3.4 Kehidupan Seniman dan Hasil Karyanya dan Hubungannya dalam Masyarakat
Berikut merupakan kehidupan seniman dan hasil-hasil karyanya yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.
Cuplikan 1 Mereka bicara tentang Kabuki Okuni yang sedang mengadakan
pertunjukan di tepi sungai di jalan Shijo. Kabuki adalah tarian jenis baru yang disertai kata-kata dan musik, yang sedang digemari orang di ibu kota.
Diciptakan oleh seorang biarawati bernama Okuni di Kuil Izumo. Kepopulerannya menyebabkan banyak orang lain meniru. Di daerah ramai
sepanjang sungai itu berdiri panggung berderet-deret. Di sana kelompok- kelompok pemain wanita berlomba-lomba memikat penonton. Masing-
masing berusaha mencapai taraf kepribadian sendiri dengan menambahkan tari-tarian dan lagu-lagu daerah yang istimewa ke dalam repertoarnya.
Para aktris itu sebagian besar mulai sebagai wanita malam. Namun kini sudah naik panggung, mereka biasa dipanggil untuk mengadakan
pertunjukan dirumah-rumah orang paling kaya di ibu kota. Banyak diantara mereka menggunakan nama pria, mengenakan pakaian pria, dan
mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang menggetarkan sebagai prajurit yang gagah berani. Musashi : 156
Analisis Cuplikan di atas menunjukkan asal mula drama Kabuki di Jepang. Drama
Kabuki dimulai dengan tarian Kabuki yang ditarikan oleh Izumono Okuni, seorang biksu wanita pada tahun kaicho 1600. Tarian itu diperkirakan
Universitas Sumatera Utara
merupakan perpaduan antara tarian Buddhisme yang disebut Nenbutsu Odori dengan tarian rakyat, yang dibumbui dengan nuansa erotis. Pertunjukan ini sangat
sukses sampai-sampai Okuni dipanggil untuk menyajikan pertunjukan di Istana Kaisar pada tahun 1603. tetapi, kegiatan kabuki wanita dilarang oleh bakufu
karena terjadi pelanggaran tata susila di antara mereka sendiri. Kemudian, pemain-pemainnya diganti dengan pemain laki-laki remaja wakashu kabuki, dan
ini juga dilarang dan kemudian diganti lagi dengan pemain laki-laki dewasa yarou kabuki, dan sejak saat itu kabuki sebagai drama mengalami kemajuan
sehingga tetap populer sampai sekarang. Cuplikan 2
“Kalau sajaknya tidak bagus, tak akan bisa mengubah pikirannya. Tapi sajak yang baik tidak mudah ditulis seketika. Bagaimana kalau
engkau menulis baris-baris pertamanya, dan aku selebihnya?” “Hmm. Mari kita lihat, apa yang bisa kita lakukan.” Shoyu
mengambil kertas dan menulis: Ke gubuk kami hina
Biarlah datang sebatang pohon ceri, Pohon ceri dari Yoshino.
“Kurasa bagus,” kata Koetsu, lalu menulis: Bunga-bunga gemetar karena dingin
Di tengah awan di atas kemuncak. Musashi : 570-571 Analisis
Cuplikan di atas merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh para chounin di suatu tempat hiburan. Kebudayaan pedagang kota chounin adalah
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan yang muncul pada zaman Edo. kebudayaan ini berpusat sekitar tempat-tempat hiburan kota, tenpat para pedagang, yang pada hakekatnya adalah
orang-orang yang bekerja keras, sederhana, menghasilkan uang banyak, dan cinta keluarga. Mereka sangat suka berfoya-foya dan bersantai disertai penghibur-
penghibur profesional geisha. Di dalam lingkungan yang penuh dengan kebebasan ini timbul seni yang kaya, teater, dan sastra yang berbeda sekali dari
seni kaum samurai. Dari cuplikan juga dapat dilihat Shoyu dan Koetsu sedang membuat puisi.
Jenis puisi yang mereka buat adalah jenis renga, yaitu sajak yang bersahutan. Apabila bait pada waka berbentuk 57577 dan hanya di baca dan dibuat oleh satu
orang. Tapi pada renga, dibaca orang yang pertama dengan bentuk 575 dan kemudian disambung oleh kedua dengan bentuk 77.
Cuplikan 3 Kaum buruh di Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini,
namun lagu-lagu mereka benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-lagu populer pada zaman merosotnya ke-shogun-an Ashikaga pada
umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan dinyanyikan secara pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi, lagu-lagu bahagia
dan gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari, ketika kerasnya kekuasaan Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan
sebagian semangat gembiranya. Ketika kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat, nyanyian yang spontan sifatnya cenderung memberikan tempat
Universitas Sumatera Utara
kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para shogun. Musashi : 302
Analisis Dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa masyarakat sering
menyanyikan lagu-lagu, di mana jenis lagunya disesuaikan dengan zaman dan bagaimana kehidupan rakyat, gembira atau menderita. Nyanyian itu disebut juga
dengan kayou, yang sudah ada dari zaman Yayoi, yaitu nyanyian rakyat yang tercetus dari gerak hati manusia yang diungkapkan dengan kata-kata yang
sederhana saja, contohnya nyanyian yang dinyanyikan ketika bekerja di tempat kerja dan nyanyiannya juga mengenai pekerjaan.
3.5 Kehidupan Pendeta dan Ajaran Agamanya dan Hubungannya dalam Masyarakat