BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGI SASTRA, SETTING
MASYARAKT PADA ZAMAN EDO, MUSASHI, DAN RIWAYAT EIJI YOSHIKAWA
2.1 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosiosocius Yunani yang berarti masyarakat, logilogos berarti
ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan evolusi masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan
antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas Sansekerta berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan
instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra
bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusatraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik Nyoman, 2003: 1.
Sesungguhnya kedua ilmu tersebut yaitu sosiologi dan sestra memiliki objek yang sama, yaitu menusia dalam masyarakat. Meskipun demikian, hakikat
sosiologi dan sastra berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini
das sein, bukan apa yang seharusnya terjadi das sollen. Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Perbedaan antara sastra dan
sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta Nyoman, 2003: 2.
Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan mengenai definisi sosiologi sastra, yaitu analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-
aspek kemasyarakatannya. Ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat. Nyoman 2004: 332-333, mengemukakan sebagai berikut. 1.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota
masyarakat. 2.
Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan
oleh masyarakat. 3.
Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan. 4.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.
Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5.
Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Pengarang, melalui kemampuan intersubjektivitasnya yang menggali kekayaan masyarakat, menuangkannya ke dalam karya sastra, yang kemudian
dinikmati oleh pembaca. Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda, pertama,
Universitas Sumatera Utara
tergantung dari kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, adalah kemampuan pembaca dalam memahami suatu karya sastra. Pada
umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada
dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Dengan kata lain, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur
kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra. Eiji yoshikawa, pengarang novel Musashi dapat dikatakan sebagai salah satu pengarang yang berhasil, karena
ia telah menyebarluaskan segala unsur-unsur kebudayaan Jepang, khususnya kebudayaan pada zaman Edo ke seluruh dunia.
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial.
Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsur- unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan
masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang umum digunakan dalam
masyarakat. Oleh karana itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.
Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman 2003: 336 karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya. Seperti dalam novel Musashi yang
menunjukkan kehidupan manusia Jepang dalam zaman feodal keshogunan. Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir
seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat. Ciri-ciri utama karya sastra adalah aspek-aspek estetika,
Universitas Sumatera Utara
tetapi secara intens karya sastra juga mengandung etika filsafat, logika, bahkan juga ilmu pengetahuan.
Cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora jelas membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak
langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intern masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca.
Artinya ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi
dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Inilah aspek-aspek sosial
karya sastra, di mana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin
tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.
Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat balam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga
memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu
diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan
menurut Nyoman 2004: 339-340 meliputi tiga macam, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya
sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model
hubungan yang terjadi disebut refleksi. 2.
Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang
bersifat dialektika. 3.
Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada
umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua. Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosilogi sastra,
masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.
2.2 Kondisi Umum Masyarakat Jepang Pada Zaman Edo