vii
DAFTAR ISI ABSTRAK
i KATA PENGANTAR
ii DAFTAR ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1 B.
Batasan dan Perumusan Masalah 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
12 D.
Tinjauan Kepustakaan 13
E. Metodologi Penelitian
15 F.
Pedoman Penulisan 22
G. Sistematika Penulisan
22
BAB II LANDASAN TEORI
A. Wacana
1. Pengertian Wacana
24 2.
Wacana Norman Fairclough 27
B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik
1. Pengertian Bahasa Jurnalitik
29 2.
Fungsi Bahasa Jurnalistik 30
C. Kebijakam
1. Pengertian Kebijakan
33 2.
Proses Perumusan Kebijakan 34
D. Rubrik
37 E.
Editorial 1.
Pengertian Editorial 37
2. Fungsi Editorial
39 3.
Sifat Editorial 42
4. Tipe Editorial
43 5.
Kode Etik Editorial 48
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Profil Media Indonesia
1. Sejarah Media Indonesia 50
2. Visi dan misi Media Indonesia 52
B. Profil Editorial Media Indonesia
54
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A.
Analisis Teks
1. Editorial “Ironi Para Pemimpin” 56
2. Editorial “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur” 58
3. Editorial “Gus Dur Pergi Lagi” 60
4. Editorial “Arti Sebuah Kunjungan” 62
5. Editorial “Senayan makin Panas
64 B.
Analisis Discourse Practice 1.
Produksi Teks 67
viii
2. Konsumsi Teks
73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 80
B. Saran 82
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media pers acapkali disebut sebagai the fourth estate kekuatan keempat dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai alat untuk menyampaikan
berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik,
karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan
untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.
1
Pengertian senada juga diungkap Gamble dalam buku Abdul Muis tentang media massa, “Media massa adalah bagian komunikasi antar manusia human
communication dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar
manusia. ”
2
Media massa identik dengan pers, mengenai hal ini Onong Uchjana Effendy berpendapat, “Dalam perkembangnnya pers mempunyai dua pengertian,
yakni pers dalam pengertian luas dan sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 30-31.
2
Abdul Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik Jakarta: PT. Mario Grafika, 1996, h. 12.
2
televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas dalam media cetak, yakni surat kabar, majalah dan bul
etin kantor berita.”
3
Menurut Eriyanto, proses media mendapatkan dan merangkum dalam berita karena berkaitan dengan politik pemberitaan media, di antaranya adalah
strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan, secara langsung atau tidak langsung,
berpengaruh dalam mengonstruksi peristiwa.
4
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh
“positif” maupun “negatif” kepada publik, sehingga publik juga dituntut untuk tidak langsung mengonsumsi informasi yang disajikan secara mentah-mentah,
perlu dicerna dahulu keakuratan informasi atau berita yang disampaikan media massa.
Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu
pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik.
Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif, tidak adil, dan tidak netral dalam memberitakan atau
mengritik suatu peristiwa, seperti yang sering diklaim selama ini. Tugas media
3
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, h. 146.
4
Ibid., h. 40.
3
massa bukanlah menyingkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang
mereka anut selama ini. Memang persoalannya adalah bahwa media tidak bisa bersifat netral.
Misalnya atribut-atribut tertentu dari media dapat mengondisikan pesan-pesan yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan;
“The medium is the message,” medium itu sendiri merupakan pesan. “apa- apa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih
lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikasi,
mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa.
”
5
Memori kita tentunya masih merekam peristiwa era Orde Baru pasca Peristiwa Malari 1974, ketika rezim Soeharto sangat kuat, pers dalam hal ini
media cetak mendapat tekanan atau represi sedemikian rupa, sehingga media cetak kala itu hanya murni sebagai corong penguasa.
6
Otoritarianisme di era Orde Baru, media massa seolah-olah dibungkam untuk memberikan informasi dan
memberitakan suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan saat itu. Pers Indonesia selama 32 tahun 1965-19987 terpasung. Media massa pada
era Orde Baru lebih banyak memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah, dan sistem pers saat itu menganut sistem pers otoriter.
