semakin  ketemu  keseragaman  bahasanya.  Akhirnya  Media  Indonesia menemukan  formula  bahasa  yang  bisa  diterima  masyarakat.  Bahasa  yang  baik
mesti  bahasa  yang  terdidik,  bahasa  yang  tidak  vulgar,  tidak  menyerang  secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi,
tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca. Ideologi  bukan  menjadi  permasalahan  besar,  tinggal  bagaimana  dengan
public  meaningnya.  Intinya  antara  formula  kebahasaan  dengan  public  meaning mesti seimbang antara konten dengan kemasan.
HASIL WAWANCARA
Narasumber  : Edy A Effendi Haritanggal  : Selasa 5 April 2011
Waktu : 17.00 WIB
Jabatan : Mantan Wartawan Media Indonesia
Tempat : Summarecon Serpong, Kota Tangerang
1. Perkenalan  informan  dengan  Media  Indonesia.  Sejauh  mana  mengenal
Media Indonesia?
Saya  tahu  Media  Indonesia  sejak  awal,  persisnya  saya  lupa.  Koran  ini sebenarnya  koran  lama  secara  domain  dan  nama,  kemudian  dibeli  Surya  Paloh.
Pada awalnya grup Surya Paloh mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian dibredel  Orba  karena  pemberitaan  di  halaman  belakang  dengan  judul  kalau  tak
salah ‘Soeharto dan Firaun’, penulisnya Elman Saragih sekarang Pemred Metro Tv.  Akibat  dibredel,  Elan  digusur  menjadi  reporter  senior  dan  dibuang  ke
Medan.  Surya  Paloh  kemudian  membeli  domain  Media  Indonesia  yang  sudah lama tak aktif”.
2. Di mana perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya?
Dari  sisi  pemberitaan,  Media  Indonesia  sangat  lugas.  Lugas  dalam mengelola  pemberitaan,  tidak  bertele-tele.  Ini  terlihat  pada  pola  penulisan  berita
yang  tidak  bersambung  ke  halaman  lain.  Misalnya  ada  berita  halaman  pertama, tak  ada  sambungan  di  halaman  lain.  Tentu  ini  berbeda  dengan  harian  Kompas.
Tak  bersambung  ke  halaman  lain  ini,  memudahkan  pembaca  untuk menyelesaikan secara tuntas di halaman awal. Tapi risikonya tak ada kedalaman
dari isi berita itu
3. Perkenalan  informan  dengan  Editorial  Media  Indonesia.  Sejauh  mana
mengenal Editorial Media Indonesia?
Saya tahu Editorial  Media  Indonesia, karena saya pernah terlibat selama dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi Tim Editorial pertama dari unsur
wartawan. Generasi baru penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil dari  juara-juara  workshop  editorial  di  berbagai  tempat  selama  tiga  hari.  Inilah
hebatnya  Media  Indonesia,  kawan-kawan  digodok  dalam  menulis  editorial  atau apapun secara selektif.
Sejak  lama  Tim  Editorial  ditulis  unsur  pimpinan,  di  antara  unsur pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan Laurens Tato. Waktu itu
ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman biasanya  ditulis  Mas  Iman,  baik  momentum  hari  raya,  Iedul  Adha  atau  isu-isu
politik  yang  terkait  dengan  soal  Islam.  Sejatinya,  seorang  Saur  Hutabarat  dan Laurens  Tato  yang  non  muslim  pun  bisa  menulis  soal-soal  keislaman.  Seperti
halnya  Djadjat  Sudradjat  menulis  soal  kekristenan,  karena  patokan  penulisan editorial sudah baku.
4. Bagaimana pandangan anda terhadap Editorial Media Indonesia?
Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan editorial-editorial lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan
dari institusi yang mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Secara
kebetulan  kawan-kawan  yang  berdiri  di  tingkat  elit  Media  Indonesia  dalah  non muslim.  Sebut  saja  Andy  F  Noya,  Laurens  Tato,  Saur  Hutabarat,  dan  Elman
Saragih.  Dulu  ketika  saya  masih  menjadi  wartawan  Media  Indonesia,  kami menyebut empat sekawan.
Ketika  fotografer  mau  memuat  foto  kebiadaban  Israel  di  Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif, selalu menghalangi.  Juga
ketika  demo  PKS  yang  begitu  rapi  dan  sangat  massif,  Elman  Saragih  selalu meminta  tak  memuat  foto,  hanya  beritanya  saja.  Ini  jelas-jelas  tak  fair.  Saya
waktu  itu  sebenarnya  malu  karena  KOMPAS  yang  dikenal  sebagai  bagian  dari kelompok  Katolik,  justru  memuat  foto  demo  PKS  di  halaman  muka.  Hal  lain
ketika  kasus  Sekolah  Sang  Timur,  Karang  Tengah,  Tangerang,  Editorial  Media Indonesia  jelas-jelas  memihak  sekolah  itu  dengan  alasan  tak  jelas.  Tentu  ini
dibarengi unsur subjektif.
5. Bagaimana  Penilaian  terhadap  penulisan  Editorial  Media  Indonesia  yang
memuat tentang Abdurrahman Wahid Gus Dur?
Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan tegas.  Dari  kalangan  manapun,  orang  bisa  langsung  membaca  Editorial  Media
Indonesia.  Inilah  sisi  kebahasaan,  kemampuan  menggunakan  kata-kata  secara efektif,  padat,  dan  singkat.  Biasanya  penulisan  editorial  tak  lebih  dari  45  baris
atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto. Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba,
terkesan  sangat  sinis  dan  satire.  Sikap  sinis  itu  lagi-lagi  dipengaruhi  unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis.
Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat institusi.  Susahnya  kemudian,  meski  pendapat  institusi,  Media  Indonesia,  tapi
penulisan  editorial  tak  lepas  dari  unsur  subjektivitasnya.  Unsur  subjektivitas inilah  yang  kemudian  seringkali  menggangu  piranti  objektivitas  ketika
berhadapan  dengan  persoalan  Gus  Dur.  Judul  dan  isi  editorial  seringkali  diedit oleh tim yang lebih senior.