Analisis Teks TEMUAN DAN ANALISIS DATA

56

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Pokok analisis pada Editorial Media Indonesia edisi Desember tahun 2000 didominasi oleh pemberitaan yang fokus membahas Abdurrahman Wahid Gus Dur, baik yang terkandung pada judul editorial maupun isi Editorial Media Indonesia yang terkumpulkan sebanyak lima editorial utama. Rubrik yang akan dianalisis adalah rubrik Editorial edisi Desember tahun 2000, antara lain edisi 3 Desember yang berjudul “Ironi para Pemimpin”, edisi 6 Desember yang berjudul “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur”, edisi 15 Desember yang berjudul “Gus Dur Pergi Lagi”, edisi 20 Desember yang berjudul “Arti Sebuah Kunjungan”, dan edisi 30 Desember yang berjudul “ Senayan makin Panas ”.

A. Analisis Teks

Editorial 1 Judul : Ironi para Pemimpin Tanggal : 3 Desember 2000 Analisis Di tingkat judul terlihat bagaimana Editorial Media Indonesia memilih ketiga kata tersebut dengan sangat singkat, lugas, dan menarik untuk ditampilkan menjadi sebuah judul. Secara kebahasaan, judul editorial ini sangat memikat untuk dibaca serta tidak bertele-tele. Selanjutnya di tingkat isi, Editorial Media Indonesia memperlihatkan wacana mengenai tiga tokoh, Abdurrahman Wahid, 57 Amien Rais, dan Akbar Tandjung yang menjabat sebagai pimpinan negara di tingkat eksekutif dan legislatif presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR. Isi editorialnya menyoroti konflik dan ketegangan yang terjadi pada tiga lembaga tinggi negara dan Editorial Media Indonesia menilai bahwa tidak adanya penyelesaian masalah mengurus rakyat di antara ketiganya. Konflik dan ketegangan yang terjadi justru membuat bosan rakyat dan kehabisan energi untuk menyaksikannya. Selanjutnya pada tingkat kebahasaan, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa pertentangan ironi, satire, dan sarkasme. Seperti di paragraf pertama “Ketegangan dan konflik. Itulah dua kata yang kian mengukuhkan ‘prestasi’ para elite politik negeri ini….” Kemudian di pa ragraf ketiga “…Tapi, ada pula yang mengatakan, itulah jurus orang kepepet, orang kalah. Ngawur.... ” Temuan selanjutnya ada di paragraf terakhir “…Inilah Indonesia Sebuah Negara dengan elite politik yang tak tahu diri….” Selain itu, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa perumpamaan yang cukup menyolok ketika sudah menjadi sebuah tulisan. Seperti di paragraf ketujuh “…Konflik dan ketegangan di negeri ini juga bak judul sebuah drama yang wajib dimainkan teater politik Indonesia. Dengan para pemain para politikus itu seolah tak pernah kehabisan energi untuk bertarung di atas panggung. Sementara para penonton-ya, rakyat itu-justru kian terkapar karena kehabisan energi …..” Berdasarkan temuan-temuan fakta penulisan dan gaya bahasa di editorial pertama, kesimpulan yang diperoleh adalah secara etika 58 kebahasaan, editorial ini kurang etis dan sangat menyudutkan pada tingkat personal. Editorial 2 Judul : Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur Tanggal : 6 Desember 2000 Analisis Di tingkat judul editorial ini memang jelas terbaca menarik, walaupun sedikit membuat penasaran pembacanya. Ketika sebuah kata yang biasa digunakan untuk suatu hal yang biasa dan ringan, kemudian disandingkan dengan nama tokoh yang luar biasa, hasilnya menjadi kolaborasi kata yang mengandung arti seperti guyonan. Padahal sandingannya adalah nama tokoh politik, tentu bukanlah guyonan lagi, melainkan keseriusan. Tetapi pada judul editorial ini, telah menjadikannya menjadi kepaduan antar kata yang menarik. Pada tingkat isi, Editorial Media Indonesia mengangkat wacana mengenai hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung. Kedua tokoh yang memimpin lembaga formal, eksekutif dan legislatif, seringkali merajut hubungan non formal, walaupun di media massa cenderung saling kritik. Tetapi itulah hubungan antara keduanya yang digambarkan oleh Editorial Media Indonesia melalui penulisan dan gaya bahasanya. Di paragraf pertama, Editorial