7
Keadaan berubah ketika
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 37.
6
M Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi Yogyakarta: Gitanyali, 2004, h. 178.
7
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama, Jurnalistik Teori dan Praktik Bandung: Rosdakarya, 2005, h. 36.
4
rezim Soeharto jatuh paska Mei 1998, sistem politik yang sebelumnya sangat represif menjadi demikian longgar, berita media cetak pun menjadi leluasa.
Pers tentu saja memanfaatkan kebebasan pers yang selama pemerintah Orde Baru tidak pernah didapatkan. Ibarat kuda lepas dari kandangnya, mereka
lari dengan sangat cepatnya. Namun, kebebasan pers yang selama ini didapatkan dianggap sudah pada tempatnya. Coba bandingkan dengan kebebasan pers paska
Orde Baru yang sangat liar. Pada waktu itu, pers berada pada titik kulminasi kebebasan tertinggi yang bebas membertitakan apa saja, meskipun tanpa fakta
sekalipun. Saat ini, sejalan dengan tingkat kedewasaan pengelola media massa, pers
mengartikan kebebasan masih dalam tempat yang wajar. Ia tetap hati-hati dalam meliput pelbagai persoalan di masyarakat, meskipun tentu dengan kekurangan
yang melekat di sana sini.
8
Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru adalah tonggak penting bagi perjuangan kebebasan itu. Ketika Reformasi tahun 1998 digulirkan di
Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999. Berbagai
kendala yang membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi,
siapapun dan kapanpun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun
8
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 294-295.
5
masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjunjung asas demokrasi, sering terjadi ide-ide yang pemunculannya acap kali
melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan
pers pada umumnya. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supermasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yaitu right to know atau hak
untuk tahu, berpendapat dan mendapat informasi. Yang dimaksud dengan kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia adalah pers yang bebas
dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Untuk itu lahirnya kebebasan pers di era Reformasi ini tentunya menjadi parameter dari segi waktu, di mana pers, khususnya media cetak menjadi lebih
berani dalam mengamati dan mengritik birokrasi pemerintahan. Tampak dari pengemasan sebuah bahasa dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan
dalam kaitannya dengan konteks secara keseluruhan. Menurut ungkapan Lorens Bagus 1990, sebagaimana dikutip Alex
Sobur; ”Bahasa mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari
sebuah pisau. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan
hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Tetapi bahasa yang
6
sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain, bahasa menjadi tiran.
”
9
Sudah jamak dan tak asing lagi sebuah surat kabar nasional menyediakan kolom khusus pada halaman tertentu yang menyajikan rubrikasi pendapat atau
opini, di antaranya tajuk rencana, surat pembaca, tulisan atau artikel dari tokoh penulis atau ilmuwan. Pada kolom tersebut, segala pendapat, kritik, pikiran orang-
perorangan baik mengatasnamakan pribadi maupun institusi, digulirkan secara bebas dalam praktik penggunaan bahasanya, bahkan ada yang menggunakan
bahasa sindiran satire.
Editorial sebenarnya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca. Ketika berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan
terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian, ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial.
Fakta tersebut yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak menaruh editorial pada halaman muka, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali.
Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada
halaman depan.
Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial. Masing-masing media cenderung memberi nama yang berbeda sebagai ciri khas
medianya. Ada yang menyebutnya sebagai Dari Kami milik majalah Intisari,
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 16.
7
Dari Meja Redaksi kepunyaan buletin Pilar. Sementara Kompas menyebutnya Tajuk Rencana, sedangkan Seputar Indonesia Tajuk. Adapun Media
Indonesia dan Berita GKMI termasuk yang masih memakai nama Editorial pada kolom tersebut.
