tafsiran modern doktrin Cina dan berpaling balik sehingga sampai kepada Konfusius dan Mensius dengan mengambil juga pikiran-pikiran baru. Adanya
berbagai pikiran Konfusianistis di Jepang memperbesar perhatian pada sastra Cina klasik.
Dalam agama Shinto, pada pertengahan pertama abad ke-19 dibangun sekte-sekte baru. Wanita juga mengambil bagian aktif pada kegiatan-kegiatan
mengenai agama Shinto. Beberapa sekte dibangun oleh mereka. Salah satunya dalam tahun 1838 seorang wanita, Nakayama Miki, membangun sebuah sekte
Shinto yang dinamakan Tenrikyo.
2.2.6 Kehidupan Masyarakat Jelata Pada Zaman Edo
Selama masa kekuasaan Tokugawa, peraturan empat kelas dalam masyarakat Shi-nou-kou-shou makin diperketat. Garis pemisah antara samurai
dengan kelas-kelas lainnya makin dipertegas. Hanya kaum samurai yang boleh memakai nama keluarga dan nama kecil serta menggunakan dua buah pedang.
Bahkan antara kelas-kelas petani, tukang, dan pedagang pun diadakan pemisahan, sehingga orang tidak dapat berganti status.
Meskipun di dalam zaman ini mereka yang berhubungan dengan ekonomi mempunyai tingkat yang rendah dalam masyarakat, namun pada satu ketika, kaum
samurai menjadi sangat tergantung kepada mereka. Apalagi untuk membiayai kehidupan mereka di kota Edo, kaum samurai mau tidak mau harus berhubungan
dengan para pedagang. Pedagang yang seperti ini biasanya berfungsi sebagai bangkir. Dengan demikian bertambahlah pengaruh para pedagang yang secara
resmi berada dalam tingkat sosial terendah. Para pedagang pun tahu bahwa
Universitas Sumatera Utara
pengaruh itu hanya bermanfaat kalau mereka tidak menonjolkan diri dalam politik. Sebab itu, pengaruh tersebut digunakan secara tidak langsung melalui para
samurai yang berhubungan dengan mereka. Dengan cara itulah Mitsui dan pedagang lain tumbuh, bahkan di antara ada yang diberi status samurai
Sayidiman, 1982: 78-78. Pada saat terjadi kesulitan keuangan, bakufu dan daimyo semakin keras
dalam memungut pajak dari petani, yang mengakibatkan petani menderita kemiskinan yang semakin parah. Banyak di antara mereka yang terpaksa
melepaskan tanahnya dan menjadi buruh tani meskipun beberapa petani yang lebih baik keadaannya mulai membuka toko minuman keras atau menjadi lintah
darat. Dengan cara ini mereka menjadi kaya. Petani yang paling miskin mulai berkelompok untuk membela haknya dengan cara memeberontak. Pemberontakan
petani pun semakin sering dan terjadi dengan hebat. Bahkan di Osaka dalam tahun 1837 keadaan petani sampai pada tingkat “putus harapan”. Kebencian mereka
pada orang-orang kaya terwujud dalam penyerangan ke rumah-rumah saudagar beras besar Samson dalam Nio Joe Lan, 1962: 111.
Dengan latar belakang kegelisahan sosial, kebudayaan mencapai tingkat kegemerlapan. Kebudayaan yang berasal dari zaman sebelumnya berlangsung
terus di Kyoto dan Osaka, tetapi kota Edo yang menjadi pusat baru menjadi tempat orang-orang borjuis, sehingga muncul lah kebudayaan pedagang kota
chounin. Kebudayaan ini berpusat sekitar tempat-tempat hiburan kota, tempat para pedagang yang pada hakikatnya adalah orang orang yang bekerja keras,
sederhana, menghasilkan uang banyak dan cinta keluarga, bersantai disertai penghibur-penghibur profesional yang disebut dengan geisha dalam zaman
Universitas Sumatera Utara
modern. Di sini mereka bebas dari tanggung jawab perusahaan, keluarga, dan ketentuan-ketentuan yang menekan dari penguasa-penguasa feodal. Dalam
lingkungan bebas seenaknya ini timbul seni yang kaya, teater, dan sastra yang berbeda sekali dari seni kaum samurai. Diantaranya drama Kabuki dan Joruri,
sajak Haiku, Ukiyo’e, dan lain-lain. Kebudayaan chounin ini matang dalam abad ke-17 akhir.
2.3 Musashi