Media Indonesia langsung menyajikan pembukaan yang menggunakan gaya bahasa perumpamaan seperti “Bagaikan dua anak kucing yang tengah bercanda. Sekali waktu 59 berkejaran, lompat-lompat, bergumul, dan kembali berpacu menemui sang induk. Sesekali tampak rukun, cakar-cakaran, lalu kembali bersatu. Tidak ada yang terluka. Mereka tampak sangat lucu ….” Editorial Media Indonesia ini mencoba menggambarkan bagaimana hubungan yang dijalin oleh Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, mengumpamakan dengan hewan kucing. Secara kebahasaan, etika kebahasaan jelas sudah sangat bersebrangan, tidak adanya penghormatan kepada manusia yang notabene adalah pimpinan lembaga tertinggi negara. Selanjutnya paragraf kedua memperlihatkan ironi hubungan Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, kemudian dipertegas di paragraf ketiga. Pemilihan bahasa di paragraf ketiga sangat tidak etis “…Simak saja beberapa episode pergumulan ‘dua anak kucing’ itu dalam sepekan terakhir ….” Di paragraf keempat, terdapat penggunaan gaya bahasa perbandingan, personifikasi, “…Kritikan Akbar itu membuat merah telinga Gus Dur dan Menko Perekonomian Rizal Ramli….” Kemudian di paragraf terakhir, Editorial Media Indonesia mencoba memberikan solusi bujukan dengan menggunakan gaya bahasa perumpamaan. Editorial menyimpulkan bahwa hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung memang unik dan lucu, sehingga mengumpamakan seperti grup lawak Srimulat atau Ketoprak Humor. 60 Kesimpulan yang diperoleh dari editorial kedua adalah, terjadinya pengulangan kesalahan pada tingkat bahasa. Editorial ini seolah kehilangan kesantunannya sebagai sebuah opini redaksi. Editorial 3 Judul : Gus Dur Pergi Lagi Tanggal : 15 Desember 2000 Analisis Pemilihan kata-kata pada judul editorial ini sangat mudah dipahami dan dimengerti sesuai arti yang sebenarnya. Berbeda dengan judul kedua editorial sebelumnya, membutuhkan kecermatan dan pemahaman yang lebih untuk mengerti daripada judul editorialnya. Wacana yang diapungkan di editorial kali ini yaitu menyoal seringnya kunjungan yang dilakukan Abdurrahman Wahid ke luar negeri. Terlalu seringnya melakukan kegiatan berpergian ke luar negeri, Gus Dur melanggar aturan yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah. Larangan bepergian tersebut dikeluarkan olah Megawati Soekarnoputri wakil presiden bagi seluruh pejabat selama bulan puasa. Konsekuensi dari larangan tersebut, Megawati pun membatalkan kunjungannya ke Meksiko. Fakta, larangan tersebut justru dilanggar oleh kepala negara dan beberapa pejabat negara lainnya, namun yang menjadi sorotan di editorial ini adalah pelanggaran yang dilakukan Gus Dur. Lawatan yang dilakuakan Gus Dur ke Bangkok dalam rangka penerimaan anugerah doctor honoris causa di bidang teknologi komunikasi. 61 Selanjutnya pada tingkat isi, di paragraf pertama editorial ini memperjelas judul itu sendiri, bahwa Gus Dur kembali bepergian ke luar negeri yang kali ini adalah Bangkok. Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa pertentangan ironi “…Gus Dur memperoleh apresiasi kuat di luar negeri. Prestasi itu bertolak belakang dengan dengan apresiasi di dalam negeri. Di luar negeri semakin dipuja, di dalam negeri semakin dijauhi ….” Paragraf ketujuh menggunakan gaya bahasa perumpamaan, bagaiman editorial menggambarkan posisi Gus Dur yang menjabat sebagai kepala negara, kemudian diumpakan dengan profesi yang berbeda “…Gus Dur itu seperti petugas pemadam kebakaran yang tidak segera memadamlan api tetapi menyiram air di pinggir hutan agar tidak merambat ….” Awal kalimat di paragraf ketujuh sangat hiperbola “…Gus Dur rupanya senang berkelana. Untuk seorang pengembara sejati diam di tempat adalah siksaan yang tidak tertahankan….” Kemudian kalimat selanjutnya dikemas dengan sinisme yang kentara sekaligus kesimpulan yang terlalu menuduh “…bepergian ke luar negeri yang terlalu sering jangan-jangan sebuah kompensasi yang menyesatkan ….” Kesimpulan pada editorial ini hampir sama dengan kedua editorial sebelumnya, kesalahan pada penempatan bahasa atau tepatnya adalah menggunakan perumpamaan yang tidak sesuai. 