Di Media Indonesia meyediakan kolom tajuk rencana yang disebut dengan Editorial dan diletakkan di halaman muka tepatnya pojok kanan atas. Rubrik
Editorial Media Indonesia ini merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia di Harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterus-
terang menyatakan pendapat, berjuang mengemukakan pendapat dan berpikir dengan sangat bebas. Tidak gampang memang menemukan gaya tajuk rencana
yang dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik. Di tengah kultur sopan santun, kritik dibungkus dalam kata-kata santun.
Tajuk rencana merupakan pendapat institusi mengenai isu yang dibuat berdasarkan
rapat redaksi,
yang perlu
digarisbawahi adalah
tidak mengatasnamakan pribadi wartawan. Tajuk rencana pada dasarnya adalah roh
bagi sebuah surat kabar. Pada tajuk rencana itulah pandangan, pikiran, dan kritisme redaksi pengelola terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk
menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik, karena itu tidak disertai nama penulisnya.
Tajuk rencana menurut Jacob Oetama adalah “Suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersi
fat “personal” melainkan “institusional”. Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan
8
fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antara dibicarakan dan
juga dilaksanakan.”
10
Tajuk Rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau
kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.
11
Seperti yang diungkapkan William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work;
“Editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang
menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat
umum.”
12
Karakter atau identitas sebuah surat kabar terletak pada tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara
lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung dalam ulasan-
ulasannya.
13
Terus terang, Tegas, dan Lugas adalah karakter paling menonjol dari Editorial Media Indonesia. Editorial Media Indonesia memesona sebagai naskah,
dan juga memesona sebagai pemikiran. Di situlah letak kekuatan Editorial Media
10
Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia Jakarta: LP3ES, 1987, h. 137-138.
11
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005, h. 2.
12
William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik, Editorial, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, h. 5.
13
Jacob Otama, Perspektif Pers Indonesia Jakarta: LP3ES, 1987, h. 81.
9
Indonesia. Begitu berani penulisan dan gaya bahasa yang digunakan oleh Media Indonesia, khususnya pada rubrik editorial, sehingga tidak jarang menuai
kontroversi dari berbagai kalangan. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk
menyajikan sebuah skripsi yang berjudul
“Analisis Wacana Bahasa Rubrik Editorial
Media Indonesia Edisi Desember 2000
.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih terarah dan fokus, maka peneliti memberi batasan penelitian terhadap bahasa jurnalistik Editorial Media Indonesia
edisi Desember 2000. Peneliti meneliti Editorial Media Indonesia pada setiap minggunya di bulan Desember 2000, terdapat lima editorial yang
dijadikan sebagai data utama penelitian. Alasan peneliti memilih kelima sampel tersebut adalah dilihat dari segi isi, sejauhmana bahasa yang
dikemas dengan sangat lugas, berani dan menarik oleh editorial dalam menuliskan sosok Abdurrahman Wahid.
Minggu pertama diambil pada edisi Minggu, 3 Desember 2000. Minggu kedua diambil pada edisi Rabu, 6 Desember 2000. Minggu
ketiga diambil pada edisi Jumat, 15 Desember 2000. Minggu keempat
10
diambil pada edisi Rabu, 20 Desember 2000. Terakhir, minggu kelima diambil pada edisi Sabtu, 30 Desember 2000.
Sejauh mana penggunaan dan penempatan kaidah bahasa jurnalistik pada sebuah produk jurnalistik non berita, pada penelitian ini
adalah Editorial Media Indonesia. Titik perhatian besar penelitian ini lebih menelusuri bagian judul
editorial dan isi editorial dari aspek kebahasaan, yaitu bahasa jurnalistik. Selain itu agar penelitian ini mendapatkan hasil yang optimal dan akurat,
peneliti menggunakan analisis wacana model Norman Fairclough. Fairclough mengaitkan analisis level teks tingkat analisis mikro dengan
analisis level discourse practice tingkat analisis messo yang menjelaskan kaitan tentang produksi teks dan konsumsi teks. Peneliti
tidak memasuki wilayah sociocultural practice tingkat analisis makro yang ada pada wilayah analisis Norman Fairclough secara utuh atau oleh
Fairclough disebut ”dimensi wacana”.
Pada tingkat mikro teks, peneliti akan meneliti pemakaian bahasa pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.
Penelitian pada level teks dilihat secara keseluruhan, yaitu judul dan isi pendahuluan, pembahasan, dan penutup editorial Media Indonesia.
Di tingkat messo, peneliti akan meneliti pada dua level yaitu produksi teks dan konsumsi teks. Level produksi teks, peneliti
melakukan wawancara dengan salah satu Tim Penulis Editorial
11
Media Indonesia yang juga sebagai Dewan Redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat. Wawancara dilakukan sebagai salah satu bentuk
penelusuran data dan fakta. Sedangkan pada level konsumsi teks, peneliti melakukan wawancara dengan seorang informan yang
dipilih berdasarkan teknik sampling purposive. Lebih spesifik lagi, informan bernama Edy A Effendi dipilih sesuai dengan ketepatan
relasi antara judul penelitian dengan kredibilitas serta kapabilitas informan itu sendiri.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka timbul rumusan masalah yang akan dibahas antara lain:
a. Bagaimana proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia?
Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia? Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada kaidah
bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi maupun pribadi yang melatari penulisan editorial?
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Akademis: penelitian ini merupakan syarat untuk
memperoleh gelar strata 1 S-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Tujuan Praktis: untuk mengetahui penulisan editorial dan
mengetahui bagaimana penerapan bahasa jurnalistik di Media Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan institusi media massa dalam menyeleksi suatu isu yang berkaitan dengan penulisan non
berita opini redaksi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara teks dan konteks dalam penulisan Editorial Media
Indonesia dan menelusuri adakah pesan yang tersembunyi latent.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk menambah referensi bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan pada bidang jurnalistik.
b. Manfaat Praktis: untuk mengetahui, mempelajari serta
menganalisa bagaimana sebuah produk jurnalistik non berita diperoleh, diolah dan disampaikan kepada khalayak pembaca
media massa cetak, di penelitian ini adalah Media Indonesia.
13
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan evaluasi bagi institusi media khususnya Media Indonesia,
terkait dengan isu-isu sensitif yang berhubungan dengan personalitas tokoh politik
D. Tinjauan Kepustakaan
Peneliti melakukan observasi ke beberapa perpustakaan, di antaranya adalah Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi FIDKOM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan IISIP Jakarta. Di perpustakaan tersebut peneliti mendapatkan penulisan skripsi yang meneliti bahasa jurnalistik,
Abdurrahman Wahid, dan Media Indonesia. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh beberapa peneliti yang meneliti
penggunaan bahasa jurnalistik, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Irvan, Mahasiswa IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Konstruksi
Realitas Pemberitaan Presiden Abdurrahman Wahid Dalam Wacana Surat Kabar Republika Edisi 7 Mei 2000-3 Februari 2001 Analisis Wacana Kasus BULOG.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Santi Irawati, Mahasiswi IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Penggunaan Kaidah Bahasa Jurnalistik Indonesia
Dilihat Dari Kata Mubazir, Kata Asing, dan Kerancuan Pada Headline Surat Kabar Harian Media Indonesia Edisi Januari-Februari 2009.
Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan dengan peneliti sebelumnya adalah pada peneliti pertama penelitiannya pada media cetak yang berbeda yaitu
14
Republika. Walaupun meneliti subjek yang sama Abdurrahman Wahid, tetapi objek yang diteliti berbeda yaitu memfokuskan pada satu kasus BULOG tahun
2000-2001. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan memilih Media Indonesia dan instrumen penelitiannya adalah editorial edisi Desember 2000.
Perbedaan dengan peneliti kedua terdapat pada fokus objek penelitian. Pada peneliti kedua objek penelitiannya adalah headline, sedangkan objek
penelitian yang peneliti pilih adalah editorial. Peneliti kedua tidak menggunakan spesifikasi analisis, berbeda dengan peneliti yang menggandeng analisis wacana
Norman Fairclough. Peneliti yang ketiga adalah sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ruslan. Skripsinya berjudul Analisis Wacana Islam Liberal dalam Majalah
Syir’ah Edisi Oktober 2005.
