketika terjadi 26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115. 27 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115. 28 perang jamal unta. Dengan demikian, Khalifah Ali mengirim utusan untuk mengadakan pendekatan kepada penduduk Basrah sebelum terjadinya perang jamal, dan memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran. Tindakan pendekatan dan dialog serta ajakan untuk patuh kepada imam perlu dilakukan, karena tujuan penumpasan adalah untuk mencegah, bukan membunuh mereka. Dengan demikian, apabila dengan ucapan dan dialog mereka dapat kembali patuh kepada imam, tidak perlu diadakan penumpasan atau pertempuran, karena walau bagaimanapun, pertempuran tetap menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Akan tetapi, jika mereka tidak mau surut dari niatnya bahkan mulai melakukan tindakan-tindakan kekerasan maka tidak ada jalan lain kecuali menumpasnya. Apabila telah meletakkan senjata atau menyerah maka mereka para separatis tidak boleh diperangi lagi. Harta milik separatisme atau buhgat menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi‟î menjadi hak miliknya dan tidak boleh dirampas. Imam malik mengecualikan senjata boleh dirampas, sedangkan Imam Syafi‟î membolehkan perampasan harta dalam keadaan darurat.

3. Adanya Niat Yang Melawan Hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana separatisme atau bughat, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak mentaatinya. Apabila tidak bermaksud untuk keluar dari imam, atau 29 tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka pembangkang itu belum dikategorikan sebagai separatisme atau bughat. Untuk bisa dianggap ke luar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot menggulingkan imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara‟. Dengan demikian, apabila niat dan tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai separatisme atau bughat. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah penggunaan kekuatan atau setelah selesainya separatism atau bughat maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk separatis, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai separatisme atau bughat, melainkan sebagai jarimah biasa. Adapun kejahatan yang masuk dalam kategori makar separatisme yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan Negara RI sebagaimana dimuat dalam buku Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk yaitu 28 : 1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala negara atau wakilnya. 2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara. 3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintah negara. 28 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, h. 11.