62 Editorial 4 Judul : Arti Sebuah Kunjungan Tanggal : 20 Desember 2000 Analisis Judul pada editorial ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Judul ini juga menjelaskan mengenai tujuan dari kunjungan yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid ke Aceh. Selanjutnya, wacana yang digaungkan di sini mengenai kunjungan Abdurrahman Wahid ke Aceh. Kunjungan Gus Dur kali ini memang berisiko besar, baik dari segi keselamatan jiwanya maupun keamanan jabatannya sebagai Presiden. Ancaman yang terjadi selama perjalanan di udara hingga ancaman pembunuhan dan penembakana pesawat. Namun, ancaman tersebut tidak menyurutkan niat kunjungan Gus Dur ke Serambi Mekah. Editorial Media Indonesia juga menilai arti kunjungan Gus Dur ke Serambi Mekah sangatlah sia-sia, tidak adanya sambutan pejabat setempat seperti yang diharapkan. Sehingga kunjungan Gus Dur tersebut tidak berarti karena tidak memberikan solusi bagi permasalahan di Aceh. Editorial Media Indonesia juga menyindir Gus Dur dengan memberikan penghargaan atas keberaniannya untuk berkunjung ke Aceh. Beberapa temuan kata atau kalimat yang memperjelas judul dan wacananya diawali pada paragraf kedua yang menggunakan gaya bahasan personifikasi “…Bahkan alam pun mengingatkan Gus Dur bahwa Aceh memang sulit. Pesawat yang ditumpangi Presiden harus bergulat dengat hujan lebat dan badai sebelum menyentuh Tanah Rencong….” 63 Paragraf ketiga editorial ini lebih menggunakan gaya bahasa pertentangan, antifrasis “…Kedatangan Gus Dur hanya sukses dalam satu soal, yaitu keberanian….” Temuan berikutknya di paragraf keempat, paragraf ini didominasi oleh penggunaan bahasa sinisme “…Di luar itu, harus dikatakan kunjungan ini gagal. Gus Dur datang di Banda Aceh yang berubah menjadi kota mati. Gus Dur berpidato di ruang hampa. Gus Dur memang datang tetapi tidak menemui siapa-siapa, kecuali para pejabat yang sebenarnya tidak membutuhkan solusi ….” di paragraf ini lebih menyindir Gus Dur dengan kedatangannya yang sia-sia. Dilanjutkan di paragraf keenam yang menggunakan gaya bahasa satire terhadap Gus Dur “…Aceh, adalah ironi yang berakar pada ketidakpedulian, keserakahan sentralisme, keteledoran, dan inkonsistensi. Gus Dur mempunyai porsi juga dalam ironi itu ….” Paragraf ini menyindir Gus Dur ikut bagian terhadap unsur-unsur negatif. Kemudian dipertegas di paragraf ketujuh “…Ketika referendum kemudian dibelokkan pengertiannya oleh Jakarta karena keteledoran, kekecewaan itu memuncak….” Paragraf terakhir, paragraf 10, Editorial Media Indonesia mencoba memberikan pemecahan masalah dengan pemilihan kata yang provokatif dan sinisme yang kental “…Gus Dur harus pintar-pintar mengelola pikiran dan sikap agar menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya, biang persoalan. ” 64 Editorial 5 Judul : Senayan makin Panas Tanggal : 30 Desember 2000 Analisis Judul editorial ini menggunakan pilihan kata yang lugas dan jelas. Pemilihan kata Senayan dimaksudkan untuk DPR yang memang berlokasi di Senayan. Begitupun dengan kata berikutkany yang menyertai, kata ‘panas’ di sini menggambarkan sebuah situasi yang sedang genting dan tegang. Secara keseluruhan, judul editorial ini sangat jelas dan dapat dimengerti. Pada Editorial Media Indonesia, wacana yang coba diapungkan adalah mengenai ketegangan yang kembali terjadi antara ketiga pemimpin lembaga tinggi negara, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Akbar Tandjung. Ketegangan kali ini disinyalir oleh kata-kata yang diucapkan Gus Dur dan dianggap meresahkan serta merupakan sebuah pelanggaran hukum oleh Amien Rais. Dalam editorial ini, jelas terbaca bagaimana posisi Gus Dur yang ditergur dari berbagai pihak, yaitu oleh Amien Rais dan Akbar Tandjung. Situasi ini jelas menggambarkan hubungan yang sudah tidak saling menghormati antara dua lembaga, kepresidenan dan DPR. Sehingga publik dibuat tidak tentram lagi dengan adanya konflik yang tidak pernah berujung. Editorial Media Indonesia “Senayan makin Panas” memang disajikan dengan gaya bahasa yang penuh dengan kritikan pedas dan sindiran yang pahit. 65 Paragraf pertama dikemas dengan bahasa satire “Tidak ada solusi yang hendak dicari politisi dan pemimpin. Mereka cuma melanggengkan pertentangan….” Editorial Media Indonesia menyinggung para politisi dan pemimpin yang anti terhadap pencarian solusi guna terciptanya perdamaian, melainkan sebaliknya, menikmati pertentangan. Selanjutnya di paragraf keempat, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa perumpamaan, personifikasi, yaitu “…Kita sedang dijajah oleh kerakusan bicara. …” Kemudian di paragraf kelima adanya penggunaan gaya bahasa metafora”…Kita akan memasuki kurun yang sudah dipatok oleh para pemimpin sebagai masa panas. Senayan, markas DPR dan MPR, yang seharusnya menjadi pusat wacana solusi, sudah dinobatkan sebagai tempat panas bagi Presiden Abdurrahman Wahid….” Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggabungkan gaya bahasa satire, sinisme dan sarkasme “…Selain itu, perangai politik para pemimpin tidak beranjak jauh dari kekerdilan yang menggelikan. Tetapi mereka memamerkannya dengan kebanggaan yang maksimum. Pendek kata para pemimpin kita sangat optimal dengan kekerdilan….” Begitupun di paragraf ketujuh dan kedelapan, sama halnya dengan penggunaan gaya bahasa di paragraf keenam “…Kehidupan publik menjadi arena mainan konyol para pemimpin. Mereka tidak peduli pada kurs karena mereka adalah penikmat dari gejolak itu. Mereka tidak peduli pada korban yang berjatuhan karena mereka mengendalikan sentimen pro dan kontra….” 66 Di paragraf kedelapan, Editorial Media Indonesia memberikan penutup opini redaksi dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme “…Kalau semua pemimpin hanya bias menjanjikan kegalauan dan keresahan, untuk apa kita memiliki pemimpin seperti itu? Tetapi ini adalah pertanyaan konyol, karena mereka telah kita pilih denga nkeyakinan optimal. Kita adalah buah dari sebuah proses pembodohan yang teramat panjang.” Di paragraf terkahir terlihat sekali bagaimana Editorial Media Indonesia memberikan sebuah argument yang sangat kasar dan tendensius terhadap kredibilitas dan kapabilitas para pemimpin lembaga tinggi negara, Presiden, MPR, dan DPR. Dari keseluruhan analisis teks kelima Editorial Media Indonesia, peneliti menemukan beberapa fakta tertulis yang dikemas dalam editorial. Temuan tersebut lebih kepada penelusuran penggunaan gaya bahasa pada sebuah produk jurnalistik non berita yaitu opini dari kacamata institusi media, Editorial Media Indonesia. Ternyata dari kelima editorial tersebut, gaya bahasa sebuah editorial sangatlah berbeda dengan gaya bahasa jurnalistik pada sebuah berita. Gaya bahasa jurnalistik pada editorial sangatlah luas dan bebas. Eufimisme dalam penulisan sebuah editorial sangat dihindari, karena kekuatan sebuah editorial ada pada pengemasan bahasa yang lugas, berani dan menarik. Bila dikaitkan dengan pendapat Stanley, pendiri Aliansi Jurnalis Independen AJI, terdapat beberapa kesalahan morfologis dan kesalahan sintaksis di tingkat judul dan isi editorial. Namun, kesalahan-kesalahan 67 tersebut seolah tidak mejadi masalah berarti dalam menyampaikan suatu opini institusi media. Setiap media memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik, sepanjang buku pedoman tersebut berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media, misi media, dan kebijakan redaksional. Fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Editorial Media Indonesia memberlakukan penggunaan dua gaya bahasa yaitu perbandingan dan pertentangan. Gaya bahasa perbandingan diantaranya ada perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Sedangkan gaya bahasa pertentangan yaitu ada hiperbola, ironi, satire, antifrasis, sinisme, dan sarkasme. Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti, dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah.

B. Analisis Discourse Practice