Perbedaan yang pertama antara peneliti dengan peneliti ketiga ini adalah fokus penelitian yg dilakukannya pada Islam Liberal, sedangkan peneliti lebih
kepada Editorial Media Indonesia. Perbedaan kedua, walaupun sama-sama menggunakan analisis wacana Norman Fairclough, tetapi pada peneliti ketiga
tidak adanya penelitian di tingkat bahasa jurnalistik. Adapun tinjauan yang dilakukan pada peneliti keempat yaitu salah satu
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Konsentrasi jurnalistik, Aris Takomala. Skripsinya berjudul Analisis Bahasa Jurnalistik Berita Utama
Surat Kabar Republika Edisi Desember 2008.
15
Perbedaan yang terlihat antara peneliti dengan peneliti keempat adalah subjek penelitiannya adalah surat kabar Republika edisi Desember 2008. Objek
penelitiannya adalah berita utama surat kabar Republika edisi Desember 2008. Penelitiannya juga lebih memfokuskan pada ciri bahasa jurnalitik yang
komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, dan tidak mubazir serta tidak klise.
Perbedaan terakhir masih pada salah satu mahasiswi dari universitas, fakultas dan jurusan yang sama dengan peneliti ketiga, yaitu Asih Amerti. Judul
skripsinya adalah Analisis Wacana Editorial Koran Tempo tentang Serangan Israel ke Gaza edisi 28 Desember 2008-18 Januari 2009.
Pada penelitiannya, subjek yang digunakan adalah serangan Israel ke Gaza. Objek penelitiannya adalah Editorial Koran Tempo yang memuat tentang
serangan Israel ke Gaza edisi 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Peneliti terakhir menggunakan pisau analisis wacana model Teun van Dijk dan teori
konstruksi realitas Peter L Berger.
E. Metodologi Penelitian
1
Paradigma Penelitian
Dalam tradisi keilmuan, seorang peneliti harus memilih salah satu paradigma paradigm yang hendak digunakan dalam
penelitiannya. Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy Nur Hidayat;
16
”Paradigma ilmu pengetahuan komunikasi terbagi menjadi tiga, 1 paradigma klasik classical paradigm yang terdiri
dari positivist dan postpositivist, 2 paradigma kritis critical paradigm dan 3 paradigma konstruktivisme constructivism
paradigm.
14
Karena penelitian ini menggunakan pisau Analisis Wacana, maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis.
Paradigma kritis terhadap wacana sebagai tipe analisis yang terutama mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana
dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik.
Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah sifat holistik dan kontekstual. Kualitas suatu analisis wacana kritis
akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan antara
analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Mengambil pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pada pemakaian bahasa dalam tuturan dan
tulisan, sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di
14
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat Jakarta: Kencana, 2007, h. 237.
17
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
15
Fairclough menyempurnakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurutnya, wacana harus
dipandang secara simultan.
16
Fairclough juga mengemukakan pokok- pokok pikiran
kritis yaitu setiap institusi sosial berisi “cara-cara berbicara” dan “cara-cara melihat” yang dalam terminologi Fairclough
disebut “bentuk ideologis-diskursif” BID. Biasanya hanya ada satu BID yang dominan, sementara itu BID yang lain berada pada posisi
tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki norma-norma wacana yang dilekatkan dalam norma-norma ideologis
dan disimbolkan oleh norma-norma ideologisnya. Subjek institusi dikonstruksikan menurut norma-norma sebuah BID dimana posisi
subjek yang mendukung ideologi itu mungkin saja tidak sadar.
17
Sedangkan paradigma kritis menurut Eriyanto, tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang
menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian
linguistik tradisional.
Bahasa dianalisis
bukan dengan
menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu
15
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 7.
16
Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis Bandung: Yrama Widya, 2009, h. 69.
17
Ibid., h. 71.
18
dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
18
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna
dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
kategorisasi tertentu.
19
Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana.
Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.
20
Seperti yang diungkapkan Crasswell;
“Beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.
Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam
mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi
partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses
18
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 7.
19
Ibid., h. 302.
20
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 4.
19
penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.
21
Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada
unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan coherence dan
kesatuan unity serta penafsiran peneliti.
22
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek yang diteliti adalah Media Indonesia. Sedangkan objek penelitiannya adalah Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000,
spesifikasi terhadap bahasa jurnalistik editorial beserta gaya penulisan editorial terhadap personalitas Abdurrahman Wahid.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran
utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan
pendukung ataupun pembanding. a.
Data primer Primary-Sources, yaitu data tekstual yang diperoleh berupa berkas Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.
21
Ibid., h. 303.
22
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: Rosdakarya, 2001, h. 68.
20
b. Data sekunder Secondary-Sources, yaitu dengan mencari referensi
berupa buku-buku, makalah, jurnal dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi data sekunder
adalah buku terbitan LP3ES dengan judul Politik Editorial Media Indonesia, Analisis Tajuk Rencana1998-2000.
c. Observasi, untuk mendapatkan data primer pada penelitian, peneliti
melakukan observasi sebagai bukti suatu pengujian. Observasi ini dilakukan guna menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang
menjadi bahan pijakan, yaitu mengumpulkan dan menyeleksi penulisan Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.
d. Studi Pustaka, peneliti juga melakukan pencarian ke beberapa sumber-
sumber referensi yang terkait dengan studi kasus penelitian ini, baik berupa buku, penelitian ilmiah maupun data dari internet.
e. Wawancara, teknik ini dilakukan untuk menambah data dan
menyinergikan data, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada dewan redaksi atau wartawan yang mengelola Editorial Media
Indonesia. Wawancara dilakukan kepada narasumber terpercaya yakni Djadjat Sudradjat sebagai salah satu Tim Penulis Editorial Media
Indonesia, kini sebagai Dewan Redaksi Media Group.
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, data yang sudah diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data di atas diteliti dengan menggunakan pisau
Analisis Wacana. Sehingga akan terlihat bagaimana Editorial Media
21
Indonesia mengemas sebuah produk jurnalistik non-berita opini redaksi. Analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana pesan disampaikan
melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Analisis wacana lebih melihat bagaimana bangunan struktur
kebahasaan tersebut, Analisis Wacana juga lebih melihat pada makna yang tersembunyi dari suatu teks.
Pendekatan yang akan digunakan dalam Analisis Wacana ini menggunakan model Norman Fairclough. Titik perhatian besar dari
Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model Analisis Wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks,
discourse practice dan sociocultural practice.
23
Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik
dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.
24
Dalam penelitian ini analisis discourse practice dilakukan dengan: pertama, produksi teks dilakukan melalui wawancara mendalam dengan
Dewan Redaksi Media Group yaitu Djadjat Sudradjat. Kedua, konsumsi teks dilihat dari bagaimana publik merespon penulisan opini institusi
dalam Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap seorang informan
23
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: Rosdakarya, 2001, h. 161.
24
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 287.
22
mantan Penulis Editorial dari unsur wartawan Media Indonesia, kini sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Kabar Lain dan Portal Berita On line
http:kabarlain.com, Edy A Effendi.
25
F. Pedoman Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi
” yang ditulis oleh Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan Syopiansyah
Jaya Putra. diterbitkan oleh CeQDA Center for Quality Development and Assurance UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. buku ini merupakan cetakan pertama
pada Januari 2007.
G. Sistematika Penulisan
BAB I diawali dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan. BAB II
berisi tentang tinjauan kepustakaan mengenai analisis wacana model Norman Fairclough, ruang lingkup bahasa jurnalistik, pengertian
rubrik, ruang lingkup editorial atau tajuk rencana.
25
Ibid., h. 320-322.
23
BAB III membahas sejarah Media Indonesia, visi dan misi, struktur
keredaksian, profil pembaca dan profil Editorial.
BAB IV membahas tentang temuan Analisis Wacana Editorial Media