67
tersebut seolah tidak mejadi masalah berarti dalam menyampaikan suatu opini institusi media. Setiap media memiliki buku pedoman atau panduan
masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik, sepanjang buku pedoman tersebut berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media,
misi media, dan kebijakan redaksional. Fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Editorial Media
Indonesia memberlakukan penggunaan dua gaya bahasa yaitu
perbandingan dan pertentangan. Gaya bahasa perbandingan diantaranya ada perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Sedangkan gaya bahasa
pertentangan yaitu ada hiperbola, ironi, satire, antifrasis, sinisme, dan sarkasme.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti,
dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang
baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa
yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak
pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah.
B. Analisis Discourse Practice
1. Produksi Teks
Proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia
68
Tema Editorial Media Indonesia muncul berdasarkan hasil koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati batasan-batasan
penulisan yang harus dihindari. Seperti yang dituturkan mantan penulis editorial dan kini sebagai Dewan Redaksi Media Group,
Djadjat Sudradjat “Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal
Media Indonesia hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas tema. Laurens Tato menjadi penulis tunggal editorial saat itu.
Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada forum. Ada Saur Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu
dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks sebuah industri media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja
sudah ada kesepakatan mengenai batasan-batasan umum yang sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi SARA,
menyerang
pribadi, meruntuhkan
kredibilitas negara,
menyinggung merah putih harus dihindari. Kemudian terjaring pelatihan editorial dan sekarang sudah makin terencana dan ada
rapat redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa, pembagian tersebut disesuaikan dengan bidang kemampuannya.
Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
”
1
Editorial Media Indonesia ditulis berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan
“Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi fakta- fakta di lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada fakta dulu. Jika
ada teks dulu baru peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja jurnalistik adalah memaknai peristiwa, peristiwa harus
mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus merekonstruksi peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak
adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin benar dari perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari
kebenaran peristiwa. Artinya, publik boleh dan mempunyai hak menyeleksi dan meninggalkan yang rekonstruksinya jauh dari
peristiwa. Setelah Metro lahir, editorial ditampilkan di Metro.
1
Wawancara Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group, 23 Februari 2010.
69
Sehingga bagaimana setiap kata harus diucapkan dengan enak dan harus dipertanggung jawabkan visualnya.
”
2
Editorial Media Indonesia sebagai bentuk kritisme sebuah institusi media massa nasional, mampu menyajikan penulisan dengan
bahasa yang terus terang, berani, dan tegas; baik kritisme yang disajikan secara personal maupun institusional kepada publik
“Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat publisher, sikap penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia
menjadi menarik karena editorial yang sifatnya privat dibedah di ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki public meaning,
silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting.
Barang privat dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik bersama. Pers semakin punya makna publik, semakin dibaca
banyak orang. Semakin jauh dari makna publik, semakin ditinggalkan. Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya
hanya tinggal diberikan ke publik, biar publik yang menilai. Tetapi spiritnya harus institusi. Subjektivitas dalam editorial
merupakan subjektivitas yang harus mempunyai makna publik, dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali
ke publik”.
3
Editorial Media Indonesia memiliki karakter yang berani mengolah dan memainkan bahasa dalam dalam penulisannya. Editor
bahasa hanya melakukan koreksian dalam pada penulisan tiap kata, kalimat, dan paragraf saja
”Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah memiliki job desk masing-masing sesuai dengan perannya.
Memang tak jarang ada perdebatan menyoal gaya bahasa antara redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang tadi saya
katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi
seolah-olah isi kepala kita sudah sepemikiran dan seragam,
2
Ibid., Djadjat Sudradjat.
3
Ibid., Djadjat Sudradjat.
70
justru hal tersebut menjadi sebuah karakter Editorial Media Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan
pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan rapat redaksi. Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir
kesalahan pada penulisan tiap kata, kalimat dan paragraf yang masih berbentuk dummy sebelum proses akhir naik cetak. Editor
bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam
proses produksi penulisan editorial”.
4
Dibuktikan melalui penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid Gus Dur, yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI.
Pemilihan bahasanya sangatlah berani, menggunakan bahasa perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme. Seolah mengubur etika
bahasa ”Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik
pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan
banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur
mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu
meminimalisir konflik”.
5
Namun, tanpa bermaksud mengabaikan kaidah bahasa jurnalistik beserta etika bahasanya, Editorial Media Indonesia
akhirnya menemukan formula kebahasaan yang menjadi standarisasi dalam penulisannya
“Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa
bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer sembarang. Kata yang sama jika diucapkan oleh orang
beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti
4
Ibid., Djadjat Sudradjat.
