kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para shogun. Musashi : 302
Analisis Dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa masyarakat sering
menyanyikan lagu-lagu, di mana jenis lagunya disesuaikan dengan zaman dan bagaimana kehidupan rakyat, gembira atau menderita. Nyanyian itu disebut juga
dengan kayou, yang sudah ada dari zaman Yayoi, yaitu nyanyian rakyat yang tercetus dari gerak hati manusia yang diungkapkan dengan kata-kata yang
sederhana saja, contohnya nyanyian yang dinyanyikan ketika bekerja di tempat kerja dan nyanyiannya juga mengenai pekerjaan.
3.5 Kehidupan Pendeta dan Ajaran Agamanya dan Hubungannya dalam Masyarakat
Berikut adalah kehidupan pendeta dan ajaran agamanya yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.
Cuplikan 1 “ Aku baru saja mencuci pakaianku, tapi dimana akan kukeringkan
jubah tua yang sudah compang-camping ini? Aku tak dapat menggantungkannya di pohon prem. Dosa besar sekali dan menghina alam,
kalau aku menutup bunga-bunga itu. Cobalah pikir, aku orang yang punya selera, tapi aku tak dapat menemukan tempat menggantungkan jubah ini
Otsu Pinjami aku kayu jemuran.” Musashi : 48 Analisis
Universitas Sumatera Utara
Cuplikan di atas adalah perkataan dari Takuan Soho, seorang pendeta biarawan Zen. Pada zaman Edo Konfusianisme lah yang memegang peranan
penting di Jepang dan dilindungi oleh bakufu. Konfusianisme menjunjung tinggi kesetiaan dan hubungan atas-bawah, seperti orang tua dengan anak, tuan dengan
bawahan, dan sebagainya. Oleh karena itu, keadaan dalam politik bakufu membaik. Walaupun demikian, pada awal zaman Edo, agama Buddha Zen masih
banyak diikuti oleh para samurai dan masih dipraktikkan secara luas, tetapi kehilangan naungan dari pemerintah pusat dan status serta sifat-sifatnya jadi
tersingkir. Zen menekankan konsep meditasi, kesederhanaan, dan keakraban dengan
alam. Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa Takuan sangat menghargai alam dengan tidak mau mengantungkan bajunya pada sebuah pohon.
Cuplikan 2 Otsu melanjutkan. “ orang bilang jenderal-jenderal terkenal seperti
Hosokawa dan orang-orang bangsawan macam Karasumaru sudah berulang-ulang mencoba meyakinkannya untuk tinggal menetap. Mereka
malahan sudah menawarkan membangun kuil untuknya dan menymbangkan uang untuk perawatannya, tapi dia tidak tertarik. Dia lebih
suka mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman kutu- kutunya. Kurasa dia agak sinting.” Musashi : 54…
“Sesudah mengantarnya ke petak baru itu nanti, sebaiknya Anda ikut aku ke warung teh, kata Terumasa pada biarawan, ketika ia hendak
pergi.
Universitas Sumatera Utara
“O, apa Anda bermaksud sekali lagi memperlihatkan ketidakmahiran Anda dalam upacara minum teh?”
“Ah, tidak betul, Takuan. Hari-hari ini aku sudah betul-betul mulai tahu seluk-beluknya. Datanglah nanti, dan akan kubuktikan bahwa
aku bukan lagi sekadar serdadu yang tak tahu adat. Aku menunggu.” Terumasa lalumengundurkan diri ke bagian dalam kediamannya.
Sekalipun tubuhnya pendek, hampir tidak sampai satu setengah meter, kehadirannya seakan-akan memenuhi puri yang bertingkat banyak itu.
Musashi : 132 Analisis
Cuplikan di atas adalah perkataan Otsu yang menceritakan kepada Ogin mengenai Takuan. Dari cuplikan diatas dapat dilihat betapa dekat dan
bersahabatnya seorang pendeta Zen dengan para daimyo dan bangsawan. Sebagaimana yang diketahui bahwa banyak para prajurit yang mengikuti ajaran
Zen. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur Zen bersama- sama seperti upacara minum teh, selain itu para jenderal-jenderal tersebut juga
melukis pemandangan satu warna yang juga merupakan gaya dari Zen. Dengan kata lain, para jenderal, daimyo, seniman, bahkan pedagang kaya pada saat itu
dapat duduk bersama dan berbaur selama upacara minum teh atau pada acara ramah tamah saja. Padahal seperti ini mustahil terjadi di masa sebelumnya. Jadi,
seni dapat mengatasi kelas sosial di jepang pada abad ke-17. Dilihat dari proses sosial, diantara pendeta, bangsawan, dan daimyo
tersebut telah terjadi proses asimilasi penggabungan suatu kebudayaan. Faktor- faktor yang mempermudah terjadinya proses asimilasi tersebut adalah
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan adanya persamaan minat yang mereka miliki, yaitu dalam hal minat terhadap Zen.
Cuplikan 3 “Ya, dapat dianggap demikian. Tapi kaum pendeta tidak
seharusnya menggunakan senjata, dan rasanya sayang bahwa Hozoin jadi terkenal justru karena seni bela dirinya, bukan karena semangat
keagamaannya. Namun ada yang merasa sayang sekali kalau Gaya Hozoin itu lenyap. Karena itu aku mengajarkannya kepada Inshun. Tak ada orang
lain lagi yang kuajari.” Musashi : 215… Kepala Biara, Inshun, memeberikan perintah menyerang, dan
sesaat kemudian para jago tembak itu segera beraksi, diiringi raungan gegap gempita. Senjata mereka yang berkilauan bersuit-suit di udara,
sementara para pendeta berpencar seperti tawon yang menghambur dari sarangnya. Kepala mereka yang gundul itu membuat mereka tampak lebih
barbar lagi. Musashi : 234 Analisis
Dari Cuplikan di atas dapat diketahui bahwa di Jepang pada masa itu ada beberapa kuil yang berfungsi sekaligus sebagai perguruan bela diri. Orang yang
berlatih di situ disebut sebagai prajurit pendeta. Benar yang dikatakan Nikkan di atas bahwa kaum pendeta seharusnya tidak menggunakan senjata sehingga
semangat keagamaannya tidak berkurang. Malahan dari dalam novel Musashi dapat diketahui bahwa para pendeta dapat dengan mudah membunuh manusia lain.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sangat bertentangan sekali dengan kewajiban seorang pendeta yang mengajarkan kebaikan dan menasehati manusia untuk menghargai mahluk hidup.
Kuil Hozoin ini berada di Nara. Biksu Nara memang terkenal akan kelihaian memainkan senjata militer dan kesediaan mereka untuk menggunakan
senjata itu di saat konflik. Salah satu senjata favorit mereka adalah tombak. Generasi pertama dari teknik tombak gaya Hozoin adalah Kakuzenbo Hoin In’ei,
yang lahir tahun 1512 di tengah kekerasan zaman shogunat Ashikaga. Maka tidak mengherankan kalau hampir seluruh lapisan masyarakat di zaman Ashikaga dapat
menggunakan senjata karena zaman itu penuh dengan pertikaian.
Cuplikan 4 …Ada desas-desus bahwa sebagian kaum pendeta mendambakan
zaman lama, mendambakan tentara perkasa, pengaruh politik, dan hak-hak khusus, namun kenyataannya mereka tidak pernah dapat memilih kepala
biara baru tanpa menimbulkan banyak intrik dan pertentangan intern yang buruk. Memang gunung suci itu untuk menyelamatkan orang berdosa, tapi
kenyataannya ia tergantung pada derma dan sumbangan orang berdosa agar dapat terus hidup. Suatu keadaan yang sama sekali tak menyenangkan,
demikian renung Musashi. Musashi : 683-684 Analisis
Dari cuplikan di atas, peda zaman Azuchi-Momoyama, kaum pendeta menguasai ilmu militer dan turut campur dalam urusan politik. Pada saat
pemerintahan di bawah kekuasaan Oda Nobunaga, pendeta-pendeta Buddhisme sekte Shinshu suka melakukan pemberontakan-pemberontakan. Karena itu,
Universitas Sumatera Utara
Nobunaga mematahkan tenaga-tenaga militer kuil-kuil pusat dan menggempur kuil sekte Shinshu yang menyerupai benteng-benteng di Osaka. Tapi akhirnya
benteng kuil itu menyerah juga pada tahun 1580. Dalam cuplikan di atas dapat dilihat adanya kontroversi di dalam diri para
pendeta, di mana mereka menginginkan suatu yang tidak dapat dilakukan sekarang. Kontroversi di sini ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian
mengenai diri seseorang dan perasaan tidak suka yang disembunyikann. Kebencian dan keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang atau diri sendiri.
3.6 Kehidupan Masyarakat Jelata dan Hubungannya dalam Masyarakat