73
Merujuk  pada  hasil  wawancara  dengan  salah  satu  tim  penulis  Editorial Media Indonesia, intinya jika ada bahasa pribadi, hukumannya tinggal diserahkan
kepada  publik.  Relnya  tetap  kembali  ke  publik,  biarkan  publik  yang  menilai. Editorial sebagai salah satu produk jurnalistik opini bukanlah sebuah kebenaran
mutlak,  tetapi  semangatnya  harus  selalu  mencari  kebenaran.  Bahwa  Editorial Media  Indonesia  sebagai  salah  satu  media  massa  skala  nasional,  mampu
memberikan ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Selain itu media massa  memiliki  salah satu  fungsi  sebagaimana dijelaskan oleh Yoseph
R.  Dominick,  dalam  bukunya  The  Dynamics  of  Mass  Communication. Menurutnya, salah satu fungsi media massa adalah interpretasi. Media massa tidak
hanya  menyajikan  fakta  dan  data,  tetapi  juga  informasi  beserta  interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu.
8
Untuk  itu,  media  massa  bukanlah  segala-galanya.  Dia  tidak  memiliki kebenaran  mutlak  dalam  menyajikan  informasi  yang  dibungkus  menjadi  lebih
menarik  untuk  diminati  publik.  Sehingga  segala  bentuk  pemberitaan  dan penulisannya,  baik  secara  personal  maupun  institusional,  wajib  dipertanggung
jawabkan kepada publik.
2. Konsumsi Teks
Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang informan yang memiliki latar belakang selain sebagai pembaca, juga mantan penulis
Editorial Media Indonesia tahun 2006-2007.
8
Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, h. 20
74
Poin-poin  yang  menjadi  pokok  pembahasan  dengan  informan  adalah sebagai berikut:
1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia
2. Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya
3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia
4. Pandangan informan mengenai Editorial Media Indonesia
5. Pandangan  informan  mengenai  gaya  bahasa  penulisan  Editorial
Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid Gus Dur
Informan Edy A Effendi EAE:
Edy  A  Effendi  EAE  merupakan  lelaki  kelahiran  Slawi,  Jawa Tengah,  18  Februari  1966.  Domisili  saat  ini  di  Jalan  Sawah  Dalam
No. 68 RTRW 0404, Panunggangan Utara, Pinang, Kota Tangerang 15143.
Selain memosisikan diri sebagai pembaca aktif Media Indonesia dan  editorial,  informan  juga  pernah  bergabung  sebagai  wartawan  di
Media Indonesia selama tujuh tahun lebih.
Perkenalan dengan Media Indonesia
Informan EAE mengenal Media Indonesia sejak tahun 1997. “Saya  tahu  Media  Indonesia  sejak  awal,  persisnya  saya
lupa. Koran ini sebenarnya koran lama secara domain dan nama, kemudian  dibeli  Surya  Paloh.  Pada  awalnya  grup  Surya  Paloh
mempunyai  koran  bernama  Prioritas,  kemudian  dibredel  Orba karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak
75
salah  ‘Soeharto  dan  Firaun’,  penulisnya  Elman  Saragih sekarang  Pemred  Metro  Tv.  Akibat  dibredel,  Elan  digusur
menjadi  reporter  senior  dan  dibuang  ke  Medan.  Surya  Paloh kemudian  membeli  domain  Media  Indonesia  yang  sudah  lama
tak aktif”.
9
Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya
“Dari  sisi  pemberitaan,  Media  Indonesia  sangat  lugas. Lugas  dalam  mengelola  pemberitaan,  tidak  bertele-tele.  Ini
terlihat  pada  pola  penulisan  berita  yang  tidak  bersambung  ke halaman  lain.  Misalnya  ada  berita  halaman  pertama,  tak  ada
sambungan  di  halaman  lain.  Tentu  ini  berbeda  dengan  harian Kompas.  Tak  bersambung  ke  halaman  lain  ini,  memudahkan
pembaca  untuk  menyelesaikan  secara  tuntas  di  halaman  awal.
Tapi risikonya tak ada kedalaman dari isi berita itu”.
10
Perkenalan dengan Editorial Media Indonesia
Bagi EAE, Editorial Media Indonesia sudah tidak asing lagi dan sudah cukup mengenalnya sejak lama.
“Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah terlibat  selama dua tahun di  dalamnya. Kebetulan saya menjadi
Tim  Editorial  pertama  dari  unsur  wartawan.  Generasi  baru penerus  editorial,  khusus  dari  unsur  wartawan.  Diambil  dari
juara-juara  workshop  editorial  di  berbagai  tempat  selama  tiga hari.  Inilah  hebatnya  Media  Indonesia,  kawan-kawan  digodok
dalam menulis editorial atau apapun secara selektif
”.
11
EAE  menambahkan  soal  pembagian  tema  penulisan  editorial dan Tim Penulis yang biasa menulis editorial.
“Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara unsur  pimpinan  itu  ada  Saur  Hutabarat,  Djadjat  Sudradjat,  dan
Laurens Tato. Waktu itu ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus  Durian  PKB  asli.  Isu-isu  ke-Islaman  biasanya  ditulis  Mas
Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu politik
9
Wawancara Edy A. Effendi, 5 April 2011.
10
Ibid., Edy A. Effendi.
11
Ibid., Edy A. Effendi.
76
yang  terkait  dengan  soal  Islam.  Sejatinya,  seorang  Saur Hutabarat dan Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis
soal-soal  keislaman.  Seperti  halnya  Djadjat  Sudradjat  menulis soal  kekristenan,  karena  patokan  penulisan  editorial  sudah
baku.”
12
Pandangan tentang Editorial Media Indonesia
EAE menilai Media Indonesia bersama editorialnya sangat tidak imbang  dan  tidak  objektif  dalam  menuliskan  sebuah  berita  ataupun
editorial. “Soal  Editorial  Media  Indonesia  saya  pikir  sama  dengan
editorial-editorial  lain.  Tapi  kalau  mau  jujur,  setiap  penulisan berita  maupun  editorial  itu  cerminan  dari  institusi  yang
mengelolanya,  siapa  yang  di  belakang  layar  pengelola.  Secara otomatis  berbagai  kebijakan  penulisan  tak  lepas  dari  cara
berpikir mereka. Secara kebetulan kawan-kawan yang berdiri di tingkat elit Media Indonesia dalah non muslim. Sebut saja Andy
F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman Saragih. Dulu ketika  saya  masih  menjadi  wartawan  Media  Indonesia,  kami
menyebut empat sekawan
”.
13
EAE  juga  merasakan  betul  adanya  ketidak  berimbangan  mulai dari peliputan, penulisan hingga penerbitan berita maupun editorial. Ia
juga  memberikan  beberapa  fakta  yang  terjadi  di  lapangan  dan  ruang redaksi.
“Ketika  fotografer  mau  memuat  foto  kebiadaban  Israel  di Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif,
selalu menghalangi. Juga ketika demo PKS yang begitu rapi dan sangat  massif,  Elman  Saragih  selalu  meminta  tak  memuat  foto,
hanya  beritanya  saja.  Ini  jelas-jelas  tak  fair.  Saya  waktu  itu sebenarnya malu karena  KOMPAS  yang dikenal sebagai bagian
dari  kelompok  Katolik,  justru  memuat  foto  demo  PKS  di halaman  muka.  Hal  lain  ketika  kasus  Sekolah  Sang  Timur,
12
Ibid., Edy A. Effendi.
13
Ibid., Edy A. Effendi.
77
Karang  Tengah,  Tangerang,  Editorial  Media  Indonesia  jelas- jelas  memihak  sekolah  itu  dengan  alasan  tak  jelas.  Tentu  ini
dibarengi unsur subjektif”.
14
Penilaian  terhadap  penulisan  Editorial Media  Indonesia  yang
memuat tentang Abdurrahman Wahid Gus Dur
EAE juga mendefinisikan Editorial Media Indonesia “Dari  sisi  kebahasaan,  Editorial  Media  Indonesia  terkenal
sangat  lugas  dan  tegas.  Dari  kalangan  manapun,  orang  bisa langsung  membaca  Editorial  Media  Indonesia.  Inilah  sisi
kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45
baris  atau  sekitar  tujuh  paragraf  atau  satu  halaman  setengah
kuarto”.
15
Ia  juga  memandang  bahwa  gaya  bahasa  Editorial  Media Indonesia dalam penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid, kental
dengan  sinisme,  satire,  dan  dan  subjektif  yang  keluar  dari  etika kebahasaan.
“Spesifikasi  pada  penulisan  Gus  Dur,  saya  melihat, membaca,  dan  meraba,  terkesan  sangat  sinis  dan  satire.  Sikap
sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami  selalu  rapat  editorial  sebelum  editorial  ditulis.  Jadi,
pendapat  yang  mengemuka  di  editorial  bukan  pendapat  pribadi tapi  pendapat  institusi.  Susahnya  kemudian,  meski  pendapat
institusi, Media Indonesia, tapi penulisan editorial tak lepas dari unsur  subjektivitasnya.  Unsur  subjektivitas  inilah  yang
kemudian  seringkali  menggangu  piranti  objektivitas  ketika berhadapan  dengan  persoalan  Gus  Dur.  Judul  dan  isi  editorial
seringkali diedit oleh tim yang l
ebih senior”.
16
14
Ibid., Edy A. Effendi.
15
Ibid., Edy A. Effendi.
16
Ibid., Edy A. Effendi.
