Apakah dalam memproduksi sebuah teks dalam Editorial Media Indonesia

otoritas dan Pemred pula yang bertanggung jawab jika ada masalah. Pemred punya hak. 5. Mengapa penulisan Editorial Media Indonesia terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid Gus Dur dan personalitasnya sebagai tokoh politik, ditulis menggunakan gaya bahasa perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme? Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada kaidah bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi maupun pribadi yang melatari penulisan editorial? Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu meminimalisir konflik. Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer sembarang. Kata yang sama jika diucapkan oleh orang beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti tidak bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Akhirnya Media Indonesia menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca. Ideologi bukan menjadi permasalahan besar, tinggal bagaimana dengan public meaningnya. Intinya antara formula kebahasaan dengan public meaning mesti seimbang antara konten dengan kemasan.