5
Ibid., Djadjat Sudradjat.
71
tidak bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada
pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama semakin ketemu keseragaman
bahasanya. Akhirnya
Media Indonesia
menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak
vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada
kata imaji, akan membuat jenuh pembaca.”
6
Sehingga otoritas tertinggi dalam struktur keredaksian ada pada pemimpin redaksi pemred. Selain memiliki tanggung jawab yang
besar, pemred memiliki hak untuk mengubah isi penulisan ”Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan
di akhir. Jika ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik, memungkinkan ada perubahan. Bukan menjadi monopoli
editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika perubahan itu dilakukan oleh pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki
otoritas dan pemred pula yang bertanggung jawab jika ada
masalah. Pemred punya hak”.
7
Analisis Produksi Teks
Sejarah hadirnya Editorial Media Indonesia dilatar belakangi oleh keterkungkungan pada masa Orde Baru. Proses menjadi Editorial Media
Indonesia hingga menjadi sekarang ini mengalami fase-fase perjalanan dan merupakan metamorfosis dari rubrik Selamat Pagi di koran Prioritas. Semangat
perjuangannya tetap sama, melawan bahasa yang melingkar-lingkar. Di sinilah Editorial Media Indonesia diperhitungkan oleh publik, dilihat dari aspek
kebahasaannya yang lugas, berani, dan terus terang dalam mengkritisi realitas
6
Ibid., Djadjat Sudradjat.
7
Ibid., Djadjat Sudradjat.
72
yang terjadi di lapangan. Gairah penulisannya lebih kepada politik, sesekali kepada ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya
memiliki sensitivitas tinggi SARA, pribadi, kredibilitas negara, dan menyinggung merah putih harus dihindari. Sirkulasi penulisannya secara bergilir,
sesuai bidangnya masing-masing dan tentu saja menyesuaikan tema yang sudah disepakati oleh tim.
Fakta bahwa Editorial Media indonesia merupakan opini institusi media massa yang ditulis secara perorangan tim penulis editorial, namun semangatnya
harus institusi. Subjektivitas memang tidak bisa diredam dalam penulisan sebuah opini Editorial Media Indonesia, namun tetap memiliki makna publik. Penulisan
Editorial Media Indonesia berangkat dari realitas yang terjadi di lapangan, kemudian dikemas dengan bahasa yang menarik salah satu karakteristik bahasa
jurnalistik dan dipadukan dengan gaya bahasa perumpamaan dan pertentangan satire, sinisme, dan sarkasme, jenis gaya bahasa yang termasuk subjektif.
Editorial Media Indonesia tergolong media cetak yang memiliki karakter penulisan yang berani, terus terang, dan lugas. Hasil wawancara dengan salah satu
tim penulis editorial serta beberapa temuan data editorial edisi Desember 2000 mempertegas adanya keberanian dalam membahasakan kritisme Media Indonesia
sebagai sebuah institusi. Adapun peran editor bahasa, hanya memiliki garis kewenangan untuk mengoreksi kesalahan penulisan pada tingkatan kata, kalimat,
dan paragraf saja. Otoritas tertinggi untuk mengubah, mengurangi, menambahkan bahkan mengoreksi judul dan isi editorial adalah pemimpin redaksi.
73
Merujuk pada hasil wawancara dengan salah satu tim penulis Editorial Media Indonesia, intinya jika ada bahasa pribadi, hukumannya tinggal diserahkan
kepada publik. Relnya tetap kembali ke publik, biarkan publik yang menilai. Editorial sebagai salah satu produk jurnalistik opini bukanlah sebuah kebenaran
mutlak, tetapi semangatnya harus selalu mencari kebenaran. Bahwa Editorial Media Indonesia sebagai salah satu media massa skala nasional, mampu
memberikan ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Selain itu media massa memiliki salah satu fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Yoseph
R. Dominick, dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication. Menurutnya, salah satu fungsi media massa adalah interpretasi. Media massa tidak
hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu.
8
Untuk itu, media massa bukanlah segala-galanya. Dia tidak memiliki kebenaran mutlak dalam menyajikan informasi yang dibungkus menjadi lebih
menarik untuk diminati publik. Sehingga segala bentuk pemberitaan dan penulisannya, baik secara personal maupun institusional, wajib dipertanggung
jawabkan kepada publik.
2. Konsumsi Teks