5. Bagaimana Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang
memuat tentang Abdurrahman Wahid Gus Dur?
Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa langsung membaca Editorial Media
Indonesia. Inilah sisi kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45 baris
atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto. Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba,
terkesan sangat sinis dan satire. Sikap sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis.
Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat institusi, Media Indonesia, tapi
penulisan editorial tak lepas dari unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas inilah yang kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika
berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial seringkali diedit oleh tim yang lebih senior.
Profil Edy A Effendi
Menekuni dunia
tulis- menulis sejak duduk di
bangku SMA, Edy A Effendi terus mengasah
dan
kemudian menemukan
dunianya dalam ranah kepenyairan
dan jurnalistik. Sebagai penyair, ia sudah beberapa
kali mengikuti even-even berskala
nasional dan
internasional. Membaca sajak dan menjadi pembicara di berbagai forum sastra. Jejak kepenyairan inilah yang kemudian menggiring langkahnya menjajaki bumi
Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam, ia memperoleh bea siswa tuk menulis novel dan mempelajari sastra modern Amerika di University of Southern California pada
paruh 2007. Jejak-jejak seperti inilah menjadi momentum sosok Edy A Effendi masuk lebih dalam lagi dalam dunia sastra.
Di luar jejak kepenyairan, ia juga menggeluti dunia jurnalistik sejak tahun 1987. Terakhir dia menduduki jabatan sebagai Redaktur Budaya harian nasional Media
Indonesia. Bekal sebagai penulis menjadikan dirinya mudah menempatkan profesi jurnalistik. Kemudahan ini dapat terlihat ketika ada workshop pelatihan penulisan
editorial bagi wartawan Media Indonesia selama tiga hari di Anyer, Banten, dirinya menjadi juara satu penulisan editorial gelombang II. Sebagai juara satu,
otomatis ia menjadi penulis editorial yang setiap hari harus memantau berbagai gejolak kehidupan publik.
Beberapa tulisan di media massa, khususnya soal sastra menghiasi pelataran koran Indonesia, khususnya koran Kompas. Selain menulis di media massa, ia juga
menulis lima buku, 19 buku tokoh dan 29 sebagai editorial. Salah satu buku yang dia edit dan menjadi isu pembicaraan hangat di kalangan mahasiswa Islam adalah
“Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat,” yang diterbitkan Penerbit Zaman, 1999. Selain itu, ia juga menjadi editor buku disertasi Prof. Dr. Greg Barton, yang
dikenal sebagai penulis buku-buku Gus Dur itu.
Saat ini, ia tengah mengelola Tabloid KABAR LAIN sebagai pemimpin redaksi.
Edy A Effendi tengah bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA kiri dan H. Rosihan Anwarkanan, saat menghadiri seminar di
Afrika Selatan.