1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media pers acapkali disebut sebagai the fourth estate kekuatan keempat dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai alat untuk menyampaikan
berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik,
karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan
untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.
1
Pengertian senada juga diungkap Gamble dalam buku Abdul Muis tentang media massa, “Media massa adalah bagian komunikasi antar manusia human
communication dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar
manusia. ”
2
Media massa identik dengan pers, mengenai hal ini Onong Uchjana Effendy berpendapat, “Dalam perkembangnnya pers mempunyai dua pengertian,
yakni pers dalam pengertian luas dan sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 30-31.
2
Abdul Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik Jakarta: PT. Mario Grafika, 1996, h. 12.
2
televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas dalam media cetak, yakni surat kabar, majalah dan bul
etin kantor berita.”
3
Menurut Eriyanto, proses media mendapatkan dan merangkum dalam berita karena berkaitan dengan politik pemberitaan media, di antaranya adalah
strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan, secara langsung atau tidak langsung,
berpengaruh dalam mengonstruksi peristiwa.
4
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh
“positif” maupun “negatif” kepada publik, sehingga publik juga dituntut untuk tidak langsung mengonsumsi informasi yang disajikan secara mentah-mentah,
perlu dicerna dahulu keakuratan informasi atau berita yang disampaikan media massa.
Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu
pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik.
Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif, tidak adil, dan tidak netral dalam memberitakan atau
mengritik suatu peristiwa, seperti yang sering diklaim selama ini. Tugas media
3
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, h. 146.
4
Ibid., h. 40.
3
massa bukanlah menyingkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang
mereka anut selama ini. Memang persoalannya adalah bahwa media tidak bisa bersifat netral.
Misalnya atribut-atribut tertentu dari media dapat mengondisikan pesan-pesan yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan;
“The medium is the message,” medium itu sendiri merupakan pesan. “apa- apa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih
lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikasi,
mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa.
”
5
Memori kita tentunya masih merekam peristiwa era Orde Baru pasca Peristiwa Malari 1974, ketika rezim Soeharto sangat kuat, pers dalam hal ini
media cetak mendapat tekanan atau represi sedemikian rupa, sehingga media cetak kala itu hanya murni sebagai corong penguasa.
6
Otoritarianisme di era Orde Baru, media massa seolah-olah dibungkam untuk memberikan informasi dan
memberitakan suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan saat itu. Pers Indonesia selama 32 tahun 1965-19987 terpasung. Media massa pada
era Orde Baru lebih banyak memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah, dan sistem pers saat itu menganut sistem pers otoriter.
7
Keadaan berubah ketika
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 37.
6
M Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi Yogyakarta: Gitanyali, 2004, h. 178.
7
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama, Jurnalistik Teori dan Praktik Bandung: Rosdakarya, 2005, h. 36.
4
rezim Soeharto jatuh paska Mei 1998, sistem politik yang sebelumnya sangat represif menjadi demikian longgar, berita media cetak pun menjadi leluasa.
Pers tentu saja memanfaatkan kebebasan pers yang selama pemerintah Orde Baru tidak pernah didapatkan. Ibarat kuda lepas dari kandangnya, mereka
lari dengan sangat cepatnya. Namun, kebebasan pers yang selama ini didapatkan dianggap sudah pada tempatnya. Coba bandingkan dengan kebebasan pers paska
Orde Baru yang sangat liar. Pada waktu itu, pers berada pada titik kulminasi kebebasan tertinggi yang bebas membertitakan apa saja, meskipun tanpa fakta
sekalipun. Saat ini, sejalan dengan tingkat kedewasaan pengelola media massa, pers
mengartikan kebebasan masih dalam tempat yang wajar. Ia tetap hati-hati dalam meliput pelbagai persoalan di masyarakat, meskipun tentu dengan kekurangan
yang melekat di sana sini.
8
Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru adalah tonggak penting bagi perjuangan kebebasan itu. Ketika Reformasi tahun 1998 digulirkan di
Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999. Berbagai
kendala yang membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi,
siapapun dan kapanpun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun
8
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 294-295.