78
Analisis Konsumsi Teks
Informan  mengenal  Editorial  Media  Indonesia  sejak  14  tahun  yang  lalu, rentang  waktu  yang  terbilang  lama  untuk  mengenal  sebuah  koran  harian,  Media
Indonesia.  Ia  sangat  responsif  ketika  ditanyai  seputar  Editorial  Media  Indonesia beserta gaya penulisannya. Menurutnya, Media Indonesia sebagai sebuah institusi
media massa nasional sangatlah lugas, tegas, dan berani. Lugas, tegas, dan berani dari  segi  penulisan  isi  berita  maupun  editorial  sebagai  sebuah  opini  redaksinya.
Walaupun  dia  sempat  menilai  bahwa  Editorial  Media  Indonesia  hampir  sama dengan  editorial  tajuk  rencana  koran  lainnya.  Namun,  Setelah  cukup  lama
bergabung di keredaksiaa Media Indonesia, sebagai wartawan dan pernah menjadi salah satu  penulis editorial dari unsur wartawan,  dia memiliki pandangan  sendiri
yang  kontra  terhadap  penulisan  Editorial  Media  Indonesia.  Bahwa  Media Indonesia  sangatlah  kental  dengan  subjektivitas  dan  ideologi  para  pemimpinnya
dalam  memutuskan  sebuah  kebijakan  redaksi.  Maka  tidaklah  heran  menurutnya, jika beberapa editorial sering dikemas dan disajikan tidak cover both side. Ketidak
berimbangan penulisan editorial tentu saja dilatari oleh orang yang berada di balik layarnya.  EAE  juga  mempertegas  bahwa  Editorial  Media  Indonesia  merupakan
cerminan dari institusi yang mengelolanya, otomatis berbagai kebijakan penulisan tak  lepas  dari  cara  berpikir  mereka.  Terlepas  suka  ataupun  tidak  suka,  menurut
EAE, itu sudah menjadi kebijakan baku. Hal-hal seperti itulah yang selalu menjadi pertentangan dalam dirinya, posisinya mendua, satu sisi sebagai seorang wartawan
dan sisi lainnya sebagai pembaca setia Media Indonesia. Penjabarannya mengenai beberapa  fakta  yang  terjadi  di  lapangan  maupun  redaksi,  Editorial  Media
Indonesia  pernah  menunjukkan  keberpihakan  terhadap  Sekolah  Sang  Timur  di
79
Tangerang.  EAE  menilai  keberpihakan  Editorial  Media  Indonesia  tidaklah beralasan,  melainkan  adanya  unsur  subjektif.  Apalagi  EAE  mencoba
membandingkan Media Indonesia dengan koran nasional lainnya, KOMPAS, yang menurutnya  KOMPAS  merupakan  koran  yang  berkiblat  non  Islam,  mampu
memuat foto demo PKS yang rapi dan massif di halaman muka, Media Indonesia tidak  melakukan  itu,  EAE  merasa  malu  dengan  sikap  yang  diusung  Media
Indonesia  yang  tidak  adil  dan  terkesan  memilih.  Fakta  lainnya  saat  salah  satu fotografernya  mau  memuat  foto  kekejian  Israel  terhadap  Palestina,  Redaktur
Eksekutifnya  yang  berlatar  non  muslim,  menghalanginya.  Padahal  konflik  Israel dengan  Palestina  murni  soal  perebutan  batas  wilayah  yang  kebetulan  saja
memiliki  keyakinan  agama  berbeda.  Sehingga  menurut  penilaian  EAE,  Media Indonesia  sangatlah  tebang  pilih  dalam  menyoroti  berbagai  fakta  yang  terjadi  di
lapangan,  berita  maupun  opini  redaksi  yang  dipilih  berdasarkan  kesukaan pimpinannya,  walaupun  melalui  rapat  redaksi,  pada  praktiknya  tidaklah  terlihat
sebagai  sebuah  keputusan  bersama  atau  redaksi.  Pandangan  lain  yang  digulirkan oleh  EAE  mengenai  gaya  penulisan  Editorial  Media  Indonesia  terhadap
Abdurrahman  Wahid  Gus  Dur,  sinismenya  sangat  kental.  Kesantunan  dalam berbahasa  tidak  selalu  diusung  dalam  penulisan  Editorial  Media  Indonesia,
spesifikasinya  terhadap  sosok  Abdurrhamn  Wahid.  Menurutnya  sikap  tersebut sangatlah  merugikan  untuk  pihak  lain,  dalam  kasus  ini  adalah  Abdurrahman
Wahid.  Janganlah  Editorial  Media  Indonesia  menjadi  Media  yang  provokatif, melainkan  media  yang  inovatif  dalam  segi  penulisan,  informatif  dalam  segi  isi  ,
dan edukatif dalam segi manfaat.
80
BAB V PENUTUP