5
masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjunjung asas demokrasi, sering terjadi ide-ide yang pemunculannya acap kali
melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan
pers pada umumnya. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supermasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yaitu right to know atau hak
untuk tahu, berpendapat dan mendapat informasi. Yang dimaksud dengan kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia adalah pers yang bebas
dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Untuk itu lahirnya kebebasan pers di era Reformasi ini tentunya menjadi parameter dari segi waktu, di mana pers, khususnya media cetak menjadi lebih
berani dalam mengamati dan mengritik birokrasi pemerintahan. Tampak dari pengemasan sebuah bahasa dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan
dalam kaitannya dengan konteks secara keseluruhan. Menurut ungkapan Lorens Bagus 1990, sebagaimana dikutip Alex
Sobur; ”Bahasa mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari
sebuah pisau. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan
hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Tetapi bahasa yang
6
sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain, bahasa menjadi tiran.
”
9
Sudah jamak dan tak asing lagi sebuah surat kabar nasional menyediakan kolom khusus pada halaman tertentu yang menyajikan rubrikasi pendapat atau
opini, di antaranya tajuk rencana, surat pembaca, tulisan atau artikel dari tokoh penulis atau ilmuwan. Pada kolom tersebut, segala pendapat, kritik, pikiran orang-
perorangan baik mengatasnamakan pribadi maupun institusi, digulirkan secara bebas dalam praktik penggunaan bahasanya, bahkan ada yang menggunakan
bahasa sindiran satire.
Editorial sebenarnya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca. Ketika berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan
terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian, ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial.
Fakta tersebut yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak menaruh editorial pada halaman muka, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali.
Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada
halaman depan.
Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial. Masing-masing media cenderung memberi nama yang berbeda sebagai ciri khas
medianya. Ada yang menyebutnya sebagai Dari Kami milik majalah Intisari,
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006, h. 16.
7
Dari Meja Redaksi kepunyaan buletin Pilar. Sementara Kompas menyebutnya Tajuk Rencana, sedangkan Seputar Indonesia Tajuk. Adapun Media
Indonesia dan Berita GKMI termasuk yang masih memakai nama Editorial pada kolom tersebut.
Di Media Indonesia meyediakan kolom tajuk rencana yang disebut dengan Editorial dan diletakkan di halaman muka tepatnya pojok kanan atas. Rubrik
Editorial Media Indonesia ini merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia di Harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterus-
terang menyatakan pendapat, berjuang mengemukakan pendapat dan berpikir dengan sangat bebas. Tidak gampang memang menemukan gaya tajuk rencana
yang dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik. Di tengah kultur sopan santun, kritik dibungkus dalam kata-kata santun.
Tajuk rencana merupakan pendapat institusi mengenai isu yang dibuat berdasarkan
rapat redaksi,
yang perlu
digarisbawahi adalah
tidak mengatasnamakan pribadi wartawan. Tajuk rencana pada dasarnya adalah roh
bagi sebuah surat kabar. Pada tajuk rencana itulah pandangan, pikiran, dan kritisme redaksi pengelola terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk
menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik, karena itu tidak disertai nama penulisnya.
Tajuk rencana menurut Jacob Oetama adalah “Suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersi
fat “personal” melainkan “institusional”. Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan
8
fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antara dibicarakan dan
juga dilaksanakan.”
10
Tajuk Rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau
kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.
11
Seperti yang diungkapkan William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work;
“Editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang
menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat
umum.”
12
Karakter atau identitas sebuah surat kabar terletak pada tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara
lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung dalam ulasan-
ulasannya.
13
Terus terang, Tegas, dan Lugas adalah karakter paling menonjol dari Editorial Media Indonesia. Editorial Media Indonesia memesona sebagai naskah,
dan juga memesona sebagai pemikiran. Di situlah letak kekuatan Editorial Media
10
Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia Jakarta: LP3ES, 1987, h. 137-138.
11
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005, h. 2.
12
William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik, Editorial, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, h. 5.
13
Jacob Otama, Perspektif Pers Indonesia Jakarta: LP3ES, 1987, h. 81.
9
Indonesia. Begitu berani penulisan dan gaya bahasa yang digunakan oleh Media Indonesia, khususnya pada rubrik editorial, sehingga tidak jarang menuai
kontroversi dari berbagai kalangan. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk
menyajikan sebuah skripsi yang berjudul
“Analisis Wacana Bahasa Rubrik Editorial
Media Indonesia Edisi Desember